Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[] It's Over Outside

It's Over Outside
Oleh annanyous

[] Sci-fi & Action []


Dunia hampir berakhir

Hari itu aku mendapat ramalan bahwa dunia hampir berakhir, aku dikurung di dalam sebuah ruangan berwarna putih mulai dari dinding hingga langit-langit. Dunia hampir berakhir, dan aku masih menghitung hari. Aku berhasil kabur dari bangunan itu dengan kekuatan yang aku punya. Aku harus menemui seseorang yang tau akhir dunia kapan dimulai. Dia seorang dukun, dukun yang memiliki kemampuan untuk melihat kekuatan tersembunyi orang lain.

"Tangkap dia!"

Tanpa mundur, ketika para penjaga itu berlari kearahku. Sebuah besi melayang di dekatku, kemudian terbang kearah si penjaga, memukul wajahnya hingga tersungkur dan pingsan diatas lantai marmer yang dingin. Aku berlari ini mungkin kesempatan yang datang hanya sekali, dunia akan berakhir tidak lama lagi.
"Berita hari ini, NASA mengkonfirmasi sebuah meteorid besar sedang menuju kebumi. Menurut hitungan waktu yang diukur, asteroid yang sangat besar akan menabrak bumi dalam waktu 9 hari dari sekarang. NASA sedang mengarahkan sebuah misil untuk meledakkan benda asing tersebut. Kemungkinan  "

"Bagaimana mereka bisa menayangkan berita itu seolah yang mereka siarkan adalah pertandingan sepak bola?"

Mateo menoleh pada kasir yang tiba-tiba bicara di depannya. Mateo kini berada di sebuah toko kecil tempat menjual beragam panganan seperti cemilan hingga kebutuhan sehari-hari lainnya. Akhir-akhir ini distrik mereka dan seluruh kota di dunia nampak sepi, jalanan yang biasanya penuh dengan mobil dan lalu-lalang manusia tiba-tiba lenyap begitu saja. Tidak ada yang bekerja, karena dunia akan segera berakhir.

"Kau, takut mati?" Tanya si kasir pria itu tiba-tiba.

Mateo yang tadinya hendak mengambil barang belanjaannya yang sudah rapi dalam plastik kresek putih mengangkat kepalanya, menatap si kasir dengan wajah bingung.

"Ya?"

"Kurasa kau cukup tangguh, aku harap hari-hari terakhirmu menyenangkan. Semoga ada yang bisa kau kenang di 9 hari terakhir ini." Kasir itu tersenyum, ia bahkan membiarkan Mateo tidak membayar barang yang dibeli.

Mateo menundukan kepalanya sekilas sebelum berterima kasih dan keluar dari toko tersebut.

Dunia akan berakhir dalam 9 hari, benarkah?

Ia memasukan kresek belanjaan berisi makanan itu kedalam tas yang sendari tadi ditaruhnya di kursi yang berada di luar toko tersebut. Hanya toko ini yang buka dari semua toko yang bisa ia temukan di sepanjang jalan di perkotaan. Entah kemana perginya semua orang, padahal dunia akan berakhir, mereka tidak perlu berlindung toh akan mati juga.

"Banyak turis mengunjungi cagar alam hingga taman bunga sakura bersama keluarga dan kerabat mereka untuk menikmati sisa hari yang bisa dikenal, banyak dari mereka pergi piknik, berlibur dan menghabiskan waktu bersama untuk mengenang momen yang mungkin tidak akan dirasakan lagi..."

Berita itu ditayangkan di semua stasiun TV yang masih tersambung di kota. Kota mereka benar-benar seperti kota mati sekarang. Mateo melangkah diatas trotoar dengan santai padahal dahulunya akan susah dilewati karena banyaknya orang sibuk berjalan diatasnya.

Ia mengeluarkan sebuah monitor tipis kecil berwarna kebiruan dengan bentuk seperti kaca dari saku celananya. Monitor itu menunjukan foto seseorang, seseorang yang ia kenal sebagai dukun. Dukun yang selama ini ia cari keberadaannya. "Jika ia tidak tinggal di kota dan desa, maka satu-satunya tempat yang ada di GPS adalah rumah diatas bukit." Gumannya. Mateo menatap kearah bukit yang lumayan jauh dari tempatnya berdiri sekarang. Begitu sampai di kaki bukit, hari mungkin sudah sore, begitu sampai dirumah itu sudah pasti hari akan berganti pagi. Walaupun tubuhnya setengah robot, ia tidak ingin rusak sebelum meteroid itu menghantam tubuhnya. Ia lantas menyimpan monitor itu dalam sakunya, menaikan tudung jaketnya dan melanjutkan perjalanan untuk melihat sejauh mana kira-kira ia buruh istirahat nantinya.

Benar dugaannya, begitu sampai di kaki bukit hari sudah petang. Matahari masih terlihat cantik, pemandangan yang akan ia kenang selama sembilan hari terakhir ini salah satunya adalah matahari sore yang mulai tenggelam. Pohon-pohon yang ada di hutan itu memiliki jarang yang luas satu sama lain. Mungkin dahulunya orang-orang sengaja menanami pohon-pohon ini dengan jarak. Membiarkan bukit ini menjadi hutan yang lebat. Bahkan cahaya matahari sore masih terlihat diantara pepohonan tua itu. Jalan di hutan itu tidak terlalu curam, hanya saja agak licin karena gesekan antara dedaunan dan sepatu yang dipakainya.

Tiba-tiba langkah pemuda itu terhenti, ia dapat mendengar suara ranting yang patah dibelakangnya. Dugaan pertamanya adalah para ilmuwan yang mencarinya sudah tahu lokasinya sekarang. Ia mengepalkan lengannya, pandangannya was-was sebelum akhirnya berbalik dan mendapati pemandangan yang tidak biasa ia lihat. Seorang gadis sedang berdiri agak jauh darinya. Karena jalanan yang agak terjal itu, gadis itu berada agak jauh dibawahnya, menatapnya dengan tatapan yang sulit dijabarkan. Apapun itu, Mateo tau gadis ini bukan bagian dari orang-orang mencarinya.

****

"Ini," Mateo mengulurkan sebotol air pada gadis yang sekarang sedang mengunyah roti yang tadi pemuda itu berikan padanya. Hari semakin gelap sedangkan kedua orang itu sekarang tengah duduk, menikmati suasana hutan yang akan menjadi saat terakhir bagi mereka untuk dinikmati.

"Apa kau mengikutiku?" Tanya Mateo.

Gadis itu menggeleng. "Tidak, aku sedang mencari dukun yang tinggal di hutan ini. Kebetulan aku bertemu dengan seseorang yang mendaki bukit, dan kau menyadari keberadaanku." Jelas gadis itu.

Mateo mengangguk sekilas, penampilan gadis itu menunjukkan kalau gadis itu seorang yang gentle, tomboy dan suka menjelajah. Mungkin ini bukan kali pertama gadis itu pergi mendaki. Bagaimanapun, keduanya harus melanjutkan perjalanan. Rumah itu berada di belakang bukit ini, tidak ada jalan memutar, satu-satunya cara adalah dengan mendaki dan itulah yang mereka lakukan sekarang. Tepat setelah Alice selesai makan dan minum, keduanya melanjutkan perjalanan. Tak peduli hari gelap dan dingin.

"Ngomong-ngomong, siapa namamu?"

Gadis itu menoleh, rambut panjangnya bergerak mengikuti gerakan kakinya yang berjalan diatas tanah menanjak. "Alice," jawabnya singkat. Nama yang manis.

"Mateo," ucap Mateo memperkenalkan diri. Alice tersenyum singkat sebelum mengalihkan pandangannya kearah lain.

"Apa alasanmu pergi menemui dukun itu?" Tanya Mateo.

Alice mengulum bibirnya. "Dia bisa melihat kekuatan tersembunyi manusia." Jelas Alice singkat.

Mateo terdiam sejenak. "Kau punya kekuatan tersembunyi?" Tanyanya.

"Dulunya, sekarang tidak tersembunyi lagi. Aku tidak yakin kekuatan itu berguna. Para ilmuwan itu sedang mencari orang-orang dengan kekuatan rahasia untuk mencegah asteroid itu datang ke bumi." Jelas Alice, kabar ini belum sampai ke telinga Mateo. Yang ia dengar hanya orang-orang yang sedang menikmati saat-saata terakhir mereka dengan keluarga mereka.

"Kau sendiri, kenapa ingin bertemu dukun itu?"

"Aku, juga ingin tahu apa fungsi kekuatanku." Ucapnya, Alice tiba-tiba nampak antusias.

"Kau juga punya kekuatan?"

Mateo mengangguk. Gadis itu tersenyum senang, mungkin karena bertemu orang yang menurutnya sama dengannya. Berbeda dari kebanyakan orang karena kekuatan mereka.

"Aku akan menunjukan kekuatanku." Ucap Alice. Ia berdiri di depan Mateo lalu mengulurkan tangannya yang mengepal. "Apa yang kau lakukan?" Tanya pemuda itu. Alice menutup matanya sejenak sebelum membukanya, bersamaan setelah itu tangannya yang semula mengepal terbuka. Sebuah cahaya kecil muncul dari tangannya itu, cahaya itu membentuk sebuah kuncup bunga yang perlahan mekar. Sebuah pemandangan indah yang membuat Mateo terpana.

Bunga itu perlahan mekar sebelum...

Trak!

Mateo menoleh, cahaya di tangan Alice menghilang seketika. Mateo menarik Alice menuju sebuah batu besar untuk bersembunyi. "Ada apa?" Bisik Alice, pemuda itu tidak menjawab, matanya menatap waspada. "Mereka menemukanku." Gumamnya.

"Siapa?" Bisik Alice lagi. "Para ilmuwan itu," ucap Mateo hampir tak terdengar.

"Tunggu disini." Ucap pemuda itu, Alice mengangguk dan menunggu di balik batu besar tersebut. Sedangkan Mateo melepas tasnya dan berjalan dengan mengendap-endap kearah para tentara yang tengah mencari keberadaannya. Suasana hening hutan membuat aura mencekam untuk pemuda itu. Tepat ketika ia berada sangat dekat dengan salah satu tentara yang tidak menyadari kehadirannya itu, ia melayangkan tendangan, membuat tentara itu tersungkur sekaligus menarik perhatian tentara lain.

"Dia disana!" Teriak salah satu tentara. Para tentara itu berlari kearahnya, namun pemuda itu tidak berhenti. Ia meraba pinggang tentara yang tadinya terpukul olehnya dan menemukan sebuah alat pemukul yang biasa digunakan para polisi. Entah kenapa tentara itu membawa alat yang berbeda dari pekerjaannya.

Seorang tentara berlari kearahnya, tepat sebelum tentara itu melayangkan tinjunya. Mateo menghindar dan menangkap tangannya, memutar tangan tentara itu. Lalu tentara lain mendekat kearahnya, belum sempat tentara itu mendekat ia melemparkan tubuh tentara yang tadi menyerangnya kearah teman dari tentara tersebut. Belum berakhir, tiga orang tentara lain sekarang mengepungnya, Mateo sedikit berlari kearah tentara paling kanan, melompat dengan cara menendang dadanya sebelum melayangkan tendangan lain kewajah sang tentara yang seketika itu juga langsung pingsan. Alat pemukul yang sempet terjatuh ketanah itu diambilnya dengan cepat dan langsung dilemparkannya hingga mengenai mata salah satu dari dua tentara tersisa yang mengepungnya. Ia langsung lumpuh begitu pemukul itu mengenai wajahnya. Sekarang tersisa seorang tentara yang dengan berani menantang pria itu. Mateo tersenyum pelan, ia melayangkangkan sebuah tinju yang berhasil di hindari sang tentara namun tiba-tiba tentara itu pingsan begitu saja. Membuat Mateo kebingungan bukan main, bahkan mulutnya sedikit terbuka.

Rupanya tentara itu pingsan karena lemparan batu yang tepat mengenai kepalanya yang tidak menggunakan pelindung kepala. Lemparan batu itu berasal dari seorang gadis yang menentang dua tas di pundaknya, siapa lagi kalau bukan Alice yang sekarang entah mengapa menyeringai tanpa beban. Mateo menghela nafas, entah kenapa senyum terukir di bibirnya, menampilkan baris giginya yang rapi. Gadis itu luarbiasa berbeda.

****

Keduanya melanjutkan pendakian, tidak peduli dengan keadaan para tentara itu. Toh dunia juga akan berakhir. Hari sudah berganti pagi, tapi kedua orang itu seperti tanpa lelah sama sekali. Hingga akhirnya keduanya sampai di sebuah rumah kecil yang masih terawat di balik gunung itu. Pemandangan yang berada tepat di depan halaman rumah itu sangat indah, kota mereka terlihat sangat jelas walau jauh jaraknya dari tempat mereka berdiri sekarang. Mateo menghela nafasnya, sejenak ia merasa sangat bebas karena udara yang begitu nyaman yang sangat jarang dirasakannya.

"Bu Yoon?" Panggil Alice, ia menaiki teras rumah tersebut. Membuka pintu geser tua itu dan masuk kedalam. Mencari keberadaan orang yang tinggal di rumah itu selama ini. "Bu Yoon?" Panggilnya lagi.

Lama mencari akhirnya ia keluar dari rumah tersebut untuk menghampiri Mateo yang sekarang mengepak tasnya. "Bu Yoon tidak ada dirumah." Ucapnya.

Mateo berkacak pinggang, "Sepertinya dia pergi lebih dahulu. Aku akan beristirahat saja disini sampai hari berakhir," Mateo duduk diatas sebuah meja kecil yang memang khusus untuk duduk diatasnya. Alice memanyunkan bibirnya, ia memilih duduk di sebelah Mateo. "Kalau begitu, aku juga akan berada disini sampai hari berakhir. Setidaknya ketika dunia berakhir, aku tidak sendiri." Ucapnya, Mateo menatap Alice yang sekarang tengah tersenyum kepadanya, ia balas tersenyum padanya.

Bip! Bip! Bip! Bip!

Alice mengeluarkan sebuah monitor yang sedikit berbeda dengan milik Mateo. Di monitor itu menampilkan sebuah angka, angka satu dengan warna merah pada angkanya.

"Tanggalnya berubah," Mateo menatap kearah monitor di tangan Alice, monitor itu menunjukan sisa berapa hari sebelum meteroid itu sampai ke muka bumi. "Benda itu akan membentur bumi hari ini." Ucap Alice.

Mateo menghela nafas, ia menatap kearah tangan Alice yang kosong tepat disebelahnya. Gadis itu kini memandang kearah depan dengan tatapan kosong. Tanpa ragu Mateo menggenggam tangan Alice, membuat gadis itu menatap kearah pemuda itu dengan tatapan heran.

"Tenang saja, kau tidak sendiri." Ucap Mateo sembari tersenyum. Sejenak keduanya terdiam, menunggu bumi hancur. Langit perlahan berubah menggelap, digantikan dengan langit berwarna ungu seperti aurora, sebuah asteroid-asteroid berukuran kecil dengan ekor kehijauan menghiasi langit bumi. Pemandangan yang indah sekaligus mengerikan. "Setidaknya akhir bumi sangat indah." Guman Mateo.

Alice menoleh perlahan pada Mateo. "Sebenarnya, kekuatanku..." Mateo yang mendengar gadis itu bicara menatap gadis itu, menunggu gadis itu menyelesaikan ucapannya.

"Adalah kembali ke masa lalu."

Mateo membulatkan matanya. "Kekuatanmu, apa?!"

Detik itu juga langit berubah memutih, cahaya yang sangat terang menghiasi bumi sebelum benturan yang lebih cepat dari kedipan itu menghantam permukaan bumi, menelan bumi dalam kegelapan setelah ledakan besar itu.

Ledakan itu menyadarkan seorang pemuda dari mimpinya, Mateo terbangun dari tidurnya. Ia mengambil posisi duduk sebelum menatap kearah sekitarnya dengan tatapan bingung, ia berada di ruangan serba putih dengan cermin di sisi salah satu dindingnya itu lagi. Ia bangkit dari tempat tidurnya, memungut sebuah spidol sebelum menuliskan garis yang menunjukan sudah berapa lama ia berada di ruangan itu.

"Bagaimana perkembangannya?" Tanya seorang wanita.

"Percobaan ke 199 menunjukan hasil yang memuaskan, imajinasinya sangat luarbiasa bahkan dalam tidurnya. Alam bawah sadarnya mampu memproduksi mimpi dengan baik."

Wanita itu tersenyum. "Terus awasi ciptaan kita kali ini." Ucapnya.

"Baik, bu!"

Apapun yang terjadi, percobaannya kali ini adalah yang terbaik dan akan menjadi yang paling pertama di bumi ini.

Tamat

[]Gempita Shastra[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro