Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[] Before The Sun Rises • 2

Before The Sun Rises
Oleh IchiHikaru

WARNING:

There are more violent elements, and explict gore content in this part. Please be wise.

[] Thriller - Fantasy []

Esok paginya, Kathryn hanya duduk di pinggir tempat tidur. Sementara pemilik rumah entah sedang melakukan apa di luar. Ia hanya membuka jendela kamar tersebut, berkata bahwa cuacanya bagus. Gadis itu baru mengerti. Bagi bangsa vampir, langit mendung adalah hari yang sempurna karena mereka tidak perlu repot menghindari matahari.

Semalam, Kristopher mengajak sang gadis tinggal, melayaninya seperti seorang ratu. Hanya dalam beberapa jam, vampir itu bisa membuat orang merasa nyaman, persis seperti yang digambarkan dalam film. Kathryn pun merasa begitu, terlebih ketika dia berjanji tidak akan menyentuh perempuan itu.

Karena bosan, ia mencoba untuk membuka kotak masuk pesan pada ponsel pintar yang tanpa sengaja terbawa saat kabur. Hatinya tersenyuh ketika melihat puluhan pesan dari Miranda yang berharap ia segera kembali, seolah-olah tidak sadar jika dirinya hampir dijadikan mangsa pertama.

“Apa yang kau lihat itu?” Dengan mudahnya, benda persegi itu jatuh ke genggaman Kristopher yang ternyata sudah mengawasi sejak lama. “Aku sebenarnya tidak tega mengatakan ini, Kathryn. Tetapi, kau bukan manusia lagi. Orang-orang yang dulunya adalah teman, bisa saja kini memburumu.”

Kathryn menunduk dalam-dalam, ia sudah memikirkan itu sebelumnya. Pemuda itu berjongkok dan mengembalikan ponsel di tangannya. “Tak ada istilah damai antara mangsa dan pemburu. Kuharap kau mengerti,” ucapnya. Perempuan itu mengangguk pelan.

“Ayo, aku sudah siapkan sarapan untukmu.” Kathryn terheran dengan ajakan tersebut. Ia mendongak meminta jawaban pada lelaki yang selama beberapa jam terakhir terlihat seperti mampu membaca pikiran. “Kita masih bisa makan seperti manusia, kok. Dan jangan pernah meragukan kemampuan memasakku,” terangnya sambil tersenyum miring.

Gadis itu hanya terdiam saat tuan rumah membawanya menuju sebuah ruangan besar dengan meja dan beberapa kursi di sekeliling yang terlalu banyak untuk digunakan sendirian. Kristopher mempersilakan teman barunya duduk, sementara dirinya pergi untuk mengambil sebuah cangkir untuk disajikan.

Kathryn merasa tenggorokannya kering karena belum pernah dialiri air sejak kejadian semalam. Dia segera meneguk isi cangkir tersebut hingga tandas. Entah mengapa ia merasa familier dengan aroma yang begitu kuat dari cairan tersebut. “Kris, minuman apa sebenarnya ini?”

Jawaban yang ia dapati sungguh singkat dan jelas. Namun sukses membuatnya kehilangan selera makan. Tangannya bahkan menyenggol cangkir tersebut hingga jatuh ke lantai. “Darah? Bagaimana bisa … aku begitu menikmati hal menjijikkan seperti itu?” gumamnya sambil memijat pelipis.

Tanpa banyak bicara, Kristopher segera bangkit kemudian membersihkan pecahan beling. “Kris, kenapa … kenapa kau tidak bilang sejak awal … kalau itu darah?” tanyanya dengan mata yang memandang horor. Laki-laki itu meraih tangan Kathryn, lalu mengecupnya lembut. Menyebabkan jantung perempuan itu berdetak semakin tidak karuan.

“Ada tetesan darah di tanganmu. Tidak baik membuang-buang ‘makanan’,” ucap pemuda itu dengan senyuman yang seolah bisa menenggelamkan jiwa siapa pun yang melihatnya ke dalam sana.

“Jangan membuat alasan!” pekik Kathryn sambil menarik kembali tangannya, menyembunyikan pipi yang memerah. Tanpa rasa bersalah, Kristopher terdengar cekikikan melihat reaksi salah tingkah tersebut. Ia berlalu membuang serpihan kaca, kemudian kembali meja makan.

“Tadi malam kau terlihat baik-baik saja meminumnya. Karena itu kuberikan lagi sekarang.” Gadis bermanik merah itu spontan menutup mulut. Berusaha memuntahkan cairan yang sudah telanjur tertelan. Akan tetapi, tubuhnya seolah-olah telah menyerap semua itu dengan baik.

“Aku kasihan melihat tubuhmu yang kurus itu. Asal kau tahu saja, semua makanan ini hanya untuk menunda lapar. Lupakan saja pelajaran tentang makanan bergizi seimbang atau apalah itu. Bagi kita, darah adalah satu-satunya sumber nutrisi,” terang laki-laki itu panjang lebar.

Kathryn tersenyum kecut. “Mendengarnya saja aku sudah mual,” celetuknya. “Jangan-jangan kau juga menambahkan darah di setiap masakanmu,” ujarnya dengan nada curiga.

“Tadinya aku ingin melakukan itu. Tetapi darah yang tidak segar rasanya tidak enak,” balasnya sambil tertawa. Entah mengapa, baginya menggoda gadis di depannya dalah sebuah kesenangan baru.

“Pantas saja Louis sangat benci pada vampir. Aku juga ingin kembali jadi manusia saja,” dengus Kathryn sebal, memalingkan wajah sembari menopang dagu.

“Aku mengerti. Siapa pun pasti akan sulit beradaptasi. Lama-kelamaan, kau juga akan lupa rasanya menadi manusia. Lagipula …, kau mungkin belum tahu jika dulunya ….” Kristopher memilih untuk fokus memotong daging steak daripada melanjutkan cerita. “… hubungan manusia dengan vampir tidak seburuk ini.”

Dia mengangkat wajah kemudian tersenyum miring. “Sudah kuduga kau akan penasaran,” ujarnya saat melihat mulut Kathryn yang sedikit ternganga. “Aku akan menceritakan semua. Tapi setidaknya, hargai masakanku.”

Kathryn berdecak kesal. “Iya, iya! Kenapa juga pagi-pagi begini kau sarapan dengan daging?” Sang pemilik rumah yang melihat itu tersenyum kecil. Senyuman tulus yang membuatnya kembali tersipu.

“Terima kasih. Aku akan bercerita sesuai janjiku.” Kristopher meletakkan pisau dan garpu, lalu menautkan jemari – posisi ternyaman menurutnya.

“Dulunya, vampir yang tinggal di sini bisa hidup tenang tanpa diburu. Pemimpin kami membuat perjanjian dengan para tetua di kota ini. Manusia bisa bebas selama mereka tidak masuk ke wilayah kami. Begitu juga dengan bangsa vampir yang bersumpah tidak akan memangsa manusia, kecuali mereka yang nekat melanggar perjanjian tersebut.

“Setelah wafatnya pada tetua, perintah untuk tidak memasuki wilayah kami terus disampaikan dari mulut ke mulut. Hanya saja cerita tentang perjanjian tersebut tetap dirahasiakan. Karena itulah warga kota tidak sadar akan keberadaan kami. Sampai … hal itu terjadi.” Kristopher cukup lama terdiam, berniat pembuat si pendengar penasaran.

Orang ini benar-benar berniat membuatku mati karena penasaran, geram Kathryn dalam hati.

“Beberapa orang vampir nekat melanggar perjanjian tersebut dan memangsa manusia di luar wilayah yang ditentukan. Tepatnya delapan belas tahun lalu, saat rumor dan stigma mulai menyebar. Pemimpin kami mengutus seorang kesatria untuk mengeksekusi mereka. Tetapi sayangnya, dia justru terbunuh oleh salah satu pengkhianat.”

Kathryn terdiam. sekarang ia sudah mengerti kejadian di balik penemuan mayat delapan belas tahun lalu. “Karena itulah sampai sekarang manusia terus memburu kita,” ujar Kristopher lalu bangkit meninggalkan piring yang sudah kosong. “Ada yang harus kulakukan di luar. Kalau kau sudah selesai, beritahu aku ya.”

Meski sudah kehilangan seluruh selera makan, Kathryn memaksa diri untuk melahap semua makanan di atas piring. “Apa juga gunanya makan kalau hidupku bergantung pada darah,” gerutunya sambil merapikan piring kotor di atas meja. Ia menghela napas lalu berjalan menuju pintu keluar.

Di pekarangan rumah yang sangat luas, terlihat Kristopher yang sibuk mengurusi tanaman-tanaman kecil. Ia segera menoleh saat merasakan keberadaan Kathryn yang sedang mengawasi. “Aku tak menyangka seorang Kristopher akan tertarik dengan bunga,” ujar gadis itu dengan sebuah seringai.

“Ini bunga spider lily, dikenal sebagai bunga kematian. Terlepas dari penafsiran orang, ataupun kau yang menganggap itu mengerikan, aku sangat menyukai bunga ini,” jelas lelaki itu seraya menyeka tanah yang menempel di wajah. “Ngomong-ngomong, kau pasti merapikan mejanya walaupun tidak kusuruh, kan?”

Kathryn tampak terkejut lalu mendengus kesal, melipat kedua tangan di depan dada. “Tidak adil. Padahal aku sekarang vampir juga. Tetapi mengapa aku tidak bisa mendengar isi kepalamu?”

“Aku tidak membaca pikiran, hanya kau itu terlalu mudah ditebak,” elak Kristopher. Ia mendekat dengan membawa setangkai bunga spider lily, memberikannya pada gadis itu. “Warna merahnya begitu indah, seperti binar matamu yang selalu menimbulkan gejolak dalam dadaku.”

“A-ah … kata dokter, mataku ini … kekurangan pigmen melamin, karena itu warnanya menjadi merah. Dan pantas saja … tidak ada yang menyadari ‘perubahanku’,” jelas Kathryn tanpa diminta untuk meredakan gugup.

“Sungguh? Kupikir itu karena kita sudah ditakdirkan saling terikat pada pertemuan tak terencana, hanya untuk bersama sampai akhir dunia. Menerangi gelapnya malam dengan seberkas cahaya lembut dari kasih yang tersimpan dalam jiwa.” Kristopher terus mendekat hingga gadis itu terpojok di tembok rumah.

“Kenapa … kau tiba-tiba puitis begitu, Kris?” cibirnya seraya mendorong tubuh Kristopher sekuat mungkin.

“Aku tidak ingin ada yang memisahkan kita, termasuk para pemburu gila itu. Aku ingin mendekapmu sampai akhir hayat. Dan karena kita immortal, itu berarti selama-lamanya,” ungkap pemuda itu lagi dengan senyum terbaik yang dia miliki. Hal paling sederhana yang bisa meluluhkan hati Kathryn. Tentu saja itu tidak akan terjadi jika ia tidak memiliki wajah berkharisma.

Kathryn tidak bisa menahan diri. Sudah terlambat untuk menyembunyikan wajahnya yang mengalahkan merahkan bunga dalam genggamannya. “Sudahlah, kau sudah berjanji tidak akan menyentuhku, kan?” lirihnya. Adalah kebohongan besar kalau gadis itu berkata bahwa ia membenci momen seperti ini.

“Apa mengucapkan beberapa kata termasuk dalam ‘menyentuhmu’?” tanyanya kemudian mundur selangkah. Wajahnya tampak senang karena berhasil membuat pipi perempuan itu memerah.

“Yah, sebenarnya aku ada pekerjaan penting di dalam. Jadi, bisa tolong bawakan keranjang berisi tanaman itu untuk Mrs. Winston yang tinggal di rumah sebelah?” Kristopher menunjuk ke benda yang dimaksud. “Tenang saja, mereka vampir juga,” bisiknya kemudian pergi tanpa sepatah kata lagi.

Kathryn menghela napas panjang kemudian melakukan sesuai perintah. Ia mengetuk pintu rumah yang dimaksud Kristopher. Beberapa saat kemudian muncul seorang perempuan berambut perak setelah dipanggil kedua putranya yang masih kecil. “A-ano …, Mrs. Winston? Kristopher memintaku mengantar ini.”

Perempuan itu menerimanya kemudian memandang Kathryn lamat-lamat,  tersenyum beberapa saat kemudian. “Apa kau ini temannya?” Yang ditanya segera mengangguk. “Kau yakin tidak mau menikah dengan Kris?” Pertanyaan kedua sukses membuat pipi gadis itu kembali memerah.

“D-dia itu … hanya temanku, Nyonya. Kami bahkan belum 24 jam saling mengenal,” dalihnya sambil melambaikan kedua tangan.

“Kota ini tidak aman bagi kita. Terlebih kalau tidak punya kemampuan membela diri, kau bisa saja tertangkap pemburu. Lain ceritanya kalau kau mengikat janji suci dengan vampir lain. Yah, seperti Franz yang sampai sekarang setia menemani membesarkan ketiga anakku.

“Anak itu pasti akan menjagamu dengan segenap jiwa dan raganya. Lagi pula, kalian berdua kelihatan cocok. Darahmu sudah menyatu dengan Kristopher. Tak ada yang bisa menyangkal hal itu.” Mrs. Winston begitu senang saat wajah Kathryn merah padam. “Pipi merah itu menunjukkan seberapa besar perasaanmu padanya.”

Kathryn menggeleng kuat-kuat. “Tolong berhenti membahas itu, Nyonya. Ngomong-ngomong, apa yang akan kau lakukan dengan tanaman itu?” Ia berusaha untuk mengalihkan topik pembicaraan yang lama-lama bisa membuatnya gila.

Perempuan yang sebenarnya sudah berusia lebih dari seratus tahun itu tersenyum. “Aku membutuhkan ini untuk membuat obat-obatan. Yah, aku sebenarnya hanya mengembangkan resep turun-temurun,” terangnya. “Tunggu sebentar di situ,” katanya kemudian berjalan masuk.

Cukup lama Kathryn berdiri di depan pintu hingga wanita berambut perak itu kembali dengan sebuah botol kecil. “Apa ini, Nyonya?”

“Vampir lebih unggul dibanding bangsa manusia, untuk kepentingan berburu dan bertahan hidup. Mereka penglihatan dan penciuman yang jauh lebih baik, berlari secepat angin, berubah menjadi sosok lain, telepati, dan masih banyak lagi. Sayang sekali, vampir membutuhkan waktu lama untuk memaksimalkan kemampuannya.

“Ramuan ini akan membantu pengaktifan kemampuanmu. Kau akan sangat membutuhkan ini, kecuali ….” Mrs. Winston memberikan botol tersebut pada Kathryn, kemudian melanjutkan ucapan. “… kalau Kristopher berniat segera menjadi pasanganmu.”

Kathryn menutup wajahnya dengan kedua tangan, buru-buru berpamitan usai menerima botol tersebut. Sekembalinya ke rumah Kristopher, ia sangat bersykur karena  tidak bertemu dengan sosok orang yang seharian ini membuat jantungnya mengalami perubahan ritme.

Dia duduk di depan pintu tempat tinggal barunya sambil menimang-nimang botol pemberian wanita berambut keperakan itu, lalu tanpa pikir panjang segera meminumnya. Ia teringat pada anak-anak keluarga Winston yang masih tampak lugu. Dalam beberapa jam menjadi bagian dari makhluk tersebut, gadis itu paham jika tidak semua vampir pantas dianggap terkutuk. Andai saja Louis tahu tentang ini.

Louis, anak yang malang. Sejak kecil ia harus tersiksa oleh ambisi dan dendamnya sendiri. Jika dipikir-pikir, dia seolah memiliki dua sisi kepribadian yang berbeda. Sewaktu-waktu ia menjadi seperti anak kecil, di waktu lain sikapnya bagaikan seorang pria dewasa.

Kathryn teringat pada saat Louis harus memerankan tokoh seorang kesatria pada pentas drama sekolah. Dia dipaksa melepas kacamata untuk memaksimalkan penampilan, tetapi justru membuat ia menambrak properti di pada satu adegan. Siapa sangka, laki-laki itu melakukan improvisasi pada dialog penuh penghayatan. Sehingga membuat para penonton ramai memberikan tepuk tangan.

Gadis itu segera menggeleng. Siapa yang akan percaya begitu saja dengan perjanjian kedua bangsa pada masa lalu yang lebih mirip dongeng. Benar kata Kritopher, keberadaan manusia bisa menjadi sebuah ancaman. Louis yang telah terbutakan oleh dendam akan membunuh semua vampir tanpa ampun, maka itu termasuk juga Kathryn.

“Hanya karena beberapa pengkhianat, manusia dan vampir harus terlibat konflik panjang,” geram Kathryn sambil memegang erat botol ramuan bening tersebut. Ia hendak masuk. Tiba-tiba, sebuah suara letusan senjata dari arah rumah keluarga Winston membuatnya terkesiap.

Dia segera berlari menuju sumber suara. Kakinya lantas membeku melihat seorang anak perempuan berambut perak terkapar di antara semak dengan sebuah benda mirip anak panah menancap di dada. Tubuh anak itu terlentang dengan mulut terbuka serta darah yang menggenangi tanah.

Gadis itu mencoba untuk mengabaikan apa yang baru saja dilihatnya, hingga kembali bertemu dengan mayat seorang lelaki dengan tubuh yang terbelah menjadi dua. Sementara kepalanya menghilang entah ke mana. Kathryn yang sudah telanjur lemas terduduk begitu saja dengan mata terbelalak.

“Tolong, jangan bunuh anak-anakku!” terdengar suara jeritan Mrs. Winston dari dalam rumah. Kathryn tersentak. Namun, ia hanya bergeming dengan napas terengah, sadar jika ia tak memiliki apa-apa untuk menolong wanita itu.

Sementara itu, Mrs. Winston memeluk erat putra kembarnya yang menangis ketakutan,  menjaga dari para pemburu yang mengelilingi mereka bertiga. Jika jumlah mereka sebanyak itu, melawan jelas merupakan hal paling bodoh.

Beberapa pemburu tidak peduli dan terus menembaki Mrs. Winston yang mencoba menjadi perisai bagi anak-anaknya. Tubuhnya bertahan cukup lama, hingga sebuah tembakan menembus ubun-ubun.

Mrs. Winston merintih menahan sakit, mencoba tersenyum pada kedua anaknya. “Bertahanlah …, dan jadilah pahlawan. Ibu sayang kalian,” ia berucap dengan air mata yang tak tertahankan. Dia mencoba untuk memeluk mereka untuk terakhir kali. Namun, sebuah tembakan kembali terlepas dan menembus jantung.

Si kembar Winston saling berpegangan. Pupus sudah harapan terakhirnya melihat sang ibu tewas. Yang dapat kedua anak itu lakukan hanyalah menangis di detik-detik terakhir, sebelum para pemburu membunuh mereka dengan sebuah tembakan fatal.

Kathryn yang menyaksikan momen tersebut spontan memekik. Hal itu menyebabkan perhatian pemburu tertuju berpindah. Ia segera mengambil langkah seribu, berniat sembunyi di dalam rumah. Salah satu anak tangga hampir membuatnya terpeleset. Melihat apa yang terjadi pada keluarga Winston membuat dia tidak tahu harus berbuat apa selain lari.

Derap langkah para pemburu yang menerobos masuk membuat Kathryn semakin panik. Terlebih saat terdengar teriakan salah seorang yang berdiri paling belakang. Perhatian mereka seketika berpindah pada orang tersebut yang kini jatuh dengan tubuh yang terbelah menjadi dua, hingga organ dalamnya tercecer di lantai.

Setelah tampak pucat pasi memandang mayat rekannya, dengan penasaran mereka mengangkat wajah. Terlihat sosok lelaki berwajah dingin dengan sebilah pedang berlumuran darah. Kathryn yang sudah sampai di lantai paling atas kembali demi memuaskan rasa ingin tahu. “Kris?”

Belasan pemburu serempak mengeluarkan senjata, beberapa di antaranya bahkan memiliki pedang laser yang sebelumnya digunakan untuk membantai keluarga Winston. Kristopher berdecih, dengan kecepatan angin ia menghindari serangan membabi buta pemburu yang hanya menang jumlah, lalu memotong anggota tubuh mereka yang lengah.

Dengan insting berburunya, Kristopher dapat merasakan keberadaan orang yang mencoba menyerang dari belakang, memukulnya hingga terpental ke sudut ruangan. Lelaki itu tidak kehilangan konsentrasi. Ia menebas kepala mereka yang menyerang dari arah lain.

Hanya dalam hitungan detik, ruang tamu sudah dipenuhi mayat serta potongan tubuh. Sayangnya, sebuah tembakan tanpa sengaja mengenai pipinya beberapa detik kemudian. Kristopher mengeraskan rahang, menghindari tembakan selanjutnya.

Tanpa diketahui si penembak, ia sudah berada di belakang menikamkan pedangnya hingga menembus dada lawan. Tanpa keraguan sedikit pun, ia mnggerakkan pedang ke atas hingga tubuh orang itu terbelah hingga kepala.

Kristopher menghela napas panjang. Tanpa berpikir dua kali menjilat darah di tangannya hingga bersih. “Bisa-bisanya aku menyia-nyiakan banyak makanan hari ini,” gumamnya sebal melihat lantai rumahnya yang digenangi darah.

Ia menoleh ke sudut ruangan. Satu orang pemburu yang ia pukul tampaknya masih hidup. Lelaki itu berjalan mendekat, lalu berjongkok di depannya sambil tersenyum memamerkan taringnya. “Terima kasih sudah datang ke area terlarang, dan menjadi mangsaku,” ujarnya.

Teriakan si pemburu menggema ke seluruh ruangan. Kathryn yang sedari tadi menyaksikan pertarungan lewat tangga terbelalak melihat Kristopher yang membersihkan darah yang berlepotan di mulut. “Kathryn? Maaf, kau harus melihat pertarunganku.”

Kathryn menggeleng. Usai melihat seburuk apa ulah manusia kepada vampir, ia tidak bisa bersimpati kepada pemburu yang menemui nasib akhir yang mengerikan di tangan Kristopher. “Lukamu … bagaimana?” tanyanya sambil menunjuk ke arah pipi.

“Ah, tidak usah khawatir. Apa aku belum bilang kalau tubuh kita bisa melakukan regenerasi dengan cepat?” Laki-laki itu menyeka bercak darah di wajah, hingga terlihat pipinya yang sudah kembali seperti semula. Kathryn termenung, baru mengerti alasan mengapa tidak ada bekas luka gigitan di lehernya waktu itu.

Dia memasukkan kembali pedang tersebut ke sarungnya, meletakkannya di punggung. “Kita harus segera pergi, Kathryn.” Kristopher menarik lengan gadis itu keluar rumah. Hujan turun dengan deras hingga noda darah di pakaiannya luntur.

“Alat yang dipasang di tubuh pemburu akan memberi sinyal kepada rekan mereka ketika sudah tidak ada lagi denyut jantung. Dengan kata lain, pemburu lain akan segera datang kemari.”

Ia melirik lawan bicaranya dengan wajah serius. “Tidak usah khawatir. Aku tidak akan pernah membiarkanmu mati.” Kathryn menundukkan kepala seraya berusaha keras menyamai langkah lelaki itu. Baginya, semua ini terlalu cepat.

[][][]


“Miranda, di mana Kathryn?!” Tanpa babibu, pemuda berkacamata itu mendobrak pintu ruangan di sebelah kamarnya kemudian berteriak keras mengalahkan suara hujan. Sampai-sampai, Mrs. Ellie yang sedang merapikan barang di loteng nyaris terkena serangan jantung.

Miranda yang masih meringkuk sambil memeluk lutut di sudut kamar mengangkat wajah. Sehingga balik membuat Louis terperanjat. “O-oi, apa yang terjadi padamu?” Dia berlari mendekati teman sekamar saudari angkatnya yang tampak kacau. Rambut acak-acakan, pakaian kusut, mata sembab dan memerah, serta kelopak mata yang menghitam, apa lagi yang membuatnya bisa terlihat lebih kacau daripada itu.

Gadis berambut pendek itu menatap Louis dengan wajah yang tampak tak berdaya. “Kate …, di-dia ….” Dengan terbata-bata, dan beberapa kali diselingi terikan napas berat, ia berusaha menyampaikan setiap rentetan kejadian dengan urut, tanpa melupakan satu detail pun.

Louis menaikkan kacamata. “Begitu rupanya. Ini gawat. Aku harus segera mencarinya,” ujarnya mantap. Langkahnya yang tampak buru-buru meninggalkan kamar itu segera terhenti saat mendengar namanya dipanggil.

“Louis, apa selama ini … Kate adalah vampir?” Miranda membenamkan wajah di antara kedua lutut yang terlipat.

Peremua itu menggeleng pelan. “Tidak, aku sudah pernah memastikan itu. Dia benar-benar manusia normal. Mrs. Ellie ada benarnya. Itu pasti bukan Kate. Hanya saja, masalahnya ….” Raut wajahnya tampak berubah seketika. “… seorang vampir hanya bisa berubah wujud menjadi seperti manusia yang pernah dia mangsa.”

Miranda terbelalak. “Kate ….” Gadis itu menutup mulut dengan kedua tangan. “T-tetapi … dari mana kau tahu soal itu?” ia bertanya lirih, hingga hampir tidak bisa didengar.

“Jangan dipikirkan. Kita tak punya waktu. Bagaimanapun, dia adalah adik angkatku. Maaf, aku seharusnya tidak membahas ini denganmu.” Dia segera berlari menuju kamarnya yang berada tepat di sebelah ruangan itu. Mengambil senjata serta alat komunikasi yang biasa digunakan saat berburu.

Sebelum menuju pintu depan, ia menyempatkan diri mengintip melalui pintu kamar Miranda yang terbuka. “Jika kau sempat bertanya, setiap malam aku pergi berburu. Dan kalau aku tidak pulang malam ini, sampaikan itu pada Mrs. Ellie ya.”

[][][]


“Apa yang kau lakukan Stigeward? Kau berada di area terlarang. Aku baru saja memerintahkan semua pemburu untuk mundur, dan kamu malah nekat pergi?!” Louis mengabaikan suara pimpinan yang sibuk mengoceh melalui sambungan telepon jarak jauh, dan terus berlari ke ujung kota.

“Sudah kubilang kan, Ketua. Aku hanya pergi menyelamatkan saudariku. Abaikan saja jadwal dan giliran berburu itu. Mau menyuruhku berlari mengitari hutan sebagai hukuman juga tidak apa-apa.” Mengusap air di lensa kacamata setelah melihat gelapnya langit yang ditemani hujan gerimis.

“Bukan itu masalahnya, Stigeward! Sembilan belas anggota UNIT 35 yang melakukan patroli di sekitar tempat kamu mati di tangan makhluk itu. Kami tidak ingin kehilangan pemburu terbaik sepertimu.”

Louis tersenyum miring. “Benar, aku adalah pemburu terbaik. Mereka takkan bisa mengalahkanku begitu saja. Doakan aku beruntung, Ketua.” Dengan santai ia menonaktifkan sambungan alat komunikasi.

Ini area terlarang. Kathryn pasti ada di sekitar sini, batinnya sambil menatap sekeliling. Matahari telah meninggalkan cakrawala. Maka menemukan orang dengan ciri fisik seperti perempuan itu bukan hal sulit.

Dia menyebrang jalan raya yang hanya dilewati beberapa kendaraan. Matanya awas menjelajahi setiap penjuru. Hanya ada keheningan, serta seseorang bertudung hitam yang berdiri membelakanginya. Louis terpaku cukup lama. “Kate?” bisiknya pada diri sendiri.

Orang itu menoleh hingga wajahnya berhasil terekam jelas dalam ingatan laki-laki itu. Louis tersentak, segera berlari menyusul perempuan itu. “Kate, tunggu aku!” Anehnya, ia menambah kecepatan lari saat mendengar seruan itu.

Entah datang dari mana, Louis tiba-tiba mampu menyamai kecepatannya. Ia benar-benar tak habis pikir dan terus mengejar ketika gadis itu malah berlari ke sebuah gudang kosong yang tak digunakan lagi. “Kate, ini Louis. Kenapa malah menghin-”

“Pergilah, Louis. Biarkan aku sendiri di sini,” sambar perempuan itu, kehilangan keberanian untuk menatap wajah saudara angkatnya.

Louis mengernyit. “Bagaimana aku bisa meninggalkanmu begitu saja? Mrs. Ellie bisa-bisa mengusirku kalau tahu akan hal ini,” sahutnya sambil berjalan mendekati Kathryn yang terus menutupi wajah dengan tudung.

“Jauhkan tangan kotormu dari Kathryn.” Tanpa diduga, seorang laki-laki muncul dan menepis tangan pemuda berkacamata itu dengan tatapan tajam. Dia tidak melepaskan pandangan dari Louis, terlebih saat menarik pergelangan tangan Kathryn ke dalam pelukannya.

Lelaki itu mengusap puncak kepala Kathryn yang sama sekali tidak berontak dalam dekapannya. “Pemburu ini tidak melukaimu, kan?” Yang ditanya segera menggeleng. “Manusia yang menyedihkan. Pergilah kalau tidak ingin bernasib seperti keluargamu!” sentaknya.

 “Kau ….” Rahang Louis seketika mengeras. “… aku masih ingat siapa dirimu.”

Kristopher melepaskan pelukan, lalu membuka pedang yang sudah dibersihkan sebelumnya. “Sudah tiga belas tahun, anak laki-laki malang yang kusisakan ternyata telah tumbuh menjadi seorang penuntut balas.”

“Sayangnya, keberuntunganmu sudah berakhir. Saatnya mengirimmu ke tempat mereka semua berada,” katanya seraya mengusap pedang berkilau itu. Tak membuang waktu, Louis menembakkan sebuah peluru hingga senjata lawannya terlepas. Kristopher meringis menahan sakit yang membakar telapak tangannya akibat pergerakan peluru berlapis perak.

Vampir itu segera mengarahkan telapak tangan yang satunya, hingga tubuh Louis terpental hingga membentur dinding dengan keras karena kekuatan telekinesisnya. “Berani juga kau menyerang lebih dulu,” ujarnya dingin seraya berjalan mendekati pemuda berkacamata yang jatuh tertelungkup. “Dan aku lebih beruntung karena Kathryn ada di pihakku.”

“Apa yang kau lakukan pada Kathryn?” Louis memicing, mencoba bangkit. Senjatanya tanpa sengaja terlepas saat tubuhnya terlempar jauh. Ia sama sekali tidak punya pilihan selain bertarung dengan tangan kosong, dengan seorang vampir – di mana menang merupakan hal mustahil.

“Bukan apa-apa. Aku hanya membuat ia percaya. Tetapi, aku tak menyangka satu-satunya orang yang tidak percaya pada eksistensi kami akan secantik dia. Jadi, mencoba membuat keindahannya tak pernah hilang ditelan waktu, seperti bunga spider lily.” Kristopher menarik kerah baju laki-laki itu, mengangkatnya dengan satu tangan.

Louis ternganga. Ia mengerti maksud ucapan vampir tersebut. Spontan matanya berpindah menatap Kathryn yang hanya bisa terdiam menyaksikan pertarungan tak seimbang mereka. “Kurang ajar. Setelah membunuh keluargaku, kau masih bisa mengatakan itu!” Ingin sekali dia menebas leher vampir itu, kemudian mencincangnya saat itu juga.

“Kenapa aku harus ragu? Kalian adalah mangsa utama kami.” Kristopher membantingnya hingga yang pertama membentur dinding adalah bagian belakang kepala. Bukan hanya sekali, dia merasakan benturan keras itu berkali-kali sampai cairan merah kental mengalir lewat pelipis. “Ada kata-kata terakhir, Shuldberg?”

Terakhir kali, Louis terjatuh di sudut ruangan yang lain setelah dilempar kemampuan telekinesis itu. Lewat kacamatanya yang pecah, ia menatap Kathryn dengan wajah penuh sesal. “Kathryn, maaf. Seharusnya …, waktu itu … aku datang dan melindungimu.” Hanya wajah datar yang ditampakkan Kathryn pada saudaranya yang terluka parah.

“Sungguh akhir yang dramatis. Kuharap setelah ini kau sudah siap menyusul mereka,” ujar Kristopher lalu bergerak cepat ke arah pemuda itu.

“Aku takkan mati darimu.” Energinya mungkin terkuras habis. Akan tetapi tekad serta amarahnya cukup untuk membuat ia memaksa diri untuk bangkit. “Pengkhianat sepertimu … tidak pantas hidup,” geram Louis dengan tatapan tajam.

“Pengkhianat? Aku tak tahu dari mana kau mengetahui itu. Tetapi itu persis dengan kata-kata terakhir seorang kesatria yang kupenggal kepalanya.” Kristopher kembali sambil menarik kerah baju Louis. “Atau … kau benar-benar Alex? Tak kusangkau kau memilih bereinkarnasi manusia yang menyedihkan lalu memburu bangsamu sendiri di kehidupan sebelumnya.”

 “Aku hanya akan membunuh pengkhianat. Terutama kau … yang membunuhku di kehidupan sebelumnya, membantai keluargaku, dan mengubah saudariku menadi vampir.” Louis mengepalkan kedua tangan. “Bagaimana bisa … ‘Lonely Soul’ ada di tanganmu?!”

Belum sempat Kristopher menjawab, sebuah peluru kembali melesat dan mengenai bahu vampir itu. Louis tersentak saat menyadari itu berasal dari Kathryn yang berada beberapa meter di belakangnya sedang memegang senjata.

Kristopher masih berusaha menahan sakit. “Kau bermaksud membunuh pemburu ini, kan? Arahkan dengan benar, Kathryn. Kuharap kau ingat ucapanku, tak ada istilah damai antara mangsa dan pemburu. Kau lihat sendiri apa yang terjadi pada keluarga Winston, kan? Ayo, tunjukkan kesetiaanmu,” ucap vampir itu.

Setelah itu, Louis tidak mendengar apa pun lagi. Kecuali senjatanya yang terjatuh, serta Kathryn yang perlahan menangis dan jatuh terduduk. “Aku … tidak bisa ….”

“Baiklah, biarkan aku yang melakukannya. Kebetulan, aku juga sedang haus.” Kristopher yang posisinya tepat menghadap gadis itu mengangkat tubuh Louis. “Alex, aku benar-benar salut dengan pengabdianmu. Tetapi menyerahlah. Tanpa semua senjata itu, manusia tetaplah mangsa bagi kami. Kau seharusnya ingat itu.”

“Puaskan rasa hausku, dan jangan pernah bereinkarnasi lagi,” ucap Kristopher sambil memperlihatkan taringnya yang tampak berkilau. Louis mencoba berontak. Ia benar-benar muak. Rasanya lebih baik dia mati tertembak Kathryn daripada menjadi mangsa vampir pengkhianat seperti itu.

Tiba-tiba, sebuah suara tembakan kembali terdengar. Bukan mengenai Louis, melainkan peluru tersebut langsung menembus dada kiri Kristopher. “Persetan dengan kesetiaan. Jantungmu adalah bayaran setimpal atas luka saudaraku!” teriaknya dengan emosi sangat kuat bercampur menjadi satu.

Louis tertegun, itu adalah kalimat hasil improvisasinya yang mengundang apresiasi penonton saat pentas drama sekolah bertahun-tahun silam. Pemuda berkacamata itu jatuh tersungkur bersamaan dengan terlepasnya cengkeraman Kristopher. “Kathryn …,” lirihnya. Dia tak menyangka kalimat tersebut sampai sekarang masih terukir di hati saudarinya.

Kristopher tidak tumbang begitu saja. Peluru tersebut tidak tepat mengenai jantung. Ia mulai tampak liar dan mencoba meraih Kathryn yang hanya bergeming tanpa rasa takut. Tanpa pikir panjang, Louis mengangkat pedang dengan sisa-sisa tenaga, menikam punggung vampir itu hingga menembus dadanya.

“Matilah, dan jangan pernah bereinkarnasi,” bisiknya lalu menarik pedang tersebut. Tubuh Kristopher terkapar dengan tubuh yang mulai tampak menghitam. Louis bernapas terengah. “Sudah selesai …,” gumamnya.

Kathryn jatuh terduduk, untuk yang ke sekian kali. Matanya tampak basah. “Syukurlah.” Senyumnya perlahan terkembang saat ia bertukar pandang dengan Louis. “Sekarang, bunuhlah aku Louis. Bagaimanapun … aku sekarang adalah bagian dari makhluk yang membunuh keluargamu,” ucapnya ragu-ragu.

Louis tidak mendengarkan kalimat tersebut. Ia menancapkan pedang di lantai gudang yang hanya berupa papan kayu. Kemudian duduk berlutut, menundukkan kepala dengan tangan tetap mencengkeram bagian pegangan.

“Alex, Chevalier au Clair De Lune, telah menuntaskan misi ini. ‘Lonely Soul’ sebagai saksi atas gerbang perdamaian yang kembali terbuka, yang akan mengakhiri perang tak berkesudahan antara vampir dengan manusia.” Usai mengatakan kalimat terakhir, tubuh Louis yang kehabisan tenaga terhuyung.

Kathryn terkejut berlari mendekat. Ia sungguh khawatir, tetapi di saat yang sama dia ragu untuk menyentuh. Tiba-tiba, sebuah asap hitam muncul dan menyelimuti tubuh Louis. Gadis itu terperangah, terdiam hingga asap tersebut benar-benar lenyap.

Jari-jari pemuda itu bergerak seolah hendak menggapai sesuatu, sekaligus membuat Kathryn tersentak. Kedua matanya perlahan terbuka dan menatap sang adik angkat lamat-lamat kemudian mengulas senyum. “Kathryn …,” lirihnya seraya bangkit dengan tenaga yang telah pulih.

Spontan Kathryn menutup mulut. Sempat mengira matanya salah karena ia tidak salah melihat wajah Louis yang tampak pucat, dengan sepasang gigi taring yang menonjol. “Louis, kau ….”

Louis duduk bersimpuh tepat di sebelah pedangnya, tersenyum lembut pada Kathryn. “Ya, aku bisa kembali menjadi vampir. Dengan syarat, semua pengkhianat yang telah melanggar perjanjian kedua bangsa telah terbunuh. Dan juga … aku sungguh minta maaf karena membiarkanmu menjadi seperti ini.”

Kathryn menggeleng kemudian menjatuhkan diri dalam dekapan saudaranya. Air mata yang telah lama dibendung perlahan meleleh. “Tidak, aku justru senang. Jika aku masih menadi manusia, kita akan berpisah. Tetapi kalau begini … kita akan terus bersama, sampai kapan pun.”

Ia tertegun sebab baru menyadari hal tersebut. Pemuda itu memasang kembali kacamata yang telah remuk, meski dalam wujud seperti itu ia tidak membutuhkannya. Louis menepuk bahu saudari angkatnya, lalu membalas pelukan. “Aku tidak akan pernah meninggalkanmu,” bisiknya.

Kathryn mengangguk, mempererat pelukan. Tak peduli berapa waktu terbuang, dia masih belum mau melepaskannya. Ia dapat merasakan ikatan kuat di antara mereka berdua, mengalahkan saudara kandung sekalipun. Seberapa banyak peristiwa pahit yang menimpa, dia akan kuat selama masih bersama Louis.

Setelah cukup merasa lelah, Kathryn melepas pelukan dan memandang pemuda itu dengan rasa yang tak bisa dijelaskan membuncah dalam dada.

Pemuda itu tersenyum lebar, mengulurkan tangan yang kemudian disambut oleh Kathryn. “Ayo pergi, sebelum matahari terbit.”

[][][]

Keterangan:

“Lonely Soul” adalah nama pedang milik Alex a.k.a. Louis. Pedang yang direbut oleh Kristopher, dan kemudian dipakai membantai para pemburu.

Tamat

[] Gempita Shastra []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro