[] Zone Friend
Zone Friend
Oleh ReztElliot
•
[] Romance - Fantasi []
"Man I'm so high I think I love you
I was thinking about leaving again
It all depends
Are we just friends
Can you leave a little bit of your k
For you, babe
It's anobrain" - (Anobrain : The 1975)
Klik-
Alunan lagu yang lebih mirip berbisik tersebut terhenti, bersamaan dengan suara berat langkah kaki di lantai kayu rumah itu.
"Peraturan Arroca nomor tiga puluh lima untuk distrik teman. Tidak diizinkan memutar instrumen ataupun lagu yang mengandung perasaan dan romantisme."
Suara pemuda yang baru datang ini tegas tapi tidak membentak. Ia tidak meninggikan suaranya, tidak pernah pada wanita muda dengan surai coklatnya yang mengombak.
Wanita yang jadi lawan bicaranya itu hanya duduk manis di salah satu kursi jati yang bersebelahan dengan pemutar musik. Matanya tertutup, bibir tipisnya tersenyum dengan lambang kecil berbentuk setengah lingkaran berwarna biru transparan tampak jelas di dahinya. Sebagai tanda jika ia adalah salah satu penghuni tempat ini.
"Aku mendapatkannya dari Grisia. Grisia bilang lagu ini sedang populer di dimensi manusia, lantunan nadanya begitu enak didengar. Jadikan rahasia antara aku dan kau saja, Kapten Bellemere," jelasnya dengan tawa ringan tanpa rasa takut.
Meski saat ini berdiri di hadapannya, seorang kapten pasukan ternama Arroca yang terkenal kejam dan tidak pandang bulu.
Pasukan Penghukum adalah salah satu dari lima pasukan yang menjaga dan mengatur semua distrik di Arroca.
Pemuda bernama Bellemere tersebut mengembuskan napasnya pelan, tubuh ia jatuhkan pelan ke atas kursi. Cukup jauh dari si wanita, sengaja menjaga jarak.
"Namaku akan tercoreng jika isi pasukanku tahu kalau aku melindungimu dari pelanggaran hukum," ucapnya dengan mata tertutup.
"Grisia juga tidak benar-benar taat pada hukum, kau tidak bisa mengelabuiku," balas si wanita setengah tertawa, "bercanda, jika tidak taat, tidak mungkin bisa jadi pemimpin pasukan matahari, 'kan?"
Wanita dengan kulit putih kemerahan ini kembali tersenyum, lebih tepatnya menahan tawa. Pemandangan yang cukup membuat sepasang sayap hitam milik pemuda di hadapannya bergerak-gerak karena salah tingkah.
Pemuda dengan sepasang sayap lebar ini bukanlah malaikat. Namun, sepuluh persen dari rakyat Arroca memang memiliki sayap. Para tetua menyebut mereka sebagai Core, yaitu keturunan murni Arroca. Sisanya memiliki rupa seperti manusia, hanya saja tinggi rakyat dimensi ini melebihi dua meter, sedikit lebih tinggi dari manusia pada umumnya.
Arroca sendiri termasuk salah satu dari empat dimensi besar jagat raya selain dimensi manusia. Rakyat yang tinggal di dimensi ini wajib menuruti aturan yang dibuat oleh para tetua, mereka diatur dan diberikan fasilitas yang begitu baik.
Semua kehidupan di sini berjalan dengan lancar dan teratur, para tetua dan pimpinan Arroca membagi rakyatnya untuk tinggal di tiga distrik berbeda. Pertama adalah distrik pengenalan. Distrik pengenalan (Zone : Self) adalah awal dimulainya kehidupan, seperti bayi yang baru lahir dan anak-anak yang mulai belajar tata krama juga berbagai pengetahuan.
Distrik kedua adalah distrik teman. Distrik teman (Zone : Friend) adalah zona penyaring, di sini tinggal semua wanita dan pria yang tidak bisa dinikahi karena beberapa faktor, seperti kekurangan anggota tubuh atau kekurangan fungsi anggota tubuh.
Distrik terakhir adalah distrik pasangan. Distrik pasangan (Zone : Lover) adalah zona yang paling ramai, karena semua rakyat di sini bisa menjalin hubungan kekasih, hingga menikah dan memiliki keluarga.
"Jangan menyebut namanya, dia bisa muncul dengan tiba-tiba. Bertemu dengannya membuat kepalaku sakit," gumam Bellemere dengan kening berkerut. Sepasang mata kelam itu terbuka, untuk menatap si wanita dan sekitarnya.
"Bellemere, baik kau ataupun Grisia, tidak ada yang bisa berpura-pura di hadapanku. Kita sudah bersama sejak kecil, saat masih di distrik pengenalan. Aku tahu kalian berteman baik, seperti aku dan kau, aku dan Grisia juga. Kita semua adalah ... teman baik," jelasnya dengan sedikit jeda saat mengucap kata teman baik. Bukan karena ia menganggap pertemanan ini adalah hal buruk, tapi ia terlalu peka pada perasaan sekitarnya.
"Frea, aku ... " ucap Bellemere terputus karena suara pintu yang terbuka tiba-tiba.
Brak-
"Frea! Aku ingin kue kering yang kau panggang kemarin! Oh? Bellemere!? Itu kau!? Astaga, aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini!" sapa seorang pemuda dengan rambut berwarna emas, tanpa sadar telah memotong suasana serius yang Bellemere ciptakan. Sayap si pemuda terbentang luas tanpa hambatan, berwarna putih bersih tanpa noda dan cacat.
Tingginya mencapai tiga meter, sosok sempurna yang dipuja banyak wanita, Grisia, pemimpin pasukan Matahari.
"Grisia," sapa Bellemere menunjukkan air muka terganggu sekaligus kesal.
"Jangan tatap aku begitu, apa salahku? Apa aku mengganggu pembicaraan kalian? Aku harap tidak. Bahkan kau harusnya berterima kasih padaku nanti," balas Grisia dengan senyum lebar miliknya.
Pemuda yang bersinar seperti matahari ini melirik ke arah luar, lebih tepatnya pada burung-burung kecil dengan warna hitam yang bertengger pada atap bangunan di seberang rumah Frea. Mata-mata para tetua.
Frea dan Bellemere akan kena masalah jika ketahuan berdua dalam waktu lebih dari tiga puluh menit. Adalah batas waktu yang ditentukan untuk kunjungan seorang lawan jenis jika mereka sendirian.
Bellemere mengembuskan napasnya kasar, ia menyandarkan tubuh ke kursi lagi, tidak benar-benar lelah pada tubuhnya. Namun pada pikirannya yang mulai muak dengan aturan.
"Selamat datang Grisia, tadi kami membicarakanmu. Kau ingin kue? Hari ini aku tidak membuatnya, bagaimana kalau besok?" tanya Frea dengan lambaian tangan singkat.
"Tidak buruk, aku dan Bellemere akan datang lagi besok. Jadi pastikan kau buat kuenya!" seru Grisia. Ia segera duduk meski tidak disuruh.
"Aku mengerti Kapten," jawab Frea setegas mungkin. Ketiganya tertawa, meski salah satu dari mereka hanya tertawa palsu.
***
Matahari mulai bergerak turun, para pedagang tampak mulai membereskan dagangan yang mereka jual. Di distrik teman ini kehidupannya lebih tenang karena tidak begitu ramai. Kebanyakan dari mereka menghabiskan waktu dengan mengobrol dan saling berkunjung sebelum pulang ke rumah untuk beristirahat.
Bangunan-bangunan di sini terbilang kecil, sengaja dibangun begitu karena mereka hanya tinggal sendirian. Semua rakyat yang ada di distrik ini tidak diizinkan menikah atau sekedar tinggal bersama orang lain terkecuali keluarga kandung yang juga bernasib sama.
Namun anehnya, distrik ini adalah tempat yang paling sering dikunjungi oleh dua kapten ternama di Arroca.
"Bellemere sahabatku, aku ingin kau tahu jika aku sedang dalam masa penenangan diri. Ini adalah sebuah masa di mana aku harus lebih mengerti kebutuhan emosi diri," jelas Grisia. Pandangannya mengarah pada langit sore, bibirnya melengkung sempurna menggambarkan bahagia.
"Aku senang kau dapat izin untuk istirahat," timpal Bellemere dengan raut wajah yang masih datar.
"Bellemere, pemimpin pasukan Penghukum. Aku tidak bisa meminta lebih dari Tuhan, aku hanya butuh ruang dan waktu untuk merasakan tenang dan damai. Bahkan jika hanya di ruangan kecil yang hanya berisi aku dan barang-barangku," tambah Grisia masih dengan senyuman miliknya yang secerah matahari.
"Aku akan katakan pada mereka jika kau akan ada di rumah dan tidak mau diganggu," ucap Bellemere. Ia mulai lelah menghadapi kawan baiknya ini.
"Bellemere ... " gumam Grisia belum tersambung. Bellemere menatap ke arah pria matahari di sampingnya dan menggeleng.
"Hentikan," sambung Bellemere karena ia yang tidak ingin mendengar lanjutan kata dari Grisia.
"Bellemere, sahabatku, aku sangat menyayangimu," ucap Grisia tidak peduli pada peringatan yang Bellemere berikan.
Pemuda yang sesaat lalu berdiri tegap dengan rambut hitam gelapnya itu kini terlihat berpegangan pada tiang lampu. Wajahnya pucat, lebih pucat dari biasa, Bellemere tidak kuasa menahan rasa mual di tubuhnya, ia muntah.
"Bellemere? Kau baik-baik saja? Kau masih belum terbiasa? Aku mengajakmu berlatih padahal," tanya Grisia dengan wajah khawatir sekaligus heran.
Pasukan penghukum adalah pasukan yang bertugas meringkus kriminal, menghukum mereka dan mengirim mereka pada jurang kematian.
Kapten Bellemere, pemuda yang dikenal begitu dingin ini sangat tidak biasa dengan kata-kata manis. Ia sudah menahan diri sejak tadi, tapi kata-kata Grisia sudah membuatnya mencapai batas.
"Aku baik-baik saja," jawabnya dengan suara parau. Napasnya tidak teratur dengan rasa mual yang masih berkutat di perut.
"Syukurlah, aku tidak bisa bayangkan bagaimana kalau kau sampai muntah di hadapan Frea nanti," ucap Grisia setengah tertawa. Perlahan tangannya menepuk punggung Bellemere sebelum terhenti karena langkah kaki terburu mengarah pada mereka.
"Kapten! Kapten Bellemere!"
Dua pemuda tersebut menoleh pada sumber suara yang berteriak cukup keras, salah satu pasukan Bellemere.
"Hormat pada Kapten Grisia!
Hormat pada Kapten Bellemere!" seru pemuda tersebut dengan berdiri tegap memberi hormat pada dua pemimpin pasukan yang sangat disegani.
"Tarik napasmu, perlahan. Katakan ada apa, apa yang terjadi? Kenapa sampai berteriak?" Bellemere membenarkan seragamnya dengan kening berkerut. Pandangannya fokus pada pemuda tersebut.
"Kapten, salah satu pasukan kita melihat rakyat distrik teman nomor 373 atas nama Frea Rakesh ditangkap!" serunya lantang tanpa peduli sekitar. Sederet kalimat yang membuat Bellemere seperti dihantam ratusan palu besi.
"Apa!? Ditangkap karena apa? Berikan laporan dengan jelas! Jangan setengah-setengah seperti ini!" bentak Grisia dengan wajah panik. Kedua tangannya sudah memegangi lengan si pemuda erat, tanpa sadar mengguncangnya.
Grisia mengerutkan keningnya tidak percaya atas apa yang ia dengar, sementara Bellemere tidak mengatakan apa pun. Ia terlalu terkejut, kepalanya tiba-tiba kosong dan telinganya terasa berdengung.
Ia bahkan seolah lupa cara bernapas dengan benar. Bellemere perlahan mengedarkan pandangannya, berharap konsentrasinya dapat kembali.
Ia melihat Grisia berteriak, tapi ia tidak bisa mendengar apa yang Grisia katakan pada bawahannya. Grisia tidak pernah berteriak sebelumnya, terutama pada bawahan dan rakyat umum. Grisia harus selalu memasang wajah seperti malaikat, tersenyum dan memaafkan. Berbeda dengannya, lalu Frea.
Frea yang saat ini berada dalam bahaya karena dirinya. Karena perasaan tololnya yang tidak bisa ia kendalikan. Ia tidak tahu harus bagaimana jika Frea sampai terluka apalagi dihukum.
"Bellemere!
Bellemere mau ke mana kau!?" teriak Grisia ketika sadar Bellemere tidak lagi berdiri di sampingnya.
Bellemere tidak bisa mendengar apa pun, pemuda dengan rambut kelam itu bahkan tidak sadar jika kedua kakinya sudah berlari menuju kapital, tempat berkumpulnya para tetua.
Kakinya sudah berlari tidak lagi melangkah, tidak lagi peduli pada siapa saja yang menghambatnya. Napasnya tercekat di tenggorokan, matanya terasa panas karena panik. Ia tidak bisa pikirkan hal lain selain Frea.
"Kapten Bellemere! Anda dilarang masuk! Saat ini ... " larang salah satu penjaga kapital yang tidak mampu meneruskan kalimatnya karena ujung pedang milik Bellemere sudah menembus tubuhnya.
"Kapten Bellemere!" seru penjaga lainnya berusaha menghentikan sosok kapten yang berprestasi sepanjang masa itu.
Banyak suara yang berteriak memanggil nama dan mengejarnya. Bellemere tidak peduli. Ia tetap maju, ia tetap berlari hingga tatapannya bertemu pandang dengan sosok wanita yang ia kenal. Yang sangat ia kenal.
Wanita dengan wajah cantik itu terbaring kaku di dalam kapsul bulat plastik yang siap untuk dikirim ke ladang pemakaman.
"Frea ... " panggilnya samar. Jantungnya berdegup sangat kencang, pikiran Bellemere sudah tidak karuan. Tangannya gemetar dan kedua kakinya terasa lemas. Pemuda yang dikenal paling kuat ini jatuh berlutut, tidak ada lagi suara yang dapat keluar dari tenggorokannya.
"Bellemere, pemimpin pasukan Penghukum. Kami sudah menyelidiki lebih tentangmu dan juga tentang wanita yang merupakan salah satu rakyat dari distrik teman bernama Frea Rakesh. Kami, para tetua memutuskan untuk memakamkan Frea Rakesh lebih awal dari yang sudah ditetapkan agar keberadaannya tidak mengganggumu," terang seorang pria tua dengan banyak keriput di wajahnya. Lelaki tua itu tampak berdiri dengan berpegangan pada tongkat kayu dan memakai pakaian serba putih.
Lelaki paruh baya itu menatap Bellemere tanpa rasa bersalah sedikit pun, ia merasa apa yang sudah ia lakukan adalah benar. Adalah yang paling baik untuk rakyatnya dan juga Bellemere.
"Kapten Bellemere?" panggilnya sekali lagi. Lelaki yang disebut tetua itu menatap heran Bellemere yang kini hanya diam terpaku di tempatnya. Pemuda dengan sayap hitam itu diam sebelum akhirnya tertawa.
Pemuda yang begitu patuh pada aturan itu mendongak, tertawa keras denga air mata yang mengalir deras.
Air mukanya menyeramkan, udara di sekitarnya bahkan terasa buruk. Ia begitu marah hingga tidak bisa lagi berkata-kata, tanpa sadar tangannya menarik pedang yang selalu terpasang di pinggang. Bellemere berdiri, beranjak dari posisinya, melangkah maju dengan senyum lebar di wajah.
Ia tidak memedulikan peringatan yang terucap, ia tidak peduli pada perintah yang disebut. Ia menyerang habis seisi kapital tanpa ampun, tanpa pandang bulu. Persis seperti apa yang ia lakukan dulu pada musuh-musuhnya.
Ruangan yang harusnya selalu bersih dan putih itu kini berubah, lantainya penuh dengan kubangan darah, mayat, patahan pedang juga rintihan minta tolong.
Semua pasukan sudah datang, semua pasukan penjaga sudah dikerahkan. Harusnya mereka mampu untuk menangkap satu orang kapten. Namun satu hal yang tidak mereka duga, kapten yang disebut malaikat itu juga mengangkat pedangnya untuk membantu Bellemere. Tidak ada yang menyangka jika Grisia datang bukan untuk menghentikan Bellemere melainkan sebaliknya.
Wajahnya kaku, tidak ada ekspresi, tidak ada lagi wajah dan senyum matahari yang selalu Grisia berikan. Ia tidak semarah Bellemere harusnya, ia tidak mencintai Frea seperti Bellemere harusnya. Ia hanya tahu pada siapa ia harus berdiri, untuk siapa ia harus mengangkat pedangnya. Karena pada kenyataannya, Grisia lebih dari pada muak pada aturan. Grisia hanya tidak mengatakannya.
"Grisia ... kenapa kau lakukan ini?" tanya satu-satunya tetua yang tersisa, kini terbaring lemah memegangi pergelangan kaki Grisia.
"Karena aku muak," jawab Grisia tegas. Pandangan matanya lurus, pada semua pasukan yang harusnya ia jaga, pada tetua yang harusnya ia muliakan.
Grisia mengalihkan tatapannya, kini menatap pada lelaki yang harusnya juga ikut mati tersebut. Sementara Bellemere hanya duduk termangu di antara kubangan darah yang ia buat.
"Grisia ... " panggil pria paruh baya itu sekali lagi, berharap rasa kasihan yang tersisa.
"Kau tidak mau mati? Kabulkan satu permintaanku, bukan, tapi dua. Dua permintaanku," ucapnya dengan dingin.
"Katakanlah," jawab laki-laki tua dengan susah payah. Grisia tersenyum.
"Katakan jika Grisia, Kapten Grisia sudah mati. Ia mati dalam pemberontakan yang ia rancang sendiri. Lalu katakan jika Bellemere terpaksa membantu Grisia dalam rencananya. Pastikan rumor itu tersebar dan dipercaya semua orang. Dan sekarang, rantai dan buang aku ke jurang penghukuman, tapi biarkan sahabatku memiliki hidup baru di dimensi manusia. Biarkan dia melupakan semua yang terjadi, biarkan dia memiliki kehidupan baru yang akan membuatnya bahagia. Itu keinginanku," jelasnya pasti, Grisia tidak terlihat ragu sedikit juga ketika mengatakannya. Ia hanya ingin Bellemere, sahabatnya hidup lebih baik.
***
"Jadi, kau ini Bellemere? Makhluk Arroca yang dibuang kemari?" tanya sosok makhluk yang memiliki duri pada setiap inci tubuhnya.
"Tidak sopan. Aku tidak dibuang, aku memilih tempatku sendiri. Mulai saat ini, aku menamai tempat ini Parhagonn. Dan aku ... Bellemere akan menjadi pemiliknya." Makhluk yang baru saja datang itu berjalan dengan angkuh, meninggalkan beberapa makhluk yang sudah berada di sana sejak beberapa masa lalu.
Sayapnya mengembang, hanya saja tidak lagi berwarna. Bola matanya berwarna emas dengan sepasang taring di kedua sudut bibirnya, menunjukkan jika ia bukan salah satu penghuni dimensi mana pun.
Sesekali makhluk yang mengaku bernama Bellemre itu terlihat meringis karena rantai yang mengikat leher, lengan dan kakinya.
Aku adalah Bellemere, dan ini adalah rumahku. Aku bisa berbuat apapun.
Adalah dua kalimat yang selalu ia tanamkan dalam hati dan pikirannya setelah puluhan hukuman yang ia lewati, dan kini, ia harus hidup dengan tugas yang akan menuntutnya hingga ia lebur.
Tamat
•
[] Gempita Shastra []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro