[] Mata Rantai • 1
Mata Rantai
Oleh ShiroKuro_11
•
[] Historical - Horror []
•
1998
“Semua ini milikku. Tak ada yang berhak menguasainya selain diriku!”
Di tengah hujan deras malam itu, di antara rerimbunan pepohonan di sekitarnya, sesosok pria berjubah hitam samar-samar tampak sedang melakukan suatu hal. Menaik-turunkan sekop, mengangkat dan menjatuhkan tanah. Mengubur sesuatu.
[][][]
2013
“Raya! Jangan lupa bawa bekalmu!” Remaja itu segera mengambil kotak makan yang sudah disiapkan sang ibu di meja dalam kamarnya. Kalau saja ibunya tidak mengingatkan, bukan tak mungkin ia akan kelaparan selama perjalanannya nanti.
Dengan terburu-buru, ia segera keluar dari kamarnya. "Ibu, Aku berangkat dulu!" pamitnya pada sang ibu yang tengah mencuci piring di belakang rumah. "Ayah, aku berangkat."
"Hati-hati di jalan, semoga perjalananmu menyenangkan!" balas sang ayah seraya menyiapkan tongkat sikunya.
Raya berlari menyusuri gang-gang sidatan untuk bisa sampai tepat waktu. Jarak dari rumahnya di Daerah Garis Batas ke sekolahnya di Pusat Kota memang cukup jauh. Perlu waktu setidaknya 45 menit untuk sampai ke sana, dengan berlari tentunya. Ia segera masuk ke barisan kelasnya begitu sampai di sekolah. Hari ini sekolah Raya memang sedang mengadakan acara tahunan rutin, mereka akan melakukan perjalanan ke tempat-tempat tertentu untuk wisata, tak heran mereka semua sudah berbaris rapi di halaman sekolah.
"Kalau kamu datang lebih lama semenit, Bu Ari pasti akan membuatmu dipajang di depan sana," bisik Rian, satu-satunya siswa di sekolah yang mau berteman dengannya.
“Siapa suruh anak Garis Batas sekolah di sini?” ejek salah satu teman sekelasnya. Raya yang sudah kebal dengan hinaan semacam itu tak sedikit pun memedulikannya.
Daerah Garis Batas adalah sebuah daerah di ujung kota, mereka tidak tersentuh—lebih tepatnya tidak mau disentuh— oleh pembangunan yang dikomandani sebuah kelompok bernama Eksekutif Kota. Bukan tanpa alasan, hal itu terjadi karena penduduk di sini kebanyakan adalah ‘orang buangan’ atau orang-orang oposisi pemerintah. Mereka memilih untuk melawan pemerintah kota karena para pejabat dan sebagian besar perangkatnya hanya sekadar boneka milik Eksekutif Kota.
Kepala sekolah memberikan pembukaan singkat dan pembacaan tata tertib kegiatan ini. Mereka semua kemudian masuk ke bus yang telah disediakan. Kelas Raya menempati bus nomor 3 didampingi oleh wali kelas mereka, Pak Tirta.
Tempat yang dipilih oleh anak-anak kelas 10 tahun ini adalah Hutan Kota. Mungkin mereka ingin untuk rehat sejenak dari aktivitas belajar mengajar di sekolah dengan menikmati keasrian dari rimbunnya pohon-pohon di sana.
Sebagai informasi tambahan, lahan hutan ini adalah hibah dari Nala Group, salah satu perusahaan besar di kota milik seorang pengusaha bernama Harindra Setiadi. Tak jelas kenapa mereka tidak menggunakan tanah seluas ini untuk dibangun gedung yang bisa meningkatkan pendapatan mereka.
"Orang-orang bilang hutan ini nggak digunain sama Nala Group buat lahan perusahaannya karena ada penunggunya lho.”
“Temennya saudaraku pernah bilang kalau dia ngeliat arwah laki-laki yang bajunya dari tahun 90-an gitu di sana. Ngeri nggak sih?”
Sepanjang perjalanan, Raya mendengar kawan-kawannya menceritakan berbagai macam kisah terkait tempat yang akan mereka tuju, mulai cerita sejarahnya sampai kisah-kisah mistis yang mewarnainya.
Hutan kota, tempat tujuan mereka, sudah terlihat di ujung jalan. Para siswa tampak begitu senang. Tak butuh waktu lama untuk sampai ke sana. Raya mencangklong tasnya lalu keluar dari bis begitu anak-anak lain sudah keluar. Mereka berjalan sekitar 7 menit untuk sampai di tempat istirahat. Terlihat beberapa siswa sudah duduk di akar-akar pohon yang menonjol keluar tanah.
"Anak-anak, kalian punya waktu bebas 2 jam. Gunakan baik-baik! Jangan melakukan hal yang aneh-aneh atau surat peringatan akan sampai ke tangan orang tua kalian."
Raya mengeluarkan sebuah sketchbook dan pensil. Ia kemudian berjalan-jalan sembari melirik ke kanan dan kiri, mencari tempat yang bisa digunakannya sebagai objek gambarnya. Di bawah pohon beringin besar, dia memilih salah satu akar yang menyembul keluar tanah untuk dijadikan tempat duduk.
Pemuda dengan mata hazel itu mulai menggerakkan pensilnya, menggambar danau dan hamparan pepohonan di depannya. Tak lupa ia menambahkan seorang laki-laki yang tengah duduk membelakanginya di bangku dekat danau.
"Woah, hebat! Imajinasimu bagus juga, pas banget dikasih orang yang lagi duduk natap danau gitu, kesannya kayak lagi nunggu sesuatu,” tiba-tiba Rian mendatangi Raya sambil sedikit curi-curi pandang dengan apa yang digambarnya.
Raya menyipitkan matanya, "Imajinasi?" tanyanya dalam hati. Ia menatap kembali kursi taman di depannya, laki-laki itu jelas masih ada di sana. "Aku tidak berimajinasi apa pun, pria berbaju kotak-kotak itu memang duduk di sana kok," balasnya seraya menunjuk ke arah depan.
Lelaki itu langsung menoleh begitu sadar ada orang yang bisa melihatnya. Tak sengaja mata mereka bertemu, membuat Raya tiba-tiba merasa sesak.
[][][]
1998
“Wisnu! Kamu benar-benar ingin pergi lagi?!” Suara itu bertanya setengah berteriak kesal pada seorang laki-laki yang kelihatannya tengah asyik membaca sesuatu.
Pria yang dipanggil Wisnu itu mengangguk mantap. Ia lantas menutup bukunya, berjalan ke depan meja, dan duduk di atasnya.
“Bukan sepenuhnya pergi juga. Belakangan ini situasi ekonomi nasional, khususnya kota ini sedang memburuk, aku ingin tahu lebih jauh soal kondisi masyarakat sekitar, siapa tahu aku bisa membantu mereka, aku akan tetap memantau kondisi perusahaan kok.” jelasnya. “Lagi pula aku punya tangan kanan yang bisa diandalkan sepertimu, Adi.”
Adi memijat dahinya pelan. “Orang ini benar-benar...” ucapnya dalam hati.
[][][]
2013
“Argh!" Tiba-tiba Raya berteriak tatkala dirinya benar-benar sedang sendirian di rumah. Saat ini ia mempertanyakan kewarasannya atas apa yang terjadi setengah hari tadi. Untung saja rasa sesak tadi tak berlangsung lama, sehingga Rian tak perlu memanggil Pak Tirta dan masalahnya tidak menjadi lebih buruk dari ini.
"Kau mengagetkanku!"
Raya menatap tajam sosok tembus pandang di sampingnya, "Menurutmu siapa yang selalu membuatku kaget dengan keluar masuk kamar menembus dinding dan pintu?" balasnya.
Arwah itu mengaku dirinya bernama Wisnu. Dia terus menerus meminta Raya untuk membantunya mengingat semua kenangannya sebelum ia mati. Tak jelas juga kenapa harus Raya yang dimintai tolong olehnya. "Nanti lama-lama juga terbiasa,” Ia menjawab dengan sedikit ketus.
Raya memandang makhluk itu lekat-lekat. Setelah berpikir apa yang harus dilakukan, dengan cepat dia mengeluarkan alat gambarnya. "Diam di sana!" perintahnya. Ia pun mulai menggambar rupa Wisnu di salah satu halaman buku gambarnya.
Wajah Wisnu terlihat senang dengan apa yang remaja itu lakukan, secara tak langsung Raya sudah berniat membantunya, “Kau ingin menggambarku?" tanyanya.
"Aku perlu memastikan apakah kamu benar-benar jiwa dari seseorang yang pernah hidup atau hanya sesuatu yang tercipta oleh alam bawah sadarku."
Ucapan Raya rupanya cukup menyinggung Wisnu. "Kau pikir aku tidak nyata?"
Raya mengangguk, "Aku yakin kamu tahu kalau cermin tidak merefleksikan bayanganmu.” Ditunjuknya sebuah cermin yang sudah sedikit usang di seberang tempat tidurnya. Benar, memang hanya sosok Raya saja yang terpantul di sana. Wisnu tak menjawab, ia tetap tak terima disebut hanya khayalan, tetapi sejauh ini ucapan Raya benar, dia belum bisa membuktikan kalau dirinya ada atau setidaknya pernah ada.
Setelah selesai, Raya memutuskan untuk pergi ke tempat di mana seluruh informasi yang ingin ia cari berada. Perpustakaan. Ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya saat menggambar Wisnu tadi. Sebuah logo di saku baju yang dikenakan Wisnu. Ia merasa pernah melihat logo itu di suatu tempat. Sebelum pergi, dirinya meninggalkan sebuah catatan di balik pintu depan untuk memberitahu ibunya kalau ia tengah pergi ke perpustakaan.
Begitu sampai, Raya langsung meminta kunci ruang bawah tanah pada pustakawan paruh baya yang sedang bertugas. Dari luar, taman pustaka ini memang terlihat layaknya perpustakaan biasa. Yang tidak orang-orang tahu, ada sebuah ruang rahasia di bawahnya, buku dan arsip ‘terlarang’ mulai dari zaman kolonial sampai saat ini ada di dalam sana.
“Ruangan ini dulu rasanya ramai, jadi sepi sekali...” kata Wisnu begitu masuk ke tempat minim cahaya itu.
Ruang terdalam di perpustakaan ini cukup luas. Ada beberapa rak kayu dari jati yang masih berdiri kokoh menahan tumpukan buku dan dokumen selama berpuluh-puluh bahkan mungkin beratus-ratus tahun. Raya mengambil lentera yang tergantung di dekat pintu masuk. Dengan bantuan cahaya temaram dari benda yang dibawanya, ia menyusuri rak-rak buku hingga ke tempat bertuliskan ‘90’. Dirinya pun mulai membuka satu per satu buku dan dokumen serta mencari sebenarnya logo apa yang ada di baju Wisnu itu.
"Mencari sesuatu?" suara gadis itu mengagetkan Raya. Selama ia keluar masuk daerah terlarang ini, ia tak pernah bertemu dengan orang lain. Dirinya juga sama sekali tidak mendengar langkah kaki saat gadis itu mendekat. Pikiran-pikiran gila soal makhluk astral penunggu ruangan menggelayutinya. "Aku manusia kok, sama denganmu. Perlu bantuan?" tanya gadis itu sambil terkekeh.
Raya menghembuskan nafas lega, ia mengeluarkan secarik kertas yang sudah ia gambari dengan sebuah logo dari saku celananya. “Kamu pernah melihat logo ini?”
Gadis itu terlihat berpikir sejenak, lantas mengangguk, “Ah! Itu logo dari Organisasi Neraca yang melakukan berbagai macam gerakan di kota ini tahun 1998. Kamu tahu kan apa yang terjadi waktu itu?” terangnya seraya mencari-cari sebuah buku di rak ‘90’ itu.
Perselisihan besar pernah terjadi 15 tahun lalu di kota kecil ini, sekelompok orang yang menjadi korban kesewenang-wenangan Eksekutif Kota berusaha membongkar seluruh ketidakadilan yang terjadi pada mereka. Konflik tersebut berakar dari peristiwa setahun sebelumnya, dipicu dengan monopoli pembelian lahan milik warga oleh Eksekutif Kota juga kekerasan yang mengiringinya.
Data atas seluruh kejadian itu tak bisa ditemukan di bagian atas perpustakaan ini, dapat disimpulkan kalau peristiwa yang terjadi 15 tahun lalu itu termasuk dalam salah satu topik sensitif, bahkan terlarang.
“Oh iya, namaku Rukmini. Boleh aku tahu namamu?” Perempuan itu kemudian memberikan buku yang tadi dicarinya pada Raya.
“A-aku Narayana, panggil saja Raya.” Ia menerima buku itu. Sayangnya, karena terlalu gugup, bukunya justru terjatuh sebelum sempat menyentuh tangannya dengan sempurna. Tanpa sengaja selembar foto menyembul dari sampulnya. Raya menarik keluar foto itu, dirinya kaget bukan main ketika melihat siapa yang ada di sana. Wisnu. Ia berdiri sambil tersenyum, tangan kanannya menggandeng tangan seorang wanita. Sayangnya foto itu robek pada potret si wanita dan Raya tak berhasil menemukan sobekannya.
“Sudah kukatakan aku ini nya—“
Potongan-potongan kenangan milik Wisnu tiba-tiba kembali. Ia ingat pernah dekat dengan seorang wanita di masa lalu. Meskipun gagal mengingat wajah wanita itu, dirinya tetap senang ada sedikit potongan ingatan yang kembali.
“Ingatanku! Potongan ingatanku kembali!” Wisnu berteriak-teriak kegirangan. Ini pertama kali baginya bisa mengingat kehidupannya lagi. Sejak kematiannya, dirinya terasa begitu kosong, hanya ada secuil kenangan yang dapat diingatnya.
Raya menatap Wisnu yang kegirangan dengan sedikit tersenyum. “Kamu sedang melihat apa?” Pertanyaan ini dilontarkan Rukmini lantaran ia tak bisa melihat wujud Wisnu yang tengah tersenyum lebar sambil sedikit tertawa-tawa di sampingnya.
“Tidak kok,” balasnya singkat, kemudian meneruskan usahanya mencari-cari bagian lain dari potret yang robek itu. Sial, ia jadi penasaran siapa sebenarnya wanita yang ada dalam foto itu. “Aku kenal dengan salah satu jurnalis yang menyimpan berita-berita terkait Organisasi Neraca juga peristiwa 15 tahun lalu. Kalau kamu mau, kita bisa bertemu di bagian atas, jam 1 siang besok. Aku akan memperkenalkanmu padanya.” Raya mengangguk setuju dengan ajakan Rukmini.
[][][]
1998
Beberapa hari usai dirinya menyerahkan perusahaan untuk sementara pada sang sahabat, Wisnu pindah ke sebuah rumah kontrakan kecil, cukup jauh dari tempat tinggalnya yang asli. Ia mulai berpikir apa yang harus dilakukannya. Sebagai permulaan, ia mengamati sedikit lingkungan di sekitar sana.
Wisnu berjalan-jalan melewati berbagai macam tempat yang jelas berbeda dari daerah di sekeliling kediaman aslinya. Tiba-tiba ia merasa sedih, ketimpangan semacam ini akan tetap ada kalau orang kaya hanya berpikir bagaimana cara menambah kekayaan mereka.
Di tengah perjalanan ia melihat seorang wanita tengah duduk berbincang dengan seseorang yang tampaknya adalah pemilik toko kelontong tak jauh dari sana. Kemeja putih dan celana hitam, dengan rambut legam panjang dikuncir serta mata hazel yang ada pada wanita itu menarik perhatian Wisnu dalam sekali pandang saja
Tanpa Wisnu sadari, dari belakangnya ada sekelompok preman yang mulai mendekati toko itu. Orang-orang berbadan kekar tersebut mendorong Wisnu untuk menyingkir dari tempatnya berdiri. Entah karena sekumpulan pria itu terlalu kuat atau dirinya saja yang lemah, Wisnu terpelanting membentur pintu rolling door di sampingnya.
Sambil terduduk memegangi lengan kirinya, Wisnu dapat melihat mereka mendekati wanita bermata hazel itu. Tak diduga, seorang pria dengan tubuh kurus datang dari dalam toko dan mulai menjatuhkan satu persatu preman-preman yang menyerangnya. Wisnu melongo melihat apa yang terjadi. Lima orang bertubuh kekar dikalahkan oleh satu orang dengan tubuh yang besarnya bahkan tak jauh berbeda dengannya.
Sekelompok preman itu segera pergi menjauhi toko. Wisnu perlahan berdiri, ia kemudian memutuskan kembali ke rumah kontrakannya. “Tunggu!” Wanita bermata hazel itu berlari mendekatinya. Karena sedikit malu soal apa yang terjadi padanya tadi, Wisnu memilih untuk tetap melangkahkan kakinya.
Tangan perempuan itu mencengkeram tangan kiri Wisnu hingga membuatnya seketika kesakitan. “A-Ah, Maaf, Aku sudah memanggilmu tapi tadi tidak ada tanggapan,” ucapnya. “Sebelumnya, boleh tahu siapa namamu?”
“Wisnu.”
“Baiklah! Perkenalkan, aku Ayu. Kelihatannya tanganmu terluka, mari ikut kami, kami bisa bantu obati sedikit,” balas wanita yang namanya setara dengan parasnya dan hatinya itu. Ia lantas memanggil pria yang bersamanya tadi.
Setelah berbincang singkat, akhirnya mereka sepakat membawa untuk membawa Wisnu juga. “Ayo, jangan hanya mematung di situ. Namaku Satya.”
Mereka berjalan bersama sekitar 15 menit dari tempat tadi. Sebuah kawasan di mana bangunan-bangunan kecil yang ternyata digunakan sebagai rumah, menyambut kedatangan mereka. Wisnu tersenyum kecil ketika menyaksikan anak-anak yang sedang asyik berlarian di tanah lapang tak jauh dari sana.
Seorang wanita juga ikut menyambut Ayu dengan banyak pertanyaan, “Apa yang terjadi? Kalian tidak apa-apa? Dan... Siapa dia?”
“Hanya beberapa masalah kecil, tapi suamimu sudah menyelesaikan semuanya. Kami tidak apa-apa kok, hanya tamu kita kelihatannya terluka. Oh iya, namanya Wisnu,” balas Ayu menenangkan kawannya itu sekaligus memperkenalkan Wisnu kepadanya.
“Salam kenal Wisnu, panggil saja aku Tyas!”
Wisnu menundukkan badan sedikit sambil tersenyum canggung. Mereka berjalan masuk ke dalam rumah Tyas dan Satria untuk memberikan pertolongan pertama pada lengan Wisnu. “Kalau boleh tahu, ini daerah apa?”
“Aku tidak tahu orang-orang menyebut tempat ini apa, yang jelas ini daerah tempat tinggal kami. Daerah permukiman Neraca?” jawab Tyas.
“Neraca?”
Kali ini Ayu yang mengambil alih untuk menjelaskan, “Kami semua adalah anggota dari organisasi yang bernama Neraca, kamu pasti tahu artinya setelah lihat logo yang di cat di tembok di depan. Kami di sini dalam rangka memperjuangkan keadilan terkait peristiwa setahun lalu.”
“Apakah aku boleh ikut membantu kalian?” tawaran Wisnu ini membuat orang-orang di sana seketika langsung menatapnya.
[][][]
2013
Besok siangnya, sesuai janji yang sudah di buat kemarin, Raya dan Rukmini—ditemani Wisnu— pergi menuju sebuah rumah sederhana di dekat pusat kota. Rukmini melangkah ke depan pintu dan mengetuknya beberapa kali. Seorang pria muda dengan kaos oblong putih muncul di balik pintu, usianya sekitar awal 20-an.
“Tidak biasanya kamu kemari, Rukmini. Sedang mencari tahu sesuatu lagi?” tanyanya.
Rukmini menggeleng, “Aku membawa teman, dia yang mau mencari tahu sesuatu. Ini, namanya Raya.” Raya menundukkan badan sedikit sambil tersenyum canggung. “Raya, ini Mas Basuki, panggil saja Mas Bas.”
“Jadi, apa yang kamu perlukan?” tanya Mas Bas pada Raya.
“Ah, anu, Bolehkah saya membaca dan melihat beberapa foto juga artikel soal Organisasi Neraca?”
Mendengar apa yang mereka inginkan, Mas Bas dengan cepat memerintahkan segera masuk untuk bicara di dalam. “Seharusnya jangan mengucapkannya dengan keras dan terang-terangan dong, kamu tahu kan kalau topik itu berbahaya di kota ini."
Raya menelan ludah. Kalau peristiwa 15 tahun lalu itu sengaja disembunyikan, Neraca, yang terlibat di dalamnya, apa lagi jadi pihak lawan dari Eksekutif Kota sudah pasti dianggap hal tabu oleh sebagian besar warga kota.
Mereka duduk di sebuah ruangan yang korden jendelanya sudah ditutup rapat oleh Mas Bas. Lelaki itu lalu menyerahkan sebuah album foto kepada Raya. “Ini semua adalah foto-foto dan beberapa artikel kecil yang bisa dikumpulkan mendiang ayahku tahun 1998 lalu.”
“Jangan heran kalau hanya sedikit, beliau baru datang ke sana beberapa waktu sebelum organisasi itu mulai melemah.”
Bagian isi dalam album itu ada berbagai foto saat kericuhan pecah, lingkungan sekitar daerah, juga potret beberapa anggota Neraca. “Berhenti di sana,” ucapan Mas Bas menghentikan tangan Raya yang sedang membolak-balik halaman.
“Itu ayahku, Antonius Samudra Hermawan,” tambahnya sambil menunjuk sebuah foto di bagian kiri atas halaman, di mana seorang lelaki muda yang sedang tersenyum duduk di sebuah kursi bambu.
Penjelasan Mas Bas berlanjut ke foto seorang wanita yang tengah dikelilingi anak-anak kecil. “Yang ada di kanan bawah ini Kinanthi, ibunya Rukmini.” Ia membalik halaman, kali ini ke citra seorang remaja laki-laki yang duduk membaca buku, “Kalian lihat, remaja ini Tirta Adhipratama.”
Raya dan Rukmini serta-merta berteriak, “Pak Tirta?!” Mereka beradu pandang sebentar. “Kita satu sekolah?” tanya Raya masih dengan ekspresi kagetnya.
Gadis cantik itu mengangguk, “Aku kelas 10 Bahasa,” balasnya singkat.
Tanpa memedulikan tamu-tamunya itu, Mas Bas kembali membalik halaman sampai ke sebuah gambar pasangan yang tampak sedang berbincang. “Pasangan ini Satria Pamungkas dan Tyas Setyaningrum,” terangnya. Raya kembali dikejutkan dengan fakta bahwa ayah dan ibunyalah yang ada dalam foto itu.
Jari tangan Mas Bas bergeser ke arah foto seorang lelaki yang tengah menenteng buku agenda dengan baju kotak-kotak. Raya mengenali orang dalam potret itu sebagai sosok pria tak terlihat yang diam-diam ikut menyaksikan dan mendengar semua yang terjadi di tempat ini. “Wisnu,” celetuknya.
Basuki dan Rukmini menatap remaja laki-laki itu. Mereka cukup kaget mendengar Raya sepertinya sudah tahu siapa sosok yang ada dalam potret itu. “Benar. Dia Wisnu, salah satu orang yang memimpin kelompok itu. Sampai saat ini keberadaannya belum diketahui, meninggal dunia atau hidup entah di mana.”
“Yang terakhir, pemimpin utama kelompok itu, seorang wanita hebat, Ayu Dwianjani. Dia meninggal bersamaan dengan berhentinya aktivitas organisasi, akhir tahun 1998,” sambung Mas Bas yang langsung membalik lembar buku album itu ke halaman terakhir. Seorang wanita cantik dengan blazer hitam dan celana berwarna senada berdiri memimpin orang-orang di hadapannya.
Kepingan-kepingan ingatan Wisnu berlalu begitu cepat dalam kepalanya. Ia sekarang dapat melihat wajah Ayu, wanita yang ternyata adalah kekasihnya dahulu. “Mata hazel,” ucapnya singkat saat mengingat ciri khusus dari pasangannya itu.
Seketika Raya melempar pandangannya ke arah Wisnu, membuat dua orang lain di sana kebingungan. “Ada apa?” tanya Rukmini. Raya hanya menggeleng.
“Foto terakhir yang jadi alasanku menerangkan nama-nama tadi,” Basuki lantas mengambil sebuah foto yang disembunyikan di antara dua foto lain. “Boleh aku membawanya?” tanya Raya. Basuki tersenyum mempersilahkan pemuda di depannya itu untuk membawa salah satu hasil jepretan sang ayah.
Setelah mendapat apa yang mereka inginkan, Raya dan Rukmini undur diri dari sana. “Bagaimana kalau kita membicarakan lebih lanjut soal ini di perpustakaan sekolah besok?” ajak Raya. Rukmini setuju, mereka akan membahas apa yang sebaiknya mereka lakukan setelah ini saat bel jam istirahat pertama.
Begitu Rukmini pergi cukup jauh darinya, Raya bertanya pada Wisnu yang sedari tadi lebih banyak diam, “Apa maksudmu soal ‘Mata Hazel’ tadi?”
“Salah satu wanita di foto, Ayu, adalah pasanganku di masa lalu, dan dia punya mata hazel yang langka, sama sepertimu.”
[][][]
1998
Tak perlu waktu lama bagi Wisnu untuk bisa membaur di sana. Ia bahkan berhasil menjadi salah satu petinggi dalam waktu 2 minggu saja. Beberapa kali dirinya juga sudah diajak ke rapat-rapat organisasi untuk membahas serta mengkoordinir seluruh kegiatan organisasi yang akan mereka lakukan.
Wisnu sedang duduk di tepi tanah lapang, memandang gumpalan awan yang saling berarak. “Orang-orang kaya sibuk memupuk dan memanen hartanya, sedangkan orang-orang seperti kami hidup dengan mengharap kemurahan hati langit dan bumi untuk menyambung hidup, mendapat air dan bahan pangan,” ucap Ayu lalu duduk di samping Wisnu.
Lelaki tampan itu tersenyum simpul. “Kamu tidak takut melakukan ini?” tanyanya. Lawan mereka adalah orang-orang berperisai baja. Mereka sangat sulit dilumpuhkan, dan ia tahu benar akan hal ini.
“Jika diam dan tunduk begitu saja, mereka akan semakin kuat dan semena-mena, otomatis akan semakin banyak orang-orang yang terluka seperti kami. Bukankah itu lebih mengerikan?” Ayu menatap sendu hamparan lazuardi di atasnya.
Kesibukan Wisnu bersama Neraca ternyata berdampak kurang baik bagi perusahaan yang dimilikinya. Adi, selaku pimpinan perusahaan yang menggantikannya sementara, jadi punya kekuasaan lebih dalam mengendalikan perusahaan. Juga mendapat hasutan lebih dari orang-orang di sekitarnya.
Nala Group memang bukan perusahaan yang besar, tapi cukup untuk menghalangi Eksekutif Kota—sebutan perkumpulan para pengusaha yang berpengaruh di kota ini—melaksanakan apa yang mereka inginkan. Wisnu adalah pemilik perusahaan ini setelah orang tuanya selaku founder meninggal dunia karena kecelakaan 3 tahun lalu. Selama Wisnu menjadi pemimpin perusahaan pasca kematian orang tuanya, dirinya memang jarang—sangat-sangat jarang— menunjukkan diri di publik, Adi lah yang sering kali menggantikannya jika mendapat undangan-undangan di acara yang melibatkan banyak orang.
Meskipun ia sudah mulai terbiasa mengambil alih tugas Wisnu dalam mengurus perusahaan, diam-diam Adi juga menyimpan kekhawatiran jika ia nantinya akan jadi seseorang yang tergila-gila pada uang dan kekuasaan karena terus menerus terpapar orang-orang di sekeliling keluarga Wisnu. Dirinya kadang merasa aneh pada Wisnu yang entah kenapa bisa menahan hasratnya akan harta dan takhta, bahkan sang sahabat itu masih sering pergi ke daerah-daerah kumuh dan membantu orang-orang di sana.
Kekhawatirannya mulai menjadi-jadi sejak Wisnu sulit untuk dihubungi karena tenggelam pada urusan terkait membantu Neraca. Sedangkan dirinya terus mendapat tekanan oleh Eksekutif Kota, yang para anggotanya sedang menjadi musuh utama Wisnu.
Setelah menyelesaikan suatu undangan pertemuan, sebuah suara tiba-tiba menyapanya dari belakang. “Oh, Lama tak jumpa, Adi.” Ia jelas mengenal suara itu. Surya Adhipratama, seorang pengusaha besar, juga orang yang memprakarsai berdirinya Eksekutif Kota. Wisnu selalu mengatakan padanya supaya tidak terlalu mendekati Surya.
Mereka kemudian bercakap-cakap singkat. Di sini Adi merasa aneh, kenapa Wisnu mewanti-wantinya supaya tidak terlibat dengan Surya? Dia bukan orang yang tampak berbahaya. Mereka kemudian duduk di sebuah bangku tak jauh dari sana.
“Sudah lama juga aku tidak melihat Wisnu. Dia sedang di luar kota?”
“Ya, dia tidak sedang di sini,” balas Adi yang sudah diminta Wisnu untuk tidak memberitahu siapa pun soal di mana keberadaannya. Meskipun begitu, Adi paham betul kalau orang seperti Surya yang memiliki mata dan telinga di mana-mana sebetulnya mengerti posisi Wisnu yang sebenarnya sekarang.
Surya tersenyum, “Bagaimana rasanya benar-benar jadi pimpinan?"
“Cukup merepotkan, saya harus mengurus berbagai macam hal sendirian.”
“Tapi kamu menyukainya kan? Ada banyak hal menyenangkan yang bisa kamu dapatkan sebagai gantinya, misalnya saja uang atau jabatan,” balas Surya. Di sini Adi mulai paham kenapa Wisnu bisa menganggap pria di hadapannya itu berbahaya, ucapannya sejak awal tadi cukup memberi bukti bahwa dia adalah orang manipulatif.
Berbagai cara dicoba oleh Adi untuk bisa lepas dari percakapan ini, lengah sedikit bisa-bisa ia dikendalikan orang ini. “Kalau boleh berpendapat, menurutku orang sepertimu yang seharusnya memimpin perusahaan. Kamu sendiri paham kalau hanya ada segelintir orang yang tahu siapa sebenarnya sang pemimpin Nala Group sebab Wisnu jarang sekali muncul di depan publik, mungkinkah kecelakaan 3 tahun lalu membuatnya takut bahkan sekadar untuk menunjukkan wajahnya di depan umum?”
Ucapan Surya sukses membuat Adi hampir lepas kendali. Mendengar pria di depannya membicarakan keluarga Wisnu seperti itu membuat Adi hampir-hampir tak bisa menahan diri. Bagaimanapun juga keluarga sahabatnya itulah yang sudah sangat banyak membantunya selama ini.
“Wah... Sepertinya aku sedikit kelewatan, ya? Maaf, maaf. Hal tadi kukatakan karena aku peduli padamu. Di perusahaan kamu tidak punya jabatan khusus kan? Bagaimana kalau tiba-tiba Wisnu mengusirmu dari perusahaan?”
Seketika Adi terdiam, sedikit banyak ucapan Surya benar. Statusnya di perusahaan hanya sebagai tangan kanan Wisnu, tak lebih dari itu. Tentu, Wisnu punya kekuasaan untuk menendangnya dari perusahaan kapan saja.
“Kalau kamu jadi bagian dari Eksekutif Kota, kami bisa membantumu supaya tetap mendapatkan apa yang sekarang kamu dapatkan dari Wisnu. Hidup di bawah orang lain itu tidak menyenangkan, kamu bisa menguasai semua hal yang saat ini hanya jadi pinjaman bagimu,” kata Surya. “Pertimbangkanlah, jarang-jarang aku sendiri yang menawarkan seseorang untuk jadi anggota. Bukankah ini sebuah kehormatan bagimu?”
Surya mengeluarkan kartu namanya, lalu menulis sebuah alamat di baliknya. “Kalau kamu menerima ajakan kami, silakan datang ke sini, masih ada waktu sampai pertengahan bulan depan untuk berpikir-pikir lagi,” ujarnya.
Begitu urusannya selesai, Surya segera menjauh dari sana. “Mari kulihat seberapa lama dia bisa bertahan.
[][][]
2013
Di perpustakaan, Rukmini sudah menunggu Raya dengan membaca sebuah buku. Berulang kali ia menatap jam yang menggantung di atas rak-rak buku. Jam istirahat hampir selesai, tapi pemuda itu belum juga terlihat batang hitungnya.
“Maaf, tadi kelasku Bu Ari, ada acara marah-marah dulu seperti biasa.”
“Tidak usah dipikirkan, sekarang, kita mau lanjut atau berhenti sampai di sini?”
“Lanjut tentunya,” balas Raya. “Sebelumnya aku ingin memberitahumu sesuatu, soal Satria dan Tyas yang ada di foto kemarin, mereka itu orang tuaku.”
Pengakuan Raya ini tampaknya tak membuat Rukmini kaget, “Aku dan Mas Bas sudah tahu sebelumnya, apalagi dengan ekspresimu kemarin,” ujarnya.
“Oh iya, kalau ibumu terlibat dalam peristiwa 15 tahun lalu, kenapa kamu tidak tinggal di Daerah Garis Batas?” tanya Raya.
Rukmini terdiam sebentar, “Orang tuaku berpisah saat ibu masih mengandungku. Karena ibuku aktif dalam Neraca, aku akhirnya tinggal bersama kakek dan nenek sejak bayi. Ibuku meninggal saat umurku baru satu tahun dan akhirnya aku terus tinggal dengan kakek dan nenek sampai sekarang,” jelasnya.
“Kesimpulannya, secara tidak langsung, kita, Mas Bas, dan Pak Tirta terhubung dalam peristiwa 15 tahun lalu. Perjumpaan kita semua bukan kebetulan semata, seakan kita memang ditugaskan untuk menyelesaikan segala sesuatu yang dahulu belum bisa diselesaikan.”
Terdengar suara bel tanda istirahat telah usai, “Luar biasa, kita baru berbincang sebentar tapi pihak sekolah seolah-olah tahu kalau kita sedang membicarakan ‘sesuatu’” kata Rukmini kemudian mengembalikan buku di rak samping tempatnya duduk. “Siapa yang akan kita mintai keterangan terlebih dahulu?”
“Pak Tirta. Dia sepertinya menyimpan sesuatu. Lagi pula kalau aku bertanya pada orang tuaku, rasanya mereka tidak akan memberi tahu dengan mudah.” Kemarin, Raya sudah membicarakan soal ini pada Wisnu. Sosok tak kasat mata itu berkata kalau ia merasa dahulu dirinya pernah menitipkan sesuatu yang penting pada Pak Tirta.
“Kapan kita pergi? Kurasa semakin banyak waktu yang kita habiskan bakal semakin berbahaya untuk kita, kamu sendiri kan tahu kalau kita sedang mencoba masuk dalam suatu riwayat kelam kota ini.”
“Bagaimana kalau sore ini? Sekitar jam 3,” tawar Raya. Gadis di hadapannya itu mengangguk setuju, mereka lalu keluar dari perpustakaan dan pergi menuju kelas mereka masing-masing.
Saat berjalan menuju kelasnya kembali, Raya tak sengaja menabrak seseorang, “Maaf,” ucapnya. Mereka sempat bertatapan sebentar sebelum Raya meneruskan langkahnya untuk kembali ke kelas.
Pria yang Raya tabrak itu mengambil sebuah kertas yang tidak sengaja jatuh dari saku celana Raya. Ia menyeringai, “Gambar yang bagus,” ucapnya sambil menatap goresan pensil yang membentuk rupa seorang kenalannya. Diambilnya ponsel dari saku setelannya, kemudian menghubungi seseorang.
“Wah... Harindra, rupanya ada seorang remaja yang sedang mencari tahu soal Wisnu, kau tahu soal itu?” tanyanya.
“Apa?! Kenapa dia bisa tahu soal Wisnu? Aku sudah memusnahkan semua yang berkaitan dengannya,” balas sebuah suara dari balik telepon.
Lelaki misterius itu tertawa, “Berhati-hatilah. Dia sepertinya sudah tahu lebih banyak dari yang kamu bayangkan,”
To Be Continue
•
[] Gempita Shastra []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro