🦄17. Ujian Kesabaran Lud🦄
Ketiga keponakan kembar Belud sangat menyukai Tante Pit Hitam. Entah kenapa Gendhis tidak marah dengan panggilan aneh itu. Bahkan Gendhis berlagak menjadi Pit Hitam dan berlarian mengejar anak-anak laki-laki yang bukan bermarga Ke itu.
Melihat tingkah Gendhis yang ceria dan bisa membuat tawa ketiga keponakan kembar tiga itu, membuat semua anggota Keandra tak bisa berhenti gelaknya. Terlebih Akong yang sangat bahagia dengan kedatangan Gendhis.
"Tante, kejar aku!" Sem berteriak memancing Gendhis yang ditutup mata oleh ketiga bocah itu mengejarnya.
"Tunggu aku, Anak Nakal. Pit Hitam akan memasukkan kalian ke dalam karung. Hohoho!" Suara Gendhis dibuat besar membuat kekehan ketiga anak itu.
Mami Bella yang duduk di gazebo halaman belakang hanya menggelengkan kepala saja melihat tingkah Gendhis yang energinya tak pernah habis.
"Sinyo beruntung banget punya cewek kaya Gendhis," puji Ester, kakak perempuan yang kedua.
"Iya, ih. Mau-maunya Gendhis sama cowok kaya patung lilin," timpal Ruth yang sedang sibuk mengupas apel untuk kudapan mereka.
Lud yang sengaja memasang headset mendengar samar-samar pembicaraan para perempuan itu. Ia duduk menopang kaki, lebih memilih membaca buku daripada bermain bersama keponakannya yang baterainya tidak pernah habis.
Namun, diam-diam aku melirik ke arah keriuhan Gendhis dan si kembar tiga itu. Senyuman Gendhis yang ceria tampak manis. Cahaya matahari yang menerpa wajah, membuat kulit lembab eksotisnya mengkilat. Tawa yang renyah tulus dari dalam hati, menggetarkan batin Lud.
Mata sipit Lud memicing memperhatikan gerak gerik Gendhis yang sering menggambarkan ekspresi aneh di wajah. Mau tidak mau, Lud tersenyum simpul. Kadang ia harus melipat bibir untuk menyembunyikan kekehannya.
"Cieee, yang ngulum-ngulum senyum!" Ester menarik headset Lud membuat lelaki itu membeliak tak senang.
"Apaan sih, Ce! Aku senyum-senyum baca ini loh!" Wajah Lud memerah kedapatan mencuri pandang pada tunangannya.
Tiba-tiba Mami Bella yang ada di sebelahnya mencondongkan kepala di atas buku Lud. Ia memegang gagang kaca matanya yang turun ke ujung hidung, untuk memperjelas apa yang dibaca sang putra.
"Sejak kapan buku Nusantara Membara "Heiho" - Barisan Pejuang Indonesia jadi lucu, ya?" Mami Bella membalik buku sambil membaca covernya.
"Sejak yang baca Lud Keandra, Mi," ujar Papi Victor dari balik korannya.
Lud mendengkus. Keluarganya ini over bahagia dengan kedatangan Gendhis. Asal perempuan dan seiman, mau dari suku mana pun akan diterima oleh keluarga Keandra.
"Nyo, Akong pesen, kamu harus bersikap baik dengan Gendhis. Sejak awal bertemu anak itu, Akong langsung suka. Bisa melengkapi sifatmu yang pendiam." Dari kursi rodanya Akong memberi petuah. Lud sangat menyayangi kakeknya, sehingga saat kakeknya bertitah agar ia tak melanjutkan lagi pendidikan calon pastor, akhirnya lelaki itu hanya bisa menurut.
Yafet berlari kecil ke arah gazebo. Ia menghampiri Lud dan menarik tangannya. "Om Lud, ayo main."
Lud berusaha melepas genggaman erat Yafet. "Om lelah. Main sama Tante Ndhis aja."
Yafet mencebik. Ia memberi pandangan yang memelas dengan mulut bergetar seperti hendak menangis.
"Udah lah, Nyo. Sana temenin ponakanmu main. Jadi orang kok nggak bisa sama anak kecil," ujar Mami Bella.
"Aku nggak suka sama anak kecil, Mi. Berisik!" kilah Lud. Namun buku Lud sudah diambil oleh maminya.
"Hush, nggak ilok bilang gitu! Habis menikah nanti 'kan kamu juga punya anak, sekarang latihan momong," ujar Ruth, Mami Si Kembar Tiga.
Lud mendengkus, memberikan lirikan tajam. Ia tahu Ruth senang sekali tiap akhir pekan datang, karena akan pulang ke rumah Keandra sehingga anak-anak mereka ada yang mengajak bermain.
"Ayoooo, Om." Tangan kekar Lud kini bergoyang-goyang.
Lud mengembuskan napas kasar, memandang kesal keponakannya yang kata para sesepuh di situ mirip Lud sewaktu kecil. Ia tidak terima, karena merasa tidak senakal itu sewaktu kecil.
Mau tidak mau, Lud menuruti kemauan Hafet. Ia melepas headset yang tersambung pada gawai dan buku di atas meja. Dengan langkah malas ia mengikuti arah tarikan Yafet.
"Sem, Ham, Om Lud mau ikutin nih!" pekik Yafet girang. Dua kembaran yang lain datang dengan terengah. Peluh mereka membasahi wajah bercampur debu dan tanah.
"Om, mana sapu tangan!" seru Sem, dengan nada seperti memberi titah pada adik-adiknya.
Alis Lud mengernyit. "Untuk apa?" tanya Lud, memasukkan tangan ke saku agar tidak menjitak satu-satu keponakan jailnya.
"Ck, ya main lah! Sini!" Sem menggerakkan dagunya ke atas, membuat Lud kesal.
"Nih! Buat apa?" Lud mengulurkan sapu tangan itu ke arah Sem.
Sem tersenyum riang. Binar matanya semakin terang dipenuhi dengan ide jail. "Om jongkok!"
"Ih, apaan sih!" Lud semakin malas meladenin keponakannya. Di antara mereka bertiga, memang Sem yang menjadi pemimpinnya.
"Ayo, Om!" Ham menarik kuat sehingga akhirnya Lud mengalah walau dengan decakan yang menguar keras.
Mereka terkekeh, menutupi mulutnya dengan tangan berkuku hitam yang membuat Lud bergidik. Lantas Ham mengambil sapu tangan dari tangan Sem untuk menutup mata lelaki itu.
"Ya Tuhan, opo-opoan iki?" Lud mau protes, tapi tangannya sudah terlanjur dikekang oleh dua kembaran yang lain.
"Selesai!" Ham menepuk tangan puas dengan hasil kerjanya.
"Ayo, Om, sekarang kejar kami!" seru Yafet kemudian berlari.
"Kurang ajar! Lihat saja kalau kalian aku tangkap!" desis Lud geram.
Ia pun bangkit segera mengejar anak lelaki kecil. Dengan memasang telinganya, ia mendengarkan langkah kecil yang berlarian ke sana kemari dan kikikan kecil tiga keponakan yang seperti setan mungil di mata Lud.
Beberapa saat kemudian, tidak ada suara membuat Lud semakin harus menajamkan pendengarannya. Ternyata ketiga keponakannya itu, kini tengah menikmati apel dan duduk terkikik, mendapati Lud dan Gendhis meraba-raba angin di halaman yang ditumbuhi hamparan rumput gajah
Para orang dewasa itu hanya bisa menahan tawa, melihat aksi gratis Lud dan Gendhis yang bertingkah seperti orang gila. Bagaimana tidak? Lud berlari ke sana dan ke sini mengira ada orang di situ, padahal yang didengar adalah langkah Gendhis. Sedang Gendhis pun juga berlaku sama mendengarkan langkah Lud yang dikira adalah langkah salah seorang dari kembar tiga itu.
"Ya, lihat saja kalian Sem, Ham, Yafet. Om tidak akan melepaskan kalian bertiga!" Lud sudah kepayahan karena matahari yang terik membuat badannya dipenuhi oleh keringat.
Karena merasa usahanya tidak berhasil, dia bergeming sejenak. Setelah menajamkan pendengaran, Lud memperkirakan dua langkah dari tempatnya berdiri ada sosok yang mendekat. Dengan perhitungan matang, ia lantas melangkah panjang. Tangannya membuka dan menutup seperti mulut yang kelaparan.
"Hap!" Lud mencengkeram sesuatu yang kenyal dan empuk.
Apa ini?
"Arrrghhh!!"
Kaget dengan suara Gendhis, Lud pun menarik kain penutup mata tanpa melepas cengkeramannya. Betapa kaget Lud saat tangannya mendarat di dada Gendhis yang sedang berlutut untuk mengatur napas.
"Sorry!" Lud merasa ada yang aneh. Tiga setan kecil itu tidak ada di halaman.
Tawa pun yang ditahan pun meledak saat Lud melihat ke arah gazebo. Kembar tiga itu tengah duduk menikmati apel melihat Lud dan Gendhis berkeliaran seperti orang gila.
"Kurang ajar!" desisnya dengan wajah merah karena marah. Lud pun akhirnya masuk ke dalam rumah enggan bergabung dengan keriuhan di halaman.
***
Lud memilih berganti baju karena ia tak tahan dengan baju yang basah. Setelahnya ia merebahkan diri di ranjang untuk menenangkan emosi jiwa yang bergejolak. Bisa-bisanya si kembar mempermainkan dirinya.
Lelaki itu menatap tangannya yang baru saja mendarat di tempat yang tidak semestinya. Entah kenapa tangannya justru memegang sesuatu yang tidak semestinya? Lud mengembuskan tangan kasar.
Ternyata begitu rasanya ... Lud segera menggelengkan kepala. Ya Tuhan, Lud. Apa yang kamu pikirkan?
Saat ia sibuk menatap telapak tangan yang masih tersisa sensasinya meremas gundukan tubuh Gendhis, Mami Bella datang memberi tahu bahwa para wanita akan pergi ke rumah salah satu teman Mami untuk menjenguk bayi. Lud hanya berdeham memberi jawaban. Ia memilih tidur, membiarkan Gendhis bermain sendiri. Sementara di luar masih ada Papi Victor yang bercakap dengan Rendi, Papi si Kembar bersama Akong.
Keramaian masih terdengar jelas, sebagai tanda bahwa Gendhis dan keponakannya belum selesai bermain. Padahal sudah satu jam berlalu. Lud pun akhirnya bangkit untuk melihat apa yang dilakukan Gendhis. Seketika matanya membeliak, mendapati baju putih Gendhis yang basah. Baju itu sudah transparan mencetak kutang hitam dan lekuk tubuhnya.
"Ya Tuhan, paringono sabar!"
Tanpa pikir panjang dia berjalan cepat melepas kemeja yang ia kenakan, sehingga menguak dada berotot liatnya. Begitu mendekat, Lud menyelubungkan baju itu ke tubuh Gendhis dan memberikan hardikan keras pada Sem, Ham, dan Yafet.
"Sudah mainnya! Ngapain main air segala! Gimana kalau Tante Ndhis sakit!" Mata sipit Lud menghujam ketiganya membuat mereka berlari mendapati sang papi dan mengadukan ulah om mereka.
"Ayo, Ndhis, masuk, mandi!" Lud merangkul dan menggiring gadis itu ke dalam. Ia tak mempedulikan badannya yang bisa ikut basah.
Gendhis hanya terperangah dan mendongka memandang wajah tegang Lud. Pipinya memerah sambil mengulum senyum karena perhatian Lud yang ia anggap istimewa. Begitu sampai di dalam kamar, ia segera mengambil baju ganti dan masuk ke kamar mandi untuk sekalian mandi.
Namun, yang terjadi saat membuka celana, ia mendapati tamu bulanannya datang. "Mati aku! Aku lupa bawa pembalut dari rumah."
Ia membuka sedikit pintu dan berseru memanggil Lud. "Mas ... Mas Lud!"
Mendengar namanya dipanggil, walau bersungut-sungut, ia menghampiri kamar mandi yang pintu terbuka sedikit dengan kepala Gendhis menyembul dari dalam. "Ada apa?"
"Aku ... Mami mana?" tanya Gendhis.
"Ke rumah teman Mami sama Ce Ruth dan Ce Ester. Napa?" tanya Lud.
"Duh ... parah!" Gendhis kemudian meringis. "Mas, aku cariin pembalut mereka dong." Gendhis tidak berani memandang Lud. Telunjuknya menggaruk-garuk tepian pintu.
"Hah?"
"Aku dapat datang bulan ... lupa bawa pembalut." Gendhis memberi wajah memelas.
Lud mendengkus keras. "Tunggu."
"Makasi, Mas," ucap Gendhis dengan nada dimanis-maniskan.
Lud pun berbalik lantas menelepon sang mami. Begitu terhubung ia langsung menanyakan
letak di mana maminya menyimpan pembalut, setelah menjelaskan apa yang terjadi pada Gendhis.
"Pembalut Mami sudah habis. Sebentar Mami tanya Cecemu." Lud berjalan hilir mudik menunggu jawaban. "Pembalut Ester juga sudah habis."
"Masa semua habis! Bukannya kalian kalau membeli barang itu sampai satu troli sendiri?" Nada Lud meninggi.
"Kamu beli napa, Nyo?"
"Ya Tuhan, Mi. Aku lakik! Masa iya beli pembalut!" Rasanya kepala Lud semakin panas.
"Nyo, latihan kalau jadi suami ...."
Saat darah Lud semakin mendidih, suara Gendhis samar-samar terdengar. "Yuhuuu, Mas Lud ...."
Lud mengerang. Mau tidak mau dia harus berlari sekarang mencarikan barang kewanitaan untuk perempuan ceroboh yang tidak membawa barang penting padahal tahu siklusnya akan tiba.
💕Dee_ane💕
Mampir juga di Clary "Sang Jomlo Dadakan" furadantin
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro