Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[] (Bukan) Papamu • 2

(Bukan) Papamu
Oleh: kesinikesana

[] Action x Drama []

•••

Setelah selesai meng-scan bola mata dan fingerprint ke-20 orang tadi, sistem di HP-ku mengkonfirmasi semuanya ke klien, dan pekerjaanku secara resmi selesai. Upahku untuk ini Rp100.000.000 per orang. Aku juga tidak lupa memanggil tim penghapus jejak untuk membereskan mayat-mayat yang berserakan ini. Setelah mengganti bajuku dengan baju baru yang tidak ternodai oleh darah, aku menaruh baju bekasku tadi ke dalam plastik dan memasukkanya ke dalam tailbag motorku. Normalnya, aku akan langsung pergi dan membiarkan tim penghapus jejak membereskan semuanya, aku nanti akan bertemu Dito, yang super cerewet dan biasanya dia mengganggu hariku. Namun, aku lebih memilih untuk mengambil first aid kit, dan menyuruh Nadia duduk.

"Ah, Papa, aku bisa sendiri -"

"Jangan begitu, kamu diam saja."

"Oh, okayyy."

Lagi-lagi, bersama dengan Nadia membawaku ke memori lain saat aku dulu masih bisa bercanda tawa dengan Ayla.

"Papa, sakitttt."

"Iya, Ayla, ini Papa kasih plester dulu ya."

Aku mengingat hari itu adalah hari ulang tahun Ayla yang ke-5. Aku dan istriku memutuskan untuk membelikannya sepeda. Putriku yang tercinta memang cepat belajar. Dengan 5 hari latihan, dia sudah ingin mencoba sepeda roda tiga, jadi roda keempatnya kami copot. Namun karena kecerobohanku... Ayla jatuh dan terluka saat aku sedang mengobrol dengan tetangga sebelah.

"Papa, dicium dulu dong lukanya biar rasa sakitnya pergi jauhhh banget."

Aku tersenyum akan tingkah gemasnya. Ingin rasanya aku mencubit pipinya. Namun karena ia tidak menyukai pipinya dicubit, aku menahannya. Aku kemudian menuruti keinginannya dan mencium lututnya yang ditutupi oleh plester.

"Sudah baikan?"

Ayla mengangguk dengan antusias, namun kemudian senyumnya luntur. "Sudah, tapi kalau papa?"

"Maksudnya, sayang?"

Ayla kemudian terdiam dan mengerutkan dahinya. "Papa, keliatan sedih aja gitu."

Aku terperanjat. Memang aku daritadi menyalahkan diriku karena tidak terlalu memperhatikan Ayla sehingga ia bisa terjatuh... itu terlihat dari ekspresiku? Aku kemudian tersenyum lebar dan memindahkan rambut Ayla ke belakang telinganya. "Iya, Papa tadi sedih. Tapi sekarang Papa sudah baikan kok."

"Ayla boleh cium pipi Ayla biar Papa jadi semakiiin baikan?"

Aku tersenyum, dan memajukan pipiku seraya memejamkan mataku.

"Papa."

Aku terperanjat akan suara Nadia, dan melihat anak itu menatapku aneh. "Kenapa Papa selalu punya tatapan itu jika melihatku?"

"Tatapan apa?"

"Aku tidak tahu. Campuran sedih dan kangen. Apa om punya anak yang seumuran denganku?"

Deg. Rasanya seperti jantungku mau keluar dari dadaku, dan setelah keluar akan ada lubang besar pada dadaku, membiarkanku terkapar, menuju kematian, sementara gerbang neraka dibukakan untukku. Apa memang semua anak kecil yang aku temui perasa seperti ini? Aku menghela napas dan lanjut mengoleskan salep pada memar-memar di tubuhnya.

"Jangan tanya yang aneh-aneh."

"Ternyata benar! Sekarang dia di mana?"

Nada ceria dan pertanyaannya membuat gerakanku terhenti sementara. Aku lebih memilih untuk melanjutkan untuk mengobatinya seakan tidak terjadi apa-apa. "Apa aku akan berteman baik dengannya?"

Seakan aku bayangkan, mungkin... ya. Namun aku tetap diam dan melanjutkan mengobatinya. "Dia umur berapa? Cewek ya? Apa dia manis sepertiku?"

Secara tidak sadar, aku memukulkan kepalan tanganku ke jok motor di samping tempatnya duduk. Tentu tindakan bodoh itu membuat tanganku nyeri. Namun dari tadi pertanyaannya membuat darahku mendidih. Aku menatap tajam ke arahnya, hanya untuk bertemu dengan ekspresi kagetnya. Ada setitik rasa kasihan yang menghujamku, dan aku menghela napas.

"Dia sudah tidak ada. Jangan tanya lagi."

"Oh... maaf Pa."

Tanpa pertanyaan-pertanyaan yang ia lontarkan itu, suasananya menjadi sepi. Tapi tentu saja hal it tidak bertahan lama dan aku seharusnya menyadari itu sejak tadi.

"Om tidak perlu menjawab tapi... apa dia keluargamu?"

Seperti katanya, aku tidak perlu menjawab maka aku tidak menjawab. Lalu dia berbalik dengan memanggilku 'om', apa dia merasa buruk memanggilku Papa karena tahu aku memiliki keluarga yang ia duga-duga dan belum aku iyakan? Aku belum terganggu akan panggilan Nadia, namun jika sudah, aku akan menyuruhnya untuk berhenti.

"Seseorang... atau sekelompok orang merampasnya darimu?"

Lagi, aku hanya diam kemudian mengoleskan bagian terakhir yang belum kusalep. Aku kemudian mencari baju bersih di tailbag-ku. Jika tidak salah, aku memiliki T-shirt putih yang lain dan boxer hitam.

"Apa hidupmu berlandaskan balas dendam?"

"Apa kau tidak tahu kapan untuk diam?"

Nadia cemberut, kemudian ia membiarkanku memakaikan baju putih dengan memasukkannya dari atas kepalanya ke badannya yang mungil. "Pa... karena mulai sekarang kita akan hidup bersama. Aku ingin melindungi Papa juga. Aku akan senang jika Papa membantu jika Papa kesusahan."

Aku menghela napas dan memberikan boxer hitam itu padanya. "Pakai itu dan ganti celana mu, aku akan lihat ke samping." aku mengatakan, dan menyipitkan mata. "Lalu, aku tidak memerlukan bantuanmu." aku sekilas melihat ekspresi sedih di wajahnya, namun lagi, ini bukan urusanku. Aku sudah mengambil suatu kewajiban yang lebih besar dari yang bisa aku tanggung, aku tidak ingin menanggung sesuatu yang lebih besar lagi.

Kala aku melihat ke arah yang lain dan anak itu mengganti bajunya, aku mendengar suara getaran dari atas ruang bawah tanah ini. Sudah pasti itu truk sampah dari para penghapus jejak. Aku menaikkan resleting jaketku. Warnanya campuran hijau-hitam, tipikal driver online. Kemudian aku segera menaiki scoopy ku.

"Hei, kau sudah selesai?"

"Ya."

"Kalau begitu ayo cepat naik dan per -"

"Hei! Pak Ojol! Mau kemana?"

Bencana datang dan aku tidak sempat menghindar darinya. Aku memejamkan mata dan menggenggam handle gas motorku keras-keras. Kemudian menoleh untuk melihat Dito, orang termenjengkelkan, namun juga sahabat baikku sejak aku bergabung di organisasi ini. Ia melambai padaku dengan seragam oranyenya yang khas. Anggota para penghapus jejak yang lain juga datang dan mulai bekerja. Jika orang biasa melihat mereka, mereka akan dikira sebagai tim oranye yang biasa membersihkan sampah di jalanan. Namun, di organisasi kami, 'sampah', yang dibersihkan oleh mereka memiliki arti yang berbeda. Begitu juga dengan 'pengiriman', dan 'penjemputan' serta 'order' yang aku laksanakan dan terima sebagai ojol di organisasi ini.

"Tentu saja aku mau pergi. Aku tidak suka melihat kalian membelah-belah mayat."

Mata Dito terpacu pada Nadia, kemudian ia tersenyum dan mengamati Nadia seakan ia barang antik yang akan mengungkap keberadaan suku nenek moyang manusia yang telah lama menduduki bumi berabad-abad lalu.

"Hei, ngomongmu dijaga dong. Kan ada anak kecil, ya kan dik?"

Nadia merespon dengan memelukku dari belakang. Kemana semua kecerewetan yang tadi dia keluarkan? Namun lama-lama, Nadia mengangguk juga.

"Aku Dito. Kamu?"

"Hai, kak Dito. Aku Nadia." nada cerianya kembali.

"Hai Nadia. Kamu mau lihat kakak dan teman-teman memotong-motong mayat orang jahat dan merebusnya di semen yang direbus beribu-ribu celcius kemudian didistribusikan pada 'kuli' yang merupakan anggota organisasi kami?"

"Hei." aku memotongnya. Keterlaluan, bagaimana bisa ia mengatakan -

"Kelihatannya seru. Tapi aku mau ke rumah Papa dulu, mungkin lain kali."

Kemudian hening, dan lalu keheningan itu dipecahkan oleh tawa Dito yang menggelegak, mengisi seluruh ruang garasi bawah tanah ini dengan tawanya yang meledek itu. "Apa ini? Kau sekarang punya anak? Pelacur mana yang kau tiduri?"

"Aku tidak melakukan hal seperti itu Dito." aku mengatakan dengan tegas.

"Yah, bagaimanapun juga," Dito mengusap air matanya yang keluar karena terlalu terhibur dengan situasi ini. Aku agak tidak bisa menyalahkannya, lagipula aku juga menganggap situasi konyol ini lucu. Seakan takdir bermain-main denganku. "Kak Rangga tidak akan suka dengan ini, kau tahu?"

"Aku bisa menjaga diri. Kak Rangga tidak perlu mengawasiku seakan aku anak kecil." aku tidak akan berbohong, aku merasa hatiku mencelos mendengar nama Kak Rangga disebutkan. Benar juga, aku tidak kepikiran soal reaksi Kak Rangga jika ia tahu tentang Nadia.

"Yah, terserahlah kau mau ngomong apa. Hubungan kakak-adik kalian itu menjijikkan tahu?" ia mengambil rokok kemudian menyalakannya dengan korek. Ia menghirup asapnya kemudian menghembuskannya kesamping. Ia lalu menyeringai padaku. "Tapi ingat, dia tetap bos kita loh?"

Dan dengan itu, Dito pergi dengan berlari dan kedua tangannya ia ke-ataskan laiknya anak kecil. Ia berteriak, "Teman-teman, ada yang bisa aku bantu!?" sementara teman-temannya yang lain sedang melapisi lantai dengan plastik wrap dari satu sisi ke sisi lain, mereka protes padanya kenapa ia lama.

Aku kemudian mengemudikan motorku keluar garasi, dan bertemu dengan sinar matahari yang mengenai wajahku. Kami pun melewati jalan raya dan taman yang memiliki 3 bambu menjulang di tengahnya.

"Pa."

"Hm?"

"Kapan-kapan aku boleh lihat apa yang Kak Dito dan teman-teman lain lakukan?"

"Nanti aja kalo kamu sudah agak gede."

Dari spion kaca, aku bisa melihatnya menggembungkan pipi, dan aku menghela napas. Tiba-tiba saja ada yang menelpon, dan aku kemudian menyalakan tombol di helm-ku yang sudah terhubung di Hpku. Di bagian samping kanan kiri busa hitam helm yang berada tepat di sebelah telingaku, ada speaker kecil yang berguna sebagai headphone. Di depan kaca helmku terpancar hologram waktu dan icon menelpon, sementara terlihat wajah seorang wanita paruh baya yang merupakan klienku, ia sedang menangis dengan sapu tangan ia usapkan ke pipinya. Butlernya menenangkan wanita itu dengan memeganginya di sampingnya.

"Pak Ojol. Saya melihat laporan anda, saya benar-benar berterima kasih..."

"Syndicate tidak akan mengecewakan klien. Asalkan sesuai dengan perjanjian yang sudah kami sepakati, dan sesuai dengan apa-apa yang bisa kami lakukan, kami akan melakukannya." aku mengatakan dengan senyum kaku dan kata-kata yang sudah kuulang ribuan kali.

"Ah, akhirnya anak saya bisa tidur dengan tenang. Saya benar-benar senang..."

Wanita paruh baya ini merupakan istri dari perusahaan korporat yang lumayan terkenal di Indonesia. 5 hari yang lalu, anaknya meninggal karena overdosis akan obat terlarang yang diberikan oleh bandar narkoba dari sindikat narkoba tertentu. Pagi tadi, wanita itu menjadi klienku atas arahan Kak Rangga - dan mengirimkan foto 20 orang yang merupakan campuran bandar narkoba dan pengedar yang bertanggung jawab akan kematian anak sang korporat tersebut. Aku melaksanakan tugas dengan baik seperti biasa.

"Tentu saja, Bu. Jika ada hal lain lagi yang bisa saya bantu, atau mungkin ada organisasi jahat yang menarget keluarga anda, silahkan hubungi kami."

"Tentu, tentu, sekali lagi terimakasih banyak."

"Kepuasan pelanggan adalah kepuasan kami."

Wanita itu tersenyum dan kemudian panggilan pun berakhir. Aku melihat Nadia dari spion dan kelihatannya ia mengantuk.

"Hei, kau ngantuk?"

"Uh, sedikit..."

"Jangan tidur, kau bisa jatuh."

Nadia mengusap matanya dan kemudian ia cemberut lagi. "Oke..."

Aku menghela napas sementara pandanganku terpaku pada jalan, ini akan lebih merepotkan daripada yang aku duga...

Tamat (?)

[] Gempita Shastra []

Nb: Mungkin, cerita fullnya bakal di-up di profil Author kalo Author ga males? So maybe follow her? Kkkk.

DISCLAIMER:

Seperti yang kalian tahu, beberapa tindakan yang dilakukan karakter fiksi disini bukan merupakan tindakan yang bisa dijadikan inspirasi/ditiru di dunia nyata. Saya yakin pembaca sudah sangat bijak untuk membedakan mana yang dunia nyata dan mana yang fiksi, dan tidak seperti fiksi, di dunia nyata ada konsekuensi yang tidak dapat dihindari mau itu dari segi hukum/agama. Sekali lagi, dimohon untuk bijak dalam membaca. Terimakasih!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro