Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[] Dramaturgi

Dramaturgi
Oleh Gilang_Gazi

[] Sci-fi – Mistery []


Ding! Dong! Pukul 09.30. Beberapa saat sebelum pengulangan.

Umur Aru sudah 20 tahun –bukan sekedar remaja tanggung lagi memang, namun lebih dari cukup dewasa untuk menebak muasal gelagat kegelisahan ini. Sebagian besar dari kita pasti pernah mengalaminya, Aru berani menjamin semua itu. Tentang sebuah sensasi kuat yang sedang ia hadapi sekarang. Semua seolah terasa sama. Terlalu sama untuk sebuah kebetulan. Bahkan tiap hela nafas hingga detak jarum jam besar yang berdetak di pojok ruangan seirama dengan apa yang telah bercokol di kepalanya.

"Kumohon, jadilah berbeda untuk sekali saja" Aru meringis, melonggarkan kerah kemeja biru yang ia kenakan. Untuk kesekian kalinya ini terjadi, Aru berharap semuanya akan berbeda. Berulang kali ia berusaha untuk rileks dengan bersiul, menjetikkan jari, mengusap layar smartphone yang tak ada notifikasi apapun, hingga iseng menghentakan sol sepatu ke lantai mengikuti irama jazz.

Aduh sayang, apapun yang ia lakukan sekarang, peluh dingin tetap mengucur deras dari balik tengkuk. Membasahi punggung kemeja yang terbungkus jaket hijau tua. Seisi restoran ini terasa menyesakkan walau tak banyak pengunjung pagi ini. Apalagi ditambah dengan semua bayang-bayang yang telah Aru lihat. Segalanya terlihat sama.

Anak kecil yang menangis dipangkuan ibunya itu contohnya. Dia memiliki rambut pendek tidak rata dengan poni miring ke kanan. Ketika si ibu memberikan sendok yang ia inginkan, anak itu berhenti menangis. Aru menatap pipi yang basah dan ingus yang menggenang di atas bibir mungilnya. Posisinya masih sama persis seperti yang ia ingat.

Rin –terhitung sahabat dekat, baru saja mengatakan soal ini kemarin sore sebelummereka memutuskan bertemu, "Fenomena itu sangat natural. Ia hanya berkaitan dengan sesuatu yang familiar dengan kita. Terkadang ia akan memicu ingatan palsu yang membuat diri kita berpikir bahwa pengalaman yang dilakoni pernah dialami sebelumnya, padahal tidak. Ayolah, berhentilah bersikap paranoid."

Paranoid ya? Jemari Aru menyisir rambutnya dengan cemas, tentu saja akan natural ketika hanya terjadi satu hingga dua kali saja dalam hidupnya. Yang membuat ini rumit adalah jika semuanya terjadi berulang kali selama hampir 16 hari semenjak Aru tidak lagi salah dalam menghitungnya. Semua kejadian itu persis ibarat kita menonton siaran kejadian di masa depan beberapa jam sebelum kita benar-benar mengalaminya.

Baiklah, terdengar keren sekali bukan jika kita bisa melihat sedikit masa depan? Setidaknya Aru juga pernah berpikir demikian saat hari-hari awal, sebelum akhirnya semuanya menjadi semakin tidak terkendali.

Pukul 09.36.

"Nah, sudah menyala." Gadis itu menyeringai sembari mendorong ponselnya ke tengah meja, memecah lamunan lawan bicaranya, "Kita sampai mana tadi?"

Aru tertegun sejenak, "Eh, Rinai? kau sudah disini?"

"Kau bicara apa, Aru?" Rin atau Rinai –gadis berambut panjang itu tertawa canggung, "kita kan sudah berbincang selama lima menit yang lalu."

"Ah, maaf. Aku kehilangan fokus" Aru menggeser posisi duduk dan mencoba kembali fokus pada pertanyaan milik Rin. Gadis itu kembali mengulang pertanyaan yang sama. Sampai mana tadi?

"Hmm...sampai aku mengatakan bahwa ini semua mirip mimpi yang kulihat tadi pagi dan..." Aru menggantung kalimat itu, bukan karena merasa tak nyaman, melainkan karena orang-orang pasti ingin dirinya terlihat tidak nyaman tentang fenomena aneh itu bukan?

Rin merekahkan senyum, "Tidak apa-apa, kita mulai perlahan saja, Aru."

"Perlahan." Aru mengangguk, menghembuskan napas. Pemuda itu mengangkat cangkir dan menyesap teh matchanya juga dengan perlahan. Tak ada lagi langkah mundur, Aru ingat bahwa dirinya sudah memantapkan hati untuk menceritakan segalanya pada gadis ini.

"Jadi, setelah semua itu terjadi, apa hidupmu berubah?"

Mendengar kata berubah membuat Aru kembali teringat kejadian pagi tadi. Tentang omelan panjang kedua orang tuanya tentang masa depannya, juga kegagalan nya dalam ujian. Terdengar berlebihan jika disebut omelan memang, tapi dengan segala tekanan yang terjadi sekarang, otak Aru merepresentasikannya dengan berbeda. Pagi itu juga Aru memutuskan untuk menangis dikamarnya, sendirian.

Aku telah mengecewakan mereka. Aku adalah produk buangan.

"Ya, sedikit berubah."

"Perubahan seperti apa?"

Tanpa sengaja, Aru kembali menatap anak kecil yang duduk di pangkuan ibunya tadi. Sekarang ia benar-benar tertawa dengan gigi ompong pada detik yang diingat Aru. Pukul 09.38.

"Kehidupanku hanya semakin berantakan."

Rin terdiam sejenak, menatap pemuda itu lekat-lekat, "Sejauh mana maksud kata berantakan itu?"

Aru mengangkat bahu, "Tidak banyak, seperti gagal dalam sidang ujian magang, kemudian harus mengulang lagi tahun depan, bimbingan skripsi tertunda, gadis yang kusukai menamparku, menghabiskan waktu dengan mendengar keluh kecewa banyak orang, kemudian merasa semua orang menjadi musuhku, termasuk kedua orang tuaku."

Suasana lengang untuk sejenak. Itu lebih terdengar banyak ketimbang sedikit.

"Kau sering bertengkar dengan orang tuamu?" Jemari Rin mengisi catatannya dengan berbagai gurat tulisan meskipun sudah merekam.

"Tak terlalu sering, kecuali ketika mereka mulai terlalu menekanku dan tak pernah merasa bersalah soal itu. Berbual seolah mereka paling benar. Tak pernah berusaha memahami apa yang kurasakan. Mereka hanya menceramahi yang lebih muda dengan pemikiran yang selalu dianggap benar hanya karena sudah hidup sedikit lebih lama. Itu sellau terjadi sejak lama."

"Kemudian aku kadang berusaha mendebat mereka, tapi selalu berujung pada kesia-siaan. frustasi. "Aru mangalihkan pandangan ke arah jendela, menatap sejenak keramaian di luar sana.

"Mengapa?"

"Karena aku tak bisa membuktikan bahwa pendapatku benar." Aru mengigit bibir, "Terkadang aku mungkin terlalu keras pada diri sendiri, membenci betapa tak berdayanya aku –yang selalu terkekang namun takut untuk memulai langkah sendiri. Aku memang begitu payah dan naif."

"Maaf harus mengatakan ini, tapi kau terkesan memiliki obsesi berlebihan untuk membuat mereka merasa bersalah, Aru" Rin menyesap jus jeruk yang ia pesan, "Itu bukanlah hal yang baik."

Pemuda itu hanya mengangkat bahu, malas membalas kecuali hanya dengusan pelan. Dia tak ingin bercerita lebih jauh.

"Baiklah, mari lupakan soal tadi" Rin menghela napas, paham akan situasinya, "Jadi kau merasa semua fenomena itu memperburuk situasinya?"

"Seburuk yang kau lihat saat ini, Rin."

Rin tidak membantahnya. Fakta bahwa penampilan Aru kini sangat berbanding terbalik dengan saat mereka pertama kali bertemu. Tidak ada lagi gurat ramah yang selalu terhias dengan bingkai kacamata hitam yang nampak elegan. Rambut pendek rapinya kini berganti panjang acak-acakan. Juga jangan lupakan kemeja kusut yang sengaja ia tutupi dengan jaket hijau tua. Mata beriris cokelatnya nampak lelah dengan hiasan kantung mata. Dia bukan lagi Aru yang Rin kenal.

"Lantas darimana kau mulai menyadari jika apa yang terlihat adalah sama seperti yang sudah terjadi?"

"Entahlah, semua terjadi begitu cepat..."

Kalimat pemuda itu kembali menggantung demi pemandangan yang menyita perhatiannya. Anak kecil perempuan disudut restoran kini turun dari pangkuan ibunya dan berlari mengelilingi meja, rahang Aru mengeras demi melihatnya –mengabaikan kalimatnya tadi. Rin sepertinya menyadari ekspresi itu karena ia juga ikut menoleh ke belakang.

Saat mata keduanya kembali bertemu, Rin menyadari suatu getaran aneh di mata Aru yang membuatnya cemas.

"Kau tidak suka anak kecil?"

"Tidak mungkin, semua orang suka anak kecil."

"Kenapa kau melihatnya seperti itu sedari tadi?"

"Memastikan saja." Aru menyeringai gentar, menata napasnya yang tak beraturan, "Memastikan kalau gelayar aneh di kepalaku tidaklah salah, Rin."

Rin menelan ludah, menyesal sudah bertanya.

"Jangan bilang, sekarang kau..."

Ding! Dong! Suara detak jam besar dipojok Kafe kembali berdentang nyaring. Pukul 09.45.

***

"Kita sampai mana tadi?"

Aru tertegun sejenak, "Eh, Rinai? kau sudah disini?"

"Kau bicara apa, Aru?" Rin atau Rinai –gadis berambut panjang itu tertawa canggung, "kita kan sudah berbincang selama lima menit yang lalu. Cobalah untuk fokus dan minum sejenak."

"Ah...ma-af?" Aru buru-buru menoleh ke arah jam besar dipojok ruangan. Pukul 09.36. Pemuda itu menelan ludah, sebuah kesadaran menyergap isi kepalanya dengan cepat. Bukankah dua kali dia sudah melewati dialog ini sebelumnya?

Gadis itu lagi-lagi mengulang pertanyaan yang sama.

"Hmm...sampai aku mengatakan bahwa ini semua mirip mimpi yang kulihat tadi pagi dan..." Aru menggantung kalimat itu, melirik reaksi Rin. kali ini sungguh mengulang kalimat itu benar-benar membuatnya tak nyaman.

Rin masih tetap merekahkan senyum, "Tidak apa-apa, kita mulai perlahan saja, Aru."

"Perlahan." Aru mengangguk, menghembuskan napas. Pemuda itu mengangkat cangkir dan menyesap teh matchanya juga dengan perlahan.

"Baiklah, sekarang coba ceritakan semirip apa yang kau maksudkan."

Mendengar pertanyaan itu, gerakan Aru menyesap cangkir teh seketika terhenti. Wajahnya mendadak pias. Tunggu sebentar, kenapa kini pertanyaan Rin menjadi berbeda? bukankah dia seharusnya melemparkan pertanyaan apa hidupmu berubah seperti dalam ingatan yang bercokol dalam kepalanya?

Apakah hukum pengulangan telah berganti?

Aru ingat bahwa setiap kali pengulangan terjadi dan sejauh apapun masa depan yang ia lihat, seluruh penglihatan itu adalah mutlak. Semua yang ia lihat tak bisa diubah sedikitpun, baik nasib buruk ataupun baik. Terakhir kali ia mencoba mengubah pengulangan ialah saat ujian magang minggu lalu –dengan nekat tiba-tiba harus ke toilet karena mulas. Walau demikian pun berujung percuma, dia tetap gagal dalam ujian magangnya. Pupus sudah semua lelahnya untuk magang di kantor ibukota, menjadi sukarelawan program terbaru yang dikeluarkan gubernur.

"Aru? Kau baik-baik saja?" Suara Rin kembali memecah lamunannya. Wajahnya menyiratkan kekhawatiran.

"Ah, maaf. Aku kehilangan fokus" Aru menggeser posisi duduk dan mencoba kembali fokus pada pertanyaan milik Rin. Gadis di hadapannya kembali mengeluarkan buku catatan, bersiap dengan penanya.

Tanpa sengaja, Aru kembali menatap anak kecil yang duduk di pangkuan ibunya tadi. Sekarang ia masih tertawa dengan gigi ompong pada detik yang diingat Aru. Pukul 09.38.

"Tadi pagi aku seperti bermimpi, sedikit panjang sepertinya." Netra milik pemuda itu menatap jauh melewati Rin, menerawang, "Aku berangkat menuju kafe mie berlantai dua di perempatan tengah kota –seusai perjanjian kita semalam dengan menumpang bus transkota. Waktu menunjukkan Pukul 09.30 pada jam besar. Kemudian aku duduk di salah satu sudut, menanti kau datang dengan memesan secangkir teh matcha hangat sembari bersiul santai. Asyik menatap anak kecil yang menagis di pojokan. Kemudian sejenak melamunkan beberapa lintas imajinasi kosong, dan tiba-tiba kau muncul sambil menyorongkan alat perekam dan berkata, 'Kita sampai mana tadi?', Sebagai balasan aku bertanya bodoh, 'Eh, Rinai? kau sudah disini?'. kemudian kau tertawa canggung dan balas berkata..."

"Kau bicara apa, Aru? kita kan sudah berbincang selama lima menit yang lalu." Rin menjawab dengan polos.

Aru menjentikkan jari, "Nah, Persis sekali, lantas setelah ini kau pasti akan bertanya..."

"...Ini berarti mimpimu kebetulan jadi kenyataan?" Aru dan Rin menjawab berbarengan. Aru menyeringai, tahu betul apa yang akan dikatakan Rin selanjutnya. sebagai balasan gadis itu menatap tidak mengerti.

"Lihat, benar bukan?" Keduanya kembali menjawab bersamaan. Canggung seketika.

"Kau diam dulu!" dan terjadi lagi. Mereka kini saling tunjuk. Wajah Rin memerah.

"Tidak kau duluan!" Mereka melakukannya untuk yang keempat kalinya, membuat pengunjung kafe lain melirik mereka. Batuk satu dua, meminta untuk tidak berisik.

Aru menunduk, merasa bersalah, "Maaf, kau lanjutkan saja."

Suasana kembali lengang. Tingkah anak kecil di pojok itu juga terkendali, hanya duduk di pangkuan ibunya.

"Baik, anggap saja mimpimu benar menjadi kenyataan, berarti kau tahu bahwa setelah ini aku akan..."

"Smartphonemu akan berdering setelah ini. Sebuah telepon masuk" Aru menunjuk peranti model terbaru yang tergeletak diatas meja.

Benar saja, benda itu benar-benar berdering nyaring.

Rin menelan ludah, menatap penasaran, "Aku akan mengangkatnya atau tidak?"

"Kau tidak akan mengangkatnya." balas Aru.

"Kenapa?" Jemari Rin sudah menggengam Smartphonenya, siap menjawab panggilan.

"Entahlah, aku hanya pernah melihat bahwa kau takkan menjawab panggilan itu."

Gadis itu terdiam sejenak, urung melakukan hal yang sebaliknya. Aru mengigit bibir, cemas. Tanpa sadar ia telah menciptakan paradoks.

Rin menghela napas panjang, memijit keningnya, "Aku tak menyangka urusan ini benar-benar rumit, Aru. Maksudku, jika benar ini hanya deja vu normal, akan lebih mudah menjelaskan bahwa kau mengidap gangguan lobus temporal, gejala epilepsi, atau ternyata kau pengguna obat terlarang dan sebagainya. ini seperti deja vu dalam level yang lebih esktrem."

"Aku lebih suka menyebutnya pengulangan," Aru menelan ludah, gugup menatap jam. Pukul 09.41. "Semua terlihat terlalu nyata dan jelas untuk diingat. Aku sudah mengatakannya padamu sejak beberapa hari yang lalu, tapi kau selalu menganggapnya enteng."

Dia menaikkan alis, "Mungkin lebih terdengar seperti time loop?"

Aru mengangkat bahu, "Bayangkan saja begini, alur waktu kehidupanku terbagi menjadi 2 anomali, garis lingkaran dan garis lurus. Terkadang, aku terjebak dalam garis lingkaran dengan sendirinya untuk beberapa waktu. Namun dalam satu waktu, lingkaran itu berhenti dengan sendirinya. Kemudian garis waktuku kembali lurus untuk kemudian balik mengulang lagi. Aku bahkan tak tahu sekarang ini adalah garis lingkaran lagi atau garis lurus."

"Penjelasan yang bagus, lantas darimana kau mulai menyadari jika apa yang terlihat adalah sama seperti yang sudah terjadi?"

"Entahlah, semua terjadi begitu cepat..."

Kalimat pemuda itu kembali menggantung demi pemandangan yang menyita perhatiannya. Anak kecil perempuan disudut restoran kini turun dari pangkuan ibunya dan berlari mengelilingi meja, rahang Aru mengeras demi melihatnya –lagi. Rin sepertinya menyadari ekspresi itu karena ia juga ikut menoleh ke belakang.

Saat mata keduanya kembali bertemu, Rin menyadari suatu getaran aneh di mata Aru yang membuatnya cemas.

"Kau tidak suka anak kecil?"

"Tidak, maksudku..."

Ding! Dong! Suara detak jam besar dipojok Kafe kembali berdentang nyaring. Pukul 09.45.

***

"Kita sampai mana tadi?"

Aru tertegun sejenak, "Eh, Rinai? kau sudah disini?"

"Kau bicara apa, Aru?" Rin atau Rinai –gadis berambut panjang itu tertawa canggung, "kita kan sudah berbincang selama lima menit yang lalu. Cobalah untuk fokus dan minum sejenak."

"Ah, maaf. Aku kehilangan fokus" Aru menggeser posisi duduk dan mencoba kembali fokus pada pertanyaan milik Rin. Gadis itu kembali mengulang pertanyaan yang sama. Sampai mana tadi?

"Hmm...sampai aku mengatakan bahwa ini semua mirip mimpi..." Aru menggantung kalimat itu, menyadari sebuah keganjilan.

"Mimpi?" gumamnya, "Tunggu apa yang...?"

Suasana menjadi lengang sekali sekali. Kesunyian tiba-tiba menyergap Aru. Lebih menyeramkan dari biasanya. Keramaian seolah lenyap. Kafe itu mendadak terasa lebih sepi. Mata pemuda itu segera berkejaran menatap jam besar yang berada pojok kafe. Pukul 09.24. Seorang ibu dan anak kecil yang asyik berceloteh baru saja melangkah masuk dari arah pintu, menuju meja yang berada di pojok lain dekat kaca. Segalanya terlihat berbeda.

"Silahkan, Hot tea matchanya," Seorang pelayan kafe datang menyuguhkan secangkir minuman berwarna hijau pekat dengan santai tanpa peduli wajah bingung si pemesan.

"Apa yang telah terjadi?" Aru meringis, melonggarkan kerah kemeja biru yang ia kenakan. Bingung dengan situasi. Wajahnya pias dengan keringat dingin. Apakah sekarang ia dalam pengulangan lagi? tidak, kali ini suasananya berbeda.

"Aruna, maaf terlambat." suara itu lembut menyapa dari arah balik punggungnya, "Aku tadi harus mampir sebentar ke fakultas mengambil hasil laporan penelitian psikologiku kemarin."

Aru sontak berdiri sembari menoleh ke arah sumber suara.

Lihatlah, Rinai –si gadis berambut panjang telah berdiri anggun di belakangnya dengan setelan sweater kuning berlengan hitam, memakai celana panjang berwarna biru gelap. Di lehernya tergantung syal berwarna hijau tua. Gadis itu merekahkan senyum, mengguratkan lesung pada pipinya, menyapa Aru hangat. Sehagat matahari pagi.

"Rin!?" Aru menatap tidak mengerti, separuh terkejut, "Bukankah kau barusan duduk di sini?"

Astaga, jemari pemuda itu gemetaran menunjuk bangku yang kini kosong pada detik berikutnya. Sosok Rinai yang seharusnya sudah duduk di sana tadi telah lenyap. Berganti tempat di belakang dirinya. Aru bolak-balik mengucek matanya tidak percaya. Apa-apaan semua ini?

"Kau bicara apa, Aru?" Rin tertawa canggung, "Aku baru saja turun dari bus transkota beberapa menit yang lalu, kemudian berlarian kemari karena khawatir kau terlalu lama menunggu. Cobalah untuk fokus dan minum sejenak."

Tidak, tidak. Ini semua pasti salah. Tubuh Aru limbung terduduk. Ujung-ujung jarinya bergetar hebat. Napasnya terdengar menderu. Sebutir keringat sebesar jagung merekah di dahi, menetes jatuh tak hanya sekali. Kepala miliknya serasa berputar. Berdentum seolah ingin meledak. Jemari Aru perlahan menggurat meja dengan lemah. Menekur. Menghubungkan semua penjelasan yang ada.

"Kau baik-baik saja, Aru?" Rin berseru cemas.

Pemuda itu menggeleng lemah, "Aku tidak baik-baik saja, Rin. Aku..."

Ini benar-benar realita atau masih dalam pengulangan berikutnya? Aru bingung, gelisah dan panik. Segalanya begitu buram dimatanya. Semuanya terasa menyesakkan dan melelahkan.

"Semuanya akan baik-baik saja, Aru."

Pada detik berikutnya, Aru merasakan sentuhan lembut jemari lentik yang menyusuri pelipis kanan kepalanya. Kepala Aru mendongak, menatap Rin yang tengah tersenyum manis padanya. Mata beriris biru milik Rin menatap dengan ganjil.

"Aku akan memperbaiki segalanya. Sekarang tidurlah!"

Ding! Dong! Suara detak jam besar dipojok Kafe kembali berdentang nyaring, bersamaan dengan gelayar aneh yang menyengat isi kepala Aru. Pandangan pemuda itu mendadak semakin menggelap, sebelum akhirnya terseret dalam mimpi yang panjang.

Saat ini Pukul 09.30.

***

"Saya telah melakukan perbaikan operasional pada subyek FS-014. Sesuai dengan spekulasi, Elektroda yang harusnya bertugas untuk menulis sinyal kembali ke otak untuk memberi umpan balik dalam bentuk sentuhan atau visual retina mengalami kesalahan teknis. Hal tersebut kemudian menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah otaknya saat bergerak. Terutama dekat dengan lobus temporal. Dari sanalah memicu kesalahan pada jalur saraf sehingga dapat memunculkan glitch dalam penciptaan persepsi pada otak subyek. Untunglah bahwa subyek hanya sebatas mengalami semacam delusi jangka pendek berupa kejadian deja vu dalam pikirannya."

Rinai terdiam, membiarkan sambungan aman telepon lengang untuk sejenak. Pikirannya menggelana jauh, memikirkan banyak kemungkinan berikutnya.

"Kalau boleh menyarankan, sebaiknya kita harus mulai mempertimbangkan pengembangan bahan polimer fleksibel untuk eleltroda, juga peningkatan miniaturasi elektronik dengan teknologi sirkuit terpadu dan interkasi nirkabel sepenuhnya dalam waktu dekat. Penanaman perangkat chip di otak manusia memang masih dalam tahap percobaan kluster ketiga, tapi kita tak bisa menunggu waktu lebih lama lagi atau para subyek kali ini akan menanggung dampak permanen! Anda seharusnya tahukan betapa mengerikannya dampak lonjakan neuron pada teknologi yang belum tersinkronasi sepenuhnya pada otak mereka!?"

Linang air mata membasahi pipi gadis itu, membuat parit anak sungai kecil, mengalir menuju ujung dagunya. Suara dari ujung telepon kembali terdengar, membuat emosi Rin terpicu kesekian kali.

"Berhentilah berceramah kosong tentang profesionalitas hanya karena anda satu tingkat jabatannya diatas saya. Aru...maksudnya subyek FS-014 sudah cukup menderita lebih karena chip itu. Hanya karena kesalahan jalur saraf itu, dia harus kehilangan sebagian dirinya. Dia mengalami ketakutan paling mendasar yang ada pada manusia. Takut akan ketidaktahuan terhadap realitas. Terus menjadi obyek pengulangan pikirannya sendiri. Sekarang kita harus mulai mengembalikan lagi kondisi mentalnya itu."

"Terserah anda mengatakan bahwa saya menaruh hati pada subyek sepertinya atau apapun itu. Tapi ingatlah ini, Jika anda ingin Program Dramaturgi berhasil, lakukan saja apa yang saya minta atau anda akan kehilangan donatur utama dalam proyek!"

Rinai menutup paksa sambungan panggilan itu. Lantas melangkah dengan hati buncah tak karuan menyusuri trotoar, menuju kafe yang sama seperti beberapa hari sebelumnya. Ada janji yang harus ia penuhi.

Kondisi Aru sudah membaik beberapa hari yang lalu. Rin berhasil membuat pemuda itu pingsan di kafe pagi itu. Lantas membawanya menuju laboraturium penelitian untuk memperbaiki chip di otaknya.

Pemuda itu kini tak mengingat banyak apa yang telah terjadi –tentu saja berkat pemberian benzodiazepine atau jenis obat untuk perawatan stres pascatrauma oleh tim medis program tersebut. Ketika seseorang mengalami kejadian mengerikan, seperti kecelakaan yang berujung trauma maka memori jangka panjang mereka bisa melemah secara permanen. Para ahli saraf kini bisa merawat stres pascatrauma, mengatur ulang memori jangka pendek, seolah-olah trauma itu tak pernah menjadi bagian psikisnya alias amnesia secara teknis.

Rinai sudah meminta ayahnya –yang juga seorang gubernur untuk lebih menjaga jarak pada para ilmuwan transhumanis pemegang proyek gila itu, tentang membentuk komunitas manusia melalui proses sinkretisasi manusia dengan teknologi. Pemerintah ibukota memang sebagian besar mendanai proyek itu, menjaring ratusan sukarelawan untuk uji coba, sekaligus menyiapkan 'panggung' bagi para manusia yang tengah berevolusi itu dalam lingkup area tertentu. Namun jika korban atas kerusakan elektroda terus meningkat seiring waktu, maka tak ada jalan lain selain menghentikan proyek tersebut.

Apalagi jika harus menyakiti orang yang Rinai cintai. Ia akan melakukan segalanya.

Pukul 09.24 pagi ini.

Rinai sudah memasuki kafe itu. pandangannya menyapu sekitar, mendapati pemuda yang duduk takzim di salah satu sudut ruangan dekat jendela. Aru tengah asyik membuka lembar halaman buku novel yang tengah ia tamatkan, lengkap dengan secangkir teh matcha mengepul hangat diatas meja.

Sebuah senyum mengembang di wajah Rinai.

***

Tamat

Catatan Penulis :

Dramaturgi dalam dunia akademis merujuk pada sebuah pemikiran Erving Goffman dengan menggunakan konsep shakespeare yang termuat dalam Presentation of self in everyday life (1959). Dramaturgi ialah pandangan perihal konsep interaksi sosial manusia yang tak adanya bedanya dengan pertunjukan drama yang ditampilkan diatas pentas atau panggung.

[] Gempita Shastra []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro