[] Pelangi Senja • 1
Pelangi Senja
Oleh: ArgiNarun
•
[] Puisi x Romance []
•••
Pelangi Senja
Canda yang dulu selalu ada di sela Senja,
Kini menjadi sunyi.
Tawa yang dulu selalu ada,
Kini telah pergi.
Candu yang begitu memabukkan telah hilang,
Canda yang selalu ceria kini telah lenyap.
Senyuman manismu tak lagi ada,
Omelan pedasmu tak lagi terdengar di telinga.
Hai tawa,
Hai candu,
Apakah kau pernah membayangkan?
Sesakit ini kehilanganmu.
Hai tawa yang begitu candu,
Apakah selama ini kau tahu?
Sesakit ini pura-pura tidak peduli,
Sepilu ini menahannya sendiri.
- Start -
Tarachandra Dewananda Nandana, Nanda. Itulah nama dari seorang pemuda tinggi, putih, dan manis dengan lesung di kedua pipinya. Tawa nya kerap menjadi candu bagi teman-temannya yang ada di sekitarnya. Walaupun sikapnya kekanakan, Tara adalah sosok yang selalu menjadi panutan bagi teman-temannya. Tara dengan segala ke ajaiban sifatnya adalah sesuatu pasti di ingat orang ketika membahas Pustakawan sekolah mereka.
Akan tetapi, di sisi lain, dirinya adalah sosok yang sangat kuat secara mental. "Tara? Ikut ga weh, ke kantin bawah," Tara menggeleng. "Kaga, abis udahan duit," Tara menepuk-nepuk saku nya sebelum bersandar kembali di tembok perpustakaan. "Ya udah kalo gitu, aku tinggal ya? Bye," Pemuda yang bertanya pun berjalan keluar dari perpustakaan bersama beberapa pemuda lainnya.
Klek! "Loh? Tar? Sendirian?" Tanya seseorang yang baru saja masuk. "Siapa? Oh, Fany, kirain anak lain," Tara menatap gadis yang baru saja masuk. "Yeu, siapa lagi emangnya yang mau ke perpus jam pelajaran gini kalo bukan Pustakawan Pustakawati," Protes Fany kemudian menuju meja Pustakawan dan mulai mengambili buku yang baru saja di kembalikan siswa-siswi sekolah mereka di jam istirahat sebelumnya. "Kan ada anak Olimpiade juga... Temen kamu juga tuh, tumben ga ke sini bareng-bareng?"
"Anaknya ada ulangan susulan di kantor, kenapa? Tumben nanyain dia?" Tara menggeleng, "Tumben aja kamu ga bareng dia, jarang kan berani ngelewatin kelas putra sendirian, em... Sama—" Fany mencibirnya dalam diam sebelum kembali sibuk dengan buku di tangannya. Sementara pintu perpustakaan kembali terbuka sebelum Tara selesai berbicara. "Fany~ katanya tadi nungguin, kok di tinggal sih," Sebuah suara berat dengan nada sebal setengah manja masuk ke indra pendengaran Tara setelah perpustakaan itu sempat sunyi.
"Eh, hehe, Arya, maaf Ar. Tadi di suruh Bu Imroatun buat nyatet pengembalian, kamu habis ini bimbingan?" Arya mengangguk, menunjukkan setumpuk soal di tangannya. "Biasanya bareng Sena, anaknya mana?" Arya mengangkat pundaknya kompak. "Ga tau lah, gak ngurusin anak itu juga," Arya menggeser bangku di perpustakaan itu.
Ararya Diandra Taleea, Arya. Gadis dengan tinggi 163 cm dan tubuh ramping ideal semua gadis. Yang menurut banyak orang tidak ideal darinya adalah dadanya flat, suaranya berat, rambutnya juga tak kalah pendek dari siswa putra, jangan lupa tentang prestasinya di bidang atletik yang tak lagi terhitung jari tangan. Tak banyak gadis yang sama sepertinya. Banyak orang menghina dan menuduhnya sebagai seorang transgender. Meski pada faktanya, Arya sudah perempuan sejak lahir.
Dirinya hidup di lingkungan yang keras. Parasnya mirip dengan sang ayah. Rahang tegas, tinggi semampai, lesung pipi di pipi kanannya tercetak jelas, hidungnya mancung, alisnya tebal, dan tatapan matanya tajam. Dirinya ini sudah bak duplikat sang ayah dalam versi wanita. Hanya saja, sifat gadis itu tak sedikitpun sama dengan kedua orang tuanya.
"Ar, ih, ninggal juga kan kamu. Kata Bu Utami di suruh nungguin aku, kamu mah," Sena, teman dekat Arya, duduk di samping Arya dan menyikut sebal Arya yang sudah sibuk membaca. "Sssttt, Sena! Ini perpustakaan, lagi pula, aku tidak menyuruhmu ikut jam kedua!" Protes Arya dengan nada tinggi meskipun suaranya berbisik. "Ck, jam kedua itu gurunya menyeramkan,"
Arya memutar matanya malas, menunjukkan kertas yang ia pegang. "Kita di beri izin ikut pembinaan lomba sejak jam pertama sampai jam kelima," Sena nyengir, ngeri aja rasanya kalo liat Arya udah balik tegesnya. "Maaf Ar, aku takut ketinggalan pelajaran," Arya menatapnya sekilas sebelum kembali terpaku pada soal-soalnya.
Di sisi lain perpustakaan, Tara segera berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri Fany yang tengah mengisi buku absen Pustakawan Pustakawati Perpustakaan Sekolah. "Hey, Fany, siapa namanya? Arya?" Tanya Tara saat menunjuk gadis yang tengah fokus pada soal-soal ditangannya. "Yang pakai kacamata hitam-silver? Iya, Arya, kamu suka dia?" Fany menjawab tanpa mengangkat kepalanya. "Oh... Sena juga pakai," Ucap Tara guna mengalihkan perhatian dan setelah beberapa saat tercenung.
"Kan ga hitam silver Tar," Protes Fany dengan wajah sebalnya. Tara nyengir, mengabil alih buku absen dan mengisinya. "Eh—Tunggu, ini... Tanda tangan Arya?" Tara menunjuk nama yang tertera paling atas. Bertugas di jam pelajaran pertama. Lengkap dengan tanda tangan sangar di kolom tanda tangannya, berbentuk laut bergelombang dan sebuah kapal kecil. "Ga tau? Arya juga anggota perpustakaan sejak bulan lalu. Guru perpustakaan sangat akrab dengannya setelah mengantarnya lomba story telling,"
"Ah... Begitu.. Dia OSIS bagian kantin? Apa sih namanya?" Tanya Tara sembari memainkan ballpoint di tangannya. "Kewirausahaan, kenapa?" Suara berat itu bukan suara Fany. Terkejut, Tara terlonjak kecil dan bergeser beberapa cm dari posisi sebelumnya. "Oh—Aku tidak ingat, maafkan," Arya mengangguk, "Fan, lihat kertas peta ga? Yang kemarin di meja sana," Arya menunjuk meja yang ia gunakna untuk pembinaan. "Ah ada-ada, tunggu,"
"Em... Aku Tarachandra, Tara. Salam kenal," Tara tersenyum manis hingga kedua lesung pipinya muncul. "Aku Arya, Ararya," Setelah mendapatkan peta nya, Arya berbalik kembali ke bangkunya. Senyumannya masih ada di sana untuk beberapa saat. Di balik tubuhnya, Tara masih tersenyum tergila-gila karena dirinya di senyumi balik oleh Arya.
Setelah setahun lebih lamanya ia menahan rasa suka nya pada Arya, kini Arya mengenalnya dan dirinya mendengar langsung suara gadis itu. Senyuman manis Arya juga menembak tepat di hati nya. Sukses membuatnya dag-dig-dug kencang sendirian. Meski ia tidak tahu seperti apa yang Arya rasakan ketika melihatnya.
"HAI SEMUANYAAA!" Sebuah suara melengking masuk ke perpustakaan. "Satyo! Diam!" Fany membentak pemuda yang baru saja membuka pintu. "Eh, ada Fany, hehe, maaf Fan," Satyo Andhani Arjunata, teman dekat Tara dan sesama Pustakawan. "Ish, kau ini," Fany kembali sibuk membaca sementara Satya berlari kecil menuju tempat Tara menikmati kegilaannya, eh, menikmati buku-buku perpustakaan favorite nya.
"Woy, Tar!" Tara menoleh dengan lambat, "Iya?" Di gaplok kamus bahasa Inggris deh orangnya. "Lemot amat itu kepala cuma mau noleh," Protes Satyo kemudian duduk di sampingnya. "Diem deh Sat," Bug! Di gaplok buku part dua. "Manggilnya mending Tyo yak, sekali lagi di ulangin, gua gaplok lagi lu," Tara tertawa kecil, menggeleng, "Tidak, tidak, tidak seru ah. Lu kan yang jaga sampe jam keempat? Gua tinggal ya," Tara berdiri dan merapikan seragamnya segera, "Iye-iye, dasar bawel," Tara menendang pelan kaki Satyo sebelum meninggalkan pemuda itu.
"Fan, aku balik ke kelas ya? Udah janji buat ikut pelajaran," Fany mengangguk tanpa peduli lagi. Sejenak, Tara menoleh ke arah Arya. Dirinya dan Arya selalu bertemu di kegiatan literasi pagi karena kelompok literasi kelas mereka sangat berdekatan. Matanya selalu tertuju tentang bagaimana gadis itu menata rambut hitam pendeknya itu. Senyumannya manis, sayang, dirinya tidak terlalu banyak tersenyum di kesehariannya. Dan hari itu, mendapat senyuman dari Arya adalah suatu keajaiban bagi Tara.
Jam pelajaran kelima tuntas. Semua siswa berhamburan pulang. Jam sudah menunjukkan pukul 4 sore hari. "Tar? Bawa sepedah?" Suara itu... "Oh, Arya, kamu juga bawa?" Arya tersenyum simpul dan mengangguk. Dirinya membuka kunci salah satu sepedah. "Mau pulang bareng? Kita sejalan," Tanya Arya pada Tara yang masih diam terkagum di posisi awalnya. "Eng... Boleh?" Arya tertawa, "Jelaslah, kenapa tidak?" Lagi, Tara semakin terperosok jauh ke dalam jurang pesona seorang Ararya.
"Em... Iya, boleh, ayo," Tara melepas kunci sepedahnya kemudian menaikinya keluar bersama Arya di belakangnya. Selama di lingkungan sekolah, keduanya masih saling diam sebelum mereka tiba di jalan menuju rumah mereka. "Ar, kamu ikut lomba IPS?" Tara sudah tahu jawabannya, dirinya hanya sangat buruk dalam memulai percakapan. "Iya, gak mau nyoba Tar? Saingannya dikit," Ucap Arya sembari menatap Tara dan mengangkat alisnya. "Ah, tidak. Saingannya sedikit, tapi kamu," Arya tertawa lagi, "Ahahahaha aku tidak sepintar itu Tar,"
"Sepintar ini? Iya, aku tahu," Tara menjawab dengan nada sok jutek-nya. "Aduh, Tara, enggak ish. Aku ikut cuma iseng-iseng, hitung-hitung bolos kelas," Tara menyipitkan matanya. Dirinya tahu betul bahwa nama Arya tercantum dalam Top 3 nilai terbaik di SMP mereka. "Arya, kamu ini sangat pintar dan aku ini remahan rengginang. Jadi, aku tidak akan berusaha membolos dengan menjadi gila seperti itu,"
Arya ketika tertawa sangatlah manis, gigi-gigi putih bersih lengkap dan rapi itu selalu terlihat, matanya menyipit indah menjadi bulan sabit, suara berat serak itu meninggi beberapa saat. Dan Tara sangat suka melihatnya. Meski dulunya, dirinya bukan lah alasan gadis itu tertawa. Setidaknya, sekarang, ya, dirinya adalah penyebab mengapa gadis itu tertawa.
"Ah, Tara, rumahku harus berbelok disini, aku duluan ya?" Tara menoleh, mengangguk cepat, "Hati-hati Arya!" Arya mengangguk dan segera ngebut dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dari sebelumnya. Tara hanya tersenyum seperti orang gila sepanjang perjalanannya sampai rumah. Bahkan sang Bunda terheran-heran mengapa Tara seperti itu.
"Heh, lagi kasmaran ya kamu?" Tanya sang Bunda ketika Tara menyalaminya dan masih tersenyum-senyum gila. "Anaknya manis Nda, Nda pasti suka banget kalo ketemu sama anaknya," Cerita Tara kemudian berlari masuk rumah dan bergegas melepas sepatu dan kaos kakinya. Sejenak, saat akan melepas seragamnya3, "AAA! AKU TIDAK PUNYA NOMOR TELEFON NYA!" Dirinya berteriak. Lagi, sang Bunda hanya bisa maklum akan masa pubertas sang putra.
"Minta Fany lah! Mereka pasti punya nomornya satu sama lain!" Teriak sang Bunda dari luar rumah. "Oh iya! Bunda terbaik!!! Terima kasih Nda!" Tara berlari menuju kamarnya sementara Bunda nya hanya bisa menggeleng-geleng tidak paham dengan kelakuan anaknya yang memang ajaib itu. "Hah... Dulu salah kasih makan apa ya..." Gumamnya sembari menyirami tanaman-tanamannya. Sabar ya Bunda-nya Tara.
Di sisi lain, Arya terdiam saat membuka pintu rumahnya. Sepi. Lagi. Tak ada seorang pun di dalam rumahnya. "Aku pulang..." Suaranya hanya terpantulkan jendela dan tembok-tembok diam itu. "Hah... Pasti di tinggal lagi," Gumamnya sembari mencari surat yang selalu ditinggalkan sang adik jika kedua orang tua nya dan sang adik sedang tidak di rumah. "Ah, iya," Arya menemukan surat itu di tumpukan bantal dan segera membukanya.
Hanya seutas izin untuk meninggalkan Arya. Meskipun tidak izin, mereka juga sudah berangkat kan? Dirinya tidak bisa mencegah. "Arya rindu... Arya rindu Ibu... Arya rindu Ayah... Arya rindu adek..." Tangannya hanya bergetar dengan kuat dalam kesunyian yang menelannya. Bulir hangat air mata menetes dari netra hitamnya. Bibirnya berusaha mengatakan sesuatu, meski lidahnya sangat lah kelu.
Arya dan kedua orang tuanya tidak memiliki hubungan yang baik. Bahkan, Arya tidak pernah jujur sepenuhnya pada keduanya. Jujur tentang apa yang ia rasakan dan apa yang ia alami. Arya ingin memendamnya dalam diam. Karena ia tahu, orang tuanya akan semakin sibuk jika dirinya memiliki sebuah penyakit. Yang telah lama ada di dalam tubuhnya.
Tes! "Ah sial, mana tisu..." Arya segera berdiri dan berjalan cepat menuju kamar mandi. Darah menetes dari hidungnya. Kanker Darah, atau mungkin lebih kalian kenal sebagai Leukimia. Sebuah penyakit keturunan yang tidak bisa di hindari oleh Arya. Sayangnya, tak satu pun orang tuanya yang tahu. Atau lebih tepatnya, tidak sempat tahu.
"Arya?" Arya menoleh, teringat bahwa ia belum menutup pintu dan tentu seseorang bisa masuk. "Si—Oh, Tara... Aku pikir siapa..." Arya menghela nafas lega. Tara menatap seluruh obat yang ada di tangan Arya. "Kamu sakit?" Arya gelagapan, lagi dan lagi, ia lupa bahwa hanya dirinya yang tahu tentang penyakitnya. "A—Aku baik-baik saja Tara, hanya vitamin," Arya tersenyum paksa.
"Itu vitamin B, obat penghenti pendarahan, dan obat penenang. Hanya vitamin?" Tanya Tara saat melihat sebuah bungkus obat tergeletak di tepi wastafel. "A—Aku, iya... Aku terkena Leukimia Stadium 3 Tara, maaf membuatmu terkejut, dan jangan katakan pada siapapun," Tara membeku di posisi nya. "Leukimia? Itu alasan mengapa kau selalu memotong rambutmu pendek dan sangat pucat!?"
Nada pemuda itu naik dengan drastis. "Hey, santai Tara, aku baik-baik saja. Okay?" Tara melotot tajam. "STADIUM 3 DAN KAU BILANG BAIK!?" Nadanya membentak. Arya terkejut, tapi tak sedikitpun berniat untuk membuka suaranya. "Oke, maafkan aku, Arya... Kita ke dokter, okay? Setiap kali kau membutuhkanku, aku di sini, telfon aku, aku selalu ada untukmu," Arya mengangguk, "Terima kasih... Oh ya, ada apa kemari?"
"Ah iya, itu..." Tara berjalan duluan dari dapur menuju ruang tamu tempat ia meletekkan semua barang yang ia bawa tadi. "Ini, dari Bunda, kata Bunda, keluargamu jarang di rumah semenjak beberapa pekan ini. Jadi... Bunda mengantarkannya untukmu," Arya memincingkan matanya, "Yang mengantar ke sini kan kamu," Protesnya setelah sukses mencerna kalimat Tara yang salah. "E—Eh iya, hehe, maksudnya, Bunda yang buatin,"
"Mau makan bareng? Ini banyak banget," Arya menggeser wadah nasi itu ke tangannya dan membawanya ke dapur. Tara segera mengikutinya, dan meratapi nasib bahwa ia sangat bodoh sampai tidak membawakan makanan itu ke dapur rumah Arya. 'Ah, aku bodoh juga ternyata,' Batinnya kemudian menatap Arya yang memindahkan beberapa piring ke meja makan bersama alat makan lainnya.
"Ar, aku... Mau... Bicarain sesuatu," Arya menoleh, mendapati Tara yang lebih tinggi darinya itu berdiri di belakangnya. "Arya... Kamu tidak mengambil kemoterapi?" Arya menggeleng, "Sudah Stadium 3. Dan aku rasa... Adikku jauh lebih berharga bagi keluargaku, aku ingin menyerah," Arya melanjutkan pergerakannya untuk menyiapkan makanan. Sungguh, dada Tara terasa sangat sesak sekarang.
"Arya... Kamu ingin menyerah?" Arya menatap mata Tara, saat itu, dilihatnya sosok Tara yang tak pernah ia lihat. Tara yang ia kenal adalah Tara yang ceria, kekanakan, dan terlalu ceroboh. Dalam hatinya, ia ingin terus berjuang, karena ia menyukai Tara, ia menyukai pemuda yang berdiri di hadapannya saat ini. "Iya, tidak ada yang mengharapkanku Tara... Bahkan orang yang aku sukai," Jawaban mulutnya berbeda dengan hatinya. Karena ia yakin, bahwa orang yang ia sukai, Tara, tak akan pernah menyukainya.
"Ah, sudah siap, ayo makan dulu, nanti kita bicara lagi," Arya menarik kursinya dan segera duduk. Tara duduk di sampingnya dengan kaku. Menikmati makanan itu dengan wajah tanpa ekspresi dan tatapan mata yang kosong nan hampa. Sejenak, Arya menemukan kenyamanan, kenyamanan yang selama ini tak pernah ia rasakan lagi. Di sisi lain, Tara tengah bergelut dengan pikirannya tentang Arya.
Arya menuntaskan makannya bersamaan dengan Tara, "Aku saja yang mencucinya, tunggu di depan TV," Ucap Tara kemudian mengambil alih mangkuk dan piring yang ada di tangan Arya. "E—Eh! Tar! Kamu aja yang nunggu ih, ini rumah aku, aku tuan rumah," Protes Arya dan berusaha menarik jaket Tara. "Eits, tamu adalah raja, biarkan aku melakukan apapun," Tara melepas tangan Arya pelan dari jaketnya.
'Tangan Tara hangat...' Batin Arya sesaat setelah Tara melepas tangannya dari jaket Tara. "Sudah selesai," Tara menyusul ke ruang tengah di mana Televisi yang ia maksud sebelumnya berada. "Terima kasih, hehe," Arya nyengir sesaat setelah Tara duduk di sebelahnya. "Yeuh, kamu pasti lama kalau nyuci, iya kan?"
"Hah? TIDAK! Ihhhh Taraaaaaa!" Sesi pukul-memukul dengan bantal sofa di mulai oleh Arya setelah Tara mengoloknya. "Ahahahahahaha, aduh-aduh, maaf astaga! Arya!" Tara menahan bantal-bantal itu agar tak meghujami tubuhnya. "Ih! Kamu mah!" Arya memukulnya lagi satu kali sebelum akhirnya lelah memukulinya. Tara juga lelah tertawa dan terpukuli oleh Arya.
"Eh, Ar, udah mau jam 6, aku pulang dulu ya?" Tara berdiri, berjalan menuju pintu. Arya segera berdiri dan berjalan cepat mengikuti Tara dan mengantarkannya ke depan rumah. "Hati-hati Tar!" Tara mengangguk, menaiki sepedahnya dan segera menghilang di pertigaan yang sangat dekat dari rumah Arya.
To Be Continued
•
[] Gempita Shastra []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro