Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[] Earnest Spirit

Earnest Spirit
Oleh dewi_savitri_san

[] Romance - Thriller []

Cast:

Edward Harsenic

Claude Harsenic

Lily Hazelwish

[⚠️WARNING ALLERT⚠️]
(!MENGANDUNG UNSUR KEKERASAN DAN SADISME!)


Eropa, Januari 1967.

Hujan gerimis, gemerlap lampu Café menari menyaingi lembayung senja. Mobil-mobil Chevrolet berlalu lalang dengan bisingnya klakson. Gadis-gadis berjalan anggun di bawah payungnya. Seperti biasa, orang-orang menghabiskan sore ini dengan penuh warna, canda, dan bahagia.

Namun tidak dengan seorang gadis disana.

Di pojok Café pada kursi sejajar warna biru, ia sedang termenung. Serius, ia bahkan berusaha meredam stress yang mencoba keluar darinya. Tatapannya kosong kedepan. Tak ada bersit kebahagiaan sedikitpun. Bahkan air mata sudah memenuhi pelupuknya. Tinggal sedikit lagi untuk jatuh dan menyusuri pipi kemerahan Lily.

Ya apa boleh buat, gadis dengan nama lengkap Lily Hazelwish itu cuma bisa termenung.

Ia dijebak keadaan. Tak menyangka kalau pada akhirnya, ia harus tetap menikah dengan pria brengsek itu.

Edward Harsenic.

Pria berkuasa yang telah merenggut kebahagiaannya. Pria yang juga memisahkan dirinya dari Claude Harsenic, kekasih yang sangat ia cintai. Sejak sebulan lalu, kabar dari pria kesayangan Lily tak ada lagi.

Kebencian Lily makin memuncak ketika pria tampan psikopat itu membunuh orang tuanya. Edward sengaja menikam kedua calon mertuanya, karena mereka tidak setuju dengan pernikahan yang ia ajukan. Saat itu Edward lepas kendali, ia mencuatkan belati Gerber MK.II kesayangannya, lalu menghujamkan benda tajam itu ke dada Ayah dan Ibu Lily.

Lily tak bisa melaporkan kedua kasus itu. Pengaruh Edward terlalu kuat, sehingga jika Lily salah langkah, bisa-bisa orang lain dan dirinya makin celaka. Namun, apapun nanti yang terjadi, Lily akan berusaha kuat.

Ia melihat keluar jendela. Hujan sudah reda, waktunya untuk melanjutkan perjalanan ke rumah Edward. Mereka akan membahas persiapan pernikahan nantinya.


~
~
~


Lily berjalan menyusuri lorong Dyneburg VI sendirian. Ia sengaja melewati jalan pintas agar segera sampai di rumah Edward. Ia tak ingin menyulut emosi pria psikopat itu lagi. Namun, ketika kakinya sibuk menapaki tanah basah lorong, telinga Lily menangkap suara misterius. Familiar seperti suara langkah yang goyah. Terseret seret meminta pertolongan.

Tak.. sreet..tak...sreet

"Tolong..."

Lily berhenti melangkah, seketika memalingkan wajahnya ke asal suara. Di sisi kanannya, ada lagi lorong kecil yang lebih sempit. Lorong itu sangat gelap, sedikit lembab karena siang tadi ada hujan.

Karena dimakan rasa penasaran, Lily memberanikan diri untuk memasuki lorong tersebut. Kakinya melangkah pelan namun pasti. Matanya kian menajam, berusaha menganalisis sosok yang berada di balik kegelapan lorong. Ada sosok yang samar di tengah sana. Sedang meringkuk seperti menahan sakit.

Lily berusaha berpikir positif. Mungkin saja dia anak kecil yang tersesat, atau dia orang dewasa yang butuh pertolongan medis. Lily bukanlah apatis. Ia sangat peduli dengan orang lain.

Lily memberanikan diri dengan mempercepat langkahnya. Saat dirinya sudah benar benar memasuki ruangan sempit dan gelap itu, pandangan tentang sosok yang ia lihat menjadi kabur dan hilang.

Tiba-tiba saja sebuah tangan meraih pinggangnya. Cepat dan gesit, mendekap dan memeluk pinggang Lily dengan erat.

Lily spontan berteriak, memberontak dan mengibaskan tangannya kesana kemari. Berusaha melepaskan diri dari jeratan lengan kekar itu.

Namun suara bariton yang keluar dari mulut pria itu menenangkan pikiran negatifnya.

"Lily..." ucap pria itu.

Sinar mentari senja yang mulai redup masuk menembus celah-celah lorong. Menerpa kulit wajah pria itu. Menampilkan bentuknya dengan jelas. Alis tegas, sorot mata yang hangat, dan bibir penuh cinta yang sangat Lily kenal.

"Claude?" ujarnya.

"Bagaimana bisa? Claude!" ucap Lily tak percaya, tanpa sadar menimpa pria di depannya dengan pelukan yang erat dan hangat. Setelah merasa cukup untuk mengobati rindunya, Lily melepas pelukannya pada Claude.

Claude tersenyum. Diusapnya pipi gadis itu dengan lembut. Dan tanpa ragu, diberinya kecupan manis di dahi. Seraya mengingat kembali memori indah sebulan lalu.

"Aku bersyukur bisa menemukanmu lagi, sayang." ujar Claude bahagia.

"Ini benar-benar kamu kan, Claude? Kekasihku?"

"Tentu saja, aku Claude Harsenic yang tampan dan gagah. Kamu kira aku drakula kudisan yang suka makan gadis muda di lorong gelap macam ini?"

BRAAKK!

Lily menginjak keras kaki Claude. Sikap jahil Claude ternyata belum hilang juga. Claude meringis kesakitan karena injakan kekasihnya. Namun bukan hanya karena injakan Lily, Claude meringis kesakitan karena luka di lengan dan betisnya berdarah lagi.

Lily menyadari keadaan itu. Ia memeriksa dengan seksama bagian tubuh Claude yang terluka.

"Lukamu Claude, mereka harus diobati. Ayo, kerumah!" pinta Lily khawatir, tidak berhenti memeriksa sekujur badan Claude, takut ada bagian yang memiliki luka lebih parah.

"Hem sebenarnya kamu tak perlu khawatir masalah itu, Lily. Aku..."

Belum sempat Claude menghabiskan kata-katanya, wajah berang Lily sudah siap meledakkan kata-kata.

"OHHH! LALU KAMU MAU JADI DRAKULA KUDISAN YANG KEHABISAN DARAH KALI INI, HUH?" hardiknya semangat. Jika sudah masalah mengomel, Lily pasti jagoannya.

Nyali Claude menciut, otot-otot kokoh yang sudah lama ia bentuk seakan tak berarti apa-apa. Ia meneguk ludahnya beberapa kali dan mencoba untuk berbicara.

"B-baiklah. Aku tak punya bakat untuk menolak perintah ratu." ujar Claude tak kalah jahil.

~
~
~

Lily memerintahkan Claude untuk duduk di sofa ruang tamu. Sementara gadis manis itu menyiapkan beberapa alat pengobatan. Claude meringis kesakitan ketika alkohol di kapas disapukan ke lukanya. Lily tetap telaten, membersihkam sisa debu dan darah yang hampir mengering di pinggir luka Claude.

Ia tak habis pikir, kemana saja Claude sebulan ini. Dan sangat mengejutkan waktu Lily menemukannya di gang dengan luka yang cukup misterius. Apakah luka itu didapat Claude dari Edward? Atau mungkin, Claude berhasil kabur dari sergapan saudaranya itu?

Beragam pertanyaan berkecamuk di kepala Lily.

"Kamu masih harus menikahi kakakku, ya?" tanya Claude tiba-tiba.

DEG!

Lily menghentikan kegiatannya. Ia menatap Claude dengan tatapan penuh arti.

"Menikah ataupun tidak, baik aku ataupun kamu, kita tak bisa melakukan apapun."

"Tapi kamu tidak mencintainya, Lily!" tegas Claude spontan. Ia beranjak dari sofanya dan menuntun Lily untuk duduk menghadapnya.

"Lihat dan dengarkan aku!" pinta Claude, menatap Lily tajam. Ia menggenggam tangan Lily kuat-kuat. Berusaha memberitahu kalau perkataannya kali ini tidak main-main.

"Aku bisa membawamu pergi sekarang. Hanya perlu beberapa menit. Aku ingin kamu bebas, Ly! Kamu mau, kan? Lari bersamaku?"

Hanya bungkam, Lily tak sanggung membuka mulutnya. Ia serba salah. Apapun yang ia lakukan untuk menjauhi Edward, pasti akan membahayakan orang lain. Edward terlalu berbahaya. Ia pria psikopat egois yang menghalalkan segala cara untuk apapun.

"Claude, kamu tahu kalau Edward punya pengaruh besar di daerah ini. Melarikan diri bukanlah keputusan yang bijak. Lagipula, apa yang dia lakukan ke kamu untuk memisahkan kita?"

Claude termenung, mencoba mengingat kejadian sebulan lalu. Saat Edward dengan tiba-tiba menodongkan pistol ke kepalanya. Memerintahkan ia untuk pergi menjauhi Lily.

"Dia... Hampir membunuhku."

Sorot mata Claude meredup. Ia harusnya tak mengatakan kejadian buruk yang menimpa dirinya. Hal itu hanya membuat mental Lily makin turun.

"Lupakanlah." ucap Claude, mendekatkan diri dan mendekap Lily di dadanya yang bidang. "Aku tak akan biarkan dia menikahimu. Lihat saja nanti."

"Claude, berpikirlah dengan jernih. Aku melakukan ini untuk melindungi orang orang"

Claude berhasil diam lagi. Ia teringat akan kematian ayah dan ibu Lily, juga kematian orang tuanya. Semuanya dilakukan oleh Edward. Kakak angkatnya itu sudah hilang akal.

"Aku akan melindungimu, Lily." janji Claude tulus. Ia menyusuri pipi Lily, mengecupnya lembut. Entah sampai kapan ia harus biarkan kekasihnya tenggelam dalam jeratan licik Edward.

Claude makin tenggelam dalam momen itu. Ingin sekali ia memeluk Lily, membawanya pergi dari dunia kejam disana, dan memulai hidup baru ditempat baru. Claude tak bisa menahan diri. Ia tak ingin menunggu lama lagi. Ia akan membawa Lily sekarang juga.

Baru saja dirinya bergegas untuk menggendong Lily, pintu rumah terdobrak keras sehingga menimbulkan suara yang memekakan telinga.

BRAAKKKK!

"MENJAUH DARI TUNANGANKU, KEPARAT!"

Suara menakutkan itu datang dari pria berambut hitam yang membawa pistol. Matanya merah berkaca-kaca. Menunjukkan kalau saat itu, dia sedang benar-benar tersulut emosi.

"KUBILANG MENJAUH DARI LILY-KU!"

Lily terperanjat dan menjadikan dirinya tameng untuk Claude. Claude sudah bersiap dengan ancang-ancangnya. Berjaga-jga kalau terjadi sesuatu yang buruk pada Lily.

"Menyingkir dan berlindunglah di belakangku, Lily!" perintah Claude.

Tanpa pikir panjang, Lily menurutinya. Ia bukan apa-apa dibanding Claude. Apalagi Edward yang tengah menodongkan pistol.

"Harusnya kubunuh kau saat itu juga, Claude! Dengan begitu, kau tidak akan bisa menyentuh Lily-ku lagi!" geram Edward, semakin mendekati Claude dengan pistolnya. Tangannya yang lain berusaha untuk meraih Lily.

"Kamu hanya terobsesi pada Lily karena dia bisa mengerti keadaan mentalmu kan, Ed?" debat Claude, semakin mengeratkan genggamannya pada Lily.

"TIDAK! AKU MENCINTAINYA!" bantah Edward kesal. Ia makin frustasi, ditariknya pelatuk pistol itu dan ditembakmya ke kaki Claude.

DOR!

"Claude!!!! EDWARD HENTIKAN!!" jerit Lily khawatir.

Dengan sekali bidikan, peluru berhasil mengenai paha Claude.

Benda hitam bundar itu bersarang dengan baik di dagingnya. Membuat darah meluncur bebas dan menggerayangi lantai. Claude terduduk dan meringis kesakitan. Luka lamanya belum sembuh, kali ini ia bahkan diberi luka baru. Dan bukan luka yang ringan.

Lily semakin panik, sementara Edward tersenyum puas mendapatkan kesempatan untuk mengambil Lily kembali. Ia berjalan mendekati lily yang bersimpuh di samping Claude. Mengulurkan tangannya untuk meraih lengan Lily. Menggapainya kasar, Lily tersentak karena ditarik paksa.

"Kamu ingin pergi bersama keparat ini, huh?" tanya Edward mematikan. Ia menatap Lily seperti serigala yang lapar. Genggaman tangannya semakin dieratkan. Ia senang sekali melihat ekspresi kesakitan yang ditunjukkan oleh Lily.

"KATAKAN!" gertaknya tiba-tiba.

"KENAPA KAMU INGIN PERGI BERSAMANYA?!! AKU LEBIH MENCINTAIMU! AKU BISA MEMBERIKAN SEMUANYA UNTUKMU!" murka Edward berapi-api.

Lily gemetar saking takutnya. Air mata sudah membasahi wajahnya sejak tadi. Degup jantungnya sudah tak bisa dihitung lagi. Lily benar-benar terancam sekarang. Emosi Edward bisa meledak kapan saja. Pistol masih berada di tangannya. Dan itu amatlah berbahaya.

"Edwrad... tenang, ya? Aku tidak ingin pergi kemanapun. Aku tidak ingin pergi bersama siapa pun." jelas Lily hati-hati.

Bukannya malah berangsur tenang, Edward naik pitam lagi.

"BOHONG!!!"

PLAKK!

Edward menampar pipi Lily dan mendorongnya kasar. Sangat keras hingga gadis malang itu tersungkur ke lantai. Dan hanya perlu beberapa detik bagi Edward untuk menyadari perbuatannya. Ia akan merasa bersalah. Sedih dan frustasi karena sudah menampar dan menyakiti Lily.

"Tidak! Apa yang sudah kulakukan! Lily maafkan aku. Aku...aku tidak bermaksud untuk melakukan itu." lirih Edward ketakutan. Ia menjatuhkan pistolnya dan mendekati Lily yang kesakitan di lantai.

Pipi Lily terlihat merah. Edward sangat terpukul melihat ada luka memar di pipi calon istrinya itu,. Tanpa aba-aba, Edward bergegas mengambil obat. Ia menyusuri ruang tamu dan menemukan kotak obat di samping sofa tempat Claude terduduk lemas.

Kesempatan itu tak disia-siakan Claude. Ia menggaet kaki Edward sehingga laki-laki itu terpeleset dan jatuh ke lantai. Edward mengerang kesakitan. Hidungnya mimisan karena terbentur. Bau anyir telah memenuhi ruangan itu.

Tak menunggu Edward bangkit kembali, Claude memilih lebih dulu melakukannya. Tertatih tatih berjalan, Claude meraih pistol Edward yang tergeletak di lantai. Ia juga merangkul Lily yang masih kesakitan.

Dengan susah payah, ia menuntun gadis itu dengan langkah gesit. Mereka berdua hampir mencapai pintu keluar, namun Edward tak kalah cepat.

Lagi-lagi, ia menendang kaki Claude sehingga keseimbangannya terganggu. Pistol terpental ke langit-langit dan dengan sigap Edward meraihnya.

Ia tersenyum senang, keberuntungan telah berpihak lagi padanya. Edward membersihkan darah segar di hidungnya dengan telapak tangan. Membuat darah makin menyebar di wajahnya. Hal itu menambah kengerian di wajah Edward.

"Kau mencoba bermain-main denganku, ya? Berikan Lily padaku, atau kutembakkan peluru ini ke matamu." gumamnya mencekam.

Claude tertawa sinis. Ia tak akan takut dengan ancaman kakaknya itu. Claude bangkit perlahan sembari menenangkan Lily yang ketakutan. Ia menampar sukma Edward dengan tatapannya yang tajam dan serius.

"Kau idiot, Ed!" ketus Claude. "Kau hanyalah sampah binatang yang egois! Takkan kubiarkan kau merampas Lily lagi! Kau hanya akan menyakitinya." bantah Claude berapi-api. Bergerak sedikit demi sedikit untuk mendekati pintu keluar. Tinggal sedikit lagi, ia bisa membawa Lily pergi bersamanya.

"DIAM KAU KEPARAT! JANGAN COBA-COBA MEMBAWA LILY PERGI DARIKU!" amuk Edward. Ia menarik pelatuk pistol, bersiap-siap meluncurkan peluru.

"Kembalikan Lily padaku!" pintanya kasar.

Claude menggeleng keras, sementara Lily semakin panik. Ia bisa membaca betul keadaan yang mungkin terjadi setelah itu. Untuk menghindari prediksi buruknya, Lily melangkah ke depan dan berdiri di antara Edward dan Claude.

"Hentikan kegilaan kalian!" hardik Lily berani. Ia merentangkan tangannya, menciptakan jarak yang jauh antara Edward dan Claude.

Claude dan Edward terdiam. Namun pikiran mereka telah merencanakan sesuatu.

"Berjalanlah ke sisiku, Lily!" kata Edward.

"Kembalilah ke sisiku, Lily!" kata Claude.

Bersamaan, mereka mengucapkan permintaan yang membingungkan Lily. Di satu sisi, ia sangat ingin pergi jauh bersama Claude. Memulai hidup baru dan bahagia bersama kekasihnya. Tanpa ada seorangpun yang bisa mengusik.

Namun di sisi lain, jika dia menolak permintaan Edward, pria itu akan menggila lagi. Kehilangan akal, sehingga mencelakakan orang-orang disekitarnya.

Lily memejamkan matanya, berusaha untuk menjernihkan pikiran. Ia berpikir lama sekali, memastikan bahwa dirinya membuat keputusan yang tepat.

Sementara di sisi lain, Edward dan Claude masih merayu dirinya agar mengiyakan permintaan masing masing pria itu.

"Aku akan melindungimu, Lily." ujar Claude.

"Jangan dengarkan pembohong itu! Aku akan membuatmu bahagia, Lily." kata Edward tak kalah sengitnya.

Lily membuka matanya, ia melihat Claude sambil tersenyum. Berdiri menghadapnya, memberikan pria itu senyum paling hangat yang ia miliki. Claude tersenyum senang, Lily pasti memilihnya. Tak salah lagi! Lily memang gadis yang selalu mencintainya.

Namun Edward terlihat sangat tidak setuju. Tangannya makin tegang memegang pistol, siap-siap menekan trigger di pistolnya. Berencana untuk menghujamkan berapapun sisa peluru di dalamnya. Ia hanya ingin mandi darah Claude malam ini. Serta mengajak Lily ikut andil di dalamnya.

Namun sepertinya rencana Edward perlu dibatalkan.

Tiba-tiba Lily berjalan mundur menjauhi Claude. Ekspresi Lily yang manis berubah suram.

"Maafkan aku, Claude. Aku melakukan ini, demi kebaikan semua orang." lirih Lily sendu, membalikkan badannya kearah Edward, dan menggenggam kedua tangan pria psikopat itu.

Edward dibuat terkejut dengan sikap Lily yang seperti ini. Biasanya, gadis itu sangat takut mendekatinya.

"Simpan pistol ini ya, Ed? Berjanjilah padaku untuk tidak menembakkan satu peluru pun pada Claude. Aku berjanji, akan menikah sesuai persetujuan sebelumnya." tutur gadis malang itu, mengarahkan tangan Edward untuk rileks.

Edward menyimpan peluru itu di kantung jasnya. Ia bergegas memeluk Lily. Menunjukkan betapa bahagianya ia dengan keputusan Lily.

"Terima kasih, Lily-ku! Kamu membuat keputusan dengan sangat baik. Aku benar-benar menyayangimu. Aku beruntung akan memilikimu!" ungkapnya dari balik bahu Lily.

Edward memberikan tatapan penuh kemenangan pada Claude. Sementara, Claude belum bisa melakukan apa-apa. Ia hanya bisa menaruh dendam dan menunjukkannya di mata biru yang ia miliki.

"Kau tahu Lily? Aku akan memenuhi janjiku untuk tidak menembak Claude." bisik Edward serius. Lily bisa merasakan deru napas Edward yang hangat. Ya, pria itu masih memeluknya erat.

Namun, Edward kemudian melepas pelukannya. Berjalan santai menuju Claude. Langkahnya pelan dan misterius, tatapannya terkunci pada mata Claude yang masih sinis. Lily tak tahu harus berbuat apa. Toh, Edward sudah berjanji untuk tidak menembak Claude.

Sesampainya di depan Claude, Edward memajukan wajahnya dan berbisik.

"Kau tahu sesuatu Claude? Walau aku tak pernah mendapat kasih sayang Ayah dan Ibu, tapi aku berhasil merebut kasih sayang yang seharusnya kau dapat dari kekasihmu."

"Kau hanya pria payah yang malang, Ed. Lily tidak mencintaimu, ia hanya mencintaiku." Sahut Claude, menengangkan otot-ototnya agar bisa melindungi diri, jika saja nanti Edward tiba-tiba menyerang.

"Yeah! Dan kau tahu apa yang lebih buruk dari itu?" tanya Edward menggantung, mengambil sesuatu dari kantungnya. Claude hanya menatap Edward kebingungan.

"KAU AKAN MATI DI DEPAN LILY!"

CRAACKK!

"TIDAKKK! EDWARD! APA YANG KAMU PERBUAT!?" teriak Lily dari tempatnya, ia hampir pingsan melihat apa yang tengah terjadi.

"Maaf Lily. Aku bisa janji untuk tidak menembaknya. Tapi aku tak bisa janji untuk tidak menikam jantungnya. Meminum darahnya dan mandi menggunakan cairan merah itu." batin Edward.

Edward melakukan serangan, menghunuskan berkali-kali belati kesayangannya, tepat di dada kiri Claude. Darah menciprat ke segala arah. Mewarnai kanvas wajah Edward dengan warna merah pekat.

"Claude ku... Claude... Aku..." lirih Lily, ia ngeri melihat kekasihnya kejang kesakitan seperti itu. Kepala Lily terasa berat, pandangannya menjadi kabur dan akhirnya ia ambruk pingsan.

"MBWAHAHAHA! Perasaan ini sungguh menyenangkan!" seru Edward bahagia. Ia membuka mulutnya lebar-lebar dan meminum darah yang mengucur keluar dari jantung Claude. Menjilatinya seperti semangkuk chocolate fondue yang kental dan manis.

Claude masih bisa tertawa. Entah apa yang membuatnya tersenyum penuh kemenangan. Ia membuat Edward merasa aneh akan hal itu.

"Kenapa kamu tertawa, huh? Mau tambah rasa sakit lagi? Dengan senang hati aku akan melakukannya."

"Ha..ha.. lucu sekali. Tidak, idiot! Kematian dan rasa sakit, adalah petualangan yang luar biasa! Aku akan kembali mengambil Lily-ku. Walau nanti diriku bukan seperti Claude lagi. Tunggu saja kedatanganku, idiot!" ucap Claude tegas, mulutnya sudah dipenuhi saliva bersimbah darah.

BUG!

Edwad naik pitam. Pria itu menghajarnya dengan keras, dan Claude pun terlihat tewas.

~
~
~

Edward menggendong Lily ala bridal style, menaruh tubuh rapuh nan mungil itu di atas kasur yang empuk. Ia takkan biarkan Lily-nya merasa tak nyaman. Lily adalah calon istrinya, dan dia harus benar-benar menjaganya.

Edward menatap wajah polos itu dengan seksama. Ia sedang terpesona. Sudah tak sabar ingin memilikinya dan menjalani hari-hari dengan bahagia.

"Kau tahu Lily? Alasan mengapa aku bersusah payah mendapatkanmu? Hingga membiarkan kedua tanganku ternoda oleh darah?" tanya Edward pada Lily yang masih pingsan.

Ia beranjak ke atas kasur dan berbaring di samping Lily. Memeluk tubuh hangat itu dengan pelan dan lembut. Menyusuri wajah Lily untuk mencari telinganya.

"Karena hanya kamu... yang bisa mengerti keadaanku." bisiknya sedih, tak terasa Edward meneteskan air mata. Sisi lainnya yang tak pernah diperlihatkan. Sisi lemahnya yang hanya diketahui Lily.

"Aku masih sangat ingat, saat kamu menolongku dari berandalan yang mengatakan diriku orang gila. Waktu itu aku babak belur, dipukuli karena aku hanya pria sakit mental yang diangkat sebagai anak oleh keluarga Harsenic. Semua orang menjauhiku, tak ada yang ingin berteman denganku. Bahkan Claude, yang sudah kuanggap adik kandungku, malah ikut merundungku." keluh Edward, tangisnya makin berderai.

"Tapi kamu! Kamu menarikku dari keadaan itu dan tanpa ragu menerimaku sebagai teman. Mengenalkan diriku pada hal-hal menarik. Membuatku punya alasan untuk hidup."

"Aku hanya ingin memilikimu, Lily. Tak perlu kekayaan dan kekuasaan ini. Tapi Claude, ternyata dialah orang yang kamu cintai. Mengapa kamu tidak bisa mencintaiku? Mengapa kamu tidak mencobanya, Lily?"

"Aku mencoba segala cara untuk mendapatkanmu. Termasuk membunuh semua penghalang dan membuatmu terjebak pada keadaan, dimana kamu hanya bisa memilih diriku, Lily."

Edward terus berbicara pada Lily yang masih pingsan.

Tak sadar bahwa sedari tadi, ada sepasang mata berbinar yang mengawasinya dari jendela. Sosok itu menyeringai dengan giginya yang berdarah-darah, matanya memerah dan kulitnya kasar. Dipenuhi luka tembakan dan tusukan. Jari-jemari dengan kukunya yang tajam dan hitam mengetuk-ngetuk kaca jendela. Mencoba menarik perhatian Edward dan Lily.

"Claude..." lirih Lily ditengah-tengah suasana, seakan-akan merasakan kehadiran Claude.

Gadis itu terbangun, mengusap kepalanya yang sakit dan pipinya yang terasa memar.

Edward segera memapah Lily, menuntun gadis itu untuk duduk tegak. Ia mengusap kepala Lily, diperbaikinya rambut Lily yang berantakan. "Maafkan aku Lily. Pipimu... maafkan aku." sesal Edward.

Lily berangsur sadar, saat ia melihat wajah Edward di depnnya. Ia tak bisa menghindari memori kejadian tadi.

"Minta maaflah pada Claude! Kamu pria jahat! Kamu pria tak bermoral!" bentak Lily tiba-tiba. Ia menghempaskan dan menghentakkan seluruh bagian tubuhnya. Membuat Edward harus mundur beberapa langkah.

"Jangan katakan itu, Lily." pinta Edward lembut, berharap bisa menenangkan amarah Lily. "Kau... kau harus berusaha mencintaiku mulai saat ini. Lupakanlah Clau..."

"TIDAK! Aku tidak akan melupakan Claude! Aku mencintainya dan tetap akan mencintainya!"

Tidak bisa menetralkan emosi, Edward naik pitam lagi. Ia menghampiri Lily dan menarik dagunya kasar.

"KAU... HARUS... BISA... CINTA... PADAKU!" tegas Edward kuat-kuat.

Ia makin mencengkram dagu Lily, sementara tangan yang satunya sudah bersiap untuk mencekik gadis itu. Namun, baru saja ingin menyentuh kulitnya, Edward dan Lily dikejutkan oleh suara kaca yang pecah.

PYAANG!

Ada sosok yang telah masuk ke ruangan Edward. Sosok itu menyeramkan. Sekali lagi, mata merahnya yang penuh dendam, kulit rusaknya yang mengerikan, dan suara geraman dari kerongkongan api itu sanggup membuat nyali Edward menciut.

Edward tak percaya. Iya yakin itu hanya muslihat. Tapi semuanya terasa nyata.

"Tidak mungkin... Aku sudah membunuhmu tadi! Bagaimana bisa!?" perangah Edward tak percaya.

Ia melepaskan Lily yang terpana melihat sosok yang dikenalnya menjadi semenakutkan itu.

"Claude! Claude! Claude, apa yang terjadi?" jerit Lily dari tempatnya.

Dalam sosoknya yang seperti iblis itu, Claude masih bisa tersenyum manis. Namun hanya pada Lily. Yang ia miliki untuk Edward adalah kematian dan rasa sakit! Ia akan pastikan untuk memberikannya pada Edward malam ini.

Dengan langkah mantapnya Claude berjalan dengan percaya diri. Matanya berapi-api, ia mencuatkan sebuah pedang api dari dalam dadanya. Dan dengan ketepatan yang hakiki, pedang panjang itu menembus tubuh Edward.

SRASSHH!

Pedang berhasil mengenai jantung Edward.

"INI UNTUK AYAH DAN IBUKU!" ucap Claude, melepaskan hunusan pertamanya dan menusukkan pedang itu lagi ke kepala Edward.

"INI UNTUK AYAH DAN IBU LILY!" jerit Claude makin keras, lagi-lagi menarik pedangnya dari isi kepala Edward yang telah bercecer entah kemana.

"DAN INI... ADALAH UNTUK.."

"Cukup Claude!" pekik Lily tiba-tiba, menghamburkan diri kepada Claude dan memberikan pria itu pelukan. Ia tak peduli dengan keadan Claude yang sudah seperti iblis atapun setan. Dimata Lily, Claude tetaplah Claude.

Dengan pelukan lembut Lily, Claude berubah lagi.

Seperti semula.

Kulitnya mulai menghalus, kerongkongannya sudah tak berapi lagi, matanya jernih kembali, dan suara nafas bariton itu sudah didengar oleh Lily.

"Hentikan ini, Claude. Edward sudah cukup sakit untuk menerima semua penderitaan di dunia ini."

"Lily... maafkan aku. Sosok ini, apa aku menakutimu?" tanya Claude.

Lily menggelengg, ia mengecup bibir Claude sekilas dan mengusap air mata yang ada di ujung pelupuk pria itu.

"Kamu bukanlah alasan ketakutanku. Penuhi janjimu sekarang Claude, bawa aku! Bawa aku pergi ke duniamu!" paksa Lily penuh harap. Ia sudah tak punya siapa-siapa lagi. Berharap pada Edward yang sebentar lagi akan wafat juga tiada guna.

"Kalau begitu, mari. Genggam tanganku, Lily. Malam ini kita akan pergi." Ajak Claude, menerima jemari Lily dengan bahagia.

Ia menggendong gadis itu, Lily sudah menjadi milikinya. Malam ini, dimana Edward mendapat kedamaian sekaligus pembalasan atas perbuatannya.

Claude keluar dari kamar Edward, membawa Lily. Melewati ratusan mayat bodyguard yang sudah berhasil ia lumpuhkan. Merenangi kolam darah yang terpaksa ia ciptakan. Ini adalah waktu Claude untuk terbang, bersama Lily.

Menjelajah, bersama Lily. Ke dunia arwah.

Tamat

[]Gempita Shastra[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro