[] (Bukan) Papamu • 1
(Bukan) Papamu
Oleh: kesinikesana
•
[] Action x Drama []
•••
WARNING: Kekerasan, darah, dan tindakan kriminal lainnya.
Saat aku melihat matanya, yang terpancarkan di kedua bulat mata yang penuh air mata tersebut adalah, pantulan bayanganku saat berada di masa-masa yang tidak sesulit sekarang. Saat pekerjaanku hanyalah pergi ke kantor jam 8 pagi setelah mengecup pipi istriku dan membujuk anakku, bahwasanya aku akan segera pulang dan membacakan cerita si Kancil untuknya. Saat tanganku tidak perlu berlumuran darah seperti ini...
Aku melihat ke arah anak kecil itu, kedua kakinya gemetaran, bajunya lusuh dan aku melihat memar di lehernya. Aku tahu bajingan-bajingan ini tidak manusiawi, tapi aku tidak tahu mereka bisa se-tidak manusiawi ini dengan memperlakukan anak yang tidak tahu apa-apa sekasar itu. Refleks, aku mencengkram kerah baju targetku lebih keras dan ia merintih, sebelum suara keras menghentikanku.
"LEPASKAN DIA, ATAU KUBUNUH ANAK INI!"
Anak perempuan itu menangis semakin keras. Ayla... bukan, dia bukan Ayla. Aku menghirup napas dalam-dalam dan menghembuskannya keras-keras untuk menenangkan diri, kemudian menatap seorang laki-laki paruh baya yang juga merupakan targetku – aku mengetahui wajahnya dari foto yang dikirimkan klienku. Ia dengan gemetaran – namun peduli setan dengan dia, mataku hanya tertuju pada anak itu yang juga gemetaran tidak kalah hebat. Orang itu mengarahkan pisaunya ke leher anak itu.
Orang yang kerahnya sedang kupegang – kondisinya tidak baik, dan tentu saja tidak baik. Aku barusan menghajarnya hingga wajahnya jadi sedemikian rupa. Ia merintih dan aku hanya melirik sebentar ke arahnya. Kami berdua, tidak, bertiga jika anak itu dihitung, sedang berada di tempat persembunyian anggota sindikat narkoba berbahaya yang merupakan target-targetku. Awalnya mereka ada 20, kini hanya ada 2 sementara yang lainnya bergelimpangan dengan nyawa merek berada di tangan malaikat maut masing-masing.
"TIDAK DENGAR? AKU BILANG LEPASKAN DIA ATAU KUBUNUH ANAK INI!" Ia berteriak lagi, kini aku melihat darah keluar sedikit dari leher anak itu yang tergores. Aku kemudian dengan cepat menjatuhkan orang yang kerahnya kupegang tadi. Tanganku kemudian jatuh kebawah ke samping pinggangku. "HEHE. HEHEHEH! Meskipun pembunuh bayaran, kau biasanya punya pengecualian. Kau tidak akan membunuh anak-anak atau perempuan, bukan!?"
Aku menghela nafas dan kemudian mengambil pistol di saku belakang jeansku. Dor. Kutembakkannya ke bahu lelaki itu. Tak lupa juga, agar tidak merepotkan nantinya aku menembak lelaki yang masih setengah sekarat di sebelahku. "Aku tadi tidak mengarahkan pistol tadi ke kepalamu karna aku ingin meluruskan sesuatu..." aku melepas magazine dari pistolku semi-otomatisku, kemudian mengganti dengan yang baru dan mengokangnya. Kakiku mendekatkanku padanya, yang berusaha menyeret tubuhnya menjauh dengan satu tangan memegang luka tembak di bahunya. "Aku akan membunuh perempuan dan anak-anak, bila perlu."
DOR.
Dan kemudian, dunia menjadi sunyi. Aku suka perasaan ini. Bukan rasa bersalah akibat mengambil nyawa mereka dengan tindakan yang seharusnya illegal. Mereka pantas mendapatkannya. Jika mereka dibiarkan hidup, narkotika akan terus-terusan terdistribusi, dan saku polisi akan semakin menggendut karena ketambahan uang suap. Lebih baik, aku menghentikan pendistribusian itu dan menaruh uangnya ke sakuku, kan?
Aku baru saja akan keluar sebelum aku merasakan ada berat yang memeluk kakiku. Aku mengernyitkan mata dan melihat anak tadi memeluk lututku erat, dan aku merasakan lututku basah. Apa anak ini menangis?
"Minggir."
"Om, aku takut sekali..."
"Kenapa aku harus peduli? Minggir atau kubunuh kau,"
Anak itu kemudian berhenti dan mendongak. Ingus keluar dari hidungnya dan pipinya basah akan air mata. "Aku mau ikut om, aku tidak mau tahu. Bawa aku sama om!"
Aku menghela napas keras-keras. Lebih baik aku berurusan dengan bos dari sindikat narkoba yang lebih berbahaya, kemudian mempertaruhkan nyawaku di sana daripada harus berurusan dengan sesuatu yang merepotkan seperti ini. Aku kemudian jongkok agar aku bisa melihat wajahnya dengan baik. Jika dilihat lebih dekat, ia cantik... namun tetap saja merepotkan. Tanpa sadar tanganku tergerak untuk membetulkan rambut Ayla gadis ini yang berantakan, namun aku segera menghentikan tindakanku yang konyol.
"Dengar, kau tahu apa pekerjaanku?"
Gadis itu memiringkan kepala. "Membasmi orang-orang jahat?"
"Ya... semacam itu. Itu pekerjaan yang berbahaya, jadi anak kecil tidak boleh ikutan."
Anak itu kemudian terkesiap keras-keras, seakan ia sengaja agar bisa didengar olehku. "Memangnya kenapa? Aku mau ikut! Kalau sudah besar aku mau membasmi orang-orang jahat seperti Om!"
Jantungku seakan berhenti berdetak. Kata-katanya menumbuhkan memori yang dahulu aku punya dan pendam, jauh-jauh kusimpan di lubuk hatiku yang paling dalam.
"Papa harus kerja, Ayla tidak boleh ikutan."
"Ihh emang kenapa sih!? Awas aja ya Pa, kalo udah gede Ayla mau kerja di kantor kayak Papa, biar Ayla bisa kerja barengan sama Papa dari pagiii sampe malem!"
Aku menggelengkan kepalaku dan mengusir memori manis itu jauh-jauh dari kepalaku. Tentu aku tidak berniat membuang memori itu selamanya. Aku hanya berniat untuk setidaknya tidak membiarkan kenangan itu meluap bersama emosi yang akan membuatku mengambil tindakan yang tidak rasional selanjutnya.
"Aku akan membawamu pulang, dimana rumahmu?"
"Rumahku di rumah om saja."
"Hey –"
"Namaku Nadia." Anak itu – Nadia kemudian berkata dan berjalan melewatiku, kedua tangannya berada di belakang punggungnya. "Ayo, kita ke rumah om,!"
Aku menghela nafas, kemudian aku berdiri. Hal seperti ini harus disudahi sebelum aku membuang waktuku dengan sia-sia lebih lama lagi.
"Berhenti, Nadia," aku menatapnya punggungnya yang kemudian memutar untuk menatapku penasaran. "Aku akan mengantarmu ke rumah orang tuamu, atau kau aku tinggal disini. Pilih yang mana?"
Kilatan panik terlihat di matanya dan senyum gadis itu menghilang dengan cepat. Namun semua itu bukan urusanku. Bila aku benar-benar mengijinkannya untuk ikut denganku, ia hanya akan menghambatku.
"Aku benar-benar tidak bisa ikut om?"
"Aku hitung sampai 3. 1..."
"Tunggu, om, aku tidak makan banyak kok!"
"2..."
Gadis itu menatap ke arah aspal, kemudian ia mengepalkan kedua tangannya. "Om... jangan lakukan ini."
"1."
"Orang tuaku sudah mati!"
Nadia berteriak dengan kedua tangan dikepal dan kedua mata terpejam. Aku menggaruk dahiku yang mulai pening. Tentu saja, hal ini harusnya sudah kuprediksi sebelumnya. "Kalau begitu panti asuhan –"
"Orang tuaku itu... habis om bunuh."
Aku membelalakkan mata, kemudian melihat ke orang yang bersimbah darah kepala dan bahunya, tergeletak dengan kedua mata membelalak. "Dia...?"
Nadia mengangguk pelan, air mata lagi-lagi keluar dari matanya. Ia tiba-tiba membuka kancing bajunya dan sebelum aku bisa menghentikannya, ia sudah membiarkan bajunya jatuh ke tanah, memperlihatkan memar-memar jelek di seluruh tubuhnya.
"Ayahku adalah orang yang telah Om bunuh. Suwardi Pranomo, ketua cabang B bagian kota Surabaya dari sindikat narkoba berbahaya, Blue Elegant. Namaku adalah Nadia Pranomo," Nadia menghela napas, kemudian berhenti menatapku. Ia kemudan memegang memar-memarnya dan melihatku dengan tatapan menuduh. "Ia membuatku menerima luka-luka ini untuk mengajarkanku menjadi penerusnya kedepannya. Aku sudah bertahun-tahun hidup menyaksikan kekerasan dan darah di bawah tanah yang pengap ini. Kehidupan apapun yang om lakukan ke depannya, aku yakin tidak akan lebih buruk dari ini."
Aku berpikir sejenak, ini pilihan yang sulit bagiku. Sebenarnya, aku bisa saja meninggalknnya disini dengan sejumlah uang dan mungkin senjata. Mungkin bajingan itu mengajarinya menggunakan senjata, tapi mungkin tidak... Aku kemudian menatapnya nanar. "Jadi kau tidak bisa ke panti asuhan karena..."
"Ya. Jika mereka tahu aku anak kandung dari seorang kepala cabang sindikat narkoba, apa yang akan mereka lakukan padaku? Menatapku dengan sinis? Mengucilkanku? Tidak memberikanku makan?"
Aku melihat sekitar. Bau anyir dan busuk mulai mengisi ruangan karena mayat-mayat ini. Aku harus segera mengambil foto dan mengirimnya ke klienku agar uangnya masuk ke rekeningku. Kemudian aku melihat lagi ke Nadia. Nadia menghela napas, dan kemudian mengambil pistol yang jatuh di dekatnya. Ia kemudian melepas magazinenya, mengambil magazine yang baru dari saku mayat iu, dan berhasil memasukkan magazine yang baru ke pistolnya dengan benar.
"Jika aku bilang aku tidak akan merepotkan, aku tidak akan merepotkan."
Aku kemudian menghela napas lagi. Mungkin ini sudah ke seribu kalinya aku menghela napas. Aku kemudian mengucapkan kata-kata yang sepertinya akan kusesali kedepannya:
"Baiklah..."
Nadia membulatkan matanya seakan apa yang barusan kukatakan hanyalah imajinasinya belaka. "Benar? Om serius?"
Aku kemudian jongkok lagi dan memungut bajunya yang tadi ia jatuhkan, dan melemparkannya ke gadis itu.
"Pakai itu. Dan ya, kau mau aku menarik kata-kataku kembali?"
Lagi-lagi aku merasakan deja vu karena Nadia kini memeluk lututku lagi. Namun berbeda dengan yang pertama kalinya ia memeluk lututku, kali ini ia memeluk dengan bahagia dan erat, seakan jika ia tidak melakukan itu aku akan pergi jauh darinya...
"Hei, aku bilang pakai bajumu kan?"
"TERIMAKASIH BANYAK, PAPA!"
Aku barusan akan pergi mengambil foto mayat-mayat ini satu persatu sebelum aku berhenti. Sepertinya ada yang aneh... aku kemudian menatap anak itu yang mulai memakai bajunya tadi.
"Kau tadi memanggilku... apa?"
"Mulai sekarang 'kan aku akan diurusi oleh Om... berarti, om sekarang papaku?"
Entah kenapa, perutku mencelos. Seperti ada kupu-kupu yang bertebangan di perutku. Aku kemudian membuat gestur dengan tanganku agar anak itu pergi. "Kamu duduk saja di motor yang aku parkirkan disitu, dan tunggu aku."
"Oke, Papa!"
Saat Nadia pergi dan aku mulai mengambil foto, telingaku memerah.
To Be Continued
•
[] Gempita Shastra []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro