Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🦄3. Hidup Baru🦄

Gendhis sudah tidak sabar ingin pindah dari kos-kosan Melati. Kos-kosan itu sudah tidak kondusif untuk kesehatan jiwa. Suara kikikan dan tatapan aneh seolah Gendhis adalah alien dari antah berantah, membuat gadis itu muak.

Mungkin kalau ada Clary, dia akan bertahan. Karena si 'lola Clary' selalu mendengarkan, walaupun tidak tahu esensi di balik apa yang dicurhatkan Gendhis, karena otak yang meloading lambat itu hanya menyediakan telinga yang digunakan sebagai tempat sampah Gendhis.

Malam ini, satu kardus terakhir sudah ter–packing. Gendhis menutup rapat kardus itu dengan isolasi besar. Tepatnya ada 5 karton besar yang akan diusung oleh Gendhis ke kos barunya. Terlebih ia sudah tidak sabar karena ia akan bertetangga dengan makhluk Tuhan yang rupawan.

Gendhis melupakan pekerjaannya. Ia melamun sambil terkekeh tak jelas saat imajinasinya berkelana tak tentu arah. Namun, notifikasi gawai yang berbunyi nyaring membuat lamunannya sontak buyar.

"Abe?" gumam Gendhis dalam hati, seraya menepikan kardus-kardusnya di sisi dinding kamar yang longgar.

Jarinya kemudian menggeser permukaan layar untuk membuka pesan dari teman baiknya, Albert yang ia panggil Abe.

[Abe]

Ndhos, kamu jadi pindahan deket rumah Clary?

[Gendhis]

Iya. Napa?

[Abe]

Asikk. Bisa ketemu Cla lagi dong.

[Gendhis}

Sadar. Dia udah ada yang punya.

[Abe]

Hehehe, namanya juga usaha.

Gendhis mendesah. Selalu seperti ini. Para lelaki selalu mendekati Gendhis dalam rangka ingin menarik hati Clary, karena mereka tahu Gendhis adalah sahabat baik gadis lola itu.

Namun, tak sedikit pun Gendhis iri dengan Clary. Karena wajah cantik sahabatnya tak didukung oleh kecepatan berpikir saat diajak bercanda kecuali dalam hal uang.

Setelah menjalani ritual sebelum tidurnya—menyikat gigi dan mencuci muka—akhirnya Gendhis naik ke kasur yang besok tak lagi ditiduri.

***

Pukul 09.00 Gendhis baru terbangun dari tidur. Gadis itu paling suka molor pada hari Minggu bila tidak ada kegiatan atau pulang ke rumah. Matanya mengerjap sejenak untuk membiasakan cahaya matahari yang masuk ke dalam pupil mata. Dengan malas, Gendhis menegakkan tubuh, menyeka sudut-sudut mulut untuk membebaskan kulit eksotisnya dari gambaran pulau yang bisa saja tercetak selama ia tidur.

Dengan jemari, Gendhis menyisirkan rambut yang acak, lantas bangkit untuk menyalakan lampu kamar. Melihat tumpukan kardus, nalar Gendhis kembali ke otak, dan menyadari bahwa hari ini adalah hari pindahan. Gendhis menyeringai menarik bibir penuh di wajah. Gadis itu lantas keluar meraih handuk dan masuk ke kamar mandi.

Tak butuh waktu lama, bagi Gendhis mandi. Digosok seperti bagaimana pun menggunakan sabun merk apa pun, Gendhis paham, kulit eksotisnya tetap akan berwarna gelap. Setelah menyelesaikan semuanya, termasuk panggilan alam yang selalu ingin mengeluarkan isi usus besar di pagi hari, Gendhis bergegas keluar untuk menjawab panggilan telepon yang dari tadi berdering.

Dengan berbalut handuk sebatas dada, Gendhis keluar begitu saja dari kamar mandi sambil menenteng alat mandi dan pakaian yang tadi dikenakan. Begitu sampai di kamar, gawai Gendhis sudah bergetar dan berteriak-teriak ingin diangkat.

"Ya, Cla?" tanya Gendhis begitu menerima panggilan.

"Udah siap?" tanya Clary.

"Udah." Jawaban Gendhis itu hanya disambut dengkusan Clary. Kategori "siap"–nya Gendhis sedikit lain dengan manusia lain.

"Aku udah bersih kamarmu. Kamu tinggal datang aja. Nanti ada Pak Jito yang bisa bantuin barang-barang ke atas."

"Oke. Ehm, kamu masak apa, Cla, buat menyambut kedatangan sahabat baikmu."

"Bikin tempe penyet. Udah aku sisain buat kamu untuk tester. Kalau kamu mau pesen bisa hubungin aku."

Gendhis berdecak. Ia selalu paham Clary rajin sekali mencari uang. Hidup berdua dengan mama tirinya yang galak membuat ia harus mandiri.

"Kasih tester jumbo, ya."

Gendhis terkekeh lalu memutuskan sambungan telepon begitu saja. Waktu tinggal setengah jam harus ia manfaatkan cepat-cepat.

Ganti baju dulu!

Tiba-tiba Gendhis teringat semua bajunya sudah dikemas rapi dalam kardus yang dia tidak hafal di bagian mana gadis itu menyimpan. Semua kardusnya berukuran sama dan di sisinya terdapat tulisan merk rokok.

Gendhis menepuk dahi, kesal dengan kecerobohannya. Mau tak mau ia harus membongkar semua karton yang sudah ter–packing rapi.

Ya ampun, Gendhis! Mau sampai kapan kecerobohan menguasaimu! Gendhis merutuk dalam hati dan bergegas membongkar satu demi satu kardus itu.

Kardus pertama, berisi buku dan segera Gendhis mengambil pulpen untuk menulis di atasnya.

Kenapa baru terpikir menulis sekarang? Bukan ... bukan ... kenapa baju gantiku tidak disiapkan kemarin? Arrrggghhh ....

Kardus kedua, berisi alat-alat dan bahan kedokteran gigi. Dan kembali, gadis itu mengutuki dirinya karena perjuangannya mandi pagi ini sia-sia. Kini air mandi yang masih menempel di badan, berbaur dengan peluh karena usaha Gendhis membongkar kardus.

Dan beruntung, kardus ketiga berisi pakaian. Ia memakai baju yang bisa ia kenakan, kemeja kotak-kotak dengan celana garis-garis yang terlihat tabrak motif.

Ah, biarlah! Masih untung pakai baju daripada bugil seperti wong edan (orang gila).

Segera Gendhis memesan taksi online untuk mengantar barang-barangnya, sementara dirinya akan berangkat dengan Ducky Duck. Memastikan tidak ada yang tertinggal di kamar kos, Gendhis lantas mengeluarkan kardus-kardusnya, sambil berpamitan dengan penghuni kos yang lain.

"Maaf ya, Ndis, kalau aku ada salah ...," ujar salah satu teman kosnya.

Banyak, Mbak! Mbak 'kan biang gosip yang bikin aku nggak betah disini!

Tapi tetap saja, Gendhis mengurai senyum, dan menjawab, "Nggak ada salah kok, Mbak."

Setelah berbasa-basi sejenak yang paling Gendhis benci, gadis itu lantas meminta driver taksi online untuk memasukkan barang.

***

Gendhis melajukan motor dengan terburu-buru, karena sudah tidak sabar menempati kamar eksklusif berhadiah pemandangan indah. Saking tergesanya, saat akan memasuki jalan utama rumah kontrakan, Gendhis tidak bisa mengendalikan motor karena ada kendaraan yang tiba-tiba berbelok tanpa berhenti dan kecelakaan tidak dapat dihindari.

Gendhis terpeleset kerikil, membuat tubuhnya terbanting di jalanan dan Ducky Duck rubuh begitu saja. Roda motornya masih berputar, saat Gendhis berusaha bangun dari jatuh.

"Ya Tuhan, apes banget sih! Woi, Mas, tolong dong hati-hati!" sergah Gendhis dengan menepuk siku jaket dan lutut.

"Mbak, maaf! Mbaknya nggak kenapa-kenapa 'kan?" tanya seseorang yang Gendhis yakin adalah orang yang menabraknya.

Gendhis mendongak, dan terkejut saat mendapati wajah di balik helm itu. "Mas Lud, ya? Sopir ojol itu 'kan?" Mata Gendhis berbinar melupakan rasa perih di tubuh. "Saya Gendhis, penumpang ojol dua hari lalu." Gendhis menarik masker memperlihatkan wajah yang kini tersenyum cerah. Gigi putih yang berderet rapi kontras dengan kulit eksotisnya.

Lud tidak menjawab, dia hanya mengulurkan tangan membantu Gendhis berdiri. Mengetahui lelaki itu berniat baik menolongnya, Gendhis meraih tangan Lud dan dalam sekali tarikan badan Gendhis kini terangkat.

"Wah, Mas Lud kuat, ya." Gendhis terkekeh, dan ditanggapi senyum miring dari bibir merah Lud.

"Mbak, maaf, saya buru-buru—"

"Ya, nggak bisa gitu dong, Mas." Gendhis menahan lengan kokoh Lud.

"Lah terus?" Lud mengernyit, sedikit kesal karena terjebak lagi dengan gadis centil penumpang ojolnya.

"Mas 'kan sudah menabrak saya, jadi Mas harus tanggung jawab." Senyuman di wajah Gendhis itu diartikan sebagai seringai menakutkan bagi Lud. Lelaki itu mendesah panjang. Lud berkacak pinggang di satu tangan, sementara tangan yang lain mengusap wajah dengan kasar.

"Ya udah deh, sini hpnya," ujar Lud dengan nada sedikit tinggi.

"Hp? Buat apa?" Dahi Gendhis berkerut, tak paham.

"Buruan ...." Gendhis hanya menurut mengeluarkan ponsel. Segera Lud menyambar dan mengetikan sesuai di dalam gawai Gendhis.

"Ini, nomer saya. Kalau butuh sesuatu hubungin nomer ini! Hari ini saya buru-buru," kata Lud kesal memberikan lagi gawai itu pada Gendhis.

Gendhis menunduk, dan menatap deretan angka serta nama yang terpajang di layar gawainya "Lud"

"Gimana, Mbak?"

Gendhis yang masih shock karena mendapat nomor kontak Lud hanya mengangguk-angguk dan dirinya menatap kosong punggung Lud yang menjauh setelah membantu Ducky Duck berdiri.

Ya Tuhan, mimpi apa aku semalam. Kamu benar-benar beruntung, Gendhis!

Gendhis bersorak gembira melupakan rasa perih di lututnya.

***

Gendhis sudah selesai beberes kamar. Cukup memasukkan baju di almari. Menata buku di rak, menjejerkan beberapa sepatu yang masih tersimpan rapi di kotak sepatu. Untuk urusan pakaian Gendhis mungkin tidak terlalu berpikir banyak. Tapi Gendhis akan selalu mencari sepatu bagus, bermerk, dan mahal dari hasil menabungnya karena Gendhis mempunyai pikiran bahwa 'sepatu yang bagus akan menggiringmu melangkah ke tempat yang bagus pula'.

Setelah menyelesaikan memberesi sepatu dan melipat kardus yang tidak terpakai lagi, Gendhis mengambil sprei bermotif Tsum Tsum warna biru kesukaannya. Gendhis dibawakan beberapa sprei oleh mamanya, tetapi tetap saja selalu sprei itu yang ia pakai hingga warnanya sedikit kumal. Begitu dicuci, kering, dipasang lagi.

Tiba-tiba ia teringat uang tujuh ribu kembalian saat membayar ojol dua hari lalu. Dengan wajah cerah Gendhis mengambil dompet dan mengeluarkan uang lima ribu dan dua ribu yang sengaja dia selipkan di kantong kartu sehingga tidak terpakai.

"Apa harus aku laminating dan dipajang seperti mahar, ya?" Gendhis terkikik.

Namun ia akhirnya memilih meletakkan uang itu di binder kecil bergambar Doraemon. Uang kertas itu direkatkan dengan isolasi bermotif di sudut-sudutnya. Dengan senyum puas, mahasiswa FKG itu memandangi hasil karya.

"Apakah kami akan berjodoh?" Gendhis memeluk binder itu sambil membayangkan merengkuh lelaki jangkung berwajah oriental itu.

Dengan hati-hati ia meletakkan binder di laci meja. Hatinya berbunga setiap melihat jendela kamar yang memperlihatkan kamar Lud di seberang.

"Apa mimpimu akan menjadi nyata, Ndhis?"

Gendhis mengembuskan napas kasar. Ia pun menyudahi lamunan tak jelasnya dan segera keluar, hendak berkeliling ke tiap kamar untuk berkenalan. Setelah itu ia akan pergi ke rumah Clary untuk meminta tester tempe penyet sebagai menu makan siang.

💕Dee_ane💕

Ikutin kisah temen2 Gendhis yang lain:

furadantin as Clary

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro