[] Pelangi Senja • 2
Pelangi Senja
Oleh: ArgiNarun
•
[] Puisi x Romance []
•••
Dalam perjalanannya pulang, Tara memikirkan banyak hal mengapa Arya menyimpannya sendiri. Ia yakin, Fany pasti tidak tahu juga tentang penyakit itu. Dan kini, Tara merasa seluruh bagian dadanya kosong tapi menyakitkan. Ia tidak ingin kehilangan Arya. Tapi, Arya tidak tahu akan hal tersebut. "BODOH! KENAPA AKU TIDAK MENGATAKANNYA?" Dan ya, Tara baru ingat ketika ia akan sampai rumah bahwa ia tidak jadi mengatakan apa yang ingin ia katakan.
Setidaknya kini Tara akui, ia memang sedikit pelupa. Dan kini, ia akui, ia begitu pelupa dan bodohnya ia tidak sedikitpun ingat ketika masih di rumah Arya. Meskipun keduanya baru saja berbincang tentang banyak hal. Termasuk tentang satu sama lain. "Hah... Besok aku ke sana lagi sajalah, aduh... Bodohnya..." Gumamnya merutuki nasibnya sendiri yang cukup buruk itu.
"Tara? Lama banget ngantarnya, cieee, ngapain tuh?" Sang Bunda rupanya sudah menanti-nanti di dapur ketika Tara masuk ke rumah tanpa mengucap salam. "Eh, Bunda, hehe, itu... Arya mengajak Tara makan, Arya bilang... Dia tidak bisa menghabiskan sendiri," Sang Bunda tertawa, "Tak usah malu-malu Tara, biasanya juga kamu tidak punya malu,"
"Ih, Bunda! Tara balik ke kamar ya Nda," Tara segera naik ke kamarnya dan menutup rapat kamarnya. Sejenak, ia hanya diam menatap seisi kamarnya. Perasaannya pundung. Ia tidak ingin Arya menyerah. Tapi siapa yang Arya sukai? Siapa yang Arya maksud? "Hah... Aku harus apa..." Tara menyandarkan tubuhnya ke tembok. Sejenak, pandangannya kosong dan bayangannya terbang menuju alam mimpi.
-Pelangi Senja-
"Tara? Oh, kenapa ke sini?" Tara datang ke kelas Arya saat jam pulang sekolah tiba. "Kamu tadi mimisan lagi. Iya kan?" Arya terdiam. "Kamu tidak memberi tahu siapapun tentang itu?" Tara menghela nafas, "Arya, orang tuamu, masih lama di luar sana?" Arya mengangguk pelan. "Aku ingin mengajakmu ke sebuah tempat. Kau mau ikut?" Arya mengangguk lagi, kini ia berani menatap Tara tepat di matanya.
"Bagus, ayo," Tara berjalan duluan. Arya segera menyusul di belakangnya. Keduanya berjalan bersama menuju tempat parkir sepedah dalam diam. Bahkan perjalanan mereka hanya sunyi. Hingga tiba di sebuah tempat. Sepi, lebih seperti hutan dan bukit kecil terdekat dengan kota. "Duduklah disini Arya," Tara menepuk tempat kosong di sampingnya. Arya berjalan perlahan mendekat. Menatap Tara yang sudah duduk dengan tenang di tempatnya.
"Arya, kamu suka senja?" Arya mengangguk, "Bagus, indah... Iya kan?" Tara tersenyum manis, "Ya, sangat bagus," Tara melepas tasnya dan memangku tasnya. Arya menatap lurus ke arah kota dan perhutanan, senja akan segera tiba. "Arya, kamu suka pelangi?" Arya mengangguk lagi. "Arya, kamu menyembunyikan rahasia lain kan?"
Arya terdiam saat Tara mengatakannya. Tatapan terkejut itu menatap Tara dengan sangat terkejut. "A-Apa? Tidak ada kok," Bantahnya sembari berusaha menghindarkan tatapan matanya dari Tara. "Arya, tatap mataku!" Arya mengangkat kepalanya, menatap Tara. "Ta-Tara, a-Aku, aku benar-benar tidak menyembunyikan apapun!" Tara menarik tangannya, mendekatkan Arya padanya agar dapat melihat views kota dari bukit lebih luas. "Kamu hanya takut mengatakannya, katakan,"
"Tidak!" Tapi tepat saat matanya menatap Tara, air mata nya mengalir dengan deras. "A-Aku, aku akan segera pergi Tara. Segera pergi dari dunia ini," Tara terdiam, ia tahu, ia tahu bahwa Arya akan mengatakan itu. Terlambat, ia datang terlalu lambat, dan bodohnya lagi dirinya tak menyadarinya. "Arya... Tatap mataku,"
"Apa yang kamu takuti?" Tanya Tara sembari menatap lekat pupil coklat kehitaman Arya. "Bagaimana jika tidak ada yang mengingatku setelah aku meninggalkan dunia?" Tara menahan nafasnya, dadanya semakin sesak, rasa sakit itu semakin jadi. "Kenapa kau berpikir seperti itu?" Tubuh Arya gemetar, rasa takut dan lemah mendominasi hatinya.
"Tidak ada seorang pun yang akan mengingatku," Tara menatapnya. "Berapa lama kamu mengenalku?" Tanya Tara, "3, 3 tahun," Tara terkejut, ia tak menyangka jawaban Arya akan selama itu. "Dan apakah kau tahu? Sejak kapan aku mengenalmu?" Tanya Tara lagi. "Kemarin? Beberapa hari yang lalu?" Tanya Arya balik. Tara menggeleng, "Salah,"
"Salah?" Tara mengangguk. "Sama denganmu, tiga tahun," Arya terdiam, lidahnya kelu seketika. "Aku mencintaimu Arya, dan aku tidak menyangka, aku terlambat mengatakannya," Arya menatapnya tidak percaya, berusaha mencari kebohongan di mata Tara. Tapi tidak ada satupun kebohongan di dalam tatapan lembutnya. "Ta-Tara..." Tara menatapnya lebih dalam, ekspresinya lebih serius. "Aku tidak tahu bahwa aku sangat terlambat untuk mengajakmu berbicara. Aku tidak tahu bahwa selambat itu keberanianku muncul untuk mengajakmu berkenalan. Aku sangat bodoh bukan?"
Bayang-bayang masa lalu menghantui pikiran Tara. "Aku selalu menjadi pengagummu dalam diam. Ketika orang menjadikan tawaku sebagai candu, bagiku, kau adalah candu. Ketika orang menjadikan candaanku bahan kebahagiaan, melihatmu tersenyum adalah hadiah bagiku. Ketika orang menganggap diamku adalah hal yang menyebalkan, diammu adalah segala hal yang aku sukai. Arya, aku mencintaimu, aku menyukaimu, selama tiga tahun! Dalam diam,"
"Tara... Aku-Maafkan aku..." Tara menggeleng, "Tiga tahun Arya, aku menunggu hari-hari ini. Untuk mengajakmu kemari, ke tempat favoritku. Ke tempat dimana aku selalu mengeluhkan dirimu, ke tempat dimana aku selalu menumpahkan rasa sukaku padamu. Arya... Ini bukan salahmu... Ini salahku karena aku tidak berani mengakuinya," Arya berusaha menahan tangisannya, "Dan kemarin, apakah kau pikir aku tidak tahu kau kembali ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan? Bahkan aku tahu hasilnya,"
"Tara... Maaf," Tangisannya tumpah, lagi. Arya menangis. Ia tidak tahu, Tara juga menunggunya, dan dirinya juga menunggu Tara tanpa suara. Dan kini keduanya di rundung penyesalan masing-masing. "Arya, lihat!" Tara menunjuk lurus ke depan. Arya segera mengikuti arah yang di tunjuk oleh Tara. Matanya melebar, air mata nya berhenti menetes seketika.
"Pelangi...?" Tara mengangguk cepat. "Di daerah itu ada hutan lindung bukan? Setiap hari, para petugas kota di bagian penyiraman akan menyiram bagian hutan yang berupa pohon muda dari atas sana," Tara menunjuk sebuah tower tinggi yang masih menyemprotkan air secara perlahan. "Dan setiap hari, pelangi akan muncul dari bukit ini, saat Senja tiba. Seperti dirimu Arya..."
"Aku?" Tara mengangguk. "Paket lengkap yang pernah aku dapatkan. Seperti eloknya pelangi dan indahnya senja sore hari," Wajah Arya memerah padam. "Arya... Sekalipun kau akan segera pergi, aku akan selalu mengingatmu, aku akan selalu datang kepadamu," Arya menghambur ke dalam pelukan Tara. "Tara... Maafkan aku... Aku mencintaimu... Berjanjilah padaku, jangan sedih... Ketika aku pergi, meski untuk selamanya, aku akan tetap disini," Ia berhenti sejenak, "See you at the top, Tarachandra," Nafasnya tak beraturan, tapi pelukannya semakin erat.
Tara mengeratkan pelukannya. Sesak di dadanya semakin menjadi. Ia tahu hasil tes kanker Arya semalam. Setelah terbangun dari tidurnya, Tara berangkat ke rumah sakit untuk mengantarkan makan malam Ayah-nya yang sudah di siapkan sang Bunda. Dan di sana, ia menemukan fakta bahwa selama ini, Arya adalah pasien yang di tangani ayah-nya. Dan hari itu, kanker Arya yang terus berkembang telah memasuki stadium 4.
Ayah Tara berusaha membujuk Arya melakukan operasi. Bahkan berjanji membayarkan biaya operasi itu. Tapi Arya menolak. Arya keluar dari ruangan dengan menangis malam itu. Dalam perjalanannya pulang, ia tak menyadari Tara yang terdiam menatap dan mendengar keluhannya di jalanan malam yang begitu sunyi. Arya menangis, sekuat tenaga. Berusaha melepaskan semua beban di dalam dadanya. Dan Tara bisa membayangkan betapa sesaknya perasaan Arya hari itu.
Dan ketika Arya akan mendekati rumahnya, Tara mendengarnya mengatakan sesuatu dalam kesunyian, "Tara... Apakah kamu akan mengatakannya padaku? Apakah kamu akan mengingatku? Seperti aku yang mengingatmu selama berbulan-bulan lamanya? Bahkan bertahun-tahun. Hah, bodoh kau Arya! Tara tidak mungkin menyukaimu! Kau itu baru kenal dengannya dua hari yang lalu!"
Dan saat itulah, Tara tahu, ia bukan satu-satunya yang sedang menyimpan rahasia. Tapi rahasia Arya, jauh lebih besar dari rahasianya. Dan kini, satu-satunya hal yang bisa ia katakan adalah, "Aku mencintaimu... Arya..." Meski dalam diam.
Tubuh Arya semakin dingin dalam pelukan Tara, "Arya?" Tara dengan cepat mengangkat tubuhnya dan segera berlari menuju klinik terdekat. Tak lagi peduli seberapa jauh ia perlu berlari, Tara akan tetap berlari. Kakinya terus melangkah dan berusaha menambah kecepatannya, "Arya! Bangunlah! Sebentar saja!" Tangisan Tara tertahan, "Arya!" Dan sesaat setelah kakinya melangkah masuk ke dalam klinik, Tara menyadarinya, Arya sudah pergi dari dunia, untuk selamanya.
Pandangan matanya memburam, air matanya menetes, para perawat mengambil alih tubuh kaku Arya dan membantunya menenangkan diri. Bisa terdengar jelas di telinga Tara ketika salah seorang perawat menanyakan hubungannya dengan Arya. "Teman. Saya temannya, ini nomor telfon orang tuanya," Ya, ia dan Arya masih teman, dan hanya teman. Hingga di detik terakhir kehidupan Arya. Arya berhasil mengucapkan segalanya. Semua yang ia pendam selama tiga tahun ini. Tentang rasa yang ada di hatinya, dan jawaban akan pertanyaan Tara selama ini.
"See you at the top, Ararya..."
Lirih, suaranya sangat lirih.
Sesak, hatinya sudah pasrah.
Sakit, semua bagian tubuhnya sakit.
Pilu, air matanya terus berhamburan.
Kali ini,
Ia mendapatkan jawabannya.
Akan tetapi,
Ia juga harus menerimanya.
Menerima fakta bahwa ia,
Dan dirinya,
Tidak akan lagi bertemu.
Tidak akan lagi bersatu.
Kali ini,
Ia tak tahu hatinya harus berlabuh kemana.
Karena yang selama ini,
Hanyalah pemberhentian sementara.
Selain dirinya,
Dirinya yang telah kembali ke Pangkuan-Nya.
Tak ada lagi tempat pemberhentian untuknya,
Yang sesuai dan dapat menerimanya apa adanya.
Tamat
•
[] Gempita Shastra []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro