[] The Cinnamon • 2
The Cinnamon
Oleh Gracia_Tinkerbell
•
[] Thriller - Romance []
A&B’s Café sebenarnya bukan tempat yang bagus untuk kencan pertama yang seharusnya terasa romantis. Kafe ini dibuka tujuh tahun yang lalu di tepi kota. Bangunannya tidak serumit kafe-kafe lain dengan bangunan besar dan palang berkerlap-kerlip. Hanya ada palang berwarna kuning bertuliskan nama kafe, serta beberapa pasang meja dan bangku di bangunan kecil ini.
Yah … meski terkesan begitu aneh, kurasa itu pilihan yang cukup tepat. Kafe ini tidak seramai kafe-kafe lain yang terletak di pusat kota. Pengunjungnya hanya sedikit dan kurasa itu wajar. Tempat ini sama sekali bukan tempat yang bagus untuk berkencan atau sekadar mengerjakan tugas. Pendar lampu berwarna kuning remang-remang yang digunakan untuk menerangi interior kafe ini sedikit menyakitkan bagi mata. Lagi pula, siapa juga yang mau jauh-jauh untuk mendatangi kafe di sudut kota seperti A&B’s Café? Ada banyak kafe yang lebih bagus daripada kafe butut itu.
“Memangnya kenapa? A&B’s tak seburuk itu, bukan?” Lorra menaikkan alis setelah mendengar pertanyaanku tentang alasannya memilih A&B’s Café sebagai tempat makan malam kami berdua.
Aku mengangkat bahu. “Memang tidak, tapi jujur saja, jika dibandingkan kafe lain di kota metropolitan seperti London, A&B’s adalah yang terburuk. Aku hanya penasaran karena tidak biasanya seorang wanita sepertimu memilih tempat seperti ini sebagai tempat … berkencannya,” tuturku. Aku memiringkan kepala saat mengucapkan kata terakhir itu. Kami berdua memang tidak pernah menyepakati acara makan malam berdua ini sebagai kencan. Tapi, apa lagi sebutan yang cocok selain kata itu?
“Jika kukatakan alasannya adalah karena aku tak suka keramaian, apa menurutmu itu wajar?”
Aku memasukkan sepotong kecil roti ke mulutku. Untuk beberapa saat, pertanyaan Lorra menggantung di langit-langit kafe sementara aku melumat roti panggang dengan lelehan mozarela dalam mulutku. “Tentu," ucapku setelah menelan potongan roti panggang. “Mengapa tidak? Kadang-kadang, aku juga tidak suka keramaian. Kita justru seringkali merasa terasing dalam keramaian, bukan?"
“Aku setuju,” ucap Lorra sambil mengangguk. Ia kemudian menyuapkan potongan pastry ke mulutnya. Beberapa serpihan bubuk kayu manis berjatuhan dari makanan tersebut, sedikit mengotori celana jinnya. Kurasa, aku tahu sekarang dari mana aroma kayu manis yang dimiliki oleh gadis itu berasal. Ia pasti terlalu banyak memakan pastry dengan taburan kayu manis. Aroma makanan itu turut dicerna oleh tubuhnya. Tapi, entah mengapa, aku merasa aroma itu bukan dicerna oleh usus atau lambungnya. Ada organ lain yang mencerna aroma kayu manis tersebut. Aku tidak tahu apa, yang pasti bukan usus atau lambung. Aku yakin soal yang terakhir itu.
“Mungkinkah karena itu juga kau tidak terlalu banyak bicara, Nona Eilish?” tanyaku mengalihkan pembicaraan, tepat beberapa saat sebelum Lorra barangkali bisa menyadari bahwa aku tengah menatapnya lekat-lekat.
“Kurasa ya. Mungkin karena itu atau mungkin karena aku memang seperti ini sejak lahir. Apa kau tidak suka pada gadis pendiam sepertiku, Ezra?”
Aku diam beberapa saat. Lorra juga terdiam, barangkali berusaha menafsirkan apa maksud dari bungkamku. Tanpa memberitahu terlebih dahulu, aku kemudian bangkit berdiri, lalu melangkah tanpa ragu menghampiri gadis kayu manis itu. Tanpa melepaskan tatapanku pada matanya, aku kemudian membungkuk, berbisik tepat di samping telinga kecil gadis itu. “Tidak. Kau terlalu sempurna untuk tidak disukai, Nona Eilish. Dan, sifat—atau mungkin sikap—pendiammu menambah kesempurnaan itu.”
Lorra tersenyum lebar, bibirnya bahkan hampir hendak menyentuh kedua ujung telinganya. Rona merah yang sejak tadi pagi berusaha ia sembunyikan, kini dengan nyata muncul di pipinya, lalu menyebar ke seluruh wajah kuning langsatnya. Ia kemudian menoleh ke arahku, membuat wajah kami hanya berjarak beberapa senti. Mata cokelat tuanya bertukar tatap dengan mata biru berlianku, lantas saling berbicara. Tiba-tiba saja aku tahu di mana semua aroma kayu manis dari pastry yang selama ini dimakan Lorra dicerna oleh tubuhnya.
***
“Kurasa itu cukup mengherankan," gumamku tiba-tiba. Lorra menoleh. Gadis kayu manis itu memiringkan kepala dengan ekspresi heran, menunggu-nunggu kelanjutan ucapanku. Kami baru saja meninggalkan A&B’s Café. Setelah sekitar lima menit aku membujuknya untuk pulang bersamaku, Lorra akhirnya bersedia. Aku menghentikan mobilku, lalu merapatkan mantel musim dingin pada tubuhku. “Kau bilang, kau orang yang pendiam. Aku juga bisa melihat hal itu selama satu tahun kau berada di ruangan yang hanya berisi manusia dan seperangkat komputer itu.”
Lorra tertawa kecil. Barangkali karena aku menyebutnya pendiam. Mungkin juga karena aku menyebut ruangan besar tempat kami bekerja sebagai “ruangan yang hanya berisi manusia dan seperangkat komputer”.
Aku kembali melanjutkan ucapanku, mengabaikan tawa Lorra. “Tapi, malam ini, aku merasa kau sedikit berbeda. Kau juga mau menerima ajakanku makan malam. Kurasa, seharusnya tidak begitu, bukan?”
Lorra meredakan tawanya. Ia kemudian mengangguk-angguk, seolah mengajak seluruh tubuhnya untuk menyetujui ucapanku. “Ya. Kurasa juga harusnya tidak begini. Kau tahu, Ezra? Sejak kuliah, ada banyak pria yang mendekatiku dan selalu mengajakku makan malam. Bukan hanya sekali, mungkin ada yang sampai sepuluh kali. Tapi, aku selalu menolak ajakan mereka.”
Aku memiringkan kepala, hampir-hampir merebahkannya di setir mobil. Sudah kuduga, gadis secantik Lorra tentu saja telah berulang kali menjadi sasaran para pria. Dan, sifat pendiamnya justru membuat semua laki-laki yang mendekatinya semakin penasaran. Kurasa, itu sifat alami putra-putra Adam. Hanya saja, aku diberikan porsi yang lebih pun lebih banyak kemampuan untuk mengungkap jawaban atas rasa penasaran itu.
Membiarkan kalimatnya menggantung sejenak, Lorra menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya yang telah dibungkus oleh sarung tangan, kemudian meniup-niupnya. Cepat-cepat, aku menurunkan suhu pendingin mobil. Suhu malam ini memang sangat dingin. Padahal, musim dingin di Inggris baru saja dimulai seminggu lalu.
“Terima kasih,” ucap Lorra.
“Sama-sama. Lalu, mengapa kau tidak menolak ajakanku?” Aku kembali bertanya.
Lorra diam sejenak, menatap mata biruku lekat-lekat. “Karena kau berbeda, Ezra.” Gadis itu berucap sepelan angin. Kalimatnya dengan mulus sampai ke telingaku, ditangkap, kemudian diproses oleh otakku. Kalimat yang lebih dari perlu untuk kudengar.
Kami berdua senyap sesaat, membiarkan suara mesin mobil dan kesunyian menjadi raja di antara kami berdua. Di tengah salju yang mulai berguguran perlahan, aku bisa mendengar suara detak jantung Lorra beradu bersama suara mesin mobil. Kami dihipnotis oleh kesunyian. Wajah kami makin mendekat hingga tak ada lagi jarak antara kami berdua. Bibirku berulang kali menyesap bibirnya. Rasanya manis seperti cokelat. Ah, bukan, bukan! Rasanya … seperti kayu manis. Momen itu semakin liar ketika aku menyibakkan mantelnya sedikit, kemudian menyesap bahunya. Aroma kayu manis gadis itu makin tercium jelas, merebak ke hidungku. Hingga akhirnya, aku merasakan tubuh Lorra kian melemah, sebelum kemudian rebah lantas ditangkap oleh sandaran jok mobil. Matanya terpejam rapat. Napasnya yang tadi kurasakan memburu di depan hidung dan tengkukku kini mulai tenang.
Aku mengambil ponsel, kemudian menelepon seseorang. Dua kali nada sambung. “Kau tidak perlu bersembunyi lagi sekarang. Efeknya sudah bekerja. Dia sudah terlelap,” ucapku pada orang di ujung telepon sana. Orang itu tak menjawab. Barangkali ia hanya mengangguk, seperti tak sadar bahwa anggukannya tak bisa kulihat melalui sambungan telepon. Aku mematikan sambungan telepon. Sambil mengeratkan mantel musim dingin, aku mengenakan sarung tangan lalu membuka pintu mobil. Aku melangkah pelan, membuka pintu mobil di samping tempat duduk Lorra. Dengan penuh kehati-hatian, aku mengangkat tubuh gadis itu, lalu menutup pintu mobil dengan bahu. Bahkan ketika terlelap pun gadis itu masih benar-benar cantik. Sayang sekali aku harus melakukan ini padanya.
Aku melangkah hati-hati di atas salju yang licin. Kami masih berada di sudut kota. Tidak ada satu pun rumah di sekitar tempat itu. Hanya ada deretan pohon-pohon pinus dengan daun-daunnya yang tertutup salju tebal. Aku menggendong Lorra beberapa langkah jauhnya memasuki hutan pinus, sambil sesekali menoleh untuk memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang mengikutiku.
“Satu apel busuk akan merusak satu tong penuh.”
Aku setengah terkejut mendengar suara itu. Tubuhku dengan sigap berbalik, setengah meloncat ke belakang, lalu memasang sikap waspada. “Ah, kau rupanya, Ben!” seruku setengah kesal begitu mendapati Benjamin yang tengah mengisap sepuntung rokok sambil bersandar di pohon di belakangku. “Mengapa kau tidak bisa sekali saja tidak mengejutkanku?”
Benjamin tertawa kecil, tidak menjawab pertanyaanku. Ia mengepulkan asap rokoknya, bercampur dengan uap dingin dari salju. Pria dengan mantel bulu berwarna cokelat itu melangkah mendekatiku yang tengah meletakkan tubuh Lorra di antara tanah yang ditutupi salju. “Itu peribahasa yang cocok untukmu. Bukan begitu, Ezra? Karena seorang Jennifer Baldwin, belasan gadis habis di tanganmu—“
“Benjamin!” Aku berseru, memotong ucapan sahabatku itu. Kepalaku menggeleng tegas, memintanya berhenti. “Jangan sebut nama gadis jalang itu! Aku bahkan tidak sudi menyebutnya sebagai mantan kekasihku. Dia terlalu menjijikkan,” ucapku sambil mengepalkan tangan geram.
Aku memejamkan mata. Wajah gadis berkulit sawo matang itu seperti melintas di kepalaku. Rambut keritingnya yang hitam dan matanya yang menggoda. Sungguh bodoh diriku dulu! Bisa-bisanya aku mempercayai gadis itu, bahkan mengorbankan semua yang kumiliki hanya untuknya, hanya untuk mendapati bahwa pada akhirnya semua pengorbananku tidak cukup untuk membuatnya setia, untuk membuatnya bertahan bersamaku.
“Gadis sialan itu … dia sudah menari-nari di neraka saat ini,” sambungku setengah berbisik. Aku kemudian menghela napas berat. Tidak ada gunanya membicarakan gadis sialan yang sudah lama mati itu. Lebih baik aku segera menyelesaikan pekerjaanku dan pergi dari sini. Aku berjongkok di samping tubuh Lorra sembari mengeluarkan sebuah belati dari balik mantelku. “Jadi, kau mau membantuku atau mau diam saja di situ?”
Benjamin ikut berjongkok di sampingku, memandangi tubuh Lorra dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ia seperti berusaha melihat kemudian menghafal setiap detail yang ada pada tubuh gadis itu. “Dia sangat cantik,” gumamnya. Benjamin kemudian menatapku dengan ekspresi yang sulit kuartikan. “Kau sungguh-sungguh ingin menghabisinya, Ezra? Dia gadis yang baik, tidak seperti gadis-gadis yang selama ini kau kenal. Mungkin dia bisa mengubahmu.”
“Sayangnya, aku tidak ingin berubah, Ben,” sahutku. Aku diam sejenak, membiarkan kalimatku terbawa oleh angin, lalu tersangkut di antara dedaunan pohon-pohon pinus seperti bola warna-warni yang bergantung di pohon Natal. Benjamin tetap diam. Ia seperti tahu bahwa kalimatku belum selesai. Aku menghela napas. Lidahku dengan berat kembali menyambung kalimatku, “Aku membunuhnya justru karena aku tahu bahwa Lorra adalah gadis baik yang bisa mengubahku, Ben. Aku tidak ingin berubah.” Aku berhenti lagi, lalu membelai rambut Lorra.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Kata orang, ketika kita tertidur, satu-satunya indera yang tetap aktif adalah telinga. Suara-suara yang didengarkan oleh telinga kita saat tertidur—jika tidak membangunkan kita—akan merasuk ke dalam mimpi, lalu menjadi bagian dari mimpi itu. Aku mendekatkan bibirku di samping telinga Lorra. “Maafkan aku. Aku membenci wanita lain, hanya kau yang tidak. Aku melakukan ini karena aku mencintaimu,” bisikku lalu mengecup bibirnya singkat. Kuharap, suaraku cukup mampu menembus alam bawah sadar gadis kayu manis itu, menjadi bagian dari mimpinya bersama diriku sekaligus.
Aku menegakkan tubuh, memandang lekat-lekat belati dalam genggamanku, hampir tak berkedip sama sekali. Tanganku terasa berat sekali ketika berusaha mengangkat benda itu. Seperti ada ribuan ton besi yang menindih lenganku. Memoriku kembali terlempar pada ingatan delapan tahun lalu, di hari pertama aku melakukan ini. Hari itu, tanganku bergetar oleh rasa takut dan marah. Akan tetapi, di lain sisi, aku juga merasa puas. Ada kembang api yang meletup-letup di dadaku saat belatiku menembus kulit halus Jennifer. Lolongan gadis itu seperti mengikis habis perasaan di dalam diriku. Aku tidak tahu harus menyebutnya apa. Mungkin rasa cinta, mungkin juga rasa kemanusiaan. Darahnya menyembur ke tanganku, melumuri kaus oblong yang tengah kukenakan. Tapi, aku tak jua berhenti. Teriakan bahkan tangisan Jennifer semakin membuat jantungku berdebar. Hingga akhirnya, suara itu berhenti. Malam itu, tepat satu malam sebelum musim panas berakhir dan berganti dengan musim gugur, aku telah menghabisi Jennifer. Ia mati, sementara aku membawa kulit eksotisnya yang berharga, yang telah membuatku dibutakan oleh cinta.
Tapi, malam itu aku bukan hanya membalaskan dendam. Malam itu, aku juga mendapatkan cinta yang baru. Candu yang baru, yang lebih memikat. Sejak pembunuhan Jennifer yang kulakukan malam itu, aku selalu mengencani gadis-gadis dan membunuh mereka setelah makan malam pertama kami. Aku suka mendengar teriakan mereka, lolongan mereka. Gadis-gadis itu terlihat sejuta kali lebih cantik dengan darah melumuri pakaian mereka. Aku tidak pernah membunuh mangsaku begitu saja. Secara perlahan, aku akan menyiksa mereka, membiarkan jeritan mereka memenuhi kepalaku hingga mereka menyerah sendiri pada maut. Ya, aku tidak pernah membiarkan mereka mati dengan mudah. Tidak pernah, kecuali Lorra. Aku tidak tahu harus menyebut perasaan ini sebagai apa. Apakah monster ini telah kembali jatuh cinta? Aku bahkan tidak ingin membunuhnya sama sekali. Tetapi, jika dia terus hidup, itu juga tidak akan baik untukku maupun untuknya.
Lebih baik bagi kami berdua jika ia mati.
Aku mengangkat belatiku lebih tinggi, mengarahkan benda itu tepat ke dada kiri Lorra. Sekarang atau tidak selamanya! Secepat salju yang turun dari langit ke bumi, aku menancapkan belati itu menembus dada kiri Lorra, menghancurkan tulang rusuknya dan dengan segera juga menghancurkan pusat dari kehidupannya. Jantungnya. Benjamin sedikit meloncat ke belakang, menghindari darah yang terciprat. Darah berwarna merah gelap tersebut turut melumuri salju di sekitar kami. Sementara itu, Lorra tak berkutik. Untuk sesaat, ia seperti telah kehilangan napasnya. Dadanya berhenti naik dan turun, tapi aku tahu ia belum mati.
Satu ….
Dua ….
Lorra tiba-tiba membuka mulutnya, sesaat sebelum aku sampai pada hitungan ketiga, disusul oleh dadanya yang kembali bergerak naik-turun dengan tempo tak beraturan. Asap tipis muncul di depan mulutnya yang terbuka saat ia berusaha mendapatkan lebih banyak asupan oksigen untuk paru-parunya. Tubuh gadis itu gemetar, sementara aku menatapnya dengan tatapan datar.
Aku tidak mengada-ada. Aku sungguh-sungguh tidak mengerti apa yang kurasakan. Setengah hatiku merasakan kehilangan yang dalam. Rasanya lebih sakit daripada yang dulu, saat aku mengetahui Jennifer mengkhianatiku. Akan tetapi, di lain sisi, setengah hatiku yang lain merasakan kepuasan yang janggal. Ada kembang api yang menyala-nyala dalam dadaku, kesenangan yang meletup-letup seperti api. Aku seperti seekor tikus yang dengan bodoh menunggu-nunggu akhir dari pertengkaran dua ekor kucing, melihat mana di antara mereka berdua yang akan menang lalu membawa serta memakanku.
Tapi, aku memang bukan lagi manusia. Sejak malam itu, aku memang bukan lagi manusia sehingga rasa bersalah maupun rasa kehilangan tidak akan pernah menang dalam setiap pergolakan batinku. Aku mengangkat belatiku sekali lagi, membawa ingatanku terlempar ke masa lalu, saat usiaku lima tahun dan ibuku membunuh kakakku dengan menusuk jantungnya. Ya, aku ingat, wanita itu menjelma menjadi iblis yang bertubi-tubi menusukkan pisau dapur tepat di jantung kakakku. Ia melakukan persis seperti yang sekarang ini kulakukan pada Lorra yang tidak berdosa sama sekali, sama seperti kakakku yang juga tidak berdosa sama sekali.
Entah yang mana yang merupakan penyebab dendamku. Jennifer atau ibuku. Aku tidak tahu. Yang kutahu, mereka berdua sama-sama bisa menjelma menjadi iblis (mekipun ibu lebih mirip dengan iblis dibanding Jennifer). Dan, malam ini, aku menyadari bahwa aku tidak hanya berhenti menjadi manusia, tetapi juga menjelma menjadi iblis seperti mereka berdua.
Aku menghentikan tanganku, berhenti menusuk dada Lorra. Gadis itu berhenti bergerak. Napasnya telah putus sejak tadi. Aku menutup mata. Bau anyir darah merebak di hidungku saat aku berusaha mengatur napasku yang terengah-engah setelah meremukkan jantung Lorra. Bau anyir itu bercampur dengan bau dari dedaunan pohon pinus dan secercah aroma kayu manis yang masih tersisa pada tubuh kaku Lorra.
“Kau tidak ingin mengulitinya?” tanya Benjamin tiba-tiba. Aku baru sadar bahwa Benjamin masih di sana. Sahabatku itu sedari tadi berjongkok tepat di sampingku sambil menonton aksi gila yang baru saja kulakukan. Puntung rokoknya sudah habis sama sekali. “Kau bilang, kau suka pada aroma kayu manis dari tubuh Lorra, bukan? Aroma kayu manis itu pasti berasal dari kulitnya. Dan, bukankah itu sudah menjadi kebiasaanmu untuk menguliti korbanmu? Jennifer, Fransisca, Grace, Lovely, Ellen—“
“Dia terlalu istimewa untuk diperlakukan sama seperti mereka, Benjamin,” potongku, mencegah Benjamin menyebut nama-nama mantan sekaligus para korbanku. Aku kemudian menatap tubuh yang terbaring di hadapanku sekali lagi.“Lagi pula, aroma kayu manis itu juga tidak berasal dari kulitnya.”
Benjamin mengernyit heran. “Lalu, di mana?”
“Di matanya,” jawabku.
Dengan penuh hati-hati, aku membuka paksa kelopak mata kanan Lorra yang telah sungguh-sungguh terpejam rapat. Matanya yang indah bertatapan dengan mataku. Manusia lain mungkin akan menafsirkannya sebagai tatapan penuh amarah pada orang yang telah mengambil nyawanya. Namun, bagiku, tatapan itu bukanlah tatapan amarah. Tatapan itu adalah tatapan berterima kasih pada seseorang yang telah membebaskan jiwanya. Tanpa ragu lagi, aku menancapkan belati di tanganku pada bagian bawah bola mata Lorra. Benda bulat itu setengah meloncat ke luar dari kelopak yang selama ini telah mengurungnya. Setelah melakukan hal yang sama pada mata kiri Lorra, aku segera bangkit berdiri, bergegas meninggalkan tempat itu.
Aku berhenti setelah beberapa langkah berjalan, lalu berbalik memandang Benjamin yang masih terpaku di samping tubuh Lorra dengan mulut menganga. “Kau mau ikut aku pulang atau duduk saja di situ sampai pagi?” tanyaku.
“Kau tidak ingin menguburnya?” Benjamin justru bertanya balik, matanya bolak-balik menatapku dan tubuh Lorra.
“Tidak usah. Salju akan segera turun. Alam sendiri yang akan mengubur jasad manusia berhati malaikat sepertinya. Dan, kau. Jika kau tidak pulang sekarang, salju akan menguburmu juga. Kau mau?”
“Tentu saja tidak!” Benjamin bangkit berdiri, lalu segera berlari menghampiriku. Aku tertawa kecil melihat tingkahnya. Pria dengan mantel bulu berwarna cokelat itu beberapa kali hampir terjatuh di atas salju yang mulai menebal.
Aku kemudian berbalik, kembali melanjutkan langkahku menuju mobil. Baju yang aku dan Benjamin kenakan benar-benar sudah berlumuran darah Lorra. Kami harus segera membakar barang-barang ini untuk menghilangkan barang bukti, sementara tubuh Lorra, kurasa salju yang akan segera turun harusnya bisa menghilangkan jejak kami berdua. Salju juga akan menghapus jejak puntung rokok yang dibuang oleh Benjamin tadi. Aku memandangi kedua bola mata Lorra yang ada dalam genggamanku. Sesuai dugaanku, benda itu terasa sedikit kenyal. Seseorang harus sangat berhati-hati saat menggenggamnya agar benda itu tidak hancur.
Mata yang jernih itu. Mata yang mencerna dan menghasilkan aroma kayu manis sebagai pewangi alami bagi tubuh Lorra. Mata itu kini menjadi milikku dan akan segera menjadi aksesoris terbaik bagi kamarku. Tepat saat langkahku tiba di samping mobil, aku berbalik, kembali menghadap deretan pohon pinus yang menyembunyikan tubuh Lorra. Dia tidak butuh mata ini. Jika surga itu memang ada, maka Lorra akan sampai di sana. Dan, sesampainya ia di surga, mata ini tidak lagi dibutuhkannya. Akulah yang membutuhkannya. Mata gadis kayu manis bukan hanya sekadar menjadi aksesoris bagiku, tapi penuntun ke mana suatu hari nanti aku harus pergi. Menyusul ibuku dan Jennifer ke neraka.
Tamat
•
[] Gempita Shastra []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro