[] Turncoat Rover
Turncoat Rover
Oleh Azzafrei
•
[] Fantasi - Action []
Sudah kuduga akan tiba juga saatnya, ketika aku harus kembali berhadapan dengan masa lalu yang kularikan diri darinya.
Nyeri membentur kepalaku yang terlalu sesak oleh jutaan kupu-kupu emosi. Daripada umpama puitis itu, secara fisik kepalaku memang baru saja terbentur sesuatu hingga tengkorakku rasanya hancur—meski kuyakin itu mustahil—dan darahku mengucur dari luka yang tentunya tak bisa kulihat selain dengan bercermin—mana mungkin aku bercermin saat penyusup menyerang, bukan?
Jadi, yang penting, kepalaku nyeri—dan sekarang sakit. Kucoba mengusap sisi kepalaku yang terasa membengkak dengan sebelah tangan yang tak berlapis magis, ketika kutarik kembali tangan kiriku itu, warna ungu pekat yang menjijikan memenuhi kental telapak tanganku.
Miris juga. Sekarang darahku sudah benar-benar semenjijikan makhluk-makhluk biadab pembantai adikku itu, ya?
“Rilith Aidelsive.”
Ah, suara itu. Sudah berapa lama, ya, tidak kudengar? Coba kuingat dengan kepalaku yang bocor ini—tiga tahun lebih lima bulan, yap. Mengingat bilangan bulan yang nyaris menyentuh enam bulan alias satu semester itu membuatku menerka, seberapa sulit ujian Akademi kalau bencana itu tidak mengacau, ya?
Meski asap masih membumbung bekas hantaman godam cahaya tanda kedatangannya yang juga merupakan penyebab bocornya kepalaku ini menyamarkan sosoknya, aku sudah langsung mengenalinya. Energi magis berduri tajam yang bagai landak petir itu, ketegasan khas seorang teladan yang bisa kukenali dari suaranya saja. Siapa lagi kalau bukan sahabat tersayangku semenjak tujuh tahun lalu itu?
“Erabela Rozhee. Halo, sahabatku. Ingat sudah berapa lama kita berpisah?” balasku menyapa dengan nada ceria—seolah ini adalah enam tahun lalu, ketika aku menyambutnya kembali dari pindahan sementaranya keluar pulau.
Asap menipis. Mata limun zamrud pemancar wibawa seorang teladan itu memukan tatapanku. Namun wajahnya masih tersamar di balik asap, sehingga aku tak tahu apakah dia membalas senyum lebarku. Jika iya pun, aku tidak bisa menebak senyum seperti apakah yang ia guratkan—senyum sinis? Senyum berkedut amarah? Atau senyum dewi kematiannya seperti ketika di masa Akademi dia menangkap basah diriku yang bolos kelas? Tetapi, kudengar suaranya dengan jelas. “Jangan berani-berani masih menyebutku sahabatmu, setelah tiga tahun lima bulan lalu kau membangkang dari Klan Licht, Pengkhianat.”
Ah, pengkhianat, ya? Julukan yang tidak buruk jika kulihat sendiri fakta yang kutaburkan di setiap jejakku di belakang. Tetapi menjadi sangat buruk ketika sahabatmu sendiri yang mengucapkannya untuk merujuk padamu dengan penuh hina. Tapi, boleh aku terharu karena dia juga masih mengingat waktu kami berpisah dengan tepat seperti halnya diriku?
Yang jelas, hati kecilku mengejek, bahwa aku tidak boleh mengharapkan pelukan persahabatan lagi darinya. Bahkan untuk terakhir kali. Haha, hati kecil sialan.
“Jahatnya,” sahutku dengan nada ringan, kurasa gema suaraku juga melengking di area markas berkarakteristik mirip gua berstalaktit ini. “Padahal aku hampir terharu karena sahabat tersayangku ini masih mengingat jelas waktu perpisahan kita, lho.”
Tanpa menunggu asap benar-benar lenyap, selarik magis bercahaya terang telah menyingkapnya. Derik rantai berdesing memelesat mengincarku dengan gerakan berputar bak cambuk ular yang hidup, sebelum ujung rantainya yang bermata runcing bak tombak emas menghujam tempatku berdiri.
Yah, memang cuma tempatku berdiri. Sebab aku sudah melompat meninggalkan tanah batu gua yang kini merekah bak bolu yang dipotong kubus tidak rapi itu sekian detik sebelumnya.
“Tentu saja aku ingat. Karena aku tidak sabar menghitung mundur waktu yang kuperlukan untuk membunuhmu, Rilith.”
Sapaan yang bagus, tapi tidak dengan hawa suaranya. Wajar saja, dia adalah gadis jenius berbakat sejak dulu, yang bukan masalah baginya membunuh perasaan pribadi untuk membunuh seorang pengkhianat. Tidak sepertiku yang bertopeng di balik riangnya suaraku, seperti ketika kami masihlah gadis kecil yang polos.
Magis rantai cahaya itu menyentak lagi, ujungnya seolah mempunyai mata sendiri karena ujung runcing itu langsung menemukan posisiku yang mengelak di udara, dan kembali melesat cepat dengan derik kilat.
Kujilat telapak tangan kiriku yang berlumur darah ungu gelap nan pekat—hambar, lidahku sudah mati rasa mengecapnya bertahun-tahun lalu. Hanya kurasakan energi magis yang mengalir deras di sepanjang lengan kiriku, untuk kulepaskan dalam wujud sapuan kobaran api sewarna darahku ke depan. Mengobar raksasa hingga memenuhi seluruh ruang gua, rantai cahaya Erabela tak akan sanggup menerobosnya—jadi aku punya waktu dan momentum untuk menjejak tanah kembali.
“Pikirmu apa yang kulakukan selama tiga tahun, Rilith?”
Gawat.
Suara itu berdesis rendah bagai hantu, juga belitan rantainya yang membekuk lengan dan tubuhku sekaligus dari belakang. Dapat kulihat percik cahaya di sekujur jalinan rantai—penyebab panas membara yang terasa mengulitiku ini. Aku tak sempat bergemeratak pedih, sebab satu momentum dari ujung rantai yang dicekal Erabela membantingku keras pada dinding gua.
Punggungku serasa remuk, tubuhku bagai dililit tali logam yang baru matang ditempa, dan kepalaku berdenyut dua kali lebih sakit sekarang. Masalah pertama dan ketiga bisa kuatasi sebagai cedera fisik, tetapi masalah kedua amat menyiksaku. Rasa panas membara ini pastilah karena mantra kutukan yang ditambahkan Erabela pada magis rantainya—kutukan yang ditujukan kepada Klan Nero. Klan manusia berhati iblis yang konon tujuan utamanya sejak lama adalah menghancurkan Dunia Augus yang menganugerahkan magis pada semua orang, untuk membangun ulang dunia di mana hanya klan merekalah yang menguasai magis, sementara manusia generasi baru akan dijadikan budak di bawah kaki sok agung mereka.
Dulu, mantra itu adalah bagian favorit yang paling kukuasai adaptasinya pada medium apa saja—pedang, tombak, perisai, magis, roh, apapun itu. Sekarang, justru akulah yang termakan mantra kutukan favoritku sendiri.
Tubuhku tersentak terangkat—rupanya belitan rantai cahaya itu tidak berkurang sama sekali kekuatannya sehabis membangtingku. Melayang bergantung sepenuhnya oleh si pengendali rantai yang menjejak medan magis padat melayang di atas sana, si pengendali rantai alias Erabela menghujamkan tatapan tajamnya padaku. Kurasa, tiga tahun lima bulan tidak bertemu, tatapan tajamnya itu sudah berevolusi menjadi lebih menakutkan sekarang. Ditambah lagi, ada kecamuk perasaan tersirat di baliknya—benci, berang, ironi, kecewa.
Kurasa, aku membalasnya dengan senyum miring yang sudah kulatih bertahun-tahun di gua busuk ini.
“Jawab aku, Rilith,” kecam Erabela dengan suara setajam tatapan matanya, jemari tangannya berkumpul seolah tengah menggenggam sesuatu dengan ujung-ujung kukunya, dan kurasakan belitan panas di sekujur tubuhku mengetat. “Kenapa kau berkhianat pada klan kita, tiga tahun lima bulan lalu?”
Aku berdecih sinis, “Bukankah para Tetua sudah mengatakannya padamu?”
“Biarkan aku mendengarnya sendiri dari mulutmu, Rilith,” Suara Erabela tak tergoyahkan, tetapi selintas mendung membuat sepasang matanya sayu dengan gurat yang tak bisa kupahami.
“Kenapa?” Kata itu diucapkannya dengan geram lirih.
…Ketidakpercayaan?
Sungguhkah Erabela menyiratkan itu dalam sepotong tanyanya barusan? Tunggu, kalau begitu, mungkinkah aku bisa memercayainya sekarang? Belum terlambat jika itu adalah sahabatku, bukan? Rencana yang kubayar dengan melekatnya label pengkhianat dari klan asalku dan siksaan kemunafikan itu bisa berjalan melampaui sempurna jika Erabela memihakku—bahkan kini belum terlambat!
“Erabe—“
“Padahal, kau sudah berjanji berkali-kali di hadapanku, untuk membalaskan kematian adikmu, Lilis, bukan?”
Panggilanku tersela, batal kulanjutkan pula berikutnya. Suaraku seakan tersendat beku di tenggorokan, dan kuyakin kedua mataku sudah membulat sempurna.
Ah.
Ahaha, rupanya … aku si pengkhianat ini yang masih berharap saja.
“Rilith?” Kulihat Erabela mengernyit, kurasa dia mendengar kekeh tawa ganjilku. Ilusi sorot ketidakpercayaan yang mengharapkan pengkhianatanku tiga tahun lima bulan lalu adalah kebohongan di matanya tak lagi kudapati—ya, itu benar-benar sekedar ilusi belaka.
Erabela sudah mendengarnya, jadi kugelakkan keras-keras saja tawaku sekalian. Dapat kurasakan belitan rantainya tersentak samar, pasti itu karena dia berjengit bingung dan waspada. Tentu saja! Di matanya kini, dengan tawa menggelegar yang kubayangkan bisa sampai menggetarkan langit-langit gua ini, aku benar-benar adalah seorang pengkhianat berhati iblis yang sinting.
Muntahkan, muntahkan segala kegilaanmu sekarang, diriku. Ini kesempatan yang bagus, kau sudah memulainya, dan kepalamu yang sudah sinting tertampar kenyataan bahwa sahabatmu memang genap tak memercayaimu lagi. Kebohongan yang hendak kau wujudkan menjadi topeng drama di panggung terakhir tak akan dirimu sendiri bahkan kenali lagi.
Sebab kegilaanmu akan memolesnya halus serupa kejujuran seorang iblis.
“Bodoh! Kau taruh di mana otak jeniusmu itu, Erabela?” gelakku terbahak, bersamaan dengan meledaknya magis berdarah kelamku sekarang yang memutus belitan rantai cahaya Erabela. “Pikirmu seorang pengkhianat busuk ini peduli dengan masa lalu tak berguna itu?!”
Kuusap kasar lagi darah yang tak kunjung kering di kepalaku, yang kini telah mengucur sampai pelipis kiri. Lumuran darah ungu pekat yang segar itu melapisi telapak tangan yang kujilat rakus hingga kuyakin lidahku berubah ungu seluruhnya. Gelegak magis dalam aliran darahku menggelap, mataku berkilat di balik selapis selaput iblis kala mengunci posisi Erabela yang lengah.
“Magus Nero; Benang Pembantaian!”
Magis gelap mengalir mulus dari kesepuluh ujung-ujung jari tanganku, saling merajut dalam seutas tipis yang halus serupa benang senar. Tubuhku terasa ringan ditopang kabut yang membentang menjadi sepasang sayap berkobar api ungu. Meski mual diam-diam bergolak di dasar perutku dan tiap-tiap pembuluh darahku terasa menegang, aku sangat menikmati sensasi kegilaan yang kulampiaskan mulai dari sekarang.
Benang-benang di jemariku melenting dengan jalur acak, tetapi menyambar satu mangsa yang sama di balik batuan gua itu—sosok Erabela yang berwajah dingin kutemukan begitu kupecahkan sebongkah batu gua itu hingga berkeping-keping. Kubaca energi magisnya yang berderik di belakang punggung, pertanda ia tengah mempersiapkan sesuatu.
Dan sesuatu itu membentuk sebilah pedang cahaya berbilah panjang yang dikeluarkannya dari belakang punggung sembari berlari maju.
Seperti dugaanku.
Sehelai benang telunjuk kiriku melesat gesit, melilitkan diri pada bilah pedang cahaya Erabela. Aku menyeringai melihat wajahnya yang mengeras—tentu saja, elemen magisku adalah penahan yang sempurna untuk membuat magis pedang cahaya favoritnya tidak berguna.
Satu tarikan, dan magis pedang itu buyar menyerpih bak kupu-kupu emas.
Erabela mendongak dengan tatapan tajam. “Jangan meremehkanku, Pengkhianat!”
Aku tergelak menjawabnya. “Buktikan kalau sahabat tersayangku ini sudah semakin kuat!” Kurentangkan kelima jari tanganku membuka lebar, membuat benang-benang magisku membentuk ruang di tengah-tengah jangkauan masing-masing, yang kemudian menyemburkan kobaran api ungu berlidah tajam.
Baru saja aku hendak menarik kembali tangan kananku, kurasakan sebuah energi magis berkilat matang tepat dari depanku.
Detik berikutnya, kobaran apiku terbelah tepat di tengah-tengahnya—serapi sepotong telur rebus yang dibagi dua dengan pisau. Sosok yang membelahnya menerobos celah yang ia ciptakan dari bilah cahayanya, melentingkan diri dengan kuda-kuda sempurna ke arahku.
“Magus Licht; Bilah Mentari Fajar!”
Aku tidak tahu detik sudah berdetak atau belum ketika sengat panas kurasakan meluberkan sayap magisku, disusul rantai yang sama panasnya mengunci tegang tubuhku. Yang kutahu, tubuhku sempurna kaku ketika bilah cahaya yang Erabela ciptakan lagi di genggaman kedua tangannya itu tepat berada di depanku.
“Matilah kau, Pengkhianat.”
Begitulah bisik Erabela yang kudengar bagai mimpi buruk.
Tapi sayangnya, satu bagian dari hatiku mengingatkan—bahwa karena rencanaku itu baru setengah jalan saat ini, aku masih belum boleh mati.
Maaf, ya, Erabela. Bermainlah denganku sedikit lebih lama lagi.
Dengan sengaja, kualirkan energi magis gelapku ke kedua bola mataku. Perih—perihnya memanggang bola mataku tanpa ampun. Darah—mengalir satu garis dari kedua sudut mataku. Buram—dunia melebur dalam tindakan sintingku.
Tetapi setidaknya dengan ini, iblis benar-benar kukerahkan habis dari tubuhku.
Lewat bias keterkejutan yang memecahkan riak dingin wajah Erabela, aku tahu kedua mataku sudah genap berubah. Dari irisnya yang kelam, kini cerah bagai darah segar. Dari permukaannya yang putih, kini dijalin jejak pembuluh darah merah yang kentara merambati. Dari yang magisnya netral, kini pekat oleh hitam. Mungkin, wujud dari magis sinting yang berisiko tinggi membutakan mata penggunanya selamanya ini tidaklah dahsyat membahana. Tetapi jangan salah, dalam diam yang mudah diremehkan, teknik magis hitam sinting ini punya efek yang mengerikan.
Dan sudah terlambat bagi Erabela untuk menghindarinya—sejak dia menatapku sedari tadi.
“Magus Nero; Kutukan Mata Iblis.”
Detik berikutnya, momentum gerakan Erabela berhenti seketika. Sekujur tubuhnya kaku mendadak, mengakibatkan tubuhnya jatuh berdebam ke tanah gua di bawah.
Kupejamkan mata sejenak, membaca aliran magis yang lalu-lalang di lantai atas gua ini—ah.
Aku menyeringai, mendapati puncak rencana yang kususun semenjak beralih klan, telah tiba saatnya untuk diaktifkan.
“Hei, Erabela,” Aku memijakkan kakiku pada tanah dasar gua, melangkah mendekati sosok yang terbaring kaku dengan kejang-kejang samar merambati beberapa bagian tubuhnya. Tentu saja, Erabela tidak akan menyerah begitu saja, sekalipun sudah menatap langsung kutukan terkuat seorang iblis. “Kau tahu, gara-gara darah iblis sialan yang mengalir di tubuhku ini, tanganku jadi gatal untuk mencabik-cabikmu, tahu.”
Kini aku tepat berada di sisinya, di dekat lengannya yang kejang-kejang dirambati percik cahaya—mencoba menciptakan magis pedang untuk menikamku yang dalam jangkauan, meski sia-sia. “Tenang saja, Erabela, aku tidak akan melakukannya. Aku lebih dari kuat untuk menahan godaan iblis sialan di darahku.” Aku tersenyum—miris niatku, sinis di matanya, mungkin.
“S-se-kali….,”
Oh, dia sangat keras kepala sampai bisa bicara. Meski memang, suara tidak termasuk target yang dikutuk oleh mataku, sih.
“Hm?”
“Seka-li berkhianat—se-orang pengkhi-anat … ti-dak bisa—dipercaya … se-lamanya….” Dengan mata berkedut menahan sakit yang pasti menajalar di semua pembuluh darahnya, Erabela menyorotkan amarah tajam kepadaku seiring kata-katanya mendesis berat.
Aku tersenyum. “Terima kasih untuk kepercayaanmu sebelum ini semua, Erabela.”
“Ka-u-lah … yang memulai-nya, Peng-khianat—“ geram Erabela, seolah jijik mendapatiku tetap mengharapkan kehangatan seorang sahabat darinya.
Aku tersenyum. “Ya. Ini salahku. Bodoh. Egois. Pembohong. Pengkhianat.”
“M-una-fik.” Erabela menambahkan, tidak terima daftarku berakhir begitu saja.
Aku tersenyum. “Ya. Munafik. Jadi, ini untuk terakhir kalinya, Erabela—“
“Matilah, Pengkhianat. Meski bukan tanganku … kau pasti akan diantarkan ke neraka terdalam.” Erabela memotong, kata-katanya mulai pulih membentuk kalimat lancar.
“Terakhir kali saja, Erabela,” bisikku lirih, penuh mohon. Aku berlutut di sampingnya, memejamkan mata untuk berfokus menyetel magis di balik kelopak mataku. “Terima kasih untuk semuanya selama ini.”
“Apa-apaan—“
Kubuka mataku tanpa menunggu geraman Erabela selesai. Tepat kembali menatapnya, namun kali ini tanpa magis kutukan hitam seperti sebelumnya—hanya sedikit saja, untuk membuat Erabela tersentak dan memuntahkan sebatuk darah ke samping.
Setelah itu, kualihkan magis kutukanku tak lagi menguasai mata yang menatap. Erabela terengah, urat amarah yang menahan sakit menonjol di leher dan memerahkan wajahnya, “Kau—“
“Maaf, Erabela, aku butuh darah Klan Licht murni yang berbakat tanpa noda. Kau tahu, bukan, darahku sendiri sudah benar-benar kotor?” Dengan rajutan benang magis, kuserap segumpal darah putih keemasan yang menggumpal di tanah gua. Jalinan benangku dirambati putih, menari-nari di udara tanpa kuserap ke dalam darahku sendiri. “Karena hanya air yang bisa mengalirkan minyak di atasnya.”
“Sebenarnya apa maksud—“
Aku tersenyum, “Selamat tinggal, Erabela.”
Dengan benang-benang magis jemariku yang lain—bukan benang putih penyerap darah Erabela—kusentakkan tajam semuanya ke langit-langit gua. Menancap dengan seratnya yang tak lagi tipis, sebab telah saling merajut serupa tentakel dari benang—langit-langit gua bergetar, dan kurambatkan tiap-tiap helai benang magisku itu hingga nyaris menutupi keseluruhan atap gua. Dapat kurasakan tiap ujung benang tentakelku telah mendapatkan mangsanya, membelit mereka dengan kuat masing-masing, menghujamkan kutukan kematian untuk meracuni langsung aliran magis mereka.
Mereka yang kumaksud, tentulah para penyihir Klan Nero.
Guncangan pertanda hitung mundur runtuhnya gua ini kian menguat. Kuyakin gua ini bakal rata jauh lagi di bawah tanah kalau benar pondasi markas para penyihir iblis—yang tadi kuretakkan diam-diam dengan magis dalam pertarungan—itu memang tepat.
Dan, Erabela, kau tidak boleh mati di sini.
Sayap rajutan benangku membentang kembali, menjadi tameng sementara agar baik aku maupun Erabela yang masih terbaring di tanah gua tidak tertimpa reruntuhan. Kedua sayapku menyatukan energi magisnya, membukakan sebuah lingkaran portal berserat magis.
“Magus; Portal.”
Dan kemudian, dengan satu sentakan, kulemparkan Erabela ke dalam portal itu. Portal yang menuju tanah luar, berjarak dari markas penyihir Klan Nero yang sedang runtuh ini, tempat aman terdekat yang mampu dijangkau portal energi magis terakhirku.
[][][]
“Rilith.”
Dingin menyengat kulit lenganku. Lalu kusadari sekujur tubuhku. Sesuatu menindihku dengan berat, membuat dada dan perutku tertekan sesak. Tubuhku lemas, energi magisku terkuras—wah, masih bersisa juga rupanya, ya?
“Hei, pengkhianat sialan. Jangan mati dulu.”
Apa ini surga? Suara itu memanggilku dengan ramah, meski panggilannya sama sekali tidak untuk kali keduanya.
“Kau berhutang penjelasan padaku, tahu.”
Aku tersenyum, membuka mataku yang sayu. “Lima tahun lalu, kebenaran untukku terungkap. Lilis tidak dibunuh oleh Klan Nero,” Jeda sejenak—sebab kuharap energi magisku bisa menjadi stok suaraku. “Dia dijadikan sumber magis untuk mereka konsumsi. Kau tahu, Lilis itu spesial—tidak sepertiku yang gagal ini. Dia punya satu elemen magis, yang konon katanya bervariabel tidak terbatas. Magisnya tidak terbatas, gila, bukan? Tapi jauh lebih gila lagi para penyihir Klan Nero itu, yang memanfaatkan adikku seperti alat tanpa akal produksi sumber magis.”
“Mustahil,” bisik Erabela lirih, “Jasad Lilis jelas-jelas tergeletak di depan rumahmu saat itu, darah mutilasinya juga tidak palsu.”
“Tentu saja karena itu memang asli tubuh Lilis. Mereka cuma butuh jiwa penopang magisnya yang spesial itu, jadi mereka pisahkan saja tubuh rongsokan adikku yang merepotkan. Toh dengan magis terlarang, mereka bisa mempertahankan jiwa yang dipisahkan dari raganya dalam medan magis khusus. Di pusat markas tersembunyi merekalah, jiwa Lilis yang disedot magisnya berada.”
Dapat kudengar napas Erabela yang tercekat. Sintingnya, aku malah tersenyum. “Rebutlah Mahkota Klan Licht, Erabela.”
“Ap—jangan berani-berani bercanda di ambang kematianmu begini!”
“Katakan itu nanti saat meminta penjelasan pada para Tetua tentang konspirasi mereka lima tahun lalu yang menyerahkan adikku cuma-cuma pada Klan Nero.” Aku memang sudah mati rasa mengucapkan kebenaran sinting itu lagi, dan kini rasanya aku sangat puas bisa mengatakannya terang-terangan kepada sahabatku. “Bagaimana kehidupan Klan Licht setelah aku pergi berkhianat, Erabela? Semakin sejahtera, bukan? Tentu saja, para Tetua menjual adikku pada klan seberang untuk mendapatkan bagi dua manifestasi magis spesialnya. Kutitip salam untuk para Tetua sialan itu ketika kau menyelesaikan kudeta kebenaranmu, ya?”
Sebelah tangan yang kukepalkan sebagai tanda janji untuk kuangkat ke hadapan Erabela yang berlutut di hadapanku sudah kehilangan tenaga terakhirnya. Tetapi bukan dingin pasir yang kurasakan menampa jatuhnya tanganku, melainkan sebuah kehangatan gengaman dari tangan Erabela. Ah, syukurlah perhitungan waktuku tidak terlambat untuk memastikan kutukan magis hitamku tidak sampai kritis meracuni sahabatku ini.
“Rilith, Rilith, sialan—bertahanlah!”
Aku terkekeh parau. Senang juga mendengar namaku kembali disebutnya dengan sungguh-sungguh dalam nada panik yang tulus itu. “Padahal dari tadi kau menyumpahiku ‘matilah’, lho…?”
Erabela mengeratkan genggaman tangannya—sayangnya, aku tidak bisa membalasnya. “Seharusnya kau mengatakan semuanya dari awal, Rilith bodoh! Apa-apaan kau itu, hah? Ja-jangan bilang sejak lima tahun lalu—“
Aku memaksakan kedua sudut bibirku tertarik meski tipis. “Yep. Aku berkhianat demi balas dendam sendirian. Aku mana bisa mengurusi para Tetua? Jadi kuputuskan untuk mengurusi apa yang bisa kuurus—Klan Nero. Aku menyerahkan diri ke sana dengan sumpah sekutu, menjadi seorang penjilat demi menarik kepercayaan mereka. Kutemukan medan magis penyegel jiwa Lilis, kubuat rencana lebih sejak saat itu. Ah, Lilis juga sudah kubebaskan tepat sebelum kuruntuhkan markas Klan Nero biar tubuh mereka yang kuracuni kutukan lima tahun benar-benar remuk. Lilis masih bisa hidup, kok, meski tanpa raga, jangan lupa untuk segel dia di sebuah kristal magis.”
“Sungguh, bertahanlah, Rilith! Aku akan mengeluarkanmu dari reruntuhan, dan kubawa kau pulang ke Klan Licht! Kau harus membantu kudetaku, sialan!” Dapat kurasakan gerakan-gerakan—benda berat yang menindihku sesak dari pinggang ke bawah rupanya adalah reruntuhan. Dan tanpa magisnya yang masih lelah, si keras kepala Erabela berusaha membongkarnya bertangan kosong.
“Dasar, percuma saja,” bisikku parau—tubuhku semakin lemas, pertanda magisku benar-benar menipis. “Sebentar lagi aku bakal mati, tahu.”
“Rilith! Kumohon!” Buliran air yang hangat terasa menetes di lenganku. Ah, Erabela akhirnya juga bisa menangis selain karena kematian adikku, ya?
“Terima kasih sudah mau jadi sahabatku, Erabela. Jaga Lilis, ya. Jangan lupa kata-kata titipanku buat para Tetua sialan yang detik ini sedang sok sibuk di meja.”
“Kata-katamu masih bisa sepanjang itu, sialan! Kau pasti bisa bertahan, Rilith!” sela Erabela sengau, “Maaf, maaf, maaf, maaf, maaf, maafkan aku, maafkan aku! Tolong, kumohon, Rilith! Kau sahabatku, bukan, Rilith? Untuk terakhir kali saja, kumohon! Jangan … jangan hukum aku dengan kematianmu…..”
Ah.
Akhirnya, dia menyebutku sahabatnya lagi.
Akhirnya, dia memelukku dengan erat lagi.
Akhirnya, dia menangisiku setelah terlambat dari harapan lima tahun laluku.
Akhirnya, dia bisa juga memohon padaku.
Dengan begini …
…aku tidak punya penyesalan apa-apa lagi, bukan?
“Untuk yang sungguhan kali ini … selamat tinggal, sahabat terbaikku, Erabela.”
Tamat
•
[] Gempita Shastra []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro