[] Puisi Terakhir
Puisi Terakhir
Oleh Harrizz30
•
[] Scifi - Romance []
Jendela kaca itu basah dan berembun, hujan di luar sana begitu deras, rintiknya menampar-nampar atap, jalan raya berubah licin. Gelap, suasana mencekat telak dalam kungkungan rak-rak yang menjatuhkan bayangan di lantai dingin berbalut karpet coklat. Pendar-pendar lampu baca menghisap temaram dalam lingkaran sofa bundar dekat jendela. Kebisingan hujan malam tak diindahkan, kilat petir hanyalah seperti kejut sinar bagi dua orang yang sedang duduk bersebelahan, napas mereka berembus pelan dan tenang meski salah satunya diiringi dengungan.
"Aku tidak mau yang itu, bosan," ucap seorang gadis. Suara lembutnya nyaris teredam oleh selimut yang membungkus tubuhnya sampai melebihi dagu. Melalui sibakan anak rambut, pantulan lampu menyinari matanya yang tampak berbinar.
"Kau ini mudah bosan, ya?" Sahut laki-laki di sampingnya seraya menyelipkan buku bersampul hijau di rak samping. "Jadi mau aku bacakan puisi yang mana lagi?" Tangan kanannya sibuk meraba-raba saku celana.
Gadis itu menurunkan selimutnya seraya menjatuhkan kepala ke sandaran sofa. "Terserah kau saja, Neil."
Pemuda yang dipanggil Neil itu mendadak sumringah. "Kalau begitu, kau harus medengar puisi yang satu ini, El," katanya penuh semangat seraya membuka lipatan kertas yang dia ambil dari saku celana.
"Benarkah?" Gadis itu, Elena, bergelung lagi dan menaruh kepala di pangkuan Neil secara tiba-tiba. "Ayo bacakan, aku ingin dengar!"
Neil sedikit tersentak, tapi kemudian langsung memfokuskan pikirannya lagi sesuai program. Saat suaranya yang terkesan serius itu keluar, ruangan berubah hangat dalam sekejap.
Hari-hari berjalan sendiri
Tapi tidak benar-benar sepi
Satu insan datang menemani
Meski hanya mengisi
Dia merasa dimiliki
Mereka terbang jauh tinggi
Bersama menari di atas bumi
Bukan untuk pergi
Melainkan menggengam kembali
Kebahagiaan tidak bisa berhenti
Kecil dan berarti
Dekat berada di sini
Perbedaan membatasi tapi bisa melengkapi
Ini tentang mereka yang tetap berdiri
Bergandengan sambil menguatkan diri
Neil mengembuskan napas lega, gemuruh yang tadi hinggap di dadanya mulai reda. "Jadi ... bagaimana?" tanya Neil seraya memiringkan kepala.
Ada jeda lama menggantung, menciptakan kegugupan samar pada Neil. Dia memandang gadis asuh, atau lebih tepatnya teman di hadapannya itu dengan panas di pipi. Bagaimana tidak? Wajah mungil itu kini berseri-seri, matanya mengisyaratkan sedang berpikir akan suatu makna yang mendalam, sedangkan tangan kanannya meremas selimut pelan. Neil tahu arti dari ekspresi ini, bertahun-tahun tinggal bersamanya sudah memberikan banyak hal yang cukup untuk memahami seorang Elena, gadis yang bertahan dalam segala kerapuhannya.
Elena mengangkat kepalanya dari pangkuan Neil dan duduk sila. "Puisi itu sangat tidak asing." Dia menatap Neil lekat-lekat, seolah mencari sesuatu di dalam mesin otak Neil. "Aku merasa memiliki ikatan yang kuat dengan puisi itu," akunya.
Bola mata Neil membesar seakan tak percaya. "Sungguh?" dan dia tertawa terbahak-bahak.
Alena memicingkan mata, kebingungan. Dia menyambar bantal di tepi sofa seraya berseru, "kenapa kau tertawa? Tidak ada yang lucu!" Dalam seperdetik tangannya terangkat dan bantal itu mendarat di wajah Neil yang mulus.
Serangan tadi tak memberikan pengaruh apa pun, Neil masih tertawa keras. Tawa yang sangat natural sampai dia bahkan tidak mengerti bagaimana cara melakukannya.
"Berhenti tertawa atau kulempar bantal lagi?" ancam Alena dengan pipi menggembung berusaha menahan tawa.
Neil mengibaskan tangan ke udara sambil menjawab, "silahkan saja."
Kemudian kedua tangan kurus pucat gadis itu terentang lebar dengan masing-masing kepalan mencengkeram selimut yang dihujamkan tepat ke atas Neil. "Rasakan!" pekik Elena. Suara gelak Neil langsung teredam ketika tubuhnya dibalut selimut. Semakin menjadi-menjadi, Elena berusaha memerangkap laki-laki itu sambil terkikik sementara Neil meronta-ronta. Mereka pun jatuh ke karpet lantai secara bersamaan dan berguling-guling hingga pungguh Neil menubruk salah satu rak. Kontan suara tawa pecah di tengah sekat rak-rak buku.
Elena membuka suara duluan, "oke, aku berhenti." Setitik air matanya diseka.
Neil menoleh ke samping, "itu saja?" Salah satu alisnya terangkat, menantang.
Elena tertawa kecil sebelum menjawab, "ya, apa lagi?"
"Payah," sembur Neil.
Alis Elena jadi mengkerut, cemoohan itu tidak akan diterimanya begitu saja. "Tutup mulutmu!" ucapnya sambil menoleh untuk memamerkan senyum jahil. Jemarinya terulur ke bagian pinggang Neil.
Neil yang menyadari niat Elena spontan menggeleng-geleng. "Kali ini jangan!" pekiknya tapi sudah terlambat.
Jari-jari Elena yang kurus sudah menari-nari, jurus paling ampuh yang paling dihindari Neil, yaitu menggelitiknya. Efek geli yang dirasakan Neil merupakan titik kelemahannya. Tawa dua karib ini tumpah ruah, terutama Neil hingga memenuhi langit-langit ruangan.
"Hen ..." bahkan Neil tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Engsel rahangnya terasa mengeras karena tertawa.
"Siapa yang tadi kau bilang payah, hah?" tanya Elena puas.
"Oke ... oke ... aku mengalah."
Elena baru mau berhenti melakukan aksinya saat tiba-tiba kakinya menendang rak dan buku-buku nan tebal berjatuhan menimpa tubuhnya. Kesempatan emas ini membuat gelak tawa Neil lebih menggelegar, dua kali lipat lebih keras.
Elena mengaduh, raut cemberut terpasang. "Aku tahu ini lucu, tapi jangan tertawa," katanya bersungut-sungut sambil sibuk menyingkirkan buku-buku. Di sebelahnya, Neil hanya bisa menggeleng kepala sembari membantu merapikan buku.
Di luar hujan sudah reda tanpa mereka sadari, menyisakan kilat yang menerangi sejagat raya dalam satu kerlipan. Ruang perpustakaan pribadi ini lebih sunyi sekarang, ahli warisnya sedang tidur pulas di sebelah laki-laki muda yang sudah menjadi teman sedari masa kecil. Neil tidak pernah tidur, itu bukan caranya mengisi energi. Seminggu sekali dia akan mendapat aliran energi khusus yang pada umumnya sering digunakan para robot di kota ini.
Sensasi geli yang dia dapat pun bukan tanpa alasan, Neil ingat Elena meminta ayahnya, Professor Dav untuk menambahkan fitur-fitur baru agar dia lebih mirip seperti sosok manusia secara mental. Kadang-kadang dia merasa aneh dengan perubahan-perubahan itu, terutama rasa bahagia dan sedih yang mungkin juga telah ditambahkan oleh Professor tanpa sepengetahuannya karena belakangan ini perasaan itu sering hinggap begitu saja.
Neil tersentak ketika sebuah tangan kurus mendarat di wajahnya, dia menoleh dan menyadari embusan napas Elena yang tidur terdengar menenangkan. Masih tertanam di dalam memorinya, dia paham betul alasan dirinya diciptakan pertama kali sebelum robot-robot lain muncul dan dikembangkan. Yaitu untuk menjaga Elena yang tanpa seorang Ibu sejak lahir. Terlepas dari semua hal, terkadang Neil nyaris lupa dirinya merupakan sebuah robot karena gadis itu.
Prank! Spontan Neil berdiri setelah bunyi benda pecah itu terdengar dari kejauhan. Dia memandang sekeliling, suasana kembali sunyi dan kegelapan masih melingkupi. Melalui celah di antara tirai dan jendela dia melihat semburat oranye cerah, tanda hari sudah pagi. Berkas-berkas kecil cahaya merambati sebagian rambut Elena yang bergelombang terlihat seperti keemasan.
Neil merasa ada yang tidak beres, setahunya rumah ini diisi oleh tiga orang saja, lebih tepatnya dua robot dan satu orang. Tapi robot yang satu itu sedang tidak berfungsi untuk saat ini. Kewaspadaan yang ada pada sistem Neil perlahan meningkat. Dia berniat meninggalkan Elena untuk mengecek keadaan ketika suara gesekan lembut antara selimut dan sofa itu disusul oleh bisikan seseorang yang habis bangun tidur. "Pagi, Neil," sapa Elena sembari menguap dan mengucek mata.
Neil menaruh telunjuk di bibir. "Jangan berisik."
Mendengar peringatan itu Elena langsung menyodorkan raut tanda tanya. "Kenapa?" tanyanya dengan berbisik.
"Sepertinya ada orang asing di rumah ini."
"Siapa? Perampok?"
"Itu tidak mungkin, El. Perampok tidak akan bisa masuk ke sini. Kita punya penjaga di luar."
"Lalu, siapa?"
Neil mendesah, " aku akan pergi melihat untuk menemukan jawabannya."
Alis Elena bertaut sarat tidak setuju. "Kenapa tidak para penjaga saja?"
"Aku akan memanggil mereka." Neil mengetuk Jam di tangannya yang menampilkan layar hologram. "Tapi aku juga harus ikut memeriksa," lanjutnya sambil menekan beberapa tombol panggilan keamanan pada penjaga.
Elena melempar selimut dari badannya dan berdiri, melipat tangan di dada sambil berkata mantap, "aku ikut."
Selanjutnya dia hanya berhasil pergi sejauh beberapa meter dari luar perpustakaan. Tentu saja Neil tidak akan membiarkan Elena bersamanya, semua demi keamanan. Selang beberapa menit bersandar pada tembok yang dingin, Elena tidak tahan menunggu dan memutuskan pergi ke kamarnya sendiri, nanti dia akan mengabari Neil melalui gelang komunikasi yang menempel di tangannya. Tiba di tangga berbahan kaca, seperdetik sebelum kaki Elena melangkah naik ke anak tangga pertama, telinganya menangkap suatu bunyi gerakan yang nyaris tak terdengar. Saat menoleh ke samping kanan, kilatan besi memantul dari badannya yang retak-retak. Sesosok mengerikan menerjang di udara, Elena menjerit dan jatuh telentang dengan makhluk mengerikan berada di atasnya.
"Neil!" pekik Elena.
Rupa setengah manusia setengah robot meraung-ruang ganas, mendesis dalam dengungan mesin, memandang wajah Elena dengan keji. Daya listrik kebiruan menjalar di area kepala, pipi dan hidung yang sudah terbuka. Bibi May, asisten setia rumah ini yang mendadak rusak tiga hari lalu.
Elena berusaha memberikan perlawanan, tapi robot gila di atasnya ini terlalu berat, mengakibatkan otot-otot Elena yang mulai bertonjolan saat rontaannya tidak menghasilkan pengaruh apapun. "Neil!" Dia berteriak lagi, ketakutan yang hebat sudah menyelimuti. "Tolong!" Tenaga terkuras habis kurang dari satu setengah menit, pertahanannya dari serangan si robot gila mengendur. Sekelebat harapan berputar di kepalanya, dia tahu Neil akan datang untuk menolongnya. Tapi bersamaan dengan itu, cengkeraman Elena pada tangan kiri si robot terlepas. Napas Elena mendadak tercekat ketika terbentuk kepalan tinju beberapa jengkal di atasnya dan langsung menghantam mata kirinya. Dia melolong kesakitan.
Di sela denyut-denyut hebat yang menjalar sampai ke otak, Elena merasakan beban di atas tubuhnya terangkat. Kemudian sebelah matanya yang masih normal menonton Neil beradu dengan si robot gila.
"Tenang, El. Kau akan baik-baik saja," ucap Neil di tengah pertarungan.
Seraya meringis kesakitan, Elena merangkak ke sudut terjauh demi menghindar dari ancaman maut yang sedang berlangsung. "Neil, awas!" Elena menjengit saat tinju berhasil mendarat di perut karibnya itu. Aku harus melakukan sesuatu, pikirnya. Dia mengerling ke sekitar, di mana para penjaga? Elena menggigit bibir, frustasi. Akhirnya dia tertuju pada hiasan besi berbentuk pedang yang menggantung di dinding. "Neil, tangkap ini!" Dia memegang benda itu dengan kedua tangan dan melemparnya.
"Dapat!" Seru Niel setelah tergenggam sempurna. "Dasar sialan!" Teriak Niel, amukannya berpacu dengan rasa amarah yang muncul setelah melihat wajah Elena babak belur. Dia menghunuskan benda itu dengan kekuatan penuh hingga bongkahan-bongkahan mesin dalam kepala si robot berterbaran keluar.
Elena menjerit dalam hati, dia mundur selangkah melihat kejadian ini. Apa yang sebenarnya terjadi?
Suara benturan logam beradu lantai merambat ke gelombang pendengaran Elena, dia melihat robot gila itu bertekuk lutut setelah kepalanya nyaris terbelah dua. Sekilas kenangan lama beserempetan di ingatannya. Bibi May yang dulu, bersama Neil mereka sering memasak kue di dapur, dengan sabar mengajari mereka selama berbulan-bulan hanya untuk membuat adonan kue yang pas. Menyiram tanaman dan menanam bunga matahari serta buah tomat di atap dan bernyanyi. Alunan indah yang mampu Elena keluarkan adalah hasil dari ukiran Bibi May yang pandai segala hal, robot yang sempurna. Gelembung memori pecah, ingatan Elena buyar dan dia tersadar, menatap lurus ke depan sambil terperangah. Keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat, entah bagaimana robot gila itu sudah menimpa tubuh Neil dan melancarkan serangan-serangan maut dengan gencar.
Aku telah kehilangan Bibi May, tapi aku tak akan membiarkan Neil ... aku tak boleh kehilangannya! Elena meremas pinggir bajunya geram. Dia tidak sanggup jika harus kehilangan orang terdekatnya lagi, oleh karena itu meskipun mata kirinya terasa amat nyeri hingga ke bagian belakang tengkorak, dengan gesit Elena menyambar sebuah botol sampanye hias dari etalase dan memecahkannya di atas kepala si robot. Amarah dan ketakutan yang menjadi satu berkobar di dada Elena.
Pecahan beling berhamburan seketika, perhatian si robot teralihkan, mendesis muram ke arah Elena yang terpaku di tempat. Di waktu yang sempit ini, Neil tidak menyia-nyiakan kesempatannya untuk mebebaskan diri dan melawan. Pedang besi yang berjarak beberapa beberapa jengkal dari bahunya langsung diraih. Namun, robot gila itu kembali beraksi dengan menaruh tangannya yang kotor dan pecah-pecah tepat ke leher Neil, mencoba memutarnya.
Neil memelotot, tangannya gemetar sulit dikendalikan. Tapi segenap usaha yang berusaha ia kerahkan dapat terbukti saat benda itu diangkat tinggi-tinggi, dan dalam sekali hunusan---menghujam ke kepala si robot, suara keretak mengisi kekosongan lorong saat jalinan mesin di dalamnya hancur berkeping-keping, menembus sampai leher.
Neil dan Elena menyaksikan robot itu tersentak-sentak hilang kendali yang kemudian menggelepar ke samping, seluruh bagian anggota tubuhnya seakan mau lepas belah dari engsel. Selama satu menit kejadian ini berlangsung, batin Elena tersiksa. Sedetik dia melihat robot gila, sedetik dia melihat Bibi May meronta. Di dekatnya, Neil terbungkam kehabisan kata. Ada luka di dirinya, bukan lecet akibat serangan barusan, melainkan jauh di dalam mesin yang berputar.
Setelah itu senyap, tidak ada lagi sentakan dan gerungan mesin, Bibi May benar-benar sekaku beton. Baju asistennya dipenuhi cairan kental kecokelatan yang disebut sebagai energi untuk para robot agar bisa bertahan.
"Bibi ..." lirih Elena. Dia menutup kedua wajahnya dengan tangan dan menghambur pada Neil yang sedang duduk bersandar di dinding. Memeluk laki-laki itu dengan sangat erat sambil terisak. Neil agak terlonjak, ada sengatan baru muncul. Tiba-tiba tubuhnya sulit bergerak, letupan-letupan aneh sedang menguasai separuh sistemnya. Seingatnya, ini merupakan kali pertama dia dipeluk seorang gadis---yang memiliki tempat spesial di bagian terjauh dalam kerangka mesin Neil yang nyaris tak tergapai.
"Aku harus menelpon Ayah," ujar Elena tiba-tiba usai melepas pelukannya. "Apa yang telah terjadi pada Bibi May? Aku yakin Ayah pasti tahu jawabannya," ujarnya lagi sambil menyeka linangan air mata di pipi.
Tiga hari lalu, Neil menemukan Bibi May yang mengalami keganjilan sifat saat sedang memasak di dapur, katanya dia mendadak tidak tahu cara membuka setoples bumbu-bumbu. Semenjak itu keadaannya semakin parah, anggota tubuhnya sulit digerakkan dan ingatannya memudar. Akhirnya, Elena dan Neil membiarkan Bibi May berada pada ruangannya hingga Professor Dav pulang dan memperbaikinya. Namun, melihat apa yang sudah terjadi pada pagi hari ini, semuanya terlambat.
Elena berdiri mondar-mandir di ruang tengah sementara Neil sibuk menghubungi Professor Dav melalui jam tangannya. Karena kesal tak kunjung mendapat jawaban telepon dari seberang sana, layar kaca tipis transparan menjadi sasaran Elena. Dia membuka tablet itu dengan rasa mangkel di hati. Bagaimana mungkin Ayah masih belum bisa dia hubungi setelah empat hari?
Hal pertama yang muncul adalah notifikasi berita terbaru. Elena tidak ingat kapan terakhir kalinya dirinya peduli dengan berita-berita meski pada kenyataannya memang tidak pernah. Tapi yang satu ini menarik perhatiannya, tanpa disadari jantungnya berdebar lebih cepat ketika membaca satu persatu kata di judul yang tertera.
Semua sistem robot di kota rusak dan menjadi buronan berbahaya.
Kedua mata Elena bergerak cepat, menyapu seluruh layar tablet. "Oh, tidak." Dia menutup mulut tidak percaya sehabis membaca dua paragraf pertama. Hawa mencekam menjalari benak Elena, serangkaian pertikaian yang terjadi selama satu minggu terakhir antara manusia dan robot hanyalah awal dari kekejaman neraka dunia yang tak lama lagi datang. Dan selama ini, Elena menutup matanya dari dunia luar, menghabiskan waktu di perpustakaan bersama Neil, singgah di istananya yang sebentar lagi akan terenggut.
"Di mana para penjaga rumah kita, Neil?" tanya Elena kebingungan setengah mati.
Neil mengusap dahi, memberikan senyum tipis kepada Elena sebelum menjawab, "mereka ... Mereka semua juga sudah berubah El. Sebelum aku datang sewaktu kau diserang, aku mengunci mereka di garasi agar tidak bisa ke mana-mana," jelasnya singkat.
"Sungguh?" Elena mengembuskan napas frustasi, jemarinya memijit-mijit kening. "Apa kau sudah mengetahui hal ini?" Elena menyodorkan tablet itu kepada Neil yang dibalas anggukan kecil.
"Ya aku tahu mengenai-" kalimat Neil terpotong oleh suara ledakan besar. Elena jatuh tengkurap dengan Neil di atasnya berusaha melindungi. Selama beberapa detik mereka diam di tempat dengan jantung Elena yang nyaris melompat keluar.
"Dari mana datangnya bom itu?" tanya Elena lirih, wajahnya berubah pucat pasi.
Wajah Neil yang hanya berjarak satu jengkal dari Elena itu tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Dia membalas, "aku akan melihat ke jendela sebentar. El diam di sini, oke?" perintahnya sembari berdiri dan mendekati jendela dengan penuh kehati-hatian. Ketika melihat keluar, gedung tinggi besar di sebelah kiri rumahnya mengepulkan asap. Tapi saat sudut matanya melihat lebih seksama mengenai kondisi di jalanan, Neil kaget luar biasa. Sistemnya bahkan sulit mempercayai melihat kawanan robot yang bergerombol di tengah lahan kosong nan luas yang dikelilingi gedung-gedung raksasa sebagai pusat penelitian serta pengembangan robot dan segala macam teknologi terbaru lainnya.
Sebagai anak dari seorang professor, rumah Elena berdiri di dalam komplek pusat penelitian. Yang artinya, intaian bahaya sedang mendekat dan membumihanguskan siapa saja pada kondisi saat ini.
Sekembalinya Neil ke tempat Elena yang merapatkan tubuh dibalik lemari, dia langsung dihujani rentetan pertanyaan. Namun, mulut Elena langsung membungkam saat melihat panggilan masuk pada jam tangan Neil. Layar hologram muncul di udara beserta sesosok Professor Dav.
"Elena, sayang apa kau baik-baik saja? Maafkan Ayah karena belum bisa menemuimu. Ayah janji setelah semua urusan ini selesai, Ayah akan segera menemuimu. Tapi untuk sekarang, Ayah mohon kamu bersabar sebentar karena situasi sedang tidak bagus. Sepuluh menit lagi, akan ada pasukan kecil yang datang dengan helikopter untuk menjemputmu dan Neil, kalian harus pergi ke atap-" tiba-tiba Professor Dav hilang dari layar yang menandakan sambungan terputus.
Elena langsung menggerutu kesal. Bagaimana mungkin ayahnya memutus telepon tanpa ucapan pamit atau semacamnya? Kekesalan di benaknya malah berubah jadi kegelisahan. Dan benar, ledakan bom mengguncang bangunan. Elena menutup telinganya serapat mungkin. Di sebelahnya, Neil memberi peringatan, "kita harus segera pergi ke atap." Tapi mereka harus menunggu sekiranya tujuh menit sampai serentetan ledakan berhenti sesaat.
"Ayo, Elena." Neil meraih tangan pucat itu, menggenggamnya seerat mungkin seakan takut kehilangan. Langkah-langkah kaki mereka berderap melewati anak-anak tangga menuju lantai dua. Peluh di dahi turun hingga membasahi baju dalaman Elena. Sesampainya di atap yang indah dengan barisan bunga-bunga dan daun-daun hijau, mereka menunggu sebuah helicopter mendekat. Suara bising dari baling-baling dan hempasan anginnya membuat rambut bergelombang Elena berkibar-kibar.
Seorang tentara bersenjata lengkap menjulurkan tangannya untuk membantu Elena naik. Setelah menginjakkan kaki di lantai helicopter, dia merasa limbung melihat keadaan yang kacau balau di kejauhan. Sekumpulan robot-robot gila tengah berusaha menyerbu gedung central.
"Apa kau baik-baik saja?" Neil menatap Elena khawatir. Mereka berdua duduk berhimpitan, tangan kiri Elena meremas jari-jari Neil, dia butuh pegangan diri.
Tentara yang dianggap sebagai pengawal mereka memperkenalkan diri sebagai Rost. Suaranya yang tegas dan berat terdengar cukup berwibawa. "Kalian berdua masuk ke dalam daftar orang penting yang harus diselamatkan, sangat beruntung bukan?"
Neil menyahut sebisa mungkin, "iya, terima kasih."
"Kita harus berhati-hati dengan bom-bom ini. Asal kau tahu saja, para robot sinting itu yang sudah memasangnya. Sekarang sebagian dari pasukan kami sedang berusaha menjinakkannya."
Elena dan Neil memandang keheranan pada detik yang sama.
"Itu mustahil, otak mereka sudah tidak berfungsi dengan benar, kan? Lagipula untuk apa?" Neil menolak percaya, disetujui anggukan Elena.
Rost melipat tangan di dada. "Mesin di otak mereka memang sudah tidak berkeja sesuai dengan fungsinya, tapi sebagian kecil dari mereka masih bisa berakal." Dia mengangkat bahu. "Hanya itu yang kuketahui."
Perkataan tadi membuat otak Elena macet, sulit untuk dicerna, terlebih-lebih dipercaya. Akhirnya, dia menyerah berpikir dan fokus memperhatikan ke luar. Helicopter hendak mendekati gedung central, Elena memejamkan mata demi menjauhkan hal-hal buruk lainnya yang bisa ditangkap oleh penglihatan. Kini mereka berada di ketinggian seratus meter dari tanah saat tanpa aba-aba, ledakan dahsyat yang bisa menulikan telinga berdentum-dentum dari bangunan samping gedung central, kisaran jarak helicopter dengan bangunan itu kurang dari delapan meter.
Semua orang di helicopter berteriak kecuali Neil yang justru langsung membawa Elena ke dalam rangkulannya. Rost bertiarap di lantai. Lama-kelamaan, rasa hangat yang aneh mengalir dari saluran pendengaran Elena, telinganya berdarah dan berdenging. Tidak sampai di situ, mendadak helicopter bergoyang ke kanan dan ke kiri, hilang keseimbangan.
Suara Roast yang berat membahana. "Apa yang terjadi, Rick?"
Tidak butuh jawaban, mereka mendengar sendiri letupan besar tepat di atas langit-langit helikopter---baling-baling yang meledak akibat letusan barusan. Api merah berkobar dari atap, asap mengepul-ngepul membuat tenggorokan tercekat.
"Semua pegangan!" raung Rick ketika helicopter berputar-putar di udara hingga tiga ratus enam puluh derajat. Pekikan bersahut-sahutan merobek langit, paru-paru tersumbat---oksigen habis disedot asap. Sementara itu, Neil memeluk Elena yang ketakutan seperti seorang Ibu memeluk bayinya.
Asam lambung di perut Elena mendadak naik, dia mual dan pusing setengah mati. Selama beberapa detik, sebelum kehebohan yang menyengsarakan ini berakhir, helicopter jatuh ke atas hamparan tanah luas dan meremukan seisinya.
Elena melolong parau ketika kakinya tidak bisa digerakkan yang kemungkinan besar patah, badannya juga terasa hancur, kesadaran pun hilang timbul. Mata kiri Elena yang lebam memberikan nyeri terparah, disusul denyutan hebat yang menjalar dari ujung kepala hingga ujung kaki. Kendati pun Elena merasa seperti seonggok tulang mati, dia tahu tubuhnya sedang berbaring di atas dada Neil---laki-laki yang selalu mencoba melindunginya bahkan sampai detik ini.
Lalu, datang beberapa orang dari arah yang berbeda. Elena bisa mendengar derap kaki mereka menggunakan sisa-sisa pendengarannya yang kian memudar. Perlahan-lahan dia merasakan tubuhnya diangkat. Elena meringis, rasa sakit ini bagaikan tersayat ribuan pedang yang siap mengiris tulang-belulangnya. Namun, itu tidak sebanding ketika sudut matanya serta merta melihat sosok Neil yang terkapar tidak berdaya. Tubuhnya hancur, banyak kulit yang retak-retak. Sebagai gantinya, jalinan kabel dan alat-alat tersembul di antara celah tiap retakan.
"Neil ..." suara Elena tersendat, serak dan tidak terdengar jelas. "Neil ..." yang diinginkannya sekarang adalah bangkit dari tandu sialan ini dan berlari menghampiri Neil, memeluknya, menepuk-nepuk pipinya dan mengguncang-guncangkan tubuhnya agar dia bangun. Agar Neil bisa membacakan puisi lagi kepadanya di malam hari nanti, agar dia punya teman lagi untuk bercerita, bercanda dan berbagi semua hal yang dia punya dalam suatu ikatan antara anak manusia dan robot yang saling melengkapi.
Tak terasa mata Elena memanas dan bulir-bulir air mata mengalir dari pelupuk. Terjun deras hingga ke dagunya. Tangisan bisu ini, mematikan. Tenaga Elena makin melemah dan kedua matanya sudah hendak menutup sempurna. Lesatan ingatan membantunya untuk tetap bertahan dalam kesadaran. Dia baru saja menyadari satu hal---hal terpenting yang tidak akan mampu dilupakan.
Mendesing di udara, berputar-putar menyesakkan dada dan mengempiskan nyali, semua itu tidak berlaku bagi Neil, kini dia menatap mata bulat Elena dengan amat dalam sambil berbicara selantang-lantangnya. "Elena! Ada sesuatu untukmu! Tolong simpan ini baik-baik! Aku! Neil ... akan selalu menjadi Neil yang sama untukmu! Selamanya!"
Itulah kalimat terakhir yang didengar Elena sebelum helicopter menghantam tanah dan melumpuhkan semua harapan yang sudah tertanam sedari lama. Harapan Elena tentang kebersamaan bersama Neil hingga dirinya yang pergi meninggalkan, bukan yang sebaliknya.
Kepalan di tangan kanannya pun membuka, butuh usaha untuk melakukan hal kecil itu yang berakibat pada jeritan urat-uratnya. Sekali lagi Elena berusaha mengangkat kepalanya agar bisa melihat dengan jelas benda pemberian Neil yang berada dalam lingkupan tangan berdarahnya itu. Dia menajamkan fokus pada tingkat tertinggi meski dunia masih terlihat berbayang. Tapi untaian kalimat yang ditulis di atas lipatan kertas menggunakan tinta hitam itu bisa terbaca sekarang.
Puisi untuk Elena
Dari Neil
'Kita tak pernah sendiri'
Tamat
•
[] Gempita Shastra []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro