[] Manusia dan Egonya
Manusia dan Egonya
Oleh : poulacyous_
•
[] Drama x Thriller []
•••
Apa hakikat kehidupan bagimu?
Memiliki uang banyak? Bergelimang harta? Kekuasaan paling absolut? Atau yang paling sederhana... Kebahagiaan?
Lucu rasanya, menjadi manusia yang selalu haus akan segala hal. Tidak akan pernah merasa cukup atas apa yang sudah Tuhan berikan, atas apa yang Dia telah 'ciptakan' untuk kita, manusia. Atau jika kau tidak percaya adanya Tuhan, kau juga pasti tetap tidak akan bersyukur bukan, atas kehidupan yang kau jalani? Atas kehidupan yang katanya telah kau 'buat'.
Sulit. Memang lebih mudah mengeluhkan sesuatu dibanding mengucap satu kata syukur. Menjerit-jerit akan ketidakadilan hidup yang selalu seakan membelit leher dan mencekik secara perlahan-lahan. Tapi begitulah kehidupan, berjalan lambat bagai lorong waktu gelap yang panjang dengan banyaknya cobaan yang menerpa.
Setidaknya Sakir tidak pernah mengeluhkan hidupnya dengan mencaci maki menghina Tuhan, ia hanya kerap bersungut-sungut menyalahkan-Nya atas segala yang terjadi. Walau jika boleh jujur, Sakir sendiri tidak percaya dengan eksistensi Tuhan, lebih tepatnya keyakinan tentang satu kalimat yang sering dikumandangkan yaitu, "Tuhan Maha Adil". Jika benar Tuhan maha adil, mengapa Dia menciptakan manusia berbeda-beda? Jika Tuhan maha adil, mengapa Dia menciptakan surga dan neraka, dimana yang dapat menikmatinya hanyalah orang yang menganut agama yang Dia perintahkan? Jika Tuhan maha adil, mengapa banyak ketidakadilan di dunia ini? Dan segudang pernyataan Sakir yang menanyakan keadilan Tuhan. Tuhan dan selera humor-Nya yang aneh.
Kendati dirinya memang tak percaya dengan adanya Tuhan, dia tetap terus mengeluh pada-Nya, sebab baginya, jika bukan Tuhan, siapa lagi yang patut disalahkan? Sampai disini, pasti banyak orang yang sudah mencaci, menghina, mencemooh prilaku Sakir atas tindakan skeptismenya terhadap Tuhan. Tapi dirinya tak peduli, bagaimana pun ini adalah kehidupan miliknya bukan? Orang lain tak berhak mengatakan sesuatu jika tidak menjalani apa yang ia jalani.
Menurutnya, manusia itu takut dengan apa yang mereka tak bisa kendalikan, maka dari itu manusia menciptakan sesuatu yang dapat mereka sembah, sesuatu yang akan menjadikan alasan untuk mereka objektifikasi ketika hal-hal yang tak dapat dijelaskan terjadi. Manusia itu simpel, setiap emosi yang mereka rasakan akan mereka percayakan pada sesuatu.
Sakir sendiri juga tak ambil pusing dengan teman-temannya yang taat pada agama, dirinya juga bersikap biasa saja saat salah seorang temannya yang bisa dianggap 'pintar' dalam beragama mengajaknya untuk berubah. "Tuhan itu baik, kamu belum melihat Dia dalam sisi baiknya saja," ujar temannya kala istirahat makan siang.
Temannya selalu mengatakan kalau Sakir hanya masih buta dan belum bisa menuju arah yang baik serta benar, rekannya itu juga bilang kalau suatu saat nanti Sakir pasti akan berubah dan mau percaya pada Tuhan jika dirinya terus mendapat pengaruh baik dari semua perkataan dan ajakkan temannya itu. Tentu saja Sakir menolak, baginya perubahan harus berdasar pada keinginan hati diri pribadi masing-masing, bukan oleh perkataan atau ajakkan orang lain, kalau begitu, sama saja dengan pencucian otak, kan?
Dan untuk sekarang, Sakir nyaman dengan apa yang ia yakini dan ia jalani. Hidup sesuai apa yang dia mau dengan apa yang dia inginkan, tanpa paksaan serta halangan aturan atau pun agama. Orang boleh berkata apa pun yang mereka mau katakan terhadap pola hidup Sakir, mengatainya orang jahat hanya karena tidak percaya agama, memaki dirinya yang akan masuk neraka padahal Tuhan saja dia tak pernah yakini. Tapi selagi tak menyakiti seseorang, bagi Sakir hidupnya baik-baik saja, orang-orang hanya terlalu sensitif dengan apa yang orang lain suka atau tidak suka, percaya atau tidak percaya.
Sampai suatu hari temannya jengah oleh tingkah Sakir yang selalu menjawab setiap 'khutbah' yang dia berikan. Selalu mengelak akan apa yang dia katakan hingga memicu adanya argumen-argumen baru yang tidak berujung. "Jangan sampai kamu keburu mati tapi belum bertobat!"
Hardikkan temannya itu adalah kalimat final atas perdebatan mereka hari itu, setelah mengatakan demikian, sang teman itu tak pernah mau berbicara lagi dengannya, atau bahkan sekedar bertatap mata, baginya Sakir sudah bagai orang yang sangat biadap hingga membuatnya tak mau lagi barang menatap dirinya. Terlalu nista karena sudah berusaha diingatkan tapi belum mau berubah. Namun apa boleh buat? Seperti tadi yang sudah dia katakan, dirinya butuh perubahan dari diri, bukan orang lain.
Tapi walau begitu, perkataan temannya tadi sudah cukup membuat Sakir dibanjiri pertanyaan-pertanyaan. Meragukan tentang keyakinannya pada keteguhan hatinya yang tidak percaya pada Tuhan. Apakah ia benar-benar harus bertobat? Menyembah salah satu Tuhan dari sekian banyak Tuhan yang ada di dalam banyak agama. Meskipun orang akan menganggapnya zalim karena memilih-milih Tuhan, tapi agama memang pilihan dan hak milik seseorang masing-masing bukan?
Kata 'kematian' sempat menakuti Sakir. Mengguncangnya hingga sejenak mempertanyakan apakah ia harus menurunkan egonya sebagai manusia atau tidak. Biarpun dulu ia tidak pernah takut akan kematian, namun kali ini waktu sudah berbeda. Umurnya yang telah menginjak kepala 3 tentu membuatnya mengkhawatirkan banyak hal, kematian salah satunya. Walau dirinya adalah seorang suster yang sering berjaga di ruang mayat, tentu ia sering melihat 'kematian' yang selalu datang tanpa diduga-duga.
Tapi ia segera mengesampingkan rasa takutnya itu. Lagi pula jika dirinya mati, tak ada yang akan menangisi Sakir, apalagi mengenangnya. Sakir hidup sebatang kara sejak ia kecil. Ketika orang lain dibesarkan oleh rumah penuh cinta, Sakir dibesarkan oleh gedung panti asuhan yang lapuk dimakan waktu. Ketika orang lain dibesarkan oleh pelukan penuh kasih sayang orangtua, Sakir dibesarkan oleh para pengurus panti yang selalu berteriak mengedepankan kedisiplinan. Ketika orang lain dibesarkan oleh susu hangatnya ASI Ibu, Sakir dibesarkan oleh air putih dengan genangan debu di dalam gelas kaleng.
Siapa yang akan menangisi dirinya? Gedung tua panti? Para pengurus yang selalu menganiaya dirinya? Atau sebuah gelas kaleng? Ah, rupanya Sakir melupakan fakta kalau dirinya memiliki seorang pacar yang selalu mengomel. Tapi dirinya juga tak yakin sang pacar bahkan akan menghabiskan waktunya hanya untuk menangisi kematian dirinya. Tak ada orang yang akan mengingat Sakir setelah kematiannya nanti.
Akan tetapi bagi Sakir, kematian tidak begitu menakutkan untuknya sekarang. Disamping rasa sakit yang menjalar, menurutnya kematian tidak terlalu buruk. Seperti masa ini, Sakir meraba perutnya yang kini penuh lubang. Lubang-lubang yang mengeluarkan cairan merah kental berbau anyir yang tak henti-hentinya mengalir merembes membasahi baju putih yang telah berubah sepenuhnya menjadi baju merah pekat.
Sakir ingin sekali tertawa saat ini. Mentertawai dirinya yang terluka akibat mencoba menolong seorang gadis yang hendak diperkosa, berhasil menyelamatkan perempuan asing tak dikenal, menukar hidul dan nyawanya yang malah kini terancam. Bahkan sang gadis itu tidak menengok ke belakang dan terus berlari saat penjahat itu menikamkan pisaunya yang runcing pada tubuh Sakir berkali-kali.
Tapi tentu saja dia tak dapat tertawa sekarang. Memiliki tenaga untuk tertawa saja tidak, bagaimana bisa dia terbahak akan hidupnya yang miris? Sakir terbatuk, mencoba mengeluarkan darah dari saluran pernafasannya, memuncratkan cairan pekat itu lewat hidung dan mulutnya. Bagus, sekarang dia malah mengotori wajahnya dengan batuk darah dibanding tertawa.
Inikah akhir hidup Sakir? Meninggal bersimbah darah dengan puluhan luka tusuk di sebuah pojok ruko di tengah ibu kota, masih mempertanyakan tentang manusia, eksistensi Tuhan, dan merutuki hidupnya yang penuh perbangsatan duniawi. Setidaknya di akhir hidup, dia bisa melakukan satu kebaikan dengan menyelamatkan seseorang. Sampai akhir pun dirinya tidak pernah akan mengakui kalau ia adalah orang yang jahat. Dan sampai akhir pula ia tak mengerti mengapa orang-orang membencinya.
Sakir menarik nafas dalam, mencoba meredam rasa sakit yang luar biasa hebat di saraf-sarafnya yang kini berkedut pedih. Tapi tampaknya usahanya itu gagal, ditandai dengan darah yang malah tertekan mengalir lebih banyak dan perutnya yang semakin ngilu. Mata pria ini melirik ke arah jalanan kota subuh hari yang sudah mulai ramai oleh kendaraan, ralat, jalanan kota yang selalu ramai, tapi anehnya hampir tak ada yang mau menengok ke arah daerah ruko-ruko remang ini dan melihatnya terkapar tak berdaya tepat di depan sebuah klinik toko obat. Ironi.
Nafas Sakir mulai tersengal-sengal, darah sepertinya mulai memenuhi saluran paru-parunya, pertanda kalau ajal sudah semakin dekat. Hingga maut pun Sakir tak bisa 'bertobat', tapi inilah manusia, saat memiliki waktu ia tidak menjalaninya dengan benar, lalu ketika masanya habis, mereka akan meminta untuk tambahan waktu. Manusia memang serakah.
Maut sudah berada di pelupuk mata, Sakir tahu itu, dirinya paham betul kalau waktunya sudah sempit. Namun alih-alih merasa sedih, Sakir tersenyum, merasa puas ia sudah bisa menjalani hidup sesuai yang ia mau, menjalani hidup dengan mewujudkan keinginan-keinginannya, hidup tanpa penyesalan. Di akhir hayatnya ia terus bertanya jika Tuhan nyata atau tidak, setidaknya jika ia mati sekarang dan Tuhan benar-benar ada, dirinya akan segera bertemu dengan-Nya tak lama lagi. Lalu mata itu pun terpejam sepenuhnya, tak lama disusul satu hembusan nafas terakhir, dan tubuh itu tak akan pernah bangun lagi selamanya.
Tamat
•
[] Gempita Shastra []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro