[] I Accidentally Summoned A Demon
I Accidentally Summoned A Demon
Oleh jeonmaisvu
•
[] Fantasy - Romance []
IKEA rutin menjadi destinasi opsi terbaik untuk Mama. Salah satu peritel furnitur untuk rumah tangga dari Swedia tersebut belakangan ini menjadi eminen di kalangan para ibu rumah tangga. Mama termasuk salah satu dari ribuan individu yang mengejar aksesoris dan desain distingtif tersebut.
Secara impulsif, netra menyipit, kening mengerut, dan surai alis menyatu tatkala Mama melansir kami harus menemaninya bertolak diri ke toko tersebut - lagi. Beberapa kuantitas sekon terlewat, namun aku dan Lincoln tak bergeming, mempertahankan status stagnan dalam tandu berayun di balkoni rumah. Kakak lelakiku bahkan mengerang kesal, desau jengkel terlepas dari libium.
"Lagi?" protesku. Aku merenyuk di bawah tatapan tajam Mama. Wanita setengah abad itu tidak terlihat tua sama sekali. Kerap kami dibandingkan sebagai kakak dan adik yang terlihat similar. Entah aku harus merasa bangga untuk Mama, atau merasa tersinggung bagi diriku sendiri.
"Tentu saja. Aku membutuhkan duvan baru untuk kamar Leo."
Leo bukan manusia. Dia anjing baru kami. Seekor anak anjing berjenis Welsh Corgi. Entah sejak kapan titel anak anjing mendapat hak istimewa kamar pribadi yang membutuhkan sebuah duvan, namun ternyata di dalam keluarga ini, rasisme terhadap fauna tidak dapat ditoleransi. Jika anak manusia mendapat kamar privat, maka Welsh Corgi pun berwenang.
Lincoln tidak membuang napas. Pria itu sudah lebih dulu meraih kunci mobil dan melaju ke arah garasi, tak berusaha membuka argumentasi dengan Mama. Aku mengikutinya dengan lunglai.
Tidak membutuhkan waktu lama bagi kami tiba di Third Avenue, Manhattan. Depot Ikea yang baru aktif dibuka tersebut sudah lengang sebab jam yang sudah mulai memasuki masa markah dirubah menjadi closed. Aku menyeret penopang tubuh bersama Lincoln di sebelahku, menggerutu bagaimana Mama memiliki adiksi belanja dan terkena hipnosis furnitur Ikea.
Koridor Ikea yang bersih dan rak-rak tinggi menyambutku begitu pintu terbuka. Aromatik vanila serta wewangian Oakmoss tercium kuat. Pupil segera menelusuri berbagai varietas aparatus rumah. Heran, aku berdecak tak mengerti. Bagaimana juga orang bisa nyaman dan menyukai belanja di toko ini? Melihat dari nama barang yang sangat alien, aku bahkan tidak kapabel dalam melafalkan setiap hurufnya. Aku mengerti ini mungkin strategi pemasaran dengan menggunakan label ekslusif, tapi tetap saja.
NORRVIKEN? Aku bahkan tidak ingin menatap rangkaian hurut tersebut dan melakukan sebuah percobaan menyedihkan untuk mengejanya. ? Apa itu semacam sinkronisasi antara Gorila dan Drakula? Pupil terasa bergejolak saat menemukan label yang lain, . Aku menggeleng tak percaya.
Merasa sudah cukup lama berkelana bak insan imbesil di tengah lorong Ikea, aku akhirnya memutuskan untuk mencari Mama dan Lincoln. Tapak kaki meresonasi ke seluruh penjuru koridor, menimbulkan kesan aneh dan sedikit mengerikan. Aku berdeham, membuat suara dan aktivitas untuk mengalihkan atensi.
Tetapi atensi itu malah memilih satu pivot secara partikular. Label dengan nama yang cukup rumit untuk dikatakan secara lisan membuat diri tertantang. Aku berdiri di depan rak, meneliti rangkaian kata dengan seksama. Di dalamnya, duvet kasur dan tempat tidur berwarna putih serta berbagai macam figur tertata rapih.
Alvi? Alvatar? Tidak. Itu terdengar seperti medikamen di farmasi Mama. Alvian? Elvian? Ah, tidak. Sudah jelas huruf inisial adalah A. Lagi pula apa itu Elvian? Ada juga jenis likuid mineral bernama Evian. Aku berpangku tangan. Aneh mengapa aku sangat tertarik untuk berusaha mengeja nama tersebut.
Aviathan? Bukan. Itu terdengar seperti negeri peri dari Lord of The Rings. Oh, mungkinkah? Aku mengangguk.
Alvathen.
Yep, benar. Aku tidak salah. Aku rasa begitu cara melafalkan nama label di rak tersebut.
Alvathen. Alvathen. Alvathen.
Halilintar mendadak mengunjungi cakrawala Manhattan. Aku tersentak, merasakan sengatan listrik aneh di sekujur tubuh. Mendadak buah hati merasakan fluktuasi pendek. Buru-buru aku membenahi deru ekhalasi sambil dua tangan memegang dada. Kilat berkilau di antariksa, menghiasi lanskap dirgantara dan mengekspresikan getaran di bumi.
Aku mengumpat di dalam hati, hembusan oksigen yang lepas dari dua lubang hidung menggemuruh. Hampir saja aku mati berdiri. Lagi pula, di tengah Manhattan, bagaimana bisa ada guntur yang datang tanpa ada pertanda langit mendung? Mendadak atmosfir koridor aku berdiri terasa seram. Surai epidermis bergidik. Aura dingin dari pendingin ruangan menyerang tengkuk leher. Aku terdiam seribu bahasa. Jemari bergetar sebab rasanya ada yang memperhatikanku dari belakang. Telingaku berdengung, punggung seperti kebas akan rasa, netra tak mau terbuka. Menggigit bibir, aku menunggu penuh antisipasi atas kejanggalan ini ketika tahu-tahu bahuku disentuh oleh seseorang dari belakang.
Pekikan nyaring terlepas dari libium. Vokal melengking mencipatkan eko di gedung Ikea. Aku siap melayangkan kepalan tangan sebelum suara familiar di rungu terdengar. Aku membuka netra lebar-lebar.
"Lincoln!" aku menghantam kakak lelakiku keras. "Kau hampir membuat nyawaku melayang!"
"Kau hampir merenggut jiwaku!" Lincoln balas berteriak. "Kenapa kau berteriak seperti orang tidak waras di tengah lorong Ikea?"
Aku merenyuk, membenahi komposur tubuh sambil menahan malu. "Tidak tahu. Suara petir membuatku bertingkah abnormal."
"Satu, kau selalu bertingkah abnormal," Lincoln menyipitkan netra padaku. "Dua, petir dari mana di tengah Manhattan begini?"
"Wow, aku tidak menyangka kau harus tuli di usia muda."
Lincoln mencibir. "Aku juga tidak menyangka kau harus menderita halusinasi di usia dini."
"Aku tidak berkhayal!"
"Tidak ada bahana guntur, Nona kecil."
"Tapi tadi-" kalimatku terputus oleh panggilan Mama dari kasir. Lincoln menarik tanganku ke arah Mama agar kami bisa cepat pulang.
· · ·
GRAHA SEDERHANA milik kami masih terlihat gulita saat Lincoln memarkir mobil di pavemen. Teras rumah kami terimbas bias kepala mobil. Aku melirik ruang tamu dari balik jendela kaca. Hening dan sepi. Lincoln memberikan instruksi agar aku dan Mama turun lebih dulu untuk membuka kunci garasi.
Lelah mengangkut furnitur di mana kuantitas eksesif sebab adiksi belanja Mama, aku segera naik ke kamar. Deru tapak kaki menggema, deritan lantai kayu yang lapuk mengisi malam. Tanpa banyak bicara aku memasuki kamar. Lampu yang masih mati sedetik mengirim takut pada benak. Aku menggeleng. Aku harus segera mengesampingkan kejanggalan ini. Tak lama, tangan menemukan tuas lampu dan menekannya.
Teror menyelimuti seluruh raga begitu netra memusatkan atensi pada dua obsidian berwarna lazuardi menyala di tengah kamar. Aku memergoki sosok lelaki tinggi yang duduk di sofa santai terletak di pojok ruangan. Lelaki itu sangat mencolok, mencuri napas sebab keindahan iras dan lekukan wajah. Surai hitam eboni tertata rapih, sedikit basah dan mengkilat, beberapa helai berjatuhan di kening, melenceng dari tempat seperti utas yang nakal. Seringai miring yang eksotis terlukis di paras, jemari bertumpu pada dagu tajam yang terlihat seperti diukir spesial oleh para Dewa. Rentetan cincin besar menghiasi deriji panjang serta berurat tebal, beberapa varietas mengerikan seperti ular yang melingkar di jari telunjuk, kepala tengkorak, bara api, trisula, dan pola mahkota kerajaan.
Selama beberapa sekon, libium tertutup rapat. Aku tidak sanggup menafsirkan premis. Tetapi sedetik kemudian, sel serebrum bergejolak di benak, memekik lantaran raga masih juga belum melakukan aksi bela diri. Aku siap berteriak, menjerit bak gadis tidak waras ketika sosok lelaki rupawan tersebut bergerak begitu cepat, manuver yang hampir tidak kasat mata, dan menutup bingkai mulutku.
Aku bergetar di bawah tatapannya, tatapan yang terlihat punya maksud jahat. Satu alis terangkat saat vibrasi fisik masih menyerangku. Dia terkekeh geli, napasnya menabrak wajah hingga aku harus menutup kelopak mata. Sensasi tidak dapat dijelaskan aku rasakan ketika dia angkat bicara.
"Why did you summon me?"
Hal pertama yang aku sadari adalah suara lelaki di hadapanku sangat memikat. Hampir sensual sebab vokal yang serak dan berat, dipadu bersama deru ekhalasi yang memburu. Bernada rendah namun musikal. Mudah bagiku untuk tenggelam dalam vokal tersebut, tetapi adrenalin memompa logika untuk berpikir jernih.
Apa maksudnya aku memanggilnya? Aku bahkan tidak mengenal orang ini.
Mataku terbelalak lebar, berusaha melepaskan jemari sublim miliknya. Dia berdecak, lalu kepalanya maju beberapa senti hingga bibirnya mendarat tak jauh dari daun telinga. "Jika kau berteriak, maka akan aku pastikan kau tak akan pernah bisa berbicara lagi seumur hidup."
Ancaman itu sudah cukup membuat aku mengangguk lemah, semua inisiatif sok perkasa seperti menyerang, meminta tolong, atau kabur hilang dari otak. Pria di depanku melepas tangannya, seketika membuat diriku merasa seperti kehilangan sesuatu. Aneh. Lagi-lagi materi aneh yang menimpaku hari ini. Mengapa aku harus merasa hilang arah tanpa sentuhannya?
"Siapa kau?" tanyaku ragu. Insting masih terbuka lebar, firasat bahaya menyala seperti suar di langit. Aku mundur beberapa langkah untuk menjauh dari figur - yang mengesalkannya terlihat begitu tampan.
Lelaki itu mengibaskan beberapa helai rambut yang berjatuhan di kening, merasa dongkol entah kenapa. "Human." Desisnya penuh dengki. "Aku benar-benar tak mengerti kenapa kalian para mortal bisa diberikan kekuatan sebesar itu."
"Mortal? Kekuatan?" aku bertanya bingung. "Apa yang kau katakan?"
"Kau yang katakan apa maumu." Laki-laki itu kembali duduk menyandar di kursi santai milikku, dua kaki panjang terselonjor ke depan. Jas lengkap yang dia kenakan terlihat kontras dengan kamar sederhana ini. "Cepat. Agar aku bisa pergi."
"Er . . . biasanya pencuri yang meminta keinginan, bukan korban."
"Pencuri?" nada bicaranya tersinggung. "Kau bilang aku pencuri?"
"Lalu apa yang kau lakukan di sini?"
"I am an evil entity, Elder of the Old Kingdom, Prince of Darkness, Caesar of Dusk, the Descendant of Lucifer. Aku bukan pencuri."
Aku mengangkat dua tangan. "Descendant of Lucifer?" tanpa bisa menahan aku tertawa tipis. "Lucifer? Lucifer yang itu? Iblis itu? Yang menurut kisah adalah seorang malaikat adiwarna lalu diusir dan menjadi iblis? Lucifer si pendusta? Satan?"
"Apa kau kenal Lucifer lain?"
"Aku tahu pemilik kelab malam di Los Angeles bernama LUX."
"Dia bukan Lucifer yang aku maksud."
"Tapi dia Lucifer Morningstar." Jawabku. "Dia meninggalkan neraka dan menjalankan bisnis kelab, lalu menjadi konsultan departemen polisi di Los Angeles." Kataku panjang, menyebutkan alur cerita teve seri Lucifer berdasarka karakter komik DC.
Lebih bodohnya, pria di hadapanku benar-benar berpikir keras dan bingung. "Ah, aku rasa sepuluh dekade adalah waktu yang lama. Dia bisa saja mengacaukan dunia dengan cara baru. Aku harus membuat janji dan bertemu dengannya."
"Aku akan melapor polisi." Ucapku tegas, kepala terangkat sengak. "Jika kau tidak segera pergi, maka aku akan menghubungi pihak berwajib."
"Lalu?" lelaki itu mengedikkan bahu. "Kau sendiri yang bilang Lucifer sekarang sudah menjadi - apa itu namanya, konsultan?" dia mengumbang. "Kalau begitu, tidak ada gunanya kau melapor polisi."
"Itu Los Angeles!" seruku kencang. "Ini Manhattan, New York!"
"Ah, kalau begitu aku bisa melenyapkan mereka saja." Ujarnya pendek. Kalimat santai itu diikuti dengan jentikan jari, dan secara ajaib, kobaran api mengudara dari balik jemari panjang tersebut. Rahangku terjatuh, begitu juga pekikan nyaring dari balik gigi.
Lelaki tadi bergerak cepat lagi. Tanpa aba-aba, bahuku sudah menabrak dinding kamar secara brutal. Dia menghalang bingkai mulut, raut wajah marah dan mata memancarkan sinar jengkel. Horor segera menyelimuti sekujur tubuh, berbagai skenario buruk seperti mati dibunuh di kamar sendiri menari di benak.
"Aku bilang diam!" desisnya pelan. Aku meringis dibalik jemarinya, netra sudah berkaca menahan tangis. Parahnya, vokal Mama terdengar dari lantai bawah, memanggilku panik.
"Lilith!"
Dua obsidian lazuardi yang berada dalam jarak proksimal denganku melebar, terbelalak tatkala mendengar suara Mama. Aku pikir dia akan marah, kesal, atau semacamnya. Tapi kontras dengan itu, lelaki di depanku malah terlihat geli, sedikit sorot iris mata menggambarkan hal ironis yang membuat dirinya menganggap ini hal konyol.
"Katakan padanya tidak terjadi apa-apa." Seringai miring itu kembali muncul ke permukaan.
Aku mengangguk. Dia melepas tangannya dan menunggu jawaban dariku. "Tidak, Mama. Aku pikir aku melihat serangga."
"Lilith! Kau hampir membuat aku jantungan." Lalu suara langkah turun dari tangga terdengar, semakin lama semakin jauh. Ingin rasanya aku menerobos pintu dan mengejar kepergian Mama, tetapi jarak dekat pria di hadapanku membuat niat itu hancur.
Dia menelengkan kepalanya. "Lilith?"
"Apa?"
"Namamu Lilith?" dia menahan senyum. "Lilith?"
"Berhenti menyebut namaku." Kataku sedikit sinis. "Memangnya kenapa?"
"Apa kau tahu arti namamu?"
"Bunga lili."
"Lilium?" dia terkekeh. "Oh, sayang. Bukan itu."
"Jangan panggil aku itu."
"Apa? Sayang? Lantas apa? Love? Dear? Ah, bagaimana jika kesukaanku, Ma moitié?"
"Bahasa apa itu? Apa artinya?" tanyaku sengit.
Dia hanya tersenyum tipis, raut menggoda tergambar di wajah. Lagi, dia kembali ke kursi santai, sepertinya mulai menandai wilayah teritorial di tempat tersebut. Aku memandangnya secara seksama, mencoba mengetahui isi pikiran pria itu. Apa dia anggota geng yang sedang kabur? Kriminal yang lepas dari penjara? Pasien mental dari rumah sakit jiwa? Tapi tidak ada satu pun eksplanasi yang sanggup memecah teka-teki itu.
Maka dari itu, aku memutuskan melontarkan pertanyaan lain. "Kalau dirimu, siapa namamu?"
Dia mengangkat alis tinggi. Pria itu mencemooh, mencibir tidak percaya dengan gaya ekstra - dua tangan menepuk dada. Kepala digeleng kesana-kemari. "Kau sudah gila."
"Aku rasa kau tidak berhak mengatakan asumsi tersebut. Aku lebih punya wewenang untuk melontarkakan perkataan itu. Kau yang sudah menerobos masuk ke rumah orang!"
"Kau yang memanggilku!"
"Aku bahkan tidak tahu namamu!"
Dia mengerang dongkol. "Lantas bagaimana caranya aku bisa ada di sini? Percayalah, aku bersyukur bisa keluar dari kurungan tersebut, tapi aku lebih baik memilih menghabiskan satu abad lagi di sana jika harus menghabiskan waktu bersamamu."
Kurungan? Sudah aku duga, dia kriminal yang kabur dari penjara!
"Apa kau dari kompleks hukum Manhattan?" tanyaku curiga.
"Apa pula itu?"
Aku mencium gigi dalam. "Dari mana kau sebenarnya? Beritahu apa maumu dan cepat pergi!"
"Aku terjebak di sini sebelum kau memberitahu apa maumu!"
"Sudah aku bilang, aku bahkan tidak tahu kau siapa." Dua tangan sudah melayang di udara, posisi menyerah. "Kau terdengar tidak masuk akal sama sekali!" Tampan 'sih, tapi kalau tidak waras, aku mundur.
Secara mendadak dia berdiri. Berkat kaki jenjang miliknya, hanya dalam dua langkah dia sudah menutup jarak di antara kami. Aku menghirup udara dalam-dalam, terkejut karena kedekatan yang sekali lagi terjadi.
"I am Alvathen. Ruler of The Abominable Land. Heir to the Lucifer, Lord of the Flies, and you have summoned me."
Aku menganga.
"KAU IBLIS?"
· · ·
ALVATHEN bertengger di atap rumahku, di depan jendela kaca kamar seperti hantu penasaran. Mungkin titel hantu penasaran akan menjad ironi tinggi baginya, tapi jika ditilik lebih dekat, dia memang terlihat menyedihkan. Seperti arwah penasaran yang mendiami rumah ini. Paras distingtif miliknya menjadi refleksi tampan di lubang angin.
Aku menggeser pintu jendela dengan kesal, mengakibatkan Alvathen menoleh cepat. Seringai miring khas miliknya yang eksotis sudah terukir di libium. "Halo, ma moitié."
"Kau ada rencana memberitahuku apa arti kalimat itu?" tanyaku.
"Tidak." Si iblis tampan menjawab pendek.
Aku menahan hasrat menimbuk lelaki yang katanya keturunan Lucifer ini. "Bisakah kau pergi dari sini?"
"Seperti yang aku katakan, aku tidak bisa ke mana-mana."
Beberapa hari yang lalu saat dia secara ajaib muncul di kamarku, bertindak seenaknya, dan berperilaku sengak, Alvathen menjelaskan jika aku secara tidak sengaja telah memanggil dirinya dan membuat entintas jahat ini terjebak bersamaku. Menurutnya, aku telah membebaskan dia dari penjara bawah tanah, di mana dia dikurung oleh para manusia setengah dewa di Mount Olympus. Dibekali pengetahuan mereka tentang nama asli miliknya, para demigod itu sanggup mengunci Alvathen menggunakan kekuatan para dewa-dewi.
Aku tidak tahu harus bereaksi apa. Yang jelas, aku mengusirnya dari dalam kamar dan melarang dia untuk menginjakkan kaki di dalam rumah ini lagi. Semenjak saat itu, yang Alvathen lakukan hanya bertengger di platform jendela kamarku sambil menyanyikan irama lagu, berbicara dengan burung, menatap langit, menciptakan guntur, serta menyiarkan puisi klasik dengan gaya eksesif.
Seperti tadi malam saat aku sudah mematikan lampu di sebelahn duvan tempat tidur. Mendadak Alvathen menyahut dari luar,
"Good night, good night!
Parting is such sweet sorrow,
That I shall say good night,
'till it be morrow."
Aku melempar Tuan Fred si boneka beruang kesayanganku ke jendela kamar.
Melupakan memori aneh tersebut, aku kembali pada realita. "Sudah seminggu kau di sini, mau berapa lama lagi?"
"Berapa kali aku harus mengatakan kalau aku terjebak di sini? Kau sudah membebaskanku dari para keturunan Hades dan Zeus dan Poseidon yang tidak tahu diri itu. Kau juga sudah memanggil namaku tiga kali! Ulahmu sendiri yang membawaku ke sini."
"Tapi aku tidak butuh apapun!"
"Tetap saja, aku harus membalas hutangku baru bisa lepas darimu."
Aku berdecak penuh frustasi. "Baiklah. Aku ingin bertemu dengan Kim Taehyung!"
"Siapa?"
"Kim Taehyung, V dari BTS. Sebenarnya, ralat, aku ingin bertemu dengan mereka semua. Baiklah, itu permintaanku. Aku ingin bertemu BTS!"
"Hal ini tidak bekerja seperti itu, ma moitié."
"Lalu seperti apa?"
"Aku harus benar-benar menolongmu dalam susah, ketika kau putus asa, atau dalam keadan hidup dan mati." Jelas Alvathen tak acuh pada saraf bergejolak di otot kepalaku, serta deru ekhalasi yang membara.
Aku membanting pintu jendela kasar. "AKU BENCI IKEA!"
· · ·
"HEI, apa kau mengenal wanita tua dua rumah di depan sana?" tanya Alvathen tiba-tiba, mengganggu konsentrasi penuh pada subjek pragmatik untuk tes besok.
Aku membuang napas. Lebih baik meladeni Alvathen agar dia cepat bungkam dibanding mengabaikan lelaki - tidak, dia bukan seorang manusia - itu dan menunggunya berbicara berjam-jam. "Nyonya Kierra? Tentu saja. Dia memiliki dua saudara perempuan. Mereka bertiga cukup populer di perumahan ini sebab sering menolong penduduk yang kesusahan."
Alvathen tertawa tanpa rasa humor. "Dasar orang-orang Salem."
"Apa?"
"Aku bilang, dasar orang-orang Salem."
"Salem?" aku melongok ke luar, mencari rumah keluarga Lovegood. Graha mereka memiliki estetika unik, seperti desain yang memberikan impresi orang-orang hipster. Aku menoleh pada Alvathen. "Seperti . . . Salem yang itu?"
"Salem yang mana lagi?"
"Maksudmu, keluarga Lovegood di sana-" aku mendekat ke arah jendela. "Penyihir?" bisikku pelan.
Alvathen ikut menyondong ke depan, mendekati kepalaku yang melongok dari dalam jendela. Lalu dia berbisik, "Iya."
"Pantas aku selalu merasa aneh berada di dekat mereka! Tidak mungkin seseorang yang memiliki restoran besar, manajer barang di salah satu tempat antik di New York, serta seorang pelajar univestitas memiliki waktu untuk menolong banyak orang." Aku menggeleng. "Oh, ya ampun! Itu berarti saat itu, Tuan Paul di gang sebelah bukan sembuh karena keajaiban, tapi berkat pertolongan mereka."
"Apa kau takut?"
Menimbang jawaban, aku hanya menaikkan bahu. "Tidak. Malah mereka terlihat sedikit keren sekarang."
"Kau jiwa yang tersesat, Nak." Alvathen berdecak heran.
Aku tidak mengabaikan komentar pedas tersebut. "Lagi pula, aku selalu main ke rumah mereka. Kucing hitam milik mereka sangat menggemaskan, dan dia sangat suka padaku. Kata Kimberly, adiknya Kierra, kucing itu memiliki afeksi besar padaku."
Alvathen berdeham. Mendadak wajahnya sinis dan memerah. "Kucing hitam yang itu?" dia menunjuk seekor kucing yang bertengger di posisi similar dengan Alvathen di rumah keluarga Lovegood.
"Iya!" seruku penuh antusias. "Itu Cronos." Aku melambaikan tangan padanya.
Alvathen mendorong aku masuk dengan menimpuk kening. Aku terjerembap jatuh ke kursi belajar, mengaduh kesakitan sementara Alvathen menutup jendela kamar dengan bengis.
"Hei!" protesku keras.
Alvathen menyipitkan mata, rasa kesal mewarnai wajahnya. "Dia bukan kucing."
· · ·
SATU BULAN berlalu begitu saja diisi oleh komrade dari dunia asing bernama Alvathen. Parahnya, aku mulai merasa nyaman dengan kehadiran lelaki - eh tidak, dewa? Ah, bukan juga. Setan?
"Jangan menyebut-nyebut Ayahku." Celetuk Alvathen dari tempat tinggal temporer miliknya. Yep, patform jendela kamar milikku. Semoga saja atap rumahku ini tidak jatuh menimpa kami semua sebab beban tubuhnya.
Aku melongok ke luar jendela. "Aku tidak mengatakan apa-apa."
"You said satan."
"Oh." Aku meringis. "Tolong jangan biarkan dia datang."
"Kenapa?" senyum menggoda terukir di bibirnya. "Kau takut?"
"Tidak!" aku memalingkan wajah darinya. "Aku hanya tidak ingin penghuni dunia bawah tanah mampir ke sini."
"Tenang saja," Alvathen mengibaskan tangan. "Jika kau tidak menyebut namanya tiga kali maka dia tidak akan datang. Lagi pula, kekuatan dia sudah berada di level klimaks. Dia sanggup mengabaikan orang-orang yang memanggilnya."
"Aku masih tidak mengerti tentang itu."
Alvathen membuang napas panjang, seperti sudah muak dengan topik ini. "Kami bisa dipanggil jika seseorang menyebut nama kami tiga kali. Kekuatan akan sebuah nama itu bukan main. Maka dari itu kami tidak pernah memberitahu nama, karena pengetahuan tersebut adalah kelemahan untuk kami. Bayangkan, jika semua orang tahu namaku, berapa hari sekali aku bisa dipanggil oleh makhluk yang mencari kebutuhan?"
"Oh, itu sebabnya kalian memiliki banyak nama? Seperti Lord of the Flies, Prince of Darkness, dan apa itu, kau penguasa apa? Daratan apa?"
"The Abominable Land, dan tidak, itu bukan hanya sekedar daratan."
"OK." Aku mengangkat bahu tak acuh. Begitu melihat wajah Alvathen yang sudah jelas terlihat tersinggung, aku buru-buru mengganti topik. "Siapa ibumu?"
Alvathen terdiam, lalu terkekeh geli. Bahunya bergetar tidak karuan. Untuk beberapa sekon aku hanya bisa menatap makhluk di sebelahku dalam diam. Gelembur netra ketika kelopak tertutup, hidung yang mengerut, bingkai mulut manis melebar, serta raut wajah berseri membuat aku terpana akan wajah Alvathen. Jika dia keturunan iblis, mengapa Alvathen bisa secantik ini? Seperti nirwana di bumi.
"Ibu, kau tanya?" Alvathen menggeleng. "Oh, Llilith. Kau membuatku tertawa."
"Sama-sama." Ujarku datar.
"Lilith."
"Apa?"
"Bukan, kamu." Dia mendongak ke langit. "Lilith. Ibuku."
"Nama ibumu Lilith?" aku berseru keras. Ironis sekali. Aku ingin protes keras pada Mama nanti.
"Yep."
"Itukah sebabnya kau menanyakan arti namaku saat kita pertama bertemu?" tanyaku mengingat konfrontasi kami di awal.
Alvathen mengumbang pelan. Jemarinya menari di permukaan jendela. "Lilith disebut sebagai ibu dari setiap Iblis. Night Monster, atau semacamnya, aku tidak tahu."
"Kau tidak tahu tentang ibumu sendiri?"
"Aku bahkan tadinya tidak tahu jika aku keturunan Lucifer." Jawab Alvathen pendek. Sorot matanya memandang ke kejauhan, tidak memiliki atensi tertentu. Kosong dan membingungkan. Aku merasa canggung, seperti sudah melangkah masuk pada topik yang begitu privat.
"Berapa usiamu?"
Alvathen tertawa tipis lagi. "Kau tidak ingin tahu."
"Jika kau lebih dari delapan belas tahun, secara teknis kau ini seorang pedofolia yang sedang menguntit gadis di bawah umur di jendela kamarnya." Komentarku pedas. Aku melirik Alvathen yang menahan senyum. Ugh, ingin rasanya aku menimpuk senyum rupawan itu dari wajahnya.
Sosok di jendela kamar berdiri, platform jendela rumah berderit. Aku siap untuk protes sebelum kakinya sudah melewati batas jendela, dan melompat masuk ke dalam rumah dengan mudah. Tubuh tingginya seketika menyesakkan kamar, terasa seperti kehadiran Alvathen mampu mengisi seluruh ruangan tidak peduli seberapa megah ruang tersebut.
Aku mundur, merasakan buah hati berdegup tak karuan. Jemari belangsatan mencari pegangan, sementara lutut lemas sebab Alvathen menatapku penuh seksama, dua netra menyala seperti terbakar api. Aku menelan ludah. Obsidian lazuardi itu sangat kontras dengan titelnya. Iris netra biru itu seperti langit di neraka.
"Kenapa? Apa aku salah bicara?" tanyaku gugup. Niat untuk tetap berani pupus sudah.
"Secara teknis, aku masih tujuh belas tahun. Usia yang sama denganmu. Tapi aku sudah berumur tujuh belas tahun selama sepuluh abad."
Tubuhku berhenti bergerak. Manuver terhenti saat mendengar jawaban Alvathen. Entah karena apa, aku menguraikan tangan, jemari menemukan wajah Alvathen. Aku memegang sisi sebelah kanan pipinya, dan tegangan listrik terasa di sekujur tubuh. Melihat reaksi figur di hadapanku, aku juga bisa menebak Alvathen merasakan sesuatu ketika epidermis kami saling bersentuhan.
"Lucu." Gumamku pelan. Alvathen mengatupkan rahang. "Wajahmu seperti malaikat."
Pintu kamarku terbuka lebar, Mama berdiri di ambang pintu dengan pisau dapur raksasa siap di tangan. Aku melonjak mundur, menjauh dari sosok Alvathen seperti baru saja memegang lava panas. Mama memekik seperti wanita kesetanan.
"SATAN BE GONE!"
Dan dengan begitu, sosok Alvathen menghilang meninggalkan asap di tempatnya berdiri.
· · ·
"MAMA, bisakah kau diam sejenak?" aku mengeluh kesal, memperhatikan Mama yang sedari tadi kacau. Wanita itu tak bisa diam, sedari tadi mondar-mandir sambil memegang pisau besar tadi. Aku merenyuk ketika Mama melempar pandangan keji ke arahku. "Maksudku, kau membuatku pusing."
Mama menginhalasi ribuan oksigen, proses yang berkali-kali dia lakukan sebelum meletakkan pisau dapur di atas meja belajarku. Wanita itu berjalan ke arah tempat tidur dan duduk. Sementara aku duduk di kursi santai wilayah teritorial Alvathen. Memikirkan namanya, rasa sesak mengusik hati. Aku segera tenggelam dalam cemas.
"Mama, biar aku jelaskan."
"Jelaskan apa?" selama belasan tahun aku hidup, aku tidak pernah mendengar Mama berbicara begitu sinis dan dingin. Vokal wanita yang sudah membesarkanku itu selalu terdengar musikal, lembut, dan halus. Bahkan ketika menggeretu, mengeluh, atau memarahi aku dan Lincoln, selalu ada nada bicara keibuan. Tapi sekarang aku terkejut ketika Mama menembakku dengan kata-katanya.
Aku menunduk. "Lelaki tadi-"
"Dia bukan manusia."
Aku mendongak begitu cepat hingga leherku terasa nyeri. Mama memandang ke luar, netra menolak bertemu denganku. Postur tubuhnya sangat tegang, jemari menyatu menjadi kesatuan yang semrawut. Mama tahu siapa Alvathen. Dia tahu makhluk apa lelaki itu.
"Bagaimana bisa kau tahu?" kali ini nada bicaraku yang dingin. Satu hal yang pasti, Mama sudah merahasiakan sesuatu dari kami.
"Lilith-"
"Lalu kenapa juga kau harus memberiku nama seperti itu?"
Mama mengernyitkan kening. "Itu artinya bunga lilium-"
"Ibu para Iblis, iya iya aku tahu." Aku mengibaskan tangan. Mama kembali terkejut, matanya sedikit melebar.
Wanita itu akhirnya menyerah. "Aku tidak pernah memberitahumu atau Lincoln karena aku sudah memilih untuk meninggalkan kehidupan ini jauh di masa lalu."
"Kehidupan apa?"
"Nephilim."
"Apa pula itu?" tanyaku frustasi.
"Setengah malaikat." Mama tersenyum tipis. "Kita memiliki darah malaikat, Lilith."
Rasanya duniaku terbalik menjadi turbulensi kacau. Semuanya terasa hanya seperti makrokosmos yang artifisial, pretensi Mama menusuk seluruh tulang. Rusuk bergejolak tatkala buah hati mengalami fluktuasi kecil. Mama seperti baru saja menyeruak di balik perikardium dan menarik jantungku dari tubuh, mengacaknya menjadi kepingan hancur sebab dusta yang menyakitkan.
"Kau menyimpan rahasia sebesar itu selama ini?"
Mama tak berani menatapku. "Seperti yang aku katakan, aku memilih menjauh dari kehidupan itu. Dan aku rasa lebih baik kalian tidak tahu."
"Kehidupan apa yang kau bicarakan?" nada bicaraku mulai tinggi, melupakan kesopanan dan etika berbicara pada orangtua.
"Membasmi iblis dan para makhluk jahat."
Aku terdiam seribu bahasa, libium tertutup rapat. Tak butuh waktu lama bagiku untuk berdiri dan meninggalkan Mama di kamar. Derap kaki di belakangku mengatakan kalau Mama juga mengekor, meminta agar aku berhenti. Aku tidak menggubris permintaan tersebut. Dengan langkah cepat, aku memburu pintu depan untuk keluar dari rumah ini. Partisi dan pondasi rumah seperti sedang menghimpit aku dari berbagai arah.
Begitu pintu rumah terbuka, aku sempat terjerembab jatuh akibat terkejut melihat sosok Alvathen yang bersender pada pondasi rumah, jas lengkap miliknya menyentuh cat rumah yang keropos. Aku tidak menunggu lama sebelum mengatakan permintaan pada Alvathen dengan lirih.
"Bawa aku pergi dari sini."
· · ·
"KENAPA KAU MEMBAWAKU!" jeritku kencang, dersik angin yang menggemuruh menelan pekikan nyaring tersebut.
Alvathen di sebelahku mencibir dengki, dua tangan melipat di depan dada seperti keadaan sekarang tidak mengganggu dirinya sama sekali. Deru udara yang membuat surai kami terbang kibangkibut tidak membuat Alvathen panik. Sedangkan aku sudah siap mengantar nyawa, mungkin bertemu dengan ayah Alvathen.
"Kau bilang bawa aku pergi!"
"Tapi tidak ke sini!" jeritanku kembali terbawa angin tatkala rollercoaster di taman bermain Disney melaju kencang, menukik ke atas, lalu turun bersama organ tubuhku yang terasa melayang.
Alvathen mencibir dengki. "Human. Tidak tahu terima kasih."
Setelah rel berakhir, aku buru-buru turun, menahan isi makanan yang siap menyembut dari balik libium. Aku bersandar pada salah satu pilar di istana Putri Tidur. Mungkin jika ada cermin, refleksi tubuhku akan terlihat menyedihkan. Wajah yang putih, bibir pucat, dan tenggorokan merah. Aku benar-benar akan menimbuk Alvathen.
Lelaki itu kembali membawa satu botol air mineral. "Ini."
"Kau mencuri ini dari mana?" tanyaku curiga.
"Bukan mencuri namanya jika penjualnya memberikan secara sukarela."
Rasa mual menahanku untuk protes. Aku menegak air mineral tersebut seperti makhluk dehidrasi. Alvathen melirik aku dari ujung mata, sedikit cemas, tetapi untuk apa dia cemas?
"Apa kau baik-baik saja?" tanyanya pendek.
"Hmh," aku mengumbang. "Lain kali, bawa aku ke tempat seperti Menara Eiffel atau semacamnya."
"Aku lihat di buku catatanmu, kau ingin pergi ke Disneyland."
"Iya, tapi jika secara mendadak muncul di tengah rollercoaster yang sedang menukik, bagaimana caranya aku bisa apresiasi ulahmu?"
Alvathen menggeleng tidak percaya. "You are welcome."
"Sudahlah. Ayo kita masuk." Ucapku pendek, mendongak ke atas menatap istana Putri Tidur. Logo disney menari di atas, diikuti sambutan Sleeping Beauty Castle Walkthrough di bawahnya. Alvathen menjauh dariku.
"Tidak. Aku tidak akan masuk ke tempat feminin begitu."
"Hei," aku menunjuknya penuh sangsi. "Ini sudah jaman berbeda. Dekade sekarang tidak pandang bulu dan jenis kelamin. Wanita dan lelaki memilik ekualitas sama. Ayo masuk, bukankah kau seorang pangeran? Ini juga istana."
"Pangeran kegelapan! Bukan pangeran seperti ini."
"Apa bedanya?" balasku sambil melenggang pergi.
Hari itu, kami berdua berkelana di Disneyland, menaiki berbagai macam wahana, memasukin puluhan tempat atraksi seperti Guardians of the Galaxy, Goofy's Sky, Akademi Animasi, Galeri Disney, dan Oh! Kesukaanku adalah Monsters, Inc. Mike & Sully to the Rescue!
Aku melupakan pelik yang terjadi di rumah, rahasia besar Mama, dan fakta bahwa aku sedang jalan-jalan bersama Iblis.
· · ·
"KAU akan membertitahu apa yang terjadi tadi pagi?" tanya Alvathen. "Aku tidak menyangka ibumu bisa memiliki kekuatan untuk mengusirku."
"Dia Nephilim."
Alvathen membuat suara terkejut dari tenggorokannya. Langkah makhluk itu berhenti tidak jauh dari pavemen rumahku. Dia menoleh, raut wajah tidak bisa diberikan eksplanasi. Aku menunggu reaksi apa yang akan dia berikan, mengetahui fakta bahwa seharusnya aku ini mengusirnya, membasmi makhluk sepertinya, tetapi dia hanya meneruskan melangkah.
"Alvathen!" panggilku. Bahunya menegang mendengar panggilanku. "Maksudku - maaf, aku tidak bermaksud menyebut namamu."
"Tidak apa-apa." Jawabnya pendek.
"Aku baru saja mengatakan kalau Mama itu Nephilim." Ulangku lagi. "Apa kau tidak dengar?"
"Lalu?" dia hanya mengedikkan bahu. Eskpresinya keras. "Toh' jika aku sudah membalas hutang, aku akan pergi dari sisimu."
"Oh." Rasa aneh yang menyerupai kesedihan menusuk hati. "Benar juga."
Kami berdua berjalan berdampingan. Mendadak, Cronos si kucing keluarga Lovegood memotong jalan kami. Gigi taringnya keluar. Kucing hitam itu mendesis ke arah Alvathen, cakarnya siap mengancam siapapun.
"Hei, Cronos. Itu tidak baik." Kataku dengan nada menasihati. Aku sudah akan membungkuk untuk meraih kucing itu sebelum Alvathen merentangkan tangannya di depan tubuhku, menggiring aku agar berada di belakang tubuh besarnya.
Alisku terangkat naik. "Tidak apa-apa, Cronos kucing yang baik."
"Sudah aku bilang dia bukan kucing." Gigi Alvathen bergemeretak. Aku menelan ludah. Benar juga, dia pernah mengatakan hal itu. Aku mengintip dari balik lengannya. Cronos sedang dalam posisi kuda-kuda, mungkin melihat lawan di depannya. Mendadak Kierra keluar dari pintu rumah.
"Cronos!" panggilnya. "Apa yang kau lakukan?" dia mengangkat kucing itu dan berniat tersenyum, namun bibirnya tidak pernah terukir naik melainkan terkesiap begitu melihat sosok Alvathen.
"Kau." Desisnya pelan. "Apa yang kau lakukan di sini? Makhluk sepertimu tidak memiliki tempat di sini."
"Actually, I belong everywhere because I rule the sky." Jawab Alvathen sinis.
Aku buru-buru keluar dari balik persembunyian tubuhnya. Kierra membelalakan matanya padaku. "Lilith? Menyingkir darinya sekarang juga!" ucapnya sambil mengangkat satu tangan dengan telapak tangan menghadap kami.
"Tunggu dulu, Kierra." Sahutku kencang. Gaya apa itu? Apa dia akan mengeluarkan jurus, atau mantera, atau semacamnya? "Dia ini temanku."
"Teman?" Kierra hampir naik darah. "Lilith, apa kau tahu dia makhluk apa?"
"Iblis?"
"Dan kau masih berteman dengannya?"
Aku menoleh ke arah Alvethan. "Well, dia tidak pernah menyakitiku."
"Oh, Salem!" pekik Kierra. "Nak, kau jiwa yang tersesat."
Alvathen terkekeh di sebelahku. Aku melototinya tajam. "Kierra, aku akan sangat berterima kasih jika kau tidak - kau tahu-" aku melayang-layangkan tanganku di udara seperti membuat jurus. "-mengubahnya menjadi kelinci atau semacamnya."
Kierra membuang napas berat. "Pergilah."
Aku segera menarik lengan Alvathen. Saat kami melewati Kierra dan Cronos, aku tidak melewatkan tatapan tajam yang Pangeran Kegelapan di sebelahku berikan pada seekor kucing.
· · ·
"BAIKLAH, jelaskan segalanya. Dan jangan mencoba untuk menyembunyikan sesuatu lagi dariku." Kataku datar saat Mama sudah duduk di kursi belajarku. Aku sendiri duduk menyila di tempat tidur, siap mendengar eksplanasi dari Mama.
Wanita itu menarik napas panjang. "Aku menikahi ayahmu untuk lari dari kehidupan lamaku. Dia hanya manusia biasa, dan para Nephilim tidak seharusnya berhubungan dengan manusia biasa. Aku memilih ayahmu dan hidup sendiri. Aku sudah meninggalkan segalanya jadi aku pikir tidak perlu memberitahu kalian tentang kehidupan masa lalu."
"Apa ayah tahu?" tanyaku.
"Tentu saja." Mama mengangguk. "Ayah tahu segalanya."
Ayah sudah pergi meninggalkan kami untuk selamanya empat tahun lalu. Sosoknya masih hangat di antara kami, namun fisik tak lagi bersama. "Baiklah. Jadi, apa yang kau tahu tentang Iblis?"
"Banyak," Mama mengenyitkan dahi. "Kenapa kau bertanya begitu?"
"Apa yang kau tahu jika kau memanggil nama mereka tiga kali?"
"Mereka akan datang dan harus memberikanmu satu pertolongan sebelum mereka bisa pergi." Jelas Mama secara singkat. Lalu satu jari penuh akusasi mengudara. "Kau? Kau memanggil setan?"
Guntur menggelegar di langit. Aku meringis, sementara Mama hanya memutar kedua bola matanya. "Begitu sensitif." Kritiknya pedas. "Lilith, kau memanggil mereka?"
"Aku tidak sengaja!" belaku cepat. "Mana aku tahu nama dia sama dengan nama furnitur di Ikea?"
"Kau mencoba mengeja nama furnitur di Ikea dan tidak sengaja memanggil setan?" halilintar heboh mengejutkan aku dan Mama. "Oh, diam kau!" umpat Mama sambil menoleh ke arah langit di balik jendela kamar.
Aku mengangguk lemah. "Iya. Dan sekarang dia terjebak bersamaku."
Mama berdecak kesal. "Baiklah, di mana dia?"
Seperti sudah di aba-aba, Alvathen melompat dari jendela kamar, hampir membuat Mama jantungan sebab jarak meja belajar benar-benar di depan jendela kamarku. Kali ini, jas lengkap Alvathen sudah diganti menjadi pakaian serba hitam. Celana jeans ketat yang memeluk kaki jenjangnya bolong di bagian lutut, sementara baju dengan leher panjang menyelimuti tubuhnya.
"Halo." Katanya pendek.
"Hmh." Mama hanya melirik Alvathen dari ujung mata, memandangnya dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Nephilim."
"Demon."
Salam yang aneh, ujarku dalam hati. Aku berdiri di antara Mama dan Alvathen, menjaga jarak mereka agar tidak saling melenyapkan nyawa satu sama lain. Mama mencium bagian dalam giginya dengan gaya sengak.
"Masih kecil?" tanya Mama.
"Sepuluh abad." Jawab Alvathen, kepala sedikit naik seperti mendongak.
"Kecil." Mama mencemooh. "Mammon?"
"Lucifer."
"Oh, pantas saja." Mama mengibaskan tangan. "Sengaknya sama."
Aku menahan tawa. Sejujurnya, adegan di depanku ini begitu komikal. Seorang ibu rumah tangga bersama Iblis yang seharusnya mengerikan. Aku hampir saja merekam konversasi mereka berdua.
"Lilith?" Mama mendekat ke arahku.
"Iya?"
"Kau tahu peraturannya." Mama menatap Alvathen tajam. "No boys allowed in bedroom." Mama melangkah pergi.
"Tapi kau bilang dia bukan manusia?"
"Tetap saja." Mama melirik ke bagian bawah Alvathen. "Dia tetap laki-laki di bawah sana."
Mataku terbelalak begitu Mama pergi. Darah menjalar ke seluruh tubuh, merangkak naik ke atas. Aku yakin wajahku pasti begitu merah saat ini.
"MAMA!"
· · ·
"APA gunanya mengetahui berapa jumlah X untuk kehidupan di dunia?" celetuk Alvathen dari belakang bahuku. Aku bergidik, merasakan napasnya tepat di daun telinga. Aku mendorongnya jauh, pura-pura kesal untuk menutupi rasa gugup.
"Rupanya penting bagi para penemu aljabar."
Alvathen menjatuhkan dirinya di tempat tidurku. Dua sepatu boot hitam menggantung di bawah kasur, terlalu pendek untuk kaki panjangnya. Aku tidak menggubris perihal tersebut. Iblis di sebelahku ini semakin hari semakin bertingkah nyaman di dalam kamarku. Mulai dari tidur di kasur, sampai menggunakan barang-barangku.
"Manusia selalu melakukan hal-hal yang tidak berguna."
"Lalu, apa yang puisi bisa lakukan untuk kehidupan di dunia?" balasku sengit.
Alvathen menghadapku, satu tangan bertumpu di kepala.
"This above all: to thine own self be true,
And it must follow, as the night the day,
Thou canst not then be false to any man."
Alvathen mengedipkan satu mata padaku. "Hamlet."
"Shakespeares?"
"Yep."
Aku menyipitkan mataku padanya. "Kau hanya tahu puisi Shakespeares saja, ya?"
"Tidak, aku tahu banyak. Kau ingin dengar?"
"Tidak!"
Alvathen mencibir. "Intinya, puisi itu mengajarkan kita tentang kehidupan itu sendiri. Tentu saja mereka berguna."
"Terserah."
Makhluk itu kembali rebahan, mata memandang langit-langit kamar. Di atas sana, aku sudah menghiasi atap kamarku dengan puluhan asterik yang akan menyala jika dalam keadaan gelap. Aku menatap Alvathen yang mengobservasi bintang dengan seksama. Lelaki tersebut menunjuk mereka menggunakan satu jari.
"Kau suka bintang?"
Aku tidak menyangka pertanyaan itu. "Yep."
"Oh."
"Itu saja?"
"Kau mau aku berkata apa lagi?" tanya Alvathen.
Aku berdeham. "Tidak. Lebih baik menutup mulutmu." Kemudian aku kembali mengerjakan tugas sekolah.
· · ·
"IT IS my lady, O, it is my love!
O, that she knew she were!"
Aku mengumpat di dalam hati mendengar suara puitis Alvathen di balik jendela kamar. Meraih ponsel, aku memeriksa jam. Pukul dua belas malam. Ya ampun, tengah malam begini, apa yang iblis itu inginkan?
Aku membuka jendela kamar. Alvathen tidak bertengger di tempat biasanya, melainkan berdiri di pekarangan bawah rumah. Aku menunduk, melihat Alvathen yang berkacak-pinggang serta senyum rupawan terlukis di wajah.
"Apa yang kau lakukan?" aku teriak berbisik.
"She speaks!
O, speak again, bright angel! For thou art,
As glorious to this night, being o'er my head,
As is a winged messenger of heaven."
Aku memutar kedua bola mataku. Apa dia sedang reka adegan drama saat Romeo dan Juliet bertemu di balkon rumahnya tengah malam begini? "Heaven? Kau dari neraka, Alvathen!"
Makhluk itu terkekeh geli. Dengan gerakan lincah dan tidak kasat mata, mendadak dia sudah meringkuk di depanku. Wajah kami begitu dekat, proksimasi setipis kertas. Deru ekhalasi kami bertabrakan. Intensitas ini membuatku menelan ludah, merasakan hati berdegup kencang. Surai epidermis bergidik di bawah tatapan liar Alvathen.
Lelaki itu tersenyum lebar. "Ma moitié. Lihat di atasmu."
Butuh kekuatan besar bagiku untuk mengalihkan pandangan dari obsidian milik Alvathen. Tetapi, apa yang aku lihat di lanskap langit Manhattan mencuri semua atensiku. Mendadak, lazuardi iris netra Alvathen tidak lagi mengisi hati. Aku hanya bisa terpana melihat jutaan asterik melukis horizon di atas kota Manhattan.
Gemintang yang menyinari seluruh kompleks menari seperti bola-bola kristal yang mengkilat. Dirgantara tidak pernah terlihat begitu indah sebelumnya. Aku menutup mulut dengan dua tangan. Alvathen kembali pada posisinya di platform jendela kamar.
"Bagaimana?" tanya makhluk itu.
"Cantik."
Aku bisa merasakan Alvathen menoleh padaku, namun aku tidak bisa memalingkan wajah dari langit. Aku hanya bisa mendengar Alvathen bergumam, "Sangat cantik."
· · ·
AKU SUDAH kehilangan hitungan berapa lama Alvathen terjebak bersamaku. Tetapi semakin hari, aku semakin merasakan hal yang tidak sepantasnya aku rasakan saat bersama dengan makhluk itu. Aku suka padanya. Nyaman bersamanya. Menemukan titik aman jika berdua dengan Alvathen.
Mama pasti akan membunuhku hidup-hidup jika dia tahu.
Aku tidak pernah memperlihatkannya. Semua gestur yang Alvathen lakukan sejujurnya membuat aku terpesona, hati berdegup kencang, salah tingkah, bahkan terharu. Seperti saat dia memperlihatkan jutaan asterik di langit, mengajak aku ke Disneyland. Pernah dia memberikan satu kotak berisikan semua makanan ringan kesukaanku. Aku hanya berharap dia tidak mencuri itu semua.
Pernah dia melindungi aku saat hampir terserempet mobil, menghukum para murid yang suka merundungku di sekolah, mengusir hantu yang menyasar ke dalam rumah, bahkan secara ajaib memperbaiki setiap benda rusak di rumah.
Aku menjadi terikat dengannya. Ironis memang. Dia yang terjebak bersamaku, tapi entah sejak kapan ini semua dimulai, malah aku yang tidak bisa lepas darinya.
Hari itu aku tidak tahu apa yang Alvathen sedang lakukan, tetapi makhluk itu tidak ada di jendela rumah. Aku membuang napas. Mama sedang pergi, sedangkan Lincoln masih sibuk latihan Lacrosse di sekolah. Aku sendirian di rumah yang sunyi ini. Tidak aku sangka, aku bisa merindukan ocehan puisi dari Alvathen.
Apa aku panggil saja dia?
Tidak. Aku tidak boleh menggunakan pengetahuan itu seenaknya. Aku harus bisa meyakinkannya jika aku ini salah satu manusia baik yang bisa dia percayai.
Mendadak aku mendengar derap langkah di tangga. Bukannya perasaan familiar, rasa tegang malah menyerang tubuhku. Biasanya aku bisa tahu siapa yang naik tangga tanpa perlu melihat sosoknya. Aku bisa membedakan tapak kaki Mama, atau Lincoln, bahkan belakangan ini Alvathen juga - walaupun dia bisa teleportasi. Tetapi kali ini, derap langkah itu berbeda. Penuh antusias namun juga berjaga-jaga. Aku berdiri dari tempat tidur.
Pintu kamarku terbuka paksa. Mataku melebar melihat banyak orang masuk dengan baju seragam, semuanya serba hitam menggunakan penutup wajah berwarna emas. Aku memekik ingin kabur, tetapi dua di antara mereka sudah lebih dulu menangkap tubuhku. Aku meronta dan berusaha lepas, namun nihil.
"ALVA-"
Gelap. Aku tidak sadarkan diri.
· · ·
KONVERSASI YANG dibalut argumen keras adalah hal yang pertama kali aku dengar begitu kesadaran mulai mencapai permukaan. Segalanya terbuat dari bebatuan. Aku bisa menebak jika ini adalah semacam gua di bawah tanah. Aliran air terlihat dari beberapa sisi. Aku terbujur di atas batu datar di tengah ruangan, tangan dan kaki terikat kuat di pondasi setiap pojokan, tubuhku membentuk huruf X besar.
Salah satu dari mereka menghampiriku. "Kau sudah sadar?" tanya vokal seorang wanita. Aku mengangguk lemah. "Maaf, kami tidak bermaksud melukaimu."
Temannya mencibir. "Dia sudah melibatkan dirinya sendiri dengan Iblis. Dia pantas menerima ini." Kali ini vokal seorang lelaki. Wanita di hadapanku hanya menggeleng pelan. Dia melepas kain yang tersumbat di bibirku, membuat aku bisa bernapas lega.
"Apa yang kalian inginkan?" tanyaku serak. Posisiku membuat aku susah untuk melihat ada berapa banyak orang di sekitarku. Untuk sekarang, aku bisa menerka ada sekitar lima orang dengan baju yang sama, termasuk wanita di depanku.
"Perkenalkan, aku Ophelia." Ujarnya. Dia menunjuk lelaki tadi. "Itu Percy. Di sebelahnya Achilles, lalu dua orang di sebelahnya adalah Olivia dan Oliver."
Satu per satu dari mereka melepas tutupan wajah. Aku segera menyumpah di dalam hati. Apa jaman sekarang setiap orang jahat memilki wajah yang tampan dan cantik? Kalau begitu, aku juga ingin menjadi penjahat!
"Kalian semua siapa?" tanyaku.
"Kau mungkin pernah dengar terma demigod?"
Aku mengerang kesal. Tatapan bingung dilontarkan ke arahku. "Serius? Apa yang kalian inginkan padaku?"
"Alvathen." Kata Percy datar. Entah mengapa aku merasa marah karena lelaki tersebut sudah berani menyebut nama Alvathen. Aku melototinya sebisaku dari posisi ini.
"Jaga bicaramu."
Percy tertawa. "Kau membela Iblis?"
"Well, jika kau katakan seperti itu maka itu terdengar buruk." Jawabku pendek. "Jika kalian ingin Alvathen, mengapa menyanderaku?"
"Karena kau akan kami gunakan sebagai umpan bagi Alvathen."
"Percuma." Kataku. "Jika dia datang pun, dia hanya akan membebaskanku. Dia bersamaku hanya karena terjebak dan tidak bisa pergi. Kalian tidak bisa menggunakanku untuk menangkapnya."
Mereka semua saling pandang. "Dia peduli padamu." Kata Ophelia.
"Peduli, apanya. Jangan halusinasi."
Percy mendesis keras. "Dia peduli padamu, kau manusia bodoh! Memangnya kau pikir kenapa selama ini dia terus berada di dekatmu?" Percy melangkah mendekat ke arahku. "Dia bisa pergi begitu saja jika dia ingin."
"Itu tidak mungkin. Dia bilang padaku kalau dia harus membalas hutang budi-"
Percy tertawa kencang. Bahunya berguncang. Aku mendengar temannya yang lain ikut terkekeh geli, kecuali Ophelia yang memandangku prihatin. "Kau pikir Alvathen Iblis kelas apa? Dia keturunan Lucifer, the Lord of the Flies. He's the Prince of Darkness! Kekuatannya sudah berada di level paling atas bersanding bersama dengan Ayahnya. Kau pikir dia tidak bisa mengabaikan panggilanmu?"
Jika kau tidak menyebut namanya tiga kali maka dia tidak akan datang. Lagi pula, kekuatan dia sudah berada di level klimaks. Dia sanggup mengabaikan orang-orang yang memanggilnya. Aku ingat apa yang Alvathen katakan tentang kekuatan ayahnya. Kekuatan Lucifer. Yang ternyata sama dengan kekuatan anaknya, Alvathen.
Aku mendadak ingin menangis. "Jadi dia?"
"Selama ini berada di sisimu karena dia ingin." Jawab Ophelia pelan.
"Sekarang kau mengerti kenapa kau ada di sini?" tanya Percy sinis. Aku belum sempat menjawab ketika mendadak segalanya menjadi gelap gulita. Mereka segera memasang posisi kuda-kuda. Dari pendengaranku, aku bisa menebak mereka sudah sibuk mengeluarkan berbagai macam senjata.
Aku merasakan temperatur ruangan turun secara drastis. Otomatis tubuhku bergetar. Dingin yang menusuk tulang seketika melanda setiap individu di tempat ini. Aku merasakan gigi orang-orang di sekitarku gemeretak. Saat aku meraskan jemariku mulai kehilangan rasa, tiba-tiba hangat menyelimuti tubuh. Aku kembali tenang. Sementara Ophelia di dekatku masih menggigil.
"O, love!" aku menahan senyum dengan menggigit bibir. Suara jahil Alvathen menggema di gua gelap. "Answer me, bright angel!"
Aku memutar kedua mata dan memilih untuk mengikuti permainannya.
"O Romeo, Romeo! Wherefore art thou Romeo?
Deny thy father, and refuse thy name;
Or, if thou wilth not, be but sworn my love,
And I'll no longer be a Capulet."
Aku bisa mendengar Alvathen terkekeh geli. Ingin rasanya aku menimbuk lelaki itu dan memeluknya erat. "Lilith." Vokal beratnya kembali. "Bukankah seharusnya, O Alvathen? Lagi pula, kau berharap aku melawan ayahku sendiri? Deny thy father? My father is the Lucifer!" Alvathen berdecak. "Dan kau tidak pernah menjadi Nephilim."
Jika dipikir, petikan dari drama Shakespeares itu memang secara ironis similar dengan kami. Alvathen yang seorang keturunan Iblis, sedangkan aku keturunan pembasmi makhluk sejenis mereka.
"Nephilim?" sahut Percy. "Kau seorang Nephilim?" kali ini dia bertanya dengan nada tinggi. Aku terkesiap ketika merasakan benda tajam di leher. Mendadak, gua bawah tanah ini menjadi terang benderang. Cahayanya kapabel dalam membutakan netra. Aku tersentak ketika Percy mengeluarkan cairan merah dari bibirnya dan tersungkur jatuh di sebelahku.
"Hello, ma moitié."
"Jika kau membunuhnya, aku akan membunuhmu." Kataku tajam.
Alvathen membuang napas frutasi. "Iya, iya, aku tidak membunuhnya. Dia hanya . . . pingsan."
Aku tidak percaya kata-katanya namun tidak ada waktu. Makhluk itu melepaskan ikatan di tubuhku, lalu mendorong aku ke belakangnya penuh proteksi. "Jadi, siapa di antara kalian yang ingin bertemu Hades lebih dulu?"
Olivia dan Oliver mencibir. "Jangan menyebut nama ayahku." Kata Oliver dengki.
"Oh, anak Hades rupanya. Baiklah, waktunya berjumpa dengan ayah tersayang." Alvathen melambaikan tangannya, dan entah bagaimana caranya, dua pasang kembar itu menyala dalam api. Mereka berteriak, menjerit meminta tolong, namun Ophelia dan Achilles hanya bisa menatap dengan horor terpancarkan di netra mereka. Tidak lama, keduanya sudah menjadi abu dan meninggalkan asap.
Aku menghajar belakang kepala Alvathen. "Kau baru saja membunuh mereka!"
Dia mengaduh seperti anak kecil. "Tenang! Ayah mereka Hades, kau pikir mereka akan dibiarkan melewati gerbang neraka begitu saja?"
"Oh." Aku mengangguk setuju. "Benar juga."
Kali ini, sasaran tertuju pada Olivia juga Achilles. Mereka berdua siap dengan dua pedang panjang, struktur aneh melingkar di pegangan. Aku menanti apa yang akan terjadi, namun ketika keduanya hanya diam, Alvathen mendesah jengkel.
"Jadi? Apa yang akan kalian lakukan?" tanya Alvathen bosan.
"Menyerah." Achilles yang menjawab. "Kembali ke kurunganmu."
Alvathen terkekeh geli. "Aku rasa aku tidak bisa melakukan itu."
"Baiklah jika begitu." Achilles menyenggol bahu Ophelia. Gadis itu menelan ludah. Dia melirik aku di belakang Alvathen. Gadis itu memberikan tatapan minta maaf sebelum aku merasakan sekujur tubuhku seperti ditusuk oleh ribuan pedang tajam.
Aku berteriak histeris, seperti manusia dalam agoni. Jeritanku membuat Alvathen menoleh cepat, menangkap kepalaku ketika aku tersungkur jatuh ke bawah sebelum aku membentur bebatuan. Alvathen mendekapku dalam pangkuannya. Wajah rupawan itu terhalangi oleh kekhawatiran dan panik.
"Apa yang kau lakukan?" dia berteriak kencang, mengaung seperti binatang buas. Pondasi gua bergetar saking hebatnya. Untuk beberapa saat Achilles dan Ophelia sempat terlihat ragu, tetapi komposur tubuh Achilles kembali lagi.
"Ophelia sudah mengikat jiwa gadis itu ke dalam Spiteblade." Jelas Achilles.
Ophelia mengangkat pedang dengan ukiran aneh di pegangannya. "Maaf, Lilith." Katanya lirih. Aku hanya bisa mengerang kesakitan, jemariku mencengkeram baju Alvathen.
"Incarnation of Hell's Games?" Alvathen mendesis dingin.
"Yep." Achilles menjawab ringan, merasa berada di atas angin. "Hanya Olivia dan Oliver yang bisa mematahkan kutukannya. Sekarang, apa kau menyesal sudah membuat si kembar bersilahturahmi bersama ayahnya?"
Alvathen mengumpat pelan. "Apa yang kau mau?"
"Kembalikan si kembar." Jawab Achilles.
"Tidak. Jika memang benar hanya mereka yang bisa mematahkan kutukan pedang itu, maka kalian akan lebih putus asa ketika aku melenyapkan mereka. Pasti ada yang bisa kalian lakukan. Ini satu-satunya trik kalian untuk mengalahkan aku."
"Oke, oke, baiklah." Achilles mengangkat dua tangan di udara. "Ophelia bisa mematahkan kutukan itu."
"Bagaimana caranya?"
"Dia anak dari Persephone."
"Persephone, istri dari Hades." Alvathen bergumam pelan. Dirinya mengelus wajahku pelan ketika aku kembali merintih kesakitan. "Ma moitié, maafkan aku. Ini semua karena aku."
Aku ingin menggeleng, ingin mengatakan tidak, ingin meyakinkan Alvathen jika ini bukan salahnya. Tetapi manuver tubuh tidak dapat bekerja. Aku seperti terserang paralisis utuh. Alvathen mencium keningku hangat. Dia mencium likuid netra yang mengalir di pipi, lalu bibirnya mendarat di daun telinga.
"Ma moitié. My half. You are the half of me. There is no heart for me like yours. Our bodies are new to each other, but our souls knew each other like from the beginning of life. You walked into my life, like you had always lived there."
Lalu Alvathen meletakkan tubuhku secara perlahan di atas bebatuan. Dia mengirimkan satu senyum tipis khas yang membuat wajahnya bersinar. Aku ingin berteriak, ingin menahannya unutk tidak pergi, tetapi sosoknya sudah pergi dari visual, digantikan langit-langit gua yang gelap. Aku menangis di bawah kegelapan.
"Lepaskan dia." Vokal Alvathen terdengar berat. "Maka aku akan kembali dalam kurunganmu."
Achilles tertawa sinis. "Aku tidak pernah menyangka Iblis akan memiliki kelemahan seperti ini."
Alvathen hanya mengumbang seperti biasa. "Seseorang yang mengakui kelemahannya, adalah orang yang paling berani di dunia."
Aku tidak mendengar jawaban dari Achilles. Atau kata-kata yang terlontarkan dari Ophelia. Aku hanya mendengar Alvathen menjerit keras penuh sakit, teror menyelimuti vokal merdu miliknya. Aku mendengar suara gaduh, lalu semuanya menjadi gelap.
Alvathen sudah meninggalkan aku.
· · ·
PARAS CANTIK Mama memasuki visual ketika netra terbuka. Dia menangis di sebelahku. Lincoln maju beberapa senti, berdiri di ujung kasur penuh cemas. Mereka berdua membuang napas lega ketika melihat aku yang sudah tersadar.
"Kau hampir membuatku menjadi Nephilim lagi dan menghancurkan setiap makhluk yang berani melukaimu." Kata Mama dengan suara serak. Aku melirik Lincoln. Melihatnya yang tidak terkejut sama sekali, aku bisa menebak kakak lelakiku itu sudah mengetahui rahasia besar Mama.
"Aku baik-baik saja." Ucapku datar. Mama memberikan segelas air putih.
"Kau yakin?" tanya Lincoln.
Aku mengangguk lemah. "Bagaimana aku bisa kembali ke sini?"
"Para demigod tidak tahu diri itu yang mengantarmu kembali." Mama mencibir. "Bisa-bisanya mereka melukai seorang Nephilim."
"Ma, kau sendiri yang mengatakan kami bukan lagi Nephilim."
"Tetap saja!" Mama mengerang kesal. "Sudahlah. Lebih baik kau istirahat." Mama dan Lincoln bergegas untuk keluar. "Oh," Mama berhenti di ambang pintu. "Bagaimana dengan . . . Alvathen?"
Aku menutup mata mendengar namanya. "Dia melindungiku.
Mama menghirup udara dalam-dalam. Anehnya, dia tersenyum prihatin padaku. Alih-alih merasa lega, Mama malah mengatakan, "Jangan khawatir. Dia keturunan Lucifer. Yang aku khawatirkan adalah para demigod itu. Jika Alvathen bisa lepas untuk satu sekon saja, habis mereka semua."
Aku memberikan senyum paksa pada kata-kata Mama. Ketika dia sudah keluar, aku menutup mata, menghilangkan setiap memori antara aku dan Alvathen.
· · ·
TERNYATA menggunakan represi untuk menyingkirkan kenangan tidak semudah yang aku bayangkan. Sudah berbulan-bulan berlalu, tetapi aku masih tidak sanggup mengesampingkan Alvathen dari benak. Aku ingin menemuinya, memeluknya, mendengarkan puisi cintanya. Tapi dia terjebak. Demi menyelamatkan aku.
Rangkainan angka aljabar di meja belajar membuat aku membanting buku tatkala mengingat sensasi menggelitik di daun telinga saat Alvathen menyahut, "Apa gunanya mengetahui berapa jumlah X untuk kehidupan di dunia?"
Aku menoleh ke arah jendela. Kosong. Tidak ada sosok mengesalkan yang bernyanyi pelan, berbicara pada burung, atau menyihir langit dipenuhi jutaan gemintang. Tidak ada yang mengeluh tentang Shakespeares, atau mengolok aku dari luar jendela.
Bunyi sentakan pada kaca jendela membuat aku mendongak cepat. Cronos si kucing keluarga Lovegood melongok dari luar, mata emasnya menyala kontras dengan bulu hitam pekat. Aku sempat ragu, mengingat perkataan Alvathen tentang Cronos. Namun akhirnya aku menggeser pintu jendela dan membiarkan penghalang antara aku dan Cronos menghilang.
"Ada apa?" tanyaku ragu.
Dia hanya menggeolkan ekornya, lalu bel kecil berbentuk bola yang terikat di leher berbunyi. Aku terdiam bingung. Kucing itu melakukan gerakan yang sama tetapi kali ini lebih kencang. Matanya sedikit frustasi menatapku ketika akhirnya aku tersadar jika dia ingin aku menyentuh bel tersebut.
Aku memutar-mutar benda kecil yang bergantung di leher Cronos, lalu menekannya. Mendadak, bel tersebut terbuka dan secarik kertas sudah menunggu di dalamnya. Aku meraih kertas itu dan menutup kembali bel tersebut. Cronos mengeong pelan, lalu dia pergi dari jendela rumahku, berlari kencang ke arah rumah keluarga Lovegood.
Aku sudah akan memanggilnya lagi ketika aku melihat Kierra tersenyum penuh arti dari pavemen rumahnya, Cronos sudah menggeliat di dalam gendongan wanita itu.
Jendela kamar aku tutup. Dengan gugup aku membuka secarik kertas tersebut. Rasanya aku ingin berteriak kegirangan. Aku ingin menari di udara. Aku ingin meledak sebab rasa bahagia mendadak menyelimuti benak dan sanubari. Bagaimana bisa aku lupa akan fakta ini? Kenapa aku tidak terpikirkan hal ini sedari dulu? Aku punya kekuatan ini. Kekuatan yang ada di antara aku dan dia. Di kertas tersebut, tinta hitam tertata rapih membentuk tulisan, "Call me by my name."
Aku berdiri di tengah ruangan. Menarik napas panjang, aku menutup dua netra dan menunggu penuh antusias.
"Alvathen. Alvathen. Alvathen."
Kemudian, sosok rupawan dengan seringai jahil muncul di tengah kamarku.
Tamat
•
[]Gempita Shastra[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro