[] Mata Rantai • 2
Mata Rantai
Oleh ShiroKuro_11
•
[] Historical - Horror []
1998
Para anggota Neraca berkumpul menghadiri pernikahan sederhana dari pemimpin mereka, Ayu, dengan Wisnu. Mereka semua terlihat bahagia di sana. Dalam waktu satu setengah bulan dari pertemuan awal mereka, Wisnu dapat mencuri hati wanita yang kini telah resmi menjadi istrinya itu.
Pada mulanya, saat Wisnu mengutarakan seluruh perasaannya, dirinya tak berharap banyak kalau Ayu akan mengiyakan. Namun, begitu Ayu menerima perasaannya ia merasa begitu bahagia. Cintanya berbalas. “Ayo foto bersama!” teriak seseorang berkemeja putih yang tampak membawa sebuah kamera.
Dia adalah Anton, salah satu jurnalis yang akhirnya tertarik meliput kegiatan Neraca lebih lanjut setelah sejak berdiri setahun lalu tak ada satu pun yang tertarik membuat berita soal organisasi ini.
Mereka semua berkumpul mengerubungi mempelai pria dan wanita di sana. Tyas dan Satria ada di sisi kanan dan kiri pasangan pengantin baru itu. Sekitar 2 jam kemudian orang-orang sudah mulai kembali ke rumah masing-masing. Mereka tak perlu melakukan resepsi yang mahal dan menghabiskan banyak uang. Merayakan seperti ini saja sudah lebih dari cukup.
Anton mendekati Wisnu yang sedang duduk di depan rumahnya. “Haruskah aku memanggilmu pak ketua sekarang?”
Wisnu terkekeh, “Panggil dengan namaku saja, kenapa harus memanggil dengan pak ketua? Itu akan membuatku merasa canggung,” balasnya. Tiba-tiba Ayu keluar dari dalam rumah. “Mas Anton, terima kasih sudah suka rela jadi fotografer dadakan tadi, saya merasa sedikit tidak enak karena harus merepotkan Mas Anton seperti itu.”
“Santai saja, hitung-hitung refreshing sebentar, lagi pula ini kamera milikku sendiri, jadi aku lebih bebas memakainya,” ucap Anton sambil mengangkat kameranya. “Ngomong-ngomong kalian ini benar-benar terlihat serasi ya? Kalau sudah diberi momongan nanti kira-kira mau dinamai siapa?”
Mendengar pertanyaan itu, Wisnu dan Ayu bertatapan sejenak. “Narayana. Sama seperti nama ayahnya,” balas Ayu sambil tersenyum.
“Kalau begitu karena dia sudah menerima namaku. Kuharap dia mempunyai mata hazel yang indah sepertimu,” ucap Wisnu.
Anton, Wisnu, dan Ayu kemudian tertawa bersama.
[][][]
2013
Pintu depan rumah itu diketuk beberapa kali. Tak butuh waktu lama bagi sang pemilik untuk membukakannya pada para tamunya. “Masuklah,” kata Pak Tirta pada Raya dan Rukmini seolah sudah tahu apa yang mereka inginkan.
Rukmini yang mulai merasa aneh dengan sikap gurunya itu angkat bicara. “Pak Tirta sudah tahu apa yang akan kita tanyakan?”
Selembar kertas bergambar wajah Wisnu ditaruh di atas meja ruang tamu oleh Pak Tirta. Raya dan Rukmini terkejut dengan apa yang sang guru dapatkan itu. “Bagaimana bapak bisa—“
“Aku menemukannya di depan laboratorium biologi. Untung saja tidak ada orang lain yang menemukan ini sebelumnya. Orang ini adalah mimpi buruk bagi para Eksekutif Kota. Kamu bisa tertimpa bahaya kalau sembarangan membawa gambar atau foto orang ini.”
Raya kemudian teringat saat dirinya tak sengaja menabrak seorang pria tadi siang, tapi itu tidak terjadi di depan laboratorium biologi. “Laboratorium biologi?” tanya Raya. Ia bahkan tidak pernah mendekat ke tempat itu, mengingat dirinya mengambil peminatan ilmu sosial. “Seharusnya gambar itu jatuh di depan perpustakaan saat saya menabrak seorang laki-laki di sana pagi tadi.”
Ekspresi Pak Tirta berubah seketika, ia tahu siapa orang yang dimaksud Raya, salah satu bagian dari Eksekutif Kota yang saat itu sedang berkunjung, Surya Adhipratama, sang paman. “Sebaiknya kalian lupakan soal hal ini, kalian menyelidiki sesuatu yang berbahaya.”
Peringatan Pak Tirta bukan suatu hal yang bisa menghentikan Raya dan Rukmini untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mata rantainya sudah mulai kentara, akan sangat merugikan kalau mereka justru berhenti di saat seperti ini.
“Kami hanya ingin mendengar cerita bapak tentang Neraca saja. Kalau bapak tetap tutup mulut, apa yang sebenarnya terjadi akan tertimbun oleh kebohongan yang 15 tahun ini sudah dianggap sebagai suatu hal yang nyata.” Rukmini mendesak Pak Tirta.
Pria berusia kepala tiga itu akhirnya membuat kesepakatan dengan tamu-tamunya, “Baik. Aku akan ceritakan ini, tetapi ingat, jangan pernah membahas atau membawa apa pun yang berkaitan dengan Organisasi Neraca atau peristiwa tahun 1998 saat ada di sekolah. Ada orang suruhan Eksekutif Kota yang selalu mengawasi apa yang terjadi di sekolah.”
Dua pemuda itu menyanggupi syarat dari Pak Tirta. Membuatnya mulai menceritakan apa yang dia alami 15 tahun lalu. Mulai dari kenapa dirinya bisa bertemu dengan Wisnu sampai bagaimana ia bisa terlibat dalam Neraca.
“Ah, aku ingat semuanya! Adi! Dia yang sudah mengkhianatiku dan membunuhku!” teriak Wisnu yang mendadak muncul di sana. Rasa kaget Raya tertutup dengan pertanyaan soal siapa yang dimaksud sebagai Adi. Keluarga Adhipratama kah? Atau ada orang lain bernama Adi
Setelah berusaha mengingat banyak hal sepanjang siang tadi hingga membuatnya tidak mengikuti Raya ke sekolah hari ini, kehadiran Wisnu tampak semakin tipis.
“Apa Wisnu pernah menitipkan sesuatu pada Pak Tirta?” tanya Raya usai sang guru menyelesaikan kisahnya.
Beberapa saat Pak Tirta diam sambil mengingat-ingat apa yang dititipkan Wisnu. “Ya, tapi tidak kutempatkan di sini,” balasnya.
“Ruang bawah tanah perpustakaan!” Raya dan Rukmini berteriak bersamaan.
Setengah tak percaya Pak Tirta memandangi kedua muridnya itu, “Jadi kalian termasuk dalam daftar orang-orang yang diberi kunci untuk bisa masuk ke sana?” tanyanya. Rukmini membalasnya dengan anggukan, “Ya, pertemuan pertama kami dan yang membuat kami mulai mencari semua informasi ini bahkan di sana.”
“Sebaiknya jangan pergi langsung hari ini. Kalian akan sampai rumah terlalu malam, dan itu berbahaya. Pergilah besok siang sehabis pulang sekolah, aku akan berada di sana juga,” saran Pak Tirta.
Tentu Raya dan Rukmini setuju, ini sudah jam setengah 5 sore. Jika mereka nekat melanjutkan, kemungkinan mereka akan sampai rumah sekitar jam 7 atau 8. Dengan cerita soal jatuhnya gambar Raya di sekolah tadi, Eksekutif Kota selaku pihak yang terlibat atas apa yang mereka selidiki tak akan tinggal diam begitu saja.
[][][]
1998
Saat sedang berjalan-jalan santai, Wisnu melihat seorang remaja laki-laki duduk di depan sebuah kios yang sudah tutup. Segera, ia melangkah mendekat lalu duduk di sampingnya. “Ini bukan tempat seorang remaja bermain kan? Kamu tersesat?” tanya Wisnu.
Pemuda itu menggeleng, “Aku pergi dari rumah,” balasnya. Terlihat jelas ia sedang susah payah menahan tangis.
“Menangislah saja, jangan ditahan. Sesekali laki-laki juga boleh menangis kok,” kata Wisnu begitu mendengar remaja di sampingnya itu berkata dengan suara sedikit bergetar. Ia kemudian menatap pemuda itu baik-baik. Dirinya merasa pernah melihat si remaja di suatu tempat. “Siapa namamu?”
Remaja itu malah menangis cukup kencang. Wisnu yang tak pintar berhadapan dengan situasi semacam ini seketika bingung apa yang harus ia lakukan. Beruntung dia melihat salah satu kawannya lewat di depan sana. “Kinanthi! Bantu aku sebentar!”
Segera setelah mendengar teriakan Wisnu, perempuan bernama Kinanthi itu berjalan mendekat ke sana. “Astaga, kamu bahkan membuat remaja menangis?” tanyanya begitu tahu apa yang terjadi.
“Ayolah.... Aku bahkan hanya menanyakan namanya....”
Kinanti kemudian memeriksa lutut remaja itu. Ada luka di sana, kemungkinan dia jatuh saat berlari ke sini. “Lututmu terluka, kemarilah aku akan mengobatinya terlebih dahulu, kalau dibiarkan bisa infeksi.”
Awalnya remaja itu menolak, tapi setelah beberapa kali diyakinkan Kinanthi yang memang ahli soal mengurus anak-anak semacam ini, ia akhirnya mau ikut mereka untuk menuju daerah permukiman Neraca.
Remaja itu mengaku dirinya bernama Tirta Adhipratama. Semua orang di sana langsung kaget mendengar nama itu. Termasuk Wisnu yang akhirnya mengerti kenapa ia merasa pernah melihat Tirta. Adhipratama adalah nama keluarga dari orang yang menjadi lawan utama Neraca. “Apa yang membuatmu di sini?” tanya Ayu yang sudah ikut merapat ke tempat Tirta berada.
Tirta diam sesaat. “Aku sedang melarikan diri dari paman. Dia berusaha memanipulasi juga mengendalikan ayah dan ibu untuk melakukan semua yang di inginkannya,” terangnya.
Dari apa yang diceritakannya, jelas sudah bahwa anak ini adalah keponakan dari Surya Adhipratama, serta anak dari Yudha Adhipratama, wali kota di sana. Yang mana, dua orang itu adalah antagonis utama bagi Neraca.
“Memangnya apa yang sedang diinginkan pamanmu?” Berikutnya Kinanthi yang mengajukan pertanyaan.
“Dia ingin membentuk Daerah Garis Batas, aku sendiri tidak tahu apa maksudnya. ”
Daerah Garis Batas. Ayu, Wisnu, Kinanthi, beserta seluruh orang di sana jelas tahu kalau Daerah itu dibentuk untuk mereka. Kalau pernyataan Tirta tadi benar, bukan tak mungkin Eksekutif Kota akan membuat mereka berada di tempat yang terasing, bahkan ketika mereka tetap tinggal di dalam kota ini.
“Bolehkah aku tinggal di sini sementara? Tiga atau empat hari saja.”
“Bagaimana kalau orang tuamu mencari keberadaanmu?” tanya Wisnu.
Tirta menggeleng, “Mereka tidak akan peduli denganku selama paman masih mendominasi. Paman juga mustahil mencariku, dia membenci keberadaanku di rumah karena hanya aku satu-satunya orang yang tidak bisa dikendalikan olehnya di rumah itu.”
[][][]
2013
Sesuai dengan kesepakatan, Raya dan Rukmini bersekolah seperti biasanya tanpa membincangkan serta membawa foto soal Neraca dan yang terkait dengannya. Mereka sangat semangat menunggu seluruh jam pelajaran usai, mereka ingin tahu apa sebenarnya yang di serahkan Wisnu kepada Pak Tirta.
Setelah sekolah rampung hari itu, mereka bergegas untuk pergi ke perpustakaan secara terpisah. Betapa kagetnya Raya begitu sampai di ruang bawah tanah. Ternyata Mas Bas juga ada di sana. Rukmini sudah lebih dulu sampai sekitar 10 menit yang lalu dan dia sama kagetnya dengan Rian saat tadi menyaksikan kehadiran Mas Bas di sana.
“Apa yang terjadi?” tanya Raya dengan ekspresi sedikit khawatir.
“Ada orang-orang yang sedang mengobrak-abrik rumahku, seperti mencari sesuatu, aku memutuskan untuk ke sini sebentar.” Mas Bas bercerita singkat soal apa yang terjadi sampai dirinya berakhir di tempat ini. “Lalu bagaimana dengan kalian? Kalian ingin mencari sesuatu di sini?”
“Lebih tepatnya menunggu seseorang.” Bersamaan dengan jawaban Rukmini, Pak Tirta muncul dari pintu atas. Raya, Rukmini, Mas Bas, dan Tirta. Mereka semua terkait dengan seluruh tragedi yang terjadi di kota ini 15 tahun lalu.
Tanpa banyak bicara, Pak Tirta segera mengambil sebuah kotak dari salah satu lemari di sana. Isinya beberapa identitas Wisnu, foto-fotonya, juga beberapa dokumen. “Tunggu sebentar, pemilik Nala Group itu Wisnu? Tapi kenapa...”
Akhirnya Raya paham siapa yang dimaksud sebagai Adi. Harindra Setiadi, orang yang dikenal sebagai pemilik sekaligus pemimpin dari Nala Group. “Jangan bilang Harindra Setiadi merebutnya dengan paksa dari Wisnu,” celetuk Raya.
Dengan segera Pak Tirta menjawab semua praduga-praduga itu, “Kurang lebih memang begitu. Tepat setelah Mas Wisnu menghilang, Harindra lah yang sepenuhnya mengambil alih Nala Group.”
“Mungkinkah Wisnu sebenarnya sudah meninggal sejak 15 tahun lalu karena ulah orang ini? Motifnya sudah jelas kan?” tanya Rukmini.
Pak Tirta menggeleng, “Aku sebenarnya juga sempat berpikiran seperti itu, tapi nasib Wisnu sendiri saja masih jadi misteri, kalau hidup dia ada di mana sekarang, kalau sudah meninggal jasadnya tidak pernah ditemukan.”
“Kalau 15 tahun yang lalu dia benar-benar dibunuh pun tak ada bukti Harindra yang membunuhnya,” sambung Mas Bas.
“Bagaimana kalau kita menjebaknya saja, supaya dia mengatakan semua yang sebenarnya terjadi.” Rukmini memberi saran
Tentu Pak Tirta dan Mas Bas tidak setuju, mereka tidak punya cukup waktu dan tenaga untuk bisa melakukannya. Harindra adalah salah satu orang terkuat di kota. Tak mungkin bisa dilawan oleh orang-orang seperti mereka berempat tanpa rencana yang matang. Bahkan organisasi Neraca saja bisa dengan mudah dihancurkan.
Tiba-tiba Raya menawarkan diri. “Bagaimana kalau aku sengaja tertangkap oleh mereka?” tanyanya. “Selama seharian ini aku diikuti oleh seseorang, berdasarkan yang kita temukan ini, kemungkinan besar orang itu suruhan Nala Group atau Eksekutif Kota.”
[][][]
1998
Waktu berlalu begitu cepat. Sudah tiga hari sejak Tirta datang ke permukiman Neraca. Belum adanya pergerakan dari Eksekutif Kota justru membuat orang-orang Neraca resah, kumpulan manusia licik itu pasti sedang merencanakan sesuatu.
Memang, setelah bertemu dengan Surya di alamat yang diberikannya sebulan lalu, Adi mendapat tugas untuk menghentikan pergerakan Neraca. Surya bukannya meminta untuk menangkap dan melenyapkan Ayu, sang pemimpin Neraca, tetapi justru malah Wisnu.
Berdasarkan apa yang Surya katakan, dirinya harus menyingkirkan orang yang paling disayangi Ayu, yang saat itu statusnya sedang dipegang oleh Wisnu. Dengan menyingkirkan Wisnu, Adi juga akan mendapatkan kendali penuh atas Nala Group.
Adi menatap telepon di hadapannya. Usai memantapkan hati, ia mulai menekan tombol angka satu per satu. Begitu telepon terhubung, dirinya segera memberikan instruksi, “Bergerak. Jangan lupa bawa buruan utamanya.”
Sesuai perintah, rombongan orang yang ternyata adalah kumpulan preman itu mendatangi permukiman para anggota Neraca. Kericuhan pun tak terhindarkan. Pada awalnya, Satria dan berapa anggota berhasil melumpuhkan beberapa preman. Tetapi lama-kelamaan mereka mulai kewalahan karena kalah jumlah.
Di tengah kericuhan, Kinanthi menitipkan sesuatu pada Tirta, sebuah kotak yang berisi dokumen milik Wisnu dan kunci markas Neraca, ruang bawah tanah perpustakaan. “Ini titipan dari Wisnu dan kunci ruangan bawah tanah di perpustakaan. Simpan baik-baik, jangan serahkan pada siapa pun kecuali orang yang benar-benar ingin melihat kebenaran.”
Sementara itu, Anton berusaha keras untuk bisa menghentikan baku hantam yang sedang terjadi. Ia segera menuju telepon umum untuk melaporkan situasi terkini pada sang atasan. Sayang, jawaban yang didapatkan tidak memuaskan baginya. Atasannya itu berkata bahwa tugasnya hanyalah mendokumentasikan Neraca dan kegiatannya, tak lebih dari itu.
Wisnu yang menyangka target utama mereka adalah sang istri, segera meminta Ayu yang sedang ditemani Tyas berkumpul bersama anak-anak dan seluruh wanita untuk dibawa ke tempat yang aman. Sesuai yang telah diperkirakan, Ayu menolak permintaan suaminya itu, “Aku pemimpin mereka, aku tidak bisa lari begitu saja,” balasnya.
“Ayu, dengarkan aku, aku juga salah satu pemimpin mereka sekarang. Tolong serahkan ini padaku, tugasmu kini adalah membawa yang lain pergi ke tempat aman, “ jawab Wisnu.
Ayu tetap menolak melakukan apa yang Wisnu perintahkan. Wisnu harus memberi argumen cukup lama sampai akhirnya perempuan bermata hazel itu setuju untuk menyerahkan urusan di sini kepadanya. “Pastikan jangan ada satu pun luka di tubuhmu,” ucap Ayu begitu melangkah pergi bersama Tyas.
“Siap kapten!” balas Wisnu menunjukkan sikap hormat sambil tersenyum.
Setelah memastikan semua berhasil pergi, Wisnu segera bergabung dengan Satria di sana. Kemampuan bela dirinya memang masih dalam fase rendah, mengingat ia baru mempelajarinya dari Surya beberapa waktu belakangan, tapi bisa lah untuk membantu menjatuhkan satu dua preman di depannya.
Tidak perlu waktu lama untuknya dilumpuhkan. Para anggota Neraca tampak sudah kehabisan tenaga. Dua orang bertubuh kekar kemudian menyeret Wisnu pergi. Secara refleks Wisnu sedikit melawan dan berteriak pada mereka untuk segera melepaskannya. Namun, seorang preman lain malah membenturkan sebuah balok kayu kecil padanya, hingga membuat dirinya pingsan.
Melihat apa yang mereka lakukan pada salah satu rekannya, Satria ingin pergi membantu Wisnu. Sayangnya preman-preman yang datang tak ada habisnya. Perih lalu terasa di kaki kanannya. Sebuah belati menancap di sana. Ia terjatuh. Setelah membawa Wisnu, semua preman itu langsung tancap gas. Tak ada yang bisa mengikuti jejak mereka.
[][][]
2013
Raya disambut oleh kedua orang tuanya begitu sampai di rumah. Ia merasa sedikit aneh, sebelumnya mereka belum pernah seperti ini. Kalau Wisnu ada di sampingnya mungkin pria tak tembus pandang itu akan mengejeknya nanti, untunglah saat itu Wisnu memilih untuk tetap berdiam di perpustakaan sementara dan mengikuti Mas Bas yang ditugaskan mengurusi dokumen-dokumen tadi.
“Ada yang ingin kami bicarakan,” ucap sang ayah, Satria. Raya yang tak tahu apa-apa hanya mengekor di belakang dan berjalan menuju ruang tengah.
Ternyata orang tuanya sudah tahu apa yang sedang dirinya selidiki. Mereka justru dengan senang hati menceritakan semua yang terjadi 15 tahun lalu. Raya akhirnya tahu, bagaimana Wisnu bisa menghilang hari itu.
Ketika Raya hendak berbalik menuju kamarnya. Tyas dan Satria menahan putranya itu untuk tetap di tempat. Ada satu lagi cerita yang belum mereka sampaikan. Sebuah cerita yang sukses membuat Raya menangis. Kisah itu memberikan kemungkinan alasan kenapa Raya yang sedikit pun tidak peka terhadap hal-hal gaib bisa melihat Wisnu
Sementara itu, Harindra Setiadi yang mulai merasa tak nyaman karena ada yang mengorek-korek apa yang dulu pernah dilakukannya memberi sebuah perintah, “Begitu anak itu lengah, segera bawa dia ke tempat biasanya. Aku harus memberikan sedikit pelajaran kalau ada sesuatu yang tak boleh sembarangan dicampur tangani.”
[][][]
1998
Pertarungan tadi membuat sebagian besar anggota Neraca terluka. Mereka beruntung tak ada yang meninggal dunia sebab Anton berhasil menghubungi paramedis tepat waktu. Hanya saja, kala itu mereka kehilangan Wisnu yang dibawa oleh sekumpulan penyerang itu pergi entah ke mana.
Saat tersadar Wisnu sudah ada di tempat dengan pohon-pohon rindang di sekelilingnya. Pandangannya kabur, kepalanya terasa sakit. Ia dapat merasakan kalau darah segar masih mengalir dari pelipisnya. Ia sempat berpikir inikah akhir dari perjalanan hidupnya?
“Apa kabar, Wisnu,” ucap sebuah suara yang familier baginya. Sewaktu penglihatannya sudah cukup jelas, ia dapat melihat sang sahabat, Adi berdiri di hadapannya. Kenyataan ini cukup menyayat hatinya. Air mata mengalir dari mata kirinya. Ia mulai menangis. Bukan karena takut jika ia harus kehilangan nyawa kala itu, atau salah satu usahanya untuk bisa memohon dilepaskan. Tangisannya tercipta karena ia dikhianati. Sahabat terdekatnya, orang yang paling ia percaya selama ini mengkhianatinya.
“Di mana kamu menyembunyikan dokumen perusahaan, Wisnu?” tanyanya.
“Di suatu tempat di mana kamu tidak akan pernah menemukannya,” ucap Wisnu seraya menatap nanar netra mantan sahabatnya itu.
Adi tersenyum sinis, “Kamu mungkin akan kubiarkan hidup jika mengatakannya.”
“Kamu menangkapku dan membuat kericuhan hanya untuk menguasai perusahaan?” Wisnu berbalik menyerang Adi.
“Tentu tidak, aku harus membuat pemimpin Neraca kehilangan semangatnya. Menyingkirkanmu untuk kepentingan pribadiku hanya tujuan sampingan saja,” balas Adi. “Sekarang, katakan di mana kamu menyembunyikannya!”
Wisnu tetap bungkam, meskipun pukulan dan siksaan telah menghujani tubuhnya. Adi sampai harus berkali kali mengajukan pertanyaan itu. Begitu kesabarannya sudah habis, ia membereskan Wisnu di tempat. Dirinya mengambil sebuah pisau, kemudian menusukkannya ke tubuh bekas sahabatnya yang sudah lemas. Untuk menghilangkan barang bukti, ia menguburkan jasad Wisnu di sana.
“Semua ini milikku. Tak ada yang berhak menguasainya selain diriku!”
Setelah kejadian itu, seperti yang sudah diharapkan para Eksekutif Kota, kegiatan Neraca mulai menurun. Orang-orang yang tergabung di dalamnya dipukul mundur sampai ke ujung kota. Dan di tempat itulah, mereka semua akhirnya tinggal. Tempat yang kemudian disebut Daerah Garis Batas.
[][][]
2013
Setelah banyak menangis malam kemarin, Raya berusaha untuk menghilangkan bekas tangisan di wajahnya. “Kau menangis semalam?” tanya Wisnu yang lagi-lagi mendadak muncul di sampingnya.
“Jangan berkata seperti itu, aku sudah berusaha keras untuk menghilangkannya. Bagaimana dengan Mas Bas? Dia sudah mulai bergerak?” Raya balik bertanya pada Wisnu dengan sedikit berbisik.
Wisnu mengangguk, “Dia sudah meminta kerja sama asosiasi jurnalis di luar kota ini. Dia juga menghubungi orang dari LBH yang dikenalnya, kalau tidak salah namanya Atma”
Nama itu tak asing bagi Raya, dia adalah ayah Rian. Pak Atma memang tokoh yang terkenal berseberangan dengan Eksekutif Kota. Tidak heran kalau beliau menjadi salah satu orang yang dipercaya Mas Bas untuk berbagi informasi. Kalau semua siasat mereka berhasil, kemungkinan besar beliau yang akan jadi pembela dari orang-orang Daerah Garis Batas.
Siang hari tiba dengan cepat. Saatnya bagi Raya untuk melaksanakan tugasnya. Ia sengaja pulang terlambat. Menunggu tiga rekan lainnya menyiapkan segala pendukung yang diperlukan. Dirinya juga sengaja melewati jalan-jalan sepi supaya orang yang mengikutinya bisa menangkap dan membawanya.
Kemarin, semua orang jelas menolak ide Raya. Mereka semua merasa kalau itu terlalu berbahaya. Terlebih lagi, semisal Raya benar-benar dibawa oleh orang-orang itu, mereka tidak akan tahu di mana dia akan ditempatkan setelahnya.
Susah payah Raya meyakinkan mereka. Ia tahu betul ke mana nantinya ia akan di bawa. Hutan Kota. Tempat di mana Raya dan Wisnu bertemu untuk pertama kali. Raya rasa ada sesuatu yang membuat tempat seluas itu tidak dimanfaatkan oleh Nala Group.
Hal lain yang membuatnya sangat yakin adalah tempat itu ditutup dengan dalih renovasi prasarananya dua hari yang lalu. Hari yang sama setelah Surya Adhipratama menemukan gambar Wisnu yang tidak sengaja dijatuhkan oleh Raya.
Benar saja, dua orang berbaju hitam memaksa Raya untuk mengikuti mereka. Ia berpura-pura kebingungan dan meronta-ronta. Mereka melakukan berbagai macam hal supaya Raya tak bisa kabur ataupun berteriak.
Raya bisa mendengar suara riang para penculik karena berhasil mendapatkannya. Dalam hati dirinya tertawa, “Kami yang berhasil mendapatkan kalian.”
Sesuai rencana, Mas Bas, dan Pak Tirta bersiap di pusat Hutan Kota. Pak Tirta tampak membantu Mas Bas menyiapkan kamera yang sudah dipinjamnya dari salah satu kenalan. Sedangkan Rukmini menunggu di dekat gerbang masuk untuk mengikuti Raya untuk melacak tempat pemuda itu disekap.
Raya sampai di hutan kota beberapa puluh menit setelah tertangkap. Ia lamat-lamat dapat melihat barisan pepohonan dari kedua matanya yang ditutup kain hitam. Saat Raya terlihat, Rukmini segera mengikutinya. Gadis itu berusaha berjalan sehening mungkin, gerakan orang-orang itu berhenti di tempat dekat danau.
Setengah berlari sambil menghindari dahan-dahan kering yang tersebar di sana, Rukmini menuju tempat Pak Tirta dan Mas Bas berada dan memberitahu pada mereka keberadaan Raya saat ini.
Berbarengan dengan itu, orang yang mereka tunggu-tunggu, Harindra Setiadi, datang. Diiringi beberapa pengawal, dirinya berjalan menembus rimbunnya pepohonan di samping kanan dan kirinya dengan santai.
Rukmini, Mas Bas, Pak Tirta, segera bergerak. Untunglah mereka sampai beberapa saat sebelum Harindra tiba di danau itu. “Inikah remaja yang berani melawan kita?” tanya Harindra pada salah satu anak buahnya.
“Rekam! Rekam!” perintah Pak Tirta segera.
Raya mengedip-kedipkan mata sesudah kain yang menutup matanya dilepas. Ia tersenyum, sejauh ini rencananya berhasil. “Apa yang terjadi 15 tahun lalu sampai Nala Group tiba-tiba menjadi milik Anda? Bapak Harindra Setiadi?”
“Dari awal Nala Group memang milikku,” ucapnya percaya diri.
“Lalu, bagaimana dengan dokumen yang selama ini Anda cari-cari?”
Wajah Harindra merah padam, “Sialan itu! Di mana dokumen itu sekarang!” teriaknya kesal. Ia tak menyangka kalau Remaja di depannya itu berhasil menemukan apa gagal didapatkannya sejak 15 tahun lalu.
“Anda bilang Nala Group adalah milik Anda sendiri, lalu kenapa Anda merasa terganggu dengan dokumen itu?” tanya Raya.
“Kenapa Anda membunuhnya, kenapa Anda membunuh sahabat Anda sendiri,” kata Raya dengan lirih. “KENAPA HARUS AYAHKU!” Semua yang mendengarnya terkejut, tak terkecuali Wisnu yang juga ada di sana.
Wisnu menatap Raya, putra tunggalnya, lekat-lekat. Perasaannya tak bisa digambarkan, ia ingin menangis, tapi justru karena terlalu sedih, air matanya tak bisa keluar sedikit pun. Dirinya memang sempat beranggapan kalau Raya adalah darah dagingnya, tapi ia menyingkirkan seluruh pikiran itu karena tidak adanya bukti.
Air mata mengalir dari mata kiri Raya. Hal inilah yang membuatnya menangis semalam. Satria dan Tyas akhirnya menceritakan semua yang terjadi setelah Wisnu menghilang. Dua minggu kemudian Ayu baru mengetahui kalau dirinya mengandung.
Dengan tragedi yang Neraca alami tak lama sebelumnya, kebanyakan anggota memutuskan untuk berhenti. Kemungkinan mereka menang sudah hampir tidak ada. Sementara, anggota yang percaya kalau mereka masih bisa berhasil tetap mengumpulkan kekuatan diam-diam.
Organisasi Neraca benar-benar bubar pada akhir tahun 1998. Ketika itu Ayu meninggal saat melahirkan anaknya, Narayana. Karena Satria dan Tyas tahu bahwa Raya akan berada dalam bahaya begitu Eksekutif Kota mengetahui keberadaannya, mereka merancang skenario bahwa Ayu dan anaknya meninggal dunia saat itu. Sejak itulah status Raya berubah menjadi anak dari Satria dan Tyas. Hanya empat orang yang tahu soal ini, Satria, Tyas, Kinanthi, dan Anton.
Harindra tertawa, “Begitu rupanya, tak heran kau sangat mirip dengan Wisnu, juga dengan wanita pasangannya itu,” balasnya. “Ya, aku yang menghabisinya dulu, dia adalah penghalang terbesar bagi seluruh rencana kami.”
“Lagi pula kau tidak akan menemukan bukti bahwa aku membunuhnya, sama seperti bagaimana aku membungkam Kinanthi, si jal*ng itu, juga Anton si jurnalis yang membelanya. Tidak ada satu orang pun yang tahu atau bisa membuktikan bahwa akulah yang sudah melenyapkan mereka.”
Pengakuan itu tak kalah membuat semua orang terkejut, khususnya Rukmini dan Mas Bas. Ayah Mas Bas dan Ibu Rukmini ternyata tidak meninggal karena sebab normal.
“Baj*ngan!” Mas Bas yang tak bisa mengendalikan emosinya lagi berteriak begitu kencang, membuat persembunyiannya ketahuan.
“Tangkap mereka!” perintah Harindra begitu melihat ternyata ada yang mencuri dengar apa yang dikatakannya.
Pak Tirta, Mas Bas, dan Rukmini terkepung. Mereka tidak bisa pergi ke mana-mana lagi. Tepat sebelum mereka tertangkap, suara sirene mobil polisi terdengar. Pak Atma datang tepat waktu. Beliau berhasil mengumpulkan aparat polisi di kota yang sekiranya masih bersih dan meminta mereka untuk datang ke Hutan Kota.
Harindra yang tertangkap basah tak bisa berkutik lagi. Ia bersama antek-anteknya sempat berusaha kabur.
Para polisi itu melepaskan tali yang menjerat Raya. Rencana mereka berhasil. Dengan seluruh pengakuan itu, mereka berhasil menggali kebenaran yang terkubur selama 15 tahun.
Esoknya berita soal penangkapan pimpinan Nala Group menyebar ke seluruh kota, bahkan seluruh negeri. Pencarian besar-besaran di Hutan Kota terkait jenazah Wisnu juga telah dilakukan. Satu minggu kemudian, tulang belulang milik Wisnu baru bisa ditemukan. Saat itu juga arwah Wisnu sudah tak pernah lagi disaksikan oleh Raya.
Tak lupa sebelum menghilang Wisnu berpamitan dengan Raya terlebih dahulu. Ia meminta maaf karena tak bisa menjadi sosok ayah baginya bahkan telah melibatkan putranya sendiri dalam kegiatan yang berbahaya, juga berterima kasih karena sudah menyelesaikan apa yang tak bisa diselesaikannya dahulu.
Ketidakadilan yang diterima para warga Daerah Garis Batas mulai mendapat sorotan oleh seluruh negeri. Dukungan mulai mengalir dari berbagai pihak pada Daerah Garis Batas yang selama ini dipandang sebelah mata.
Penyelidikan terkait berbagai tindak kejahatan yang dilakukan oleh Eksekutif Kota, juga orang-orang yang terkait dengan mereka dimulai satu bulan selepas Harindra ditangkap. Kota ini terasa lebih ramah bagi Raya dan orang-orang Garis Batas lainnya.
Apa yang sudah ia lalui ini membuat Raya berharap supaya tak akan ada lagi ketidakadilan yang terjadi baik di kotanya, negaranya, ataupun seluruh dunia.
Tamat
•
[] Gempita Shastra []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro