Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[] Before The Sun Rises • 1

Before The Sun Rises
Oleh IchiHikaru

WARNING:

This part contain violent elements. Please be wise.

1. Kathryn Stigerward

2. Louis Shuldberg/Louis Stigeward

3. Kristopher Carson

Kalian tetap bebas berimajinasi. Karena sebenarnya, sang author yang lebih tertarik pada karakter anime 2D saja tidak memakai cast di atas sebagai patokan :"D

Happy reading.

[] Thriller - Fantasy []

"Seperti yang kita tahu, Amaryllis City berlokasi di dekat hutan. Memang beruntung sekali kita tidak akan terkena penyakit pernapasan karena polusi. Wisatawan yang tidak pernah sepi pada masa liburan menjadi sumber pendapatan tambahan bagi penduduk kota ini. Tetapi, ada satu hal yang menyebabkan tak ada satu pun orang yang berani keluar rumah pada malam hari.

"Ya, rumor tentang vampir yang katanya membaur di antara kita. Ini semua bermula delapan belas tahun yang lalu, ketika seorang pria pencari kayu menemukan beberapa orang tewas secara misterius dengan bekas gigitan di leher. Kemudian disusul oleh banyak korban lain setiap malamnya. Tentu saja itu bukan gigitan binatang buas mana pun.

"Pemerintah memang tidak percaya pada rumor tersebut. Tetapi sejak saat itu, banyak orang mulai membentuk tim pemburu vampir. Entah apa saja yang mereka lakukan. Yang jelas sampai sekarang semua rumor mengenai makhluk penghisap darah itu masih saja beredar."

Seorang gadis yang kebetulan berada di posisi paling strategis dari kumpulan itu bercerita panjang lebar. Kedua tangannya memeluk buku tebal yang sampulnya terlihat sudah lapuk. Teman-temannya memerhatikan dengan saksama meski sudah pernah mendengar cerita itu ratusan kali.

Berbeda dengan satu orang yang memilih untuk mengasingkan diri di pojok perpustakaan dengan perasaan jengkel karena suara yang mereka ciptakan membuatnya terganggu. Gadis dengan rambut cokelat sedikit bergelombang. Tak ada satu pun kata yang masuk ke dalam otaknya meski kedua mata semerah darah segar itu terfokus pada halaman buku.

Tak lama kemudian, dia menutup buku dengan keras lantaran kesabarannya sudah habis. Para gadis yang sibuk bercerita pun terkesiap dan refleks menoleh dengan kening terlipat. Tanpa rasa takut sedikit pun, ia menatap balik mereka semua tajam lalu mengembalikan buku yang dibaca - lebih tepatnya dilihatnya sekilas - ke rak.

Tidak terima acara rumpi mereka terhenti hanya karena anak prempuan paling galak di kelas mereka, salah satu di antara mereka menyergah. "Apa-apaan kau, Kathryn?! Kalau tidak suka, pindah saja ke tempat lain." Yang dikatai tampak cuek mengambil buku lain kemudian kembali ke tempat semula.

"Ke mana aku akan pindah kalau suara kalian terdengar dari seluruh penjuru akademi? Jangan mentang-mentang penjaga perpustakaan sedang pergi, kalian membuat tempat ini seperti pasar," balas Kathryn dengan nada jutek tanpa menoleh kepada mereka yang kini mulai tampak kesal.

"Lagi pula, kenapa juga kalian rela membuang waktu hanya untuk membicarakan vampir, makhluk fantasi buatan para orang tua yang kesulitan melarang anaknya keluar malam?" lanjutnya sambil tertawa hambar. Beberapa mata memandang tajam ke arahnya dengan ekspresi wajah tak suka.

"Hei, jangan berkata begitu. Kau baru akan tahu kalau kau sudah bertemu dengan makhluk penghisap darah itu," balas perempuan yang sebelumnya bercerita. Sampai sekarang ia masih saja mengempit buku tebal itu. dia mencoba untuk menahan diri walaupun hatinya tidak terima kalau ada yang tidak percaya pada rumor tersebut.

Kathryn hanya tertawa sambil menaikkan lengan kemeja bermotif kotak-kotak yang dikenakannya. "Ah, kau tidak tahu ya, Rebecca. Aku bertemu mereka setiap malam. Lihatlah lenganku yang bentol-bentol. Kalian pikir ini ulah siapa kalau bukan para nyamuk penghisap darah itu?"

Rebecca berjalan mendekat, tentu setelah meletakkan buku yang mulai membuat lengannya pegal. "Apa kau sudah lupa, Kathryn? Seluruh keluarga Shuldberg, tetanggamu tewas secara tak wajar, dan sampai sekarang kepolisian masih belum menemukan pelakunya. Apa itu belum cukup membuatmu percaya pada eksistensi mereka?"

"Hei, ayolah. Ini sudah tahun 2028. Pasti ada penjelasan di balik semuanya. Bisa saja si pelaku menggunakan modus kejahatan seperti itu agar polisi tidak bisa melacak jejak mereka, dan menganggap itu ulah para vampir khayalan warga kota. Makanya, sesekali kau juga perlu membaca cerita detektif sepertiku." Kathryn tidak mau kalah. Ia menutup buku itu kemudian menunjukkan sampulnya pada gadis berambut pirang itu.

"Percayalah padaku. Jika saja usia Louis saat itu sudah lebih dewasa, ia pasti akan menyadari jika keluarganya hanyalah korban dari kasus pembunuhan biasa. Sayangnya, sampai sekarang dia masih saja bertingkah seperti anak kecil," lanjut Kathryn sambil tersenyum tipis memandang wajah Rebecca yang berada tepat di atasnya.

Perdebatan tersebut mulai memanas, hingga datang seorang gadis berambut pendek menepuk bahu Rebecca seraya tersenyum. "Mr. Carlos memintamu datang ke ruangannya," ucapnya singkat.

Tanpa pikir panjang, ia pun segera mengembalikan buku tebal tersebut ke rak buku, kemudian balik kanan meninggalkan perpustakaan. Gadis lain yang melihat si ketua pergi satu-persatu mulai membubarkan diri. Beberapa di antaranya melemparkan tatapan aneh pada gadis yang menghampiri Rebecca kemudian pergi.

"Untunglah kau datang, Miranda. Kalau tidak, tempat ini pasti sudah menjadi medan perang," ucap Kathryn sambil berbisik di balik buku, kemudian tertawa pelan. Perempuan bernama Miranda itu hanya mengangguk sambil menyeret sebuah kursi kemudian duduk di sebelah sahabatnya.

"Berterima kasihlah pada Mr. Carlos," balas Miranda pendek sambil menyeringai lebar. Setelahnya, tak satu pun di antara mereka yang memilih untuk membuka percakapan. Mata mereka terfokus pada buku masing-masing. Setidaknya, mereka ingin memanfaatkan suasana perpustakaan yang masih tenang, sebelum para gadis itu kembali.

Tanpa terasa tiga jam telah berlalu. Matahari tumbang ke arah barat. Miranda bangkit seraya meregangkan otot bahunya yang terasa pegal. Ia meletakkan buku kemudian berbalik memandang langit dari jendela besar di salah satu sudut perpustakaan. "Aku akan pulang lebih dulu, Kate. Persediaan bahan makanan kita sudah menipis. Kau ingin pesan sesuatu?"

Kathryn terlalu fokus dengan bacaan sampai bahunya harus ditepuk berkali-kali agar tersadar. "Tidak ada. Kau jangan terlalu berharap aku pulang cepat, ya. Aku ingin melakukan konsultasi terkait tugas esaiku." Miranda hanya mengangguk tanpa berkomentar, kemudian pamit pergi meninggalkan area akademi. Dia bisa memaklumi kesibukan sahabatnya sebagai salah satu anggota klub penelitian ilmiah.

Tentu saja sebagai teman sekamar, Miranda sudah hafal dengan watak dan sikap Kathryn. Bisa dikatakan, gadis itu adalah satu-satunya orang di Amaryllis City yang tidak percaya pada keberadaan vampir. Meski berjuta-juta kali orang lain mencoba membuatnya yakin, semua berakhir sia-sia.

Sesuai apa yang dikatakan sebelumnya, Kathryn pergi menemui sang guru pembimbing dengan draf esai yang dimaksud. Mereka berdiskusi cukup lama hingga hari mulai gelap. Bangunan Amaryllis Academy tampak sangat sepi. Hanya ada beberapa orang penjaga malam lalu lalang, serta guru yang baru saja selesai dengan pekerjaannya.

"Baiklah, kita cukupkan saja sampai di sini. Saya lihat tulisan kamu sudah cukup bagus. Hanya perlu sedikit revisi lagi sebelum dipublikasikan," jelas seorang wanita setengah baya yang berperan sebagai pembina klub penelitian ilmiah di akademi tersebut.

Gadis itu mengangguk kemudian mengemasi barang-barangnya. "Kalau begitu, saya pamit dulu," ucapnya sopan. Wanita itu menanggapinya dengan senyuman, lalu kembali merapikan meja kerja. Sementara Kathryn sudah beranjak pergi dengan wajah puas. Bagaimanapun, pujian dari gurunya itu adalah hal yang sangat berharga.

Ia sampai di ruang lobi beberapa saat kemudian. Langit yang semakin gelap menyambut. Tidak ada satu pun kendaraan yang melintas di jalan raya. Kecuali para polisi yang berpatroli, dan mereka yang menjuluki diri sendiri dengan sebutan "Tim Pemburu Vampir."

Kathryn tidak peduli. Ia lebih memilih untuk mengomeli Kepala Akademi yang malas membeli lampu untuk dipasang di bangunan akademi. Tanpa berpikir dua kali, ia menyalakan senter dari ponsel, kemudian berjalan sambil membaca pesan-pesan pribadi yang masuk ke aplikasi media sosialnya.

Tepat saat ia hendak membalas pesan yang dikirimkan Miranda, sebuah panggilan masuk membuat benda persegi itu berdering. Dia mengernyit melihat nama yang tertulis di bawah foto profil si penelepon, lalu tanpa pikir panjang mengangkatnya. "Ada apa kau meneleponku malam-malam begini, Louis?" Kathryn bertanya to the point.

"Maaf kalau aku mengganggumu, Kate. Hanya saja ... sebelum bicara, ada yang harus kukatakan padamu," ujar si penelepon dengan nada ragu-ragu.

Gadis bermanik merah darah itu mendekatkan ponsel ke telinga, menoleh ke sekitar guna memastikan tidak ada yang terganggu dengan pembicaraan mereka. "Ada apa?"

Lawan bicaranya terdiam cukup lama, sebelum akhirnya berbicara dengan nada datar. "Kita sedang video call."

Begitu mendengarnya, perempuan itu langsung memindahkan posisi ponsel yang kini menampilkan wajah seorang laki-laki berkacamata dengan rambut cokelat memasang wajah datar. "Sudahlah, abaikan saja soal yang tadi itu. Langsung saja beritahu alasan kau meneleponku," balasnya jengah.

Pemuda bernama Louis itu membuang napas panjang usai melihat tindakan memalukan yang dilakukan teman kecilnya. Terlihat seperti orang dari masa lalu yang belum pernah mengenal fitur panggilan video.

"Beritahu Mrs. Ellie. Mungkin aku tidak bisa pulang cepat malam ini. Jadi. tolong jangan pasang palang pintunya kalau tidak ingin aku membobol jendela seperti pencuri," jelas Louis panjang lebar. Tentu itu hanya gurauan. Mana berani ia berhadapan dengan wanita temperamental yang menjadi induk semangnya itu.

"Baik, baik, akan kusampai-" Perempuan itu menghentikan ucapan ketika dirinya baru menyadari jika ada sesuatu yang aneh. "Tunggu! Apa yang membuatmu sampai tidak bisa pulang, hah?! Jangan lakukan yang aneh-aneh seperti para berandal yang malam-malam begini berkumpul di bar! Awas saja. Akan kulaporkan pada Mama kalau kau berani melakukannya."

Louis menyengih mendengar ancaman itu. Namun, yang bisa dia lakukan hanya terdiam sambil menunggu Kathryn selesai bicara. "Kenapa diam?! Apa karena niat busukmu sudah ketahuan? Cepat pulang atau aku pergi ke tempatmu sekarang juga?"

Lelaki bermata empat itu kembali mengembuskan napas berat. Berurusan dengan temannya yang satu ini memang sangat merepotkan. "Dengarkan dulu, Kate. Memangnya kau tidak tahu aku sedang memakai pakaian apa, dan semua peralatan ini untuk apa?" Dia menjauhkan posisi watch phone agar gadis itu bisa melihat seluruh tubuhnya.

"Ah, jangan bilang kau tidak tahu, wahai Kate yang gagap teknologi." Louis menyeringai, mengejek Kathryn yang kini terlihat mengembungkan pipi. "Aku akan pergi 'berburu' dengan timku. Jadi jangan berpikir apalagi melaporkan hal yang aneh-aneh pada Mama atau Mrs. Ellie," dia balas mengancam.

Mendengar pernyataan itu, Kathryn yang sebelumnya jengkel karena ejekan tidak bisa menahan tawa sampai matanya berair. "Ya Tuhan, ada apa sebenarnya denganmu? Kenapa kau mau saja bergabung dengan orang-orang kurang kerjaan itu? Lebih baik kau pulang saja dan membantu mencarikan referensi tambahan untuk tugas esaiku."

Louis menghela napas panjang. Wajah pemuda itu tampak serius. Matanya menampakkan semangat yang tak bisa diruntuhkan oleh apa pun juga. "Aku tidak peduli apa pun yang ingin kau katakan, dendam tetaplah dendam. Aku pasti akan membunuh semua vampir di kota ini!"

"Aku tahu, Louis. Saat usia sepuluh tahun, kau suka sekali bermain-main menjadi seorang kesatria selama di rumah. Tetapi, delapan tahun sudah berlalu. Tahun ini kita sudah masuk ke perguruan tinggi. Aku benar-benar berharap kau lulus tes masuk jurusan kriminologi. Supaya nanti setelah lulus kau bisa melupakan apa pun soal dongeng itu." Kathryn mencoba untuk tampak dewasa dengan mengajak laki-laki itu berpikir jernih.

"Sudahlah, Kate. Aku hanya minta kau beritahu Mrs. Ellie. Terserah, kau boleh menyelidiki kasus kematian keluargaku. Tetapi aku akan tetap pergi bersama mereka," putus pemuda berkacamata itu. Tekad yang amat kuat itu sukses membuat Kathryn menepuk dahi.

"Aku tutup dulu. Eh, tunggu sebentar. Apa di sana kau pulang sendiri?" Kathryn hanya mengangguk tanpa beban. "Jangan nekat begitu, Kate. Aku akan segera menuju tempatmu. Kau pakai kalung perak yang kuberikan? Cepat, bagikan lokasimu!" Dia berusaha untuk menyembunyikan rasa khawatir. Sampai lupa bahwa alat yang dia bawa bisa dengan mudah melacak lokasi seseorang selama perangkat target masih online.

"Kenapa aku harus takut? Vampir itu tidak ada, tahu," balas Kathryn tidak acuh. "Ayo, kalau kau berani datanglah kemari. Kita buktikan apakah mereka memang ada atau tidak dengan mata telanjang," lanjut gadis itu hingga membuat Louis yang merasa kepeduliannya tidak diperhatikan semakin kesal.

Akhirnya karena ketua tim tersebut segera memberi perintah - serta tidak ingin berdebat panjang lebar - Louis segera menutup sambungan panggilan video tersebut. Sebelumnya ia memanjatkan harapan semoga perempuan itu baik-baik saja dalam perjalanan. Tetapi, lagi-lagi Kathryn menyepelekan hal tersebut.

Gadis bermanik merah darah itu kembali memasukkan ponsel ke dalam saku. Ia memilih untuk fokus pada sekitar kali ini. Sesekali menatap langit yang memperlihatkan bulan purnama yang turut menerangi kota. Kathryn tertawa kecil. Di tengah kota yang sepi ini, bisa-bisa dialah yang disangka sebagai vampir karena berani berjalan sendirian.

Amaryllis City, julukan "kota" hanya sebuah formalitas. Nyatanya tempat tersebut tidak jauh berbeda dengan permukiman kecil di pinggir hutan. Hanya ada rumah dengan jumlah tak mencapai ratusan, serta beberapa fasilitas umum di area-area strategis. Bangunan besar bisa dihitung dengan jari. Sisanya berupa lahan yang masih tertutup oleh pohon besar dan semak-semak.

Ingatannya kembali melayang pada kasus menghebohkan yang terjadi saat berusia lima tahun. Rumah berlantai tiga di sebelah tempat tinggalnya tiba-tiba dipenuhi mayat anggota keluarga Shuldberg dengan kondisi tak wajar pada pagi hari. Louis kala itu hanya bisa meringkuk ketakutan di sudut ruangan menyaksikan rumahnya yang dipenuhi bercak darah di mana-mana.

Semenjak kejadian tersebut, keluarga Kathryn memutuskan untuk mengadopsi anak laki-laki malang itu. Sehingga, mereka berdua resmi menjadi saudara angkat. Louis tidak terlalu terpengaruh dengan tragedi yang menimpa keluarganya. Beberapa hari kemudian, ia tampak kembali ceria. Hanya saja, tekadnya untuk membasmi semua vampir semakin membara.

"Aku melihatnya sendiri. Mereka semua bukan manusia!" suara Louis kecil yang mencoba untuk memberikan kesaksian kepada para penyidik kembali terngiang dalam benak Kathryn.

Bukan berarti Kathryn tidak berbelasungkawa atas tragedi yang menimpa keluarga sahabat sekaligus saudara angkatnya. Tetapi ia meyakinkan diri jika itu hanya kasus pembunuhan biasa. Karena baginya, menganggap peristiwa tersebut adalah ulah vampir sama saja dengan membuat pelaku yang sebenarnya berkeliaran bebas.

Dia menghela napas panjang. Angin malam yang mendadak berembus semakin dingin memaksanya merapatkan sweter. Sinar bulan purnama yang semula tampak terang perlahan mulai tertutup oleh awan. Kathryn menoleh ke sekitar sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangan guna mengusir dingin.

Suara semak yang bergerak-gerak mengagetkan Kathryn. Dia segera berbalik, memeriksa sekeliling. Karena tidak ada hal mencurigakan yang ditangkap oleh retina mata, ia kembali menghadap depan. Namun, kakinya seolah tidak mau bekerja sama dengan tetap diam di tempat.

Tiba-tiba, ia seperti merasakan seperti embusan napas pelan tepat di bagian tengkuk. Sangat dingin, berbeda dengan manusia normal. Bulu kuduknya mulai berdiri tegak. Dia ingin berlari secepat mungkin, tetapi kekuatan dari sesuatu yang menahannya semakin kuat. Napasnya pun mulai terengah-engah.

Embusan napas tersebut lama-kelamaan semakin terasa. Sebuah tangan tiba-tiba merengkuhnya dari belakang, nyaris seperti memeluk. Sementara yang satu lagi muncul beberapa detik kemudian dan membekap mulut Kathryn, mencegahnya mengeluarkan suara apa pun.

Perempuan itu terbelalak. Tubuhnya yang ingin memberontak seolah kehilangan semua tenaga. Hanya beberapa saat sebelum sebuah rasa sakit yang luar biasa muncul di lehernya, menjalar ke seluruh tubuh. Bekapan sesosok di belakang begitu kuat hingga suara jeritan Kathryn tertahan.

Kathryn hanya menangis tanpa suara karena sakit yang tak tertahankan dan tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ia sungguh tidak mengerti dengan apa yang terjadi saat itu. Bahkan sampai sekarang otaknya menolak untuk percaya pada keberadaan makhluk yang dirumorkan di seluruh penjuru Amaryllis City.

"Semoga kau bermimpi indah, gadis kecil." Ia tiba-tiba mendengar sosok di belakang berbisik pelan. Kedua lengan yang mengunci gerakannya terlepas begitu saja. Akan tetapi, alih-alih bisa berlari sekencang mungkin seperti yang dibayangkan, tubuh gadis itu terhuyung kemudian jatuh ke trotoar seolah tak ada lagi sisa energi untuk berdiri barang sedetik dengan rasa sakit yang masih bertahan di lehernya.

Kepalanya berdenyut keras dengan penglihatan yang seperti melihat dunia berputar. Tangannya perlahan terangkat seperti hendak meraih sesuatu di udara. Matanya menatap kosong, seolah menolak untuk tertutup rapat. "Louis ..., maafkan aku. Di mana kau berada ... sekarang? Kumohon ... datanglah."

[][][]


Kathryn membuka mata lebar-lebar, memaksa untuk mengubah posisi tubuh menjadi duduk. Kepala yang masih terasa berat ia paksa untuk menoleh ke segala arah. Pandangan yang samar perlahan mulai memproyeksikan ruangan bercat abu-abu yang begitu familier. Kamarnya sendiri.

Ingatan mengenai kejadian pada malam itu mulai merasuki gadis bermanik merah darah itu. "Vampir ...?" lirihnya sambil mengerjap-ngerjap. Sebagian memori tersebut telah telanjur memudar. Refleks ia meraba lehernya yang sudah tidak sakit lagi. Anehnya, tidak ada luka apa pun di sana. "Hanya mimpi?" dia bertanya pada diri sendiri.

Kathryn menghela napas panjang. Dalam hati menertawai kebodohannya setelah berpikir makhluk tersebut nyata. "Tentu saja. Mereka semua kan tidak ada. Kenapa aku bisa berhalusinasi seperti itu?" kekehnya seraya kembali merebahkan tubuh di atas tempat tidur hangat yang sangat ia rindukan itu.

Pintu ruangan tersebut tiba-tiba terbuka, menampilkan sosok Miranda yang membawa sebuah nampan dengan beberapa wadah makanan yang masih mengeluarkan uap panas. Melihat temannya terbangun, ia segera mempercepat langkah mendekat kemudian meletakkan nampan tersebut di atas nakas.

Dia duduk di pinggir tempat tidur, bertanya dengan wajah yang tampak sangat khawatir. "Kate, kau merasa baikan?" Dia menggenggam ujung jemari Kathryn, kemudian mencari keberadaan denyut nadi di pergelangan tangan. "Kau sepertinya masih sakit. Tidak apa-apa, istirahatlah lagi," sarannya sambil menaikkan selimut.

Kathryn mencoba untuk menaikkan sudut bibir, guna meredakan kekhawatiran teman sekamarnya. "Aku baik-baik saja." Ia melirik jendela kamar yang tertutup tirai. Tampaknya malam masih belum berakhir. "Berapa jam sebenarnya aku tidur?"

"Kau sudah tertidur ... sejak kemarin malam." Miranda sedikit menggigit ujung bibir bawah, seperti ragu-ragu mengatakan sesuatu. Mendengar hal itu, Kathryn tersentak. Otaknya mulai mencoba memperkirakan kronologi kejadian berdasarkan ingatan yang masih tersisa dalam kepala. Yang jelas, ia tidak mau mengikutsertakan makhluk bernama vampir dalam rangkaian cerita tersebut.

"Kemarin malam, aku menunggu sangat lama. Louis juga tidak pulang sama sekali. Mrs. Ellie sepertinya khawatir akan kehilangan dua penghuni kesayangannya. Dia hampir menghubungi polisi, sebelum akhirnya ...." Miranda tidak melanjutkan penjelasan, membuat pendengar semakin penasaran.

Meski begitu, dia tidak tega mendesak temannya untuk segera bercerita. "Tenangkan dirimu, Mira. Kau tidak harus menceritakan semuanya sekarang juga." Ia mengelus punggung tangan Miranda yang tampak sedikit gemetar. Karena kombinasi generalized anxiety disorder serta panic disorder yang diderita gadis itu, Kathryn harus ekstra sabar.

Miranda menggeleng pelan. Ia mencoba untuk menarik napas panjang. "Seorang wanita membawamu. Kau terdengar sesak. Dan sat Mrs. Ellie mencoba mengecek, denyut nadimu hampir tidak terasa. Kukira kau mengalami hipotermia karena terlalu lama berada di luar. Karena itu aku buru-buru memberimu tiga lapis selimut tebal."

Kathryn sedikit ternganga. Sekarang semuanya menjadi jauh lebih masuk akal. Karena malam itu sangat dingin, berbeda dari biasanya, dia mengalami hipotermia dan jatuh tak sadarkan diri di jalan. Lalu kemudian berhalusinasi tentang makhluk fantasi yang menyukai kegelapan malam.

"Kau tahu, aku sampai tidak bisa tidur nyenyak kemarin malam. Pikiran-pikiran aneh itu menghantuiku lagi. aku berharap kau segera siuman dan memberitahuku bahwa kau baik-baik saja. Tetapi karena kau tidak kunjung sadar, kukira kau ...." Gadis berambut pendek itu terdiam. Lidahnya terasa kelu.

Kathryn memaksakan diri untuk kembali bangkit meski dilarang. Ia tersenyum hangat seraya mengusap punggung teman sekamarnya. "Aku baik-baik saja. Tenang saja, hanya butuh sedikit istirahat. Mungkin aku juga terlalu memforsir diri untuk tugas esai itu," katanya mencoba menenangkan.

"Tapi ... kau masih terlihat pucat. Tanganmu dingin sekali." Miranda segera menyambar tangan Kathryn yang berusaha keras mengambil makanan yang susah payah ia siapkan. "Diamlah di situ. Aku akan mengambilkannya untukmu," ujarnya cepat kemudian segera bangkit meraih sup yang masih hangat.

Kathryn tertawa kecil, menyadari dirinya tidak diizinkan menyentuh sendok sama sekali. Hanya pasrah saar dirinya disuapi seperti anak kecil. "Masakanmu benar-benar lezat, seperti biasanya."

"Nanti saja memujinya. Kau lebih butuh makan sekarang," ujar perempuan itu sambil menyendok kuah sup bersama beberapa potongan sayuran kecil. Hal itu membuat mereka benar-benar tampak persis seperti seorang ibu bersama anaknya. Baru membayangkan itu saja Kathryn merasa sedikit tergelitik.

Karena hal itu, makanan yang ditelan berakhir masuk ke saluran yang salah. Kathryn menyingkap selimut, berdiri kemudian segera berlari ke arah kamar mandi. Sementara Miranda hanya dapat ternganga sambil mengerjap-ngerjap menyaksikan temannya yang sama sekali tidak tampak sakit.

Tanpa pikir panjang, diputarnya keran wastafel. Dia terbatuk cukup lama hingga hampir semua masakan Miranda yang dia telan keluar lewat mulut. Gadis itu segera berkumur, lalu menegakkan tubuh. Dia menatap cermin yang terpasang di dinding dengan maksud ingin merapikan rambut. Sebelum ia menyadari sesuatu di sana.

Jantung Kathryn bagaikan benar-benar berhenti berdetak, spontan memekik keras. Matanya terbuka lebar dengan tangan yang menyentuh cermin yang dingin. "Bayanganku ... apa yang terjadi?" gumamnya. Dia tak sama sekali bisa melihat pantulan wajahnya sendiri di sana.

"Kau harus ingat ini. Vampir mungkin terlihat seperti manusia biasa, tetapi sekujur tubuhnya tampak pucat dengan cakar dan tering yang dapat mereka keluarkan kapan saja. Makhluk itu takut pada perak dan sinar matahari, juga tidak punya bayangan pada cermin. Mereka mungkin terlihat bernapas, tetapi sama sekali tidak butuh oksigen. Karena hanya darah yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup."

Katryn memegangi kepala yang kembali terasa sakit, bersamaan dengan terputarnya kembali ingatan tantang kejadian malam sebelumnya menyatu dengan suara Louis yang menjelaskan ciri-ciri makhluk tersebut dengan detail. Anehnya, semua itu benar-benar cocok dengan yang terjadi padanya. Tidak terlihat apa pun pada cermin, kecuali Miranda yang tiba-tiba berlari masuk.

Secara spontan, gadis berambut sebahu itu mundur hingga jatuh terduduk karena tanpa sengaja menginjak buku yang tergeletak di lantai. "Miranda, te-tenanglah. Mungkin .... A-aku bisa jelaskan," ujar Kathryn terbata-bata. Dia sama sekali tidak tahu jika fokus pandangan teman sekamarnya adalah sepasang gigi taring yang mencuat.

Terdengar suara pintu digebrak, serta seruan Mrs. Ellie yang memekakkan telinga. "Ada apa sebenarnya ini?!" Tanpa pikir panjang, wanita bertubuh gempal itu mendekati Miranda dan melihat ke dalam kamar mandi. Dia tersentak kemudian berjalan mundur. Tetapi dengan segenap keberanian yang tersisa, ia mencoba untuk tidak tampak gentar.

"Bagaimana makhluk sepertimu bisa ada di tempat ini?! Rumahku bukan untuk monster sepertimu. Enyah kau dari sini, sebelum aku memanggil para pemburu untuk mencincangmu!" sentak Mrs. Ellie sambil mengacungkan gagang sapu yang dia dapatkan entah dari mana.

Gadis itu gemetar ketakutan. "Mrs. Ellie, ini Kathryn. Aku ... tidak seperti yang kalian pikirkan," sahutnya dengan nada memelas.

"Kau tidak bisa membohongiku. Kau bukan Kathryn yang asli. Kathryn-ku berbeda dengan makhluk terkutuk yang hanya bisa memangsa kami yang lemah. Cepat pergi sebelum aku yang membunuhmu," wanita itu mendesis galak sambil mencoba menakut-nakuti dengan gagang sapu yang dibawanya, meski sudah tahu itu akan sia-sia.

Kathryn memandangi kedua telapak tangan. Pucat, seolah tidak ada lagi darah yang mengalir di bawahnya. Dia mengalihkan pandangan pada Miranda yang menatapnya ngeri, dan refleks bergerak mundur ketika Kathryn mencoba mendekat. Sedangkan Mrs. Ellie mencoba menghalangi dengan berdiri di depan Miranda. "Kubilang pergi dari sini!" sentaknya lagi.

"Karena hanya darah yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup."

Ucapan Louis seolah kembali terngiang dalam benak. Pandangannya tetap terfokus pada Miranda yang meringkuk ketakutan di belakang tubuh pemilik rumah tempat mereka menyewa. Meski sedikit ketakutan, Kathryn bisa merasakan desir dalam dada yang seakan memberinya instruksi untuk terus mendekat. "Hanya darah ...."

Kathryn terus mendekat, seolah-olah gerakannya telah berada di luar kendali. Tangannya terulur, tampak seperti sedang berusaha menggapai mangsa. Miranda yang semakin ketakutan menjerit keras. Gadis bermanik kemerahan itu segera tersadar. Melihat wajah temannya yang tampak semakin ketakutan membuatnya terenyuh, meskipun hasrat dalam dada belum padam.

Dengan segera, perempuan itu berlari melintasi hadangan Mrs. Ellie dan keluar melalui pintu yang masih terbuka. Kata-kata Louis waktu itu terus-menerus terngiang. Matanya mulai berair. "Berpikirlah jernih. Makhluk apa pun dirimu, Miranda bukan mangsa. Dia bukan mangsa. Dia bukan mangsa!" Kathryn mengulang-ulang kalimat itu sembari mempercepat lari saat hampir mencapai pintu depan.

Sesampainya di luar, Kathryn berjalan pelan seraya memeluk diri sendiri. Tubuhnya seolah sudah tidak bisa merasakan dingin lagi. Tetapi kejadian ini membuat ia lebih tersiksa daripada itu. Ia menoleh ke sembarang arah. Di ujung jalan, ia melihat seorang warga kota berdiri sendir. Tiba-tiba, dorongan yang sama kembali timbul "Hanya darah ...."

Kathryn menggeleng kuat-kuat. Setelah mendengar umpatan yang dilontarkan Mrs. Ellie, dia benar-benar tidak sudi disebut sebagai bagian dari makhluk penghisap darah yang terkutuk, dan hanya tahu soal membunuh. Lebih baik ia mati karena mempertahankan sisi manusianya daripada harus menjadi monster yang meneror penduduk Amaryllis City.

Namun, lama-kelamaan dia tidak bisa menahan keinginan tersebut. Ia perlahan berjalan menuju orang di ujung jalan itu. Kathryn menjadi liar, seolah telah kehilangan akal sehat.

Sementara orang itu seakan tidak sadar dengan keberadaan makhluk yang hendak memangsanya. Tepat beberapa langkah sebelum Kathryn mencapainya, seseorang tiba-tiba menarik ia menuju sebuah lorong yang gelap di antara dua bangunan. Gadis itu terperanjat, sebisa mungkin memberontak dari bekapan sosok misterius. Tetapi tetap saja gagal, seperti sebelumnya.

"Ssstt ... diam. Aku tahu kau haus. Tetapi tolong tahanlah sebentar. Orang itu adalah bagian dari pemburu. Mereka sedang mencoba untuk menjebak kita." Kathryn tertegun mendengar suara serak itu. Seketika dia langsung terbayang dengan kejahatan yang sering dialami para wanita di tempat seperti itu. Ia pun semakin kalap memberontak.

Namun, lelaki yang kini membekap gadis itu sama sekali tidak peduli. Dia mencoba menengok dari celah lorong, kemudian kembali mundur dengan wajah yang terlihat serius. "Sial," decaknya kemudian mengangkat tubuh Kathryn yang seperti kekurangan gizi, berlari secepat angin menyusuri kegelapan tanpa menoleh.

Kathryn refleks mengalungkan lengan di leher laki-laki yang menggendong dengan bridal style. Ia mendongak, memerhatikan wajah laki-laki itu. Yang terlihat memang hanya rahang yang tampak kokoh, serta rambut hitam bergerak karena larinya yang semakin cepat. Akan tetapi, itu saja sudah membuat gadis itu merasa seperti melihat seorang aktor yang memainkan peran utama dalam film.

Tidak lama waktu berselang. Lelaki itu berhenti ketika sampai di sebuah kebun yang tampak rimbun. Dia menurunkan tubuh Kathryn perlahan, dengan memastikan ia bisa berdiri tegak. "Kau baik-baik saja, kan?" Yang ditanya hanya mengangguk sebagai jawaban. Tanpa pikir panjang, laki-laki misterius itu meraih tangan Kathryn lalu menuntunnya melewati kebun yang hanya diterangi cahaya bulan.

Gadis bermanik merah itu hanya pasrah. Jika saja tidak akan membuat orang mencemaskan dirinya, dia pasti sudah menangis sejak tadi. Ia menarik napas panjang. Sinar yang menerabas semak-semak sejak tadi semakin jelas. Tangan orang itu akhirnya membawa menuju sebuah rumah berlantai dua dengan gaya arsitektur klasik.

"Ini rumahku. Kau bebas menginap, bahkan tinggal selamanya di sini kalau mau. Para pemburu itu tidak akan mengejar sampai ke sini." Perempuan itu menoleh. Sesaat kemudian ternganga melihat wajah laki-laki muda yang ternyata tampak lebih menawan dari yang diduga. Jantung yang ia sangka berhenti berdetak beraktivitas dengan irama aneh.

"Oh ya. Namaku Kristopher. Kalau tidak keberatan, kau bisa memanggilku Kris. Senang berkenalan denganmu," ucapnya sopan dengan senyuman lebar terukir di wajahnya. Laki-laki itu meletakkan tangan kanan di dada kemudian sedikit membungkuk. Kathryn yang tidak tahu harus bagaimana buru-buru ikut membungkukkan badan dan menyebutkan nama.

Jika diperhatikan, laki-laki yang baru ia temu lima menit itu juga memiliki sepasang taring yang menonjol di antara gigi yang lain. Dia tiba-tiba teringat taruhan dengan Louis. Yang kalah harus menjadi pelayan bagi yang menang selama sehari. Kathryn tersenyum kecut. "Jadi ... vampir itu benar-benar ada, ya?"

Kristopher yang berjalan sampai depan pintu tiba-tiba berhenti, menoleh seraya mengernyitkan dahi. "Memangnya ... kau ini makhluk apa?" Kathryn menggeleng cepat, tidak menyangka jika ucapannya yang lebih mirip bisikan itu bisa terdengar jelas.

Gadis bermanik merah darah itu menunduk. "Aku benar-benar menjadi vampir. Apa ini karma untukku?" Ekspresi serius kembali muncul di wajah lelaki bernama Kristopher. Dia berjalan mendekat hingga wajahnya hanya berjarak beberapa senti di depan Kathryn. "K-kenapa .... Apa yang ... kau lakukan padaku?" lirihnya dengan wajah yang tampak ketakutan.

"Apa kau ... sebelumnya adalah manusia?" tanya Kristopher dingin. Alih-alih menjawab dengan jelas, Kathryn malah menunduk kembali dan menggumamkan beberapa kata yang tidak terlalu jelas. Dia tahu itu takkan menyelesaikan masalah. Tetapi semua ini terlalu tiba-tiba hingga otaknya tak bisa berpikir jernih.

"Aku tidak mau ... kalau harus hidup seperti ini. Apa yang bisa kulakukan ... agar aku ... bisa kembali menjadi manusia?" tanyanya lirih, dengan nada sendu.

Tanpa pikir panjang, Kristopher mengusap puncak kepala perempuan itu kemudian mengecupnya. "Tidak apa-apa. Tenanglah, mulai sekarang kau akan aman bersamaku," ia berbisik pelan seraya mendekatkan posisi kepala Kathryn hingga menyentuh dadanya.

To Be Continue

[] Gempita Shastra []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro