Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[] The Cinnamon • 1

The Cinnamon
Oleh Gracia_Tinkerbell

[] Thriller - Romance []

Gadis itu tak banyak bicara.

Itu yang dapat kusimpulkan sejak perjumpaan pertama dengannya setahun yang lalu. Gadis yang kumaksud adalah Lorra. Gadis muda dengan rambut hitam panjang sebahu dan mata cokelat tua yang indah.

Di ruangan kantor yang hanya berisi manusia, perangkat komputer, setumpuk ATK, dan sebuah mesin cetak ini, dialah satu-satunya yang menjadi pembeda. Ya, hanya dia dan aroma kayu manis yang selalu tercium dari tubuhnya setiap kali ia melintas.

PLOK!

Seseorang menepuk tangannya tepat di depan wajahku, membawaku keluar dari lamunan. Jantungku seperti mau putus saat itu juga. “Astaga, Ben!” Aku berseru tertahan sambil mengelus dada begitu melihat siapa yang menjahiliku. “Kau hampir saja membunuhku!”

Benjamin tertawa seraya setengah mendudukkan pantatnya di atas meja kerjaku. Sambil meringis ngeri, aku segera menggeser cangkir kopiku. Tidak bisa kubayangkan kalau benda itu sampai tersenggol oleh Benjamin, lalu tertumpah ke komputer. Bisa-bisa aku dipecat karena dituduh merusak barang milik perusahaan.

“Habisnya, kulihat kau terus melamun dari tadi. Apa yang kau lihat? Hah?” ucap Benjamin.

Aku menggeleng sambil berdecak. “Kau mengarang. Aku tidak melamun. Aku sedang memikirkan pekerjaanku,” jawabku sambil berpura-pura menghidupkan komputer yang mati akibat terlalu lama kudiamkan.

“Kau yang berbohong, Ezra.” Benjamin kemudian menoleh, memandang lamat-lamat ke arah Lorra yang tengah serius mengetik di mejanya. “Gadis itu,” tunjuknya, “kau sedang memperhatikan dia, bukan? Siapa namanya?”

"Lorra.” Aku mendengus malas. Ah, sial! Sejak dulu, aku dan Benjamin memang tidak pernah bisa saling membohongi. Aku dan pria itu seperti berbagi tubuh dan pikiran yang sama. Apa yang aku pikirkan seolah juga dipikirkan oleh Benjamin, begitu pun sebaliknya.

Aku dan Benjamin bertemu sepuluh tahun yang lalu di kampus. Kami berada di jurusan yang sama. Dan, entah bagaimana caranya, kami berubah menjadi teman dekat. Kata orang, kami mirip seperti amplop dan perangko. Di mana ada Ezra, di situ pula ada Benjamin. Kemudian, seolah belum cukup kami ditakdirkan sebagai sahabat selama empat tahun di bangku kuliah, aku dan Benjamin juga diterima di perusahaan yang sama. Meja kerja kami bahkan berdekatan, seolah semesta pun bahkan sepakat bahwa Ezra dan Benjamin tidak boleh sampai terpisah. Sepuluh tahun persahabatan kami itulah yang kini membuat kami seperti saling bisa membaca pikiran satu sama lain. Tak terkecuali tentang hubungan asmara.

“Kau suka padanya, ya?” tebak Benjamin tiba-tiba. Aku membulatkan mata. Tebakan itu terlalu jauh. Jujur saja. Satu tahun memperhatikan Lorra dari kejauhan, aku tidak pernah memikirkan perasaan yang satu itu. “Ayolah, Ezra! Kalau kau memang menyukainya, lebih baik utarakan saja! Lihat dirimu!” Benjamin menunjukku. “Kau tampan, cerdas, karirmu juga sudah mapan. Yah …. Meskipun kau hanya jadi pegawai perusahaan, bukan jadi pemilik, seperti mimpi-mimpi besarmu dulu,” sambungnya.

Aku membuka-tutup bolpoinku berulang kali sambil menatap lekat-lekat punggung gadis itu yang tertutup oleh rambut panjangnya. “Menurutmu, dia akan menerimaku?” Aku bertanya separuh menggumam.

“Tentu saja! Siapa yang bisa menolak pesona seorang Ezra? Tapi, kurasa, gadis itu hanya akan berakhir sama seperti semua gadis yang pernah jatuh ke pelukanmu sebelumnya,” jawab Benjamin sambil tersenyum miring. Aku tertawa kecil mendengar gurauannya. Tentang yang satu itu, aku sejujurnya belum memikirkannya sama sekali. Biar waktu yang menjawabnya, apakah Lorra akan berakhir seperti gadis-gadis yang pernah jatuh ke pelukanku atau bernasib sedikit lebih baik?

Aku kembali memperhatikan perempuan beraroma kayu manis tersebut. Angin yang berembus melalui jendela kantor membelai tengkuknya, membawa sejumput aroma kayu manis sampai ke hidungku. Di antara ruangan yang sumpek oleh perangkat komputer dan manusia ini, dia dan aroma kayu manisnyalah yang menjadi pembeda.

***

Kalimat-kalimat yang Benjamin ucapkan—terutama tentang asmara selalu sukses mengganggu tidur malamku. Semalaman kemarin aku hanya mematung di atas tempat tidur sambil memandangi pernak-pernik kecil yang kukoleksi dari gadis-gadis yang pernah jatuh ke pelukanku. Aku tidak tahu apakah Lorra akan jadi salah satu di antara mereka atau tidak.

Aku menguap sekali lagi. Entah sudah berapa kali aku melakukan kegiatan itu. Barangkali, mataku sekarang sudah memerah karena terlalu sering menguap.

Sepertinya, aku akan membutuhkan lebih banyak kopi hari ini. Sambil menenteng cangkir keramik kesayanganku, aku melangkah menuju dapur kantor, kemudian membuka lemari, mencari bungkus kopi bubuk yang biasanya diletakkan di sana. Dengan lincah, tanganku menggunting bungkus dari plastik tersebut, lalu menuangkan isinya ke cangkir. Namun, saat hendak mengambil air panas dari dispenser, cangkir putihku tanpa sengaja bertabrakan dengan gelas lain, membuat suara berdenting yang cukup keras.

“Maaf,” ucap pemilik cangkir merah muda itu.

Aku tersenyum kecil mendengar suaranya yang lembut, seperti membelai telingaku. “Tidak apa-apa, Nona. Aku juga minta maaf. Kalau Nona ingin menggunakan dispenser, silakan. Aku bisa memakai belakangan,” ucapku sambil menarik cangkir dari dispenser.

Gadis dengan kemeja putih dan rok selutut berwarna hitam tersebut tersenyum kecil. “Terima kasih,” ucapnya pelan sambil meletakkan cangkirnya di dispenser, menyeduh bubuk cokelatnya. Saking pelannya, aku hampir-hampir tidak bisa mendengar suara gadis itu dengan jelas. Untunglah angin mengantarkan bisikan gadis tersebut, lalu dengan mulus ditangkap oleh kedua daun telingaku.

Aku mengangguk. “Sama-sama. Omong-omong, namaku Ezra. Ezra Abighail Smith.” Aku mengulurkan tangan, mengajak gadis itu berkenalan, seakan-akan aku memang belum pernah melihat gadis bermata sipit itu sebelumnya. Tidak di kehidupan ini, tidak juga di kehidupan yang lalu—jika kehidupan yang lalu itu memang ada. Untuk beberapa saat, tanganku menggelantung di udara, menanti dibalas. Bagi laki-laki lain, jika mereka berada di posisiku, mereka akan dengan sadar menarik tangan mereka sendiri. Namun, tidak bagiku. Aku terlalu yakin pada diriku sendiri. Ibuku telah memberiku sebuah nama dan namaku adalah mantra yang tak bisa ditolak oleh siapa pun. Aku mulai berhitung.

Satu ….
Dua ….
Tanpa menurunkan lengkungan yang manis menghiasi wajahnya, gadis itu kemudian mematikan dispenser, menyambut uluran tanganku, tepat sebelum hitunganku jatuh di angka tiga. Aroma kayu manis merebak dari tubuhnya saat ia berbalik, lebih harum dan candu daripada aroma kopi bubuk yang belum diseduh di dalam cangkirku. “Namaku Lorraina Giovanni Eilish. Tuan bisa memanggilku Lorra.”

“Lorra,” aku mengulang nama itu, “itu nama yang bagus.”

Lorra tersenyum lebar hingga menampilkan gigi putihnya yang berbaris rapi. Ia kemudian menggeleng mendengar pujianku. “Tuan bisa saja. Nama Tuan juga bagus. Aku jarang bertemu dengan orang yang menggunakan nama Ezra.”

Aku ikut tertawa sembari menggeleng. Kalimat bernada tenang itu jelas membuktikan bahwa Lorra adalah gadis yang cerdas mengendalikan emosinya. Dia ternyata memang berbeda, tidak sama dengan semua gadis yang kukenal selama ini.

Sepertinya diperlukan sedikit lebih banyak usaha untuk menaklukkan hati perempuan beraroma kayu manis ini. “Oh, ya! Omong-omong, jangan panggil aku dengan sebutan ‘Tuan’. Panggil saja dengan namaku. Aku tidak terlihat setua itu, bukan?”

Lorra mengangguk sambil menahan tawa mendengar gurauanku. “Tentu. Tapi, kalau begitu, kau juga harus berhenti memanggilku ‘Nona’. Aku tidak terlihat seperti majikanmu, bukan?” selorohnya membalas ucapanku.

Aku mengangguk pelan. “Ya, tentu saja, tapi bagiku, kau terlihat seperti seorang putri yang baru keluar dari negeri dongeng. Aku penasaran, apa boleh aku memanggilmu ‘Tuan Putri’?” tanyaku sambil menelengkan kepala.

“Jangan memujiku seperti itu. Mana ada seorang putri yang mengenakan kemeja putih, celana hitam selutut, mantel musim dingin sederhana, dan duduk di balik meja komputer sepanjang hari?” sahut Lorra sambil tertawa miring, melambaikan tangan di depan wajah.

Aku bungkam menyaksikan wajah gadis itu yang justru kian bertambah manis saat ia tertawa. Itu pengendalian emosi yang cukup bagus dan aku sungguh-sungguh terkesan. Aku bisa melihat gadis itu bersusah payah menahan rona merah di pipinya sedari tadi, berusaha menyembunyikan wajah malu-malunya agar tak muncul ke permukaan. Ia sungguh berbeda dari semua gadis yang pernah kukenal. Semua gadis yang pernah kukenal akan melayang begitu mendengar pujianku, bahkan dengan pujian-pujian kecil yang biasanya kulontarkan di awal percakapan. Namun, gadis ini tak sama. Kurasa, nasib gadis kayu manis ini akan lebih baik daripada nasib semua gadis yang pernah kutaklukkan.

"Omong-omong, aku sudah selesai menggunakan dispenser. Kalau kau mau menyeduh kopimu, silakan!” Lorra membuyarkan lamunanku.

“Terima kasih,” tuturku sambil meletakkan cangkir di bawah dispenser. Uap keluar begitu air panas mengisi cangkirku. Lorra masih berada di ruangan itu, duduk di salah satu bangku plastik sambil meniup-niup cokelat panasnya. “Kurasa, kau teman yang menyenangkan. Aku jarang bertemu gadis sepertimu. Sulit dipercaya, bukan?”

Lorra mengangguk sambil tetap meniup-niup cokelat panasnya. Aroma cokelat, kopi, dan kayu manis bercampur aduk di ruangan tersebut, mampu membuat siapa pun yang singgah atau sekadar lewat di depan ruangan ini akan merasa benar-benar tenang. “Kurasa, karena setiap orang memiliki karakter mereka masing-masing. Kau juga teman yang menyenangkan. Aku jarang bertemu dengan pria sepertimu. Mereka selalu merayu. Kau sebenarnya juga merayuku, tapi rayuanmu terasa menyenangkan, tidak seperti mereka.”

Aku tertawa mendengar kalimat setengah bergurau yang Lorra lontarkan. Tentu saja. Gadis secantik dia pasti telah berkali-kali menjadi sasaran para pria. Bahkan mungkin saja, di kantor ini, bukan aku satu-satunya yang mengejar gadis kayu manis itu. Barangkali ada pria lain yang mengejarnya juga. Namun, Ezra adalah Ezra. Sepanjang hidupku, aku tak pernah mengenal penolakan. Apa yang kuinginkan harus selalu aku dapatkan, termasuk Lorra, si gadis kayu manis.

Aku menyandarkan punggung pada meja cuci, menyesap kopiku yang masih panas pelan-pelan. “Kurasa, itu artinya kita sama-sama cocok dan mungkin kita juga bisa menjadi lebih akrab. Aku penasaran, bagaimana kalau kita mengadakan makan malam berdua malam ini? Kau bebas memilih restoran atau kafe mana pun.” Aku menelengkan kepala. “Sepakat?”

“Hmmm … itu tawaran yang menarik.” Lorra mengangkat sebelah alis. Ucapannya menggantung di langit-langit ruangan. Laki-laki lain mungkin akan mengalami serangan jantung dadakan di saat-saat seperti ini, tetapi tidak denganku. Jika namaku adalah mantra, maka ajakanku bagai perintah yang harus diiyakan oleh siapa pun. Aku yakin, Lorra juga tidak akan menolak ajakanku. Gadis itu tiba-tiba bangkit berdiri. Dengan anggun, ia melangkah mendekatiku. Suara high heels-nya berirama membentur lantai keramik saat kedua kakinya bergantian melenggang. Ia seperti seekor rusa betina yang berlarian, menari-nari, menggoda seekor singa yang siap memangsanya. Namun, sayangnya, seekor singa tahu kapan ia harus menyergap mangsanya dan kapan ia harus tinggal diam. “Izinkan aku berpikir sejenak, Tuan Smith,” ucapnya tepat di depan wajahku.

Aku mengangguk sekali, pertanda mengiyakan permintaannya. Tanpa menurunkan senyum kecilnya, Lorra kemudian berbalik, meninggalkan aku seorang diri di dapur tersebut bersama cangkir kopiku.

Aku menyesap minumanku sekali lagi, membiarkan baunya bercampur dengan aroma kayu manis gadis itu yang tertinggal di ruangan. Aku menengadah, memejamkan mata. Menunggu memang tak menyenangkan, tetapi seekor singa tentu harus menunggu hingga waktu yang tepat untuk keluar dari persembunyiannya dan menyergap mangsa.

Aku menghitung detik demi detik hingga cangkirku hanya bersisa ampas berwarna hitam. Dengan gerakan bertempo lambat, aku bangkit berdiri, lalu mencuci cangkir di wastafel. Dugaanku benar. Kopi cukup banyak membantu pagi ini. Bukan hanya kantukku  yang hilang, tapi singa ini juga menemukan mangsa baru yang dalam hitungan detik akan menjadi miliknya.

Aku melangkah keluar dari dapur sambil menenteng cangkir, kembali menuju meja kerjaku. Sebelah alisku terangkat begitu melihat sehelai kertas kecil yang ditempelkan di ujung meja kerja. Kertas berwarna kuning cerah itu melambai-lambai, nyaris terlepas akibat tertiup kipas angin. Aku sudah bisa menebak siapa pengirimnya, tapi aku tidak menyangka dia akan mengirimnya secepat ini. Aku mengambil kertas kecil itu, lalu membaca isinya dalam hati.

“Ajakanmu cukup menyenangkan, Tuan Smith. Bagaimana dengan A&B’s Café? Sampai jumpa pukul delapan malam ini, Tuan Smith.”

Ujung kanan bibirku terangkat kecil membaca pesan singkat tersebut. Mataku melayang ke arah Lorra yang sudah sedari tadi kembali duduk di bangkunya. Uap panas terlihat samar-sama mengepul dari cangkir berisi cokelat di samping lengannya. Gadis itu melirik ke arahku. Senyum simpul dan rona merah muda yang mulai menyembul di pipinya seolah ingin menegaskan bahwa secarik kertas berisi pesan singkat itu memang ditulis olehnya.

Aku mengangguk singkat, mengisyaratkan bahwa aku sepakat dengan usulannya. Lorra kemudian mengalihkan pandang, kembali fokus pada layar komputer di depan wajahnya yang mulai meredup karena terlalu lama didiamkan. Aku meremas kertas kecil tersebut. Aku menarik bibirku makin lebar sambil kembali duduk di depan komputer. Permainan dimulai sekarang.

Mari berhitung!

To Be Continue

[] Gempita Shastra []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro