[] Askara
ASKARA
Oleh vanteland
•
[] Romance - Humor []
Jihan Amaya tidak pernah absen untuk menyebut dirinya sendiri seorang pecundang yang tak pernah berguna semasa hidupnya. Setidaknya itu berlaku hingga kehadiran seorang laki-laki penyabar yang menyembunyikan sejuta luka dihidupnya.
Olehnya, Jihan disadarkan akan betapa menyedihkannya untuk bertahan disaat tidak ada yang mengharapkan kehadirannya. Darinya, Jihan mengerti tak selamanya dunia ini akan adil.
Jihan ingin memeluknya, Jihan ingin menjadi askaranya, dan Jihan ingin dia kembali.
─§─
Kembali untuk bersibuk diri dengan realitas yang pahit sering dijadikan alasan sebagian orang untuk membenci hari Senin. Saat ini, Jalanan di Alun-Alun Kota Bandung sudah mulai remangremang, menandakan tibanya sebuah waktu yang sangat dinantikan di penghujung kesibukan hari ini─ya, pulang.
Tetapi istilah tersebut tidak berlaku untuk seorang Haikal Bagaskara. Bahkan ini sudah lewat beberapa jam yang lalu setelah bel pulang sekolahnya berhenti, namun dirinya masih h UiTMarus berkutat dengan kostum badut yang pengap dan panas berbentuk beruang Rilakkuma itu.
Setelah tiga jam dipenuhi sesak napas dan kepanasan, Haikal memutuskan untuk duduk sejenak, melepas penutup kepala badutnya, serta menyeka keringatnya yang mengucur deras.
Hingga seseorang berjalan ke arahnya membawa sebuah amplop yang sudah dapat dipastikan berisikan upah hasil kerjanya.
"Haikal, ini Mang Engkus lebihkan sedikit, buat beli jajanan untuk Kanaya, ya?" tutur Mang Engkus sembari menyodorkan amplop tersebut.
"Wah! Hatur nuhun Mang Engkus!"
Mang Engkus mengangguk tersenyum sebelum akhirnya meninggalkan Haikal untuk kembali melayani pelanggannya.
Haikal tersenyum senang menatap upah hasil kerja kerasnya hari ini, begitu senang hingga Ia melupakan rasa panas dan sesak akibat kostum badutnya yang tebal dan pengap. Ia berjalan menuju halte bus Trans Metro Bandung, berniat untuk pulang ke rumah.
Namun sangat disayangkan, nasib buruk menimpanya. Seorang lelaki tak dikenal menyerobot amplopnya.
Haikal dengan segera mengejarnya, sembari sesekali berteriak meminta tolong orang sekitar untuk membantunya menangkap pencuri itu,
“Tolong balikin! Itu untuk adikku! Kumohon, setidaknya biarkan aku sekali saja menjadi kakak yang baik untuknya”
Tidak seorang pun menolongnya, mereka yang berlalu-lalang hanya bisa menepi, menjauh, dan menyaksikannya kemudian menghiraukannya. Mereka menatapnya seolah berpikiran bahwa membantu seorang badut dari pencuri bukanlah hal yang penting─atau justru hina.
Haikal sudah kehabisan tenaga, tentu dia kelelahan setelah tiga jam berdiri untuk menarik pelanggan masuk ke kedai Mang Engkus, yang dimana sekarang Ia seharusnya sudah bisa beristirahat bersandar pada kursi bus, bukannya bermain kejar tangkap dengan pencuri amplopnya.
Haikal terjatuh lemas, menangis dan berseru pedih kepada orang sekitar yang menatapnya, “Tolong aku, siapapun itu. Kumohon…” begitu rintihnya.
Sia-sia, semuanya berakhir percuma. Sekiranya itu yang ada di pikiran Haikal saat ini, menatap punggung pencuri itu yang sudah berlalu, menghilang dari pandangan netranya.
Tubuh Haikal mulai tersungkur lemah, sebelum kesadarannya mulai menghilang, bibirnya sempat berucap, “Kanaya, maafin abang…”
─§─
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanan Haikal.
Ya, Haikal baru saja siuman setelah sebelumnya kehilangan kesadarannya dan hal pertama yang Ia dapat adalah tamparan keras yang membekas merah di pipi kanannya, ditambah lagi yang melakukannya adalah mama kandungnya sendiri.
“Apanya yang kerja cari duit? Sekarang, kamu ini justru mencari masalah dan menguras siasia uang saya!” seru mamanya kepada Haikal.
“Maafkan Haikal, Ma. Tadi─” belum sempat Haikal menyelesaikan kalimatnya, Ia sudah kembali ditimpali dengan tamparan keras di pipi sebelah kirinya.
“Sudah saya bilang jangan panggil saya mama!” setelahnya, mamanya keluar dari ruangan dan meninggalkan Haikal sendirian.
Haikal menghela napasnya gusar, sudah bisa dipastikan malam ini Ia di usir dari rumah. Tetapi jika Ia menetap lebih lama di rumah sakit ini, darimana Ia bisa membayarnya, yang ada justru mamanya akan semakin marah padanya.
Haikal menutuskan untuk keluar sembari menyeret kostum badutnya di sepanjang lorong rumah sakit, bahkan Ia masih mengenakan seragam sekolahnya.
“Bunda, maafin Jihan ya”
Haikal mendengarnya, rintihan seseorang ditepian balkon. Entah insting yang muncul darimana, Haikal berlari ke arah gadis itu dan mendekapnya menjauh dari tepian balkon,
“Kamu ngapain? Bahaya kalau jatuh!”
Gadis itu terkejut, ditatapnya wajah Haikal dengan lekat, “Makasih, tapi aku emang berniat mau lompat biar jatuh dari sini” tuturnya
Haikal shock mendengar pengakuan gadis itu, ya lagipula, siapa sih yang tidak shock mendengar pengakuan semacam itu?
Dia bukanlah seekor kucing yang memiliki 9 nyawa.
“Eh, kamu bukannya badut yang pingsan tadi ya?” celetuk gadis itu
Haikal makin dibuat shock olehnya, “Tadi mau lompat dari atas gedung, sekarang jadi cenayang. Jadi, sebenernya kamu itu makhluk apa?”
Gadis itu menahan tawanya, “Tebak sendiri coba”
“Kamu─malaikat ya?” tutur Haikal yang membuat gadis itu mendecih
“Cih, lelaki kadal. Ekhem─aku Jihan Amaya, yang tadi ngepanggil ninuninu buat kamu” Jihan menyodorkan tangannya
“Haikal Bagaskara. Maaf, maksudnya ninuninu?” pertanyaan Haikal terjawab setelah Jihan menunjuk mobil ambulans dibawah sana.
“Ah─makasih” Jihan menanggapinya dengan anggukan, setelahnya terjadi kecanggungan diantara mereka.
“Mau pentol nggak?” tawar Jihan untuk memecah kecanggungan.
Haikal tidak sengaja melepaskan tawanya, tangannya segera menampar dirinya sendiri, astaga Haikal nggak sopan, begitulah batinnya.
“Boleh.”
Mereka berjalan berdampingan keluar dari bangunan rumah sakit itu, sembari sedikit bercengkrama mengenai asal-muasal seorang badut yang terjatuh pingsan di dekat alun-alun.
“Haikal, mau tau sesuatu nggak?” tawar Jihan, Haikal hanya mengangguk.
“Seorang Jihan Amaya ini sebenernya pelit, tapi berhubung ini buat Haikal, aku mau traktir pentol 9 tusuk. Eh, 8 aja deh biar genap, gimana?”
Yah, Si Bambang, kalau genapin ke atas kek.
Haikal ini sebenernya merasa nggak enak sama Jihan, tapi namanya juga orang lapar yang duitnya habis ditelan bumi, gimana mau gengsi? Rejeki nggak boleh ditolak katanya.
Melihat Haikal yang tidak menolak tawarannya, Jihan berseru ke arah akang pentol, “Kang! Mau beli, punya aku kasih pentol puyuhnya satu!”
Haikal tersenyum tipis menatapnya, setidaknya Tuhan telah berbaik hati dengan menghadirkan sosok Jihan di harinya yang nyaris sepenuhnya sial.
Mungkin benar, disaat hal terburuk ada hal terbaik, dimana dimulai dengan Haikal yang kehilangan amplopnya dan diakhiri menemukan bahagianya.
“Yah, Haikal, pentol puyuhku jatuh, minta punyamu dong!”
Ya, setidaknya dunia ini masih cukup adil untuknya.
─§─
Semalam Haikal menemukan suatu fakta mengejutkan.
Ia dan Jihan ternyata seorang murid di sekolah yang sama. Mungkin Haikal terlalu sibuk dengan pekerjaannya di kedai Mang Engkus, hingga nyaris tidak pernah peduli dengan
Ah, mengingat Haikal diusir dari rumah, Mang Engkus selalu memberinya tumpangan, ada satu kamar di kedainya yang kerap dijadikan Haikal sebagai tempat beristirahat jika Ia diusir dari rumah.
Ya, itu bukanlah pertama kalinya untuk Haikal diusir dari rumah.
Sedikit cerita, beberapa tahun lalu papa kandung Haikal menghilang secara tiba-tiba, kemudian disusul dengan adanya kabar bahwa papanya telah memiliki keluarga baru di South Korea, tempat asalnya.
Haikal ditinggal bersama Kanaya─adiknya─dan mama kandungnya yang depresi setelah dicampakkan. Rupa haikal sangat identik dengan papanya, mungkin inilah alasan mengapa kini mamanya begitu membencinya.
Mamanya nyaris membuang Haikal dan Kanaya, namun beruntung Haikal mampu membujuknya, “Mama jangan, Kanaya masih butuh mama. Abang mohon, abang janji untuk bantu mama mencukupi kebutuhan Kanaya, mama cukup menjaga dan temani Kanaya, ya?” Bagi Haikal, Kanaya merupakan adiknya yang sangat berharga.
─§─
“Haikal, dicari Jihan MIPA 6 nih!” seru Mark dari pintu kelas sembari bersuit-suit ria menggodanya.
Ingin rasa, Haikal melintir bibir Mark, tetapi kesabarannya tetap jadi yang utama. Haikal berjalan menemui Jihan, bertanya-tanya akan kehadirannya.
“Kenapa? Minta ganti uang pentol yang kemarin?” tanya Haikal
“Dih, kok negative thinking gitu, tapi boleh sih kalau bersedia, lumayan buat beli batagor sama otak-otak nanti” Jihan tertawa menanggapinya
Haikal melengos, merogoh sakunya dan menyodorkan uangnya, “Eh bercanda doang buset, jangan serius-serius deh, Kal. Aku ikhlas kok, udah buruan balikin ke sakumu sebelum aku berubah pikiran”
Haikal tertawa melihat tingkah Jihan, Haikal suka.
“Jadi, sebenernya ada apa?” tanya Haikal, lagi.
“Eh bentar deh, ini kelasmu rame banget ada apaan dah? Ada yang habis sunat?” Jihan berjinjit mengintip ke arah kelas Haikal.
“Bukan, tadi pada habis main gobak sodor, celananya jisung robek, sekarang lagi pada nyari─”
Belum sempat Haikal menyelesaikan kalimatnya, seruan Mark menyelipnya, “ADA YANG
BAWA STAPLES NGGAK SIST?!”
“Nah itu, lagi nyari staples buat ngestaples celananya Jisung yang robek” Jelas Haikal akhirnya. Jihan hanya mengangguk, memaklumi warga kelas Haikal yang mungkin memang terlampau unik.
“Oh iya! Pulang nanti jalan-jalan yuk” ajak Jihan penuh semangat.
Haikal mau, sangat mau. Tetapi tanggung jawabnya di kedai tidak bisa Ia tinggalkan, mamanya akan marah dan Ia tidak mau terjadi sesuatu pada Kanaya.
“Maaf Jihan, pulang sekolah aku ada kerjaan” Haikal merasa tak enak hati menolaknya.
Jihan mengangguk pelan, “Jadi badut lagi ya?”
Seketika Haikal meletakkan jari telunjuknya di depan bibir Jihan, “Ssstt! Jangan keras-keras” bisiknya mendekat ke arah Jihan.
Jujur dalam hati, Jihan salting, pipinya memanas, “I-iya maaf, Kal”
Haikal berdehem menjauhkan kembali wajahnya dari Jihan, “Ekhem─berhubung kemarin habis pingsan, Mang Engkus suruh aku ngebusking aja”
Mendengarnya, Jihan dengan penuh gairah memohon pada Haikal untuk dibolehkan ikut dengannya, “Iya, boleh, tapi naik sepeda doang nggak apa-apa?” tanya Haikal lirih
“Loh, memangnya kenapa engga? Asal kamu kuat boncengin aku sih” Jihan tertawa menggodanya.
Haikal menghela napas lega. Bahaya pikirnya, karena Jihan sungguh menarik perhatiannya.
─§─
“Jihan, pegangannya jangan di celana, rit aku mau lepas!” tutur Haikal
Seketika kedua pegangan tangan Jihan dilepasnya mendadak, malu.
Gerakan Jihan yang dilakukan secara tiba-tiba membuat keseimbangan sepedanya goyah, Haikal dengan sigap menepikan sepedanya, beruntung mereka tidak jadi terjatuh.
Haikal menoleh ke arah Jihan, “Aduh maaf, ada yang luka nggak?”
Jihan dengan segera menggeleng dengan kepala menunduk, “Udah, jangan dilihatin! Malu tau!”
Haikal terkekeh lirih, kemudian tangannya meraih kedua pergelangan tangan Jihan dan dengan lembut menuntunnya untuk dilingkarkan dipinggang Haikal.
“Nah, kalau pegangan disini aja” Setelahnya, Haikal kembali mengayuh pedal sepedanya.
Haikal tidak akan pernah tau, bagaimana sulitnya Jihan menahan teriakannya akibat ulah Haikal. Salting bun.
─§─
“Waduh, ceweknya ya bang?” Goda Mang Engkus yang juga dikompori oleh personilpersonil band di kedai.
Jihan baru saja ingin membuka bibirnya, Haikal sudah mendahuluinya, “Doain aja ya, Mang” begitu tuturnya sembari terkekeh manis dan cuitan godaan makin heboh bersahut-sahutan.
Haikal mulai mengambil posisi ditempatnya, bersama gitar klasiknya juga. Sedangkan Jihan masih termenung, jawaban dari Haikal tadi tidak pernah Ia sangka akan terucap dari bibirnya.
“Ekhem─lagu pertama yang akan kita bawakan ini berjudul I Like Me Better by Lauv” Setelahnya, instrument-instrumen itu mulai dimainkan, sungguh, tidak ada yang aneh. Hanya saja, Jihan merasa tatapan Haikal hanya terfokus padanya, seolah berkata,
Jihan, lagu ini untukmu.
“I might have to tell you something,
Damn, I like me better when I’m with you”
Jihan, denganmu aku tidak merasa kesepian lagi.
“I knew from the first time,
I’d stay for a long time ‘cause,
I like me better when I’m with you”
Jihan, aku lebih bahagia saat bersamamu.
“Stay a while, stay here with me,
Lay here with me, oh”
Jihan, tolong tetap tinggal ya? Haikal yang lemah ini butuh kehadiranmu.
Selesai, orang-orang sekitar kedai bertepuk tangan meriah, terhibur dengan alunan nada yang Haikal nyanyikan. Ketahuilah bahwa Jihan tidak pernah menyangka suara Haikal akan sebagus itu.
Jihan juga tidak menyangka bahwa Ia bisa menaruh rasa pada seseorang yang bahkan baru Ia kenal tempo hari, ya, Ia menitip rasa pada si badut alun-alun yang jatuh pingsan.
“Jihan, mau liat senja bareng?”
─§─
Jantung Haikal berdegup kencang tidak karuan, tidak, Ia tidak sedang berencana untuk mengajak jadian Jihan atau semacamnya. Jihan sudah diantarkannya sampai rumah dengan selamat.
Kini Ia sedang berdiri di depan pintu rumahnya, menimang-nimang apakah Ia akan mencoba mengetuk pintu rumahnya atau lebih baik kembali menumpang di kedai Mang Engkus.
Akhirnya Haikal lebih memilih untuk mencoba mengetuk pintu rumahnya, tapi baru saja tangannya ingin mengetuk, muncul satu notif dari mamanya,
“Jangan berani-beraninya menginjakkan kaki di rumah saya ataupun menemui adikmu, jika belum melunasi semua biaya yang kamu janjikan.”
Haikal hanya bisa menghela napas, lirih Ia berkata, “Kanaya, tolong sabar sedikit lagi ya? Baik-baik sama mama, mama sebenernya baik kok, abang kangen tapi abang harus pamit lagi, maafin abang ya? Abang sayang Kanaya.”
Haikal menatap nanar pintu rumahnya, membasuh air matanya yang tak sadar telah terjatuh.
Tidak, Haikal yakin dia bisa kuat. Demi Kanaya dan Mama.
─§─
Sudah beberapa hari ini Jihan menemani Haikal bekerja, ah lebih dari itu.
Intinya semenjak Jihan menemaninya, hari-hari Haikal berubah drastis. Bahkan kini mereka berdua sedang duduk berjejer ditepian Pantai Santolo, menikmati matahari yang sedang menyapa malam.
Bercengkrama manis seolah sedang melakukan podcast senja.
“Semenjak ayah meninggal, bunda yang menggantikan posisi ayah untuk mencari nafkah, bunda jadi sering kelelahan, tapi hebatnya, bunda nggak pernah mengeluh” tutur Jihan dengan wajahnya yang tertunduk.
“Apalagi aku dulu sempat sakit-sakitan, aku nggak berguna banget kan?” Jihan tersenyum miris.
Haikal mengerling, “Sakit?”
Jelas Haikal merasa bingung, karena selama ini Jihan terlihat seperti gadis normal yang sehat.
Jihan menghela napas sembari mengangguk lemah, Ia menatap Haikal yang ternyata juga sedang menatap ke arahnya, netra mereka saling bertemu,
“Paru-paru aku rusak, Kal” jelas Jihan sembari meletakkan kedua tangannya di dada.
Haikal tidak tau harus berkata apa saat ini, jelas dia terkejut, yang ada dipikirannya saat ini adalah, dia ingin memeluk Jihan.
“Itulah mengapa, lebih baik jika aku menghilang saja dari muka bumi ini, biar bunda nggak harus kelelahan lagi hanya demi anaknya yang nggak berguna ini.” Jihan menitikkan air matanya.
Kini Haikal mengerti, apa tujuan Jihan di atas gedung saat itu. Jihan menyayangi bundanya, namun tidak dengan dirinya sendiri.
“Bunda, maafin Jihan ya, hiks..”
Haikal dengan lembut menarik tubuh Jihan ke dalam pelukannya.
“Jihan, kalau menangis membuat perasaanmu menjadi lebih baik, maka menangislah. Setidaknya kamu tau kamu tidak sendiri, ada aku yang bisa menjadi tempat bersandarmu.”
Tangisan Jihan semakin deras, namun Ia merasa aman berada di pelukan Haikal.
Haikal sejenak mengambil napas, kemudian berkata, “Kamu tahu?”
“Nggak, aku gembus” Canda Jihan, memotong kalimat Haikal.
Haikal melengos, menatap Jihan tidak percaya. Bukankah gadis ini yang baru saja menangis pedih dipelukannya, bisa-bisanya saat ini dia dengan mulus bercanda.
“Aku juga sepertimu, aku sungguh menyayangi adikku, Kanaya namanya.”
Jihan menjadi tersadar, ini merupakan pertama kalinya Haikal berbicara mengenai keluarganya.
“Ya, aku bisa memahaminya dari nada bicaramu, aku yakin Kanaya sangat beruntung memiliki kakak sepertimu.” Jihan memberikan kedua jempolnya kepada Haikal, dengan tatapan kagum.
Haikal menggeleng dengan senyum mirisnya, dengan sangat lirih berkata, “Aku telah gagal menjadi abangnya”
Jihan tidak bisa mendengar apa yang di ucapkan oleh Haikal, “Lirih amat, butuh aku pinjamin toa?”
Haikal terkekeh seraya menggeleng, kemudian Ia meraih gitar klasiknya.
“Tau lagu Melukis Senja?” tanya Haikal
Jihan mengangguk semangat, “Tau dong!”
Haikal menarik napasnya, kemudian mulai memetik melodi lagunya,
“Izinkan kulukis senja,
Mengukir namamu di sana,
Mendengar kamu bercerita,
Menangis tertawa”
Entahlah, namun lagu ini begitu senada dengan suasana mereka saat ini.
“Biar ku lukis malam,
Bawa kamu bintang-bintang,
‘tuk temanimu yang terluka,
Hingga kau bahagia.”
Mereka tau, mereka bahagia saat mereka bersama. Jihan tau Ia beruntung, Ia tak lagi ingin menghilang, Ia ingin menetap di dunia ini, selama dunia masih memiliki seorang Haikal Bagaskara.
Senja di Pantai Santolo yang saat ini sudah mulai memudar berganti malam, telah menjadi saksi bagi mereka. Haikal sangat bahagia, sampai Ia merasa khawatir dan takut.
Haikal takut, jikalau Ia terlalu bahagia, ternyata Tuhan juga sedang mempersiapkan badai besar setelah ini. Dan kekhawatirannya langsung terjawab saat itu juga.
─§─
“HAIKAL INI ADA APA SIH?!”
Sudah sekian kalinya Jihan menanyakan pertanyaan itu, tetapi Haikal masih saja terdiam.
Motor Mang Engkus yang mereka pinjam sebelumnya juga melaju begitu cepat.
Jihan tidak tau apa yang terjadi, tapi setelah Haikal menerima satu notif tadi, wajahnya nampak kalut,
“Jihan, maaf tapi kita harus segera pulang”
Hingga kini, Haikal seperti kehilangan kendalinya. Jujur, Jihan takut, Haikal yang Ia kenal adalah Haikal yang lembut dan ceria seperti matahari, persis seperti makna bagaskara yang tertera di namanya.
Kali ini, Jihan melihat Haikal yang berbeda.
“Haikal ini rumah siapa?”
Ya, mereka sampai di kediaman keluarga Haikal
“Jihan, kamu bisa naik motor kan?” tanya Haikal
“Ini kan aku lagi naik motor” ya, sepertinya Jihan salah memilih waktu untuk bercanda.
“Jihan…” Haikal menegurnya, Jihan paham ada yang tidak beres. Haikal selalu tertawa dengan candaannya.
“Iya-iya aku bisa” jawab Jihan pada akhirnya
“Jihan, maafkan aku, tolong kembalikan motor ini ke Mang Engkus ya? Aku ada urusan mendadak, tolong pulanglah dengan keadaan selamat, sampai jumpa”
Jihan tidak mengerti mengapa tiba-tiba situasinya menjadi begini, Haikal memaksanya untuk segera pergi. Setelahnya Haikal dengan sigap memasuki rumahnya dengan jantung yang berdegup hebat.
“Mama! Kanaya salah apa, Ma?”
Haikal yang baru saja masuk dan langsung mendengar teriakan Kanaya merasa semakin panik. Hingga akhirnya, Ia menemukan mamanya hampir saja memukul Kanaya dengan tongkat baseballnya.
“Mama jangan!” seru Haikal sembari melindungi Kanaya dengan tubuhnya dan menangkis tongkat tersebut.
“Dasar kalian ini anak tidak tau diri! Memang seharusnya kalian dan papa kalian itu mati saja!” seru mamanya dengan tatapan yang dipenuhi amarah.
Haikal tidak mengerti mengapa tiba-tiba amarah mamanya meledak seperti ini. Haikal hanya tau, bahwa mamanya sangat sensitif jika hal itu menyangkut papanya.
“Ma, ini ada apa? Kan bisa bicara baik-baik dulu sama abang, ya?”
“Bicara baik-baik? Jangan ngimpi kamu, nggak pantas. Saya menyesal telah melahirkan kalian” mamanya mengambil kembali tongkat baseball dan melayangkannya ke arah
“Ma! Tolong jangan pukul Kanaya, pukul abang saja, jangan Kanaya, kumohon…” kemudian Haikal mendorong Kanaya menjauh.
“Dek, pergi…” seru Haikal, Kanaya menangis namun mematuhi abangnya dan segera berlari keluar
“Cih, menjijikkan” decih mamanya, yang kemudian memukul Haikal bertubi-tubi dengan tongkatnya.
Haikal tidak kuat menahannya, pukulan mamanya terlalu kuat. Tubuhnya meringkuh, kini yang bisa dirasakan hanyalah rasa sakit dan perih.
Rambutnya dijambak, badannya dihantam berkali-kali ke dinding.
“Mama, Apakah hukumannya masih lama?” rintih Haikal lemas. Ya, bagi Haikal, ini adalah hukuman karena Ia telah terlahir ke dunia dan membawa beban untuk mamanya.
“Diam kamu! Kamu ini pantasnya mati saja!”
Mungkin mamanya akan bahagia jika dia tidak pernah hadir. Ah, Haikal tersadar, ternyata ini yang dirasakan oleh Jihan.
Bedanya, saat ini kehadirannya memang tidak pernah diinginkan oleh mamanya.
“Mama, maafin abang sama Kanaya ya..” hanya kalimat terakhir ini yang bisa Haikal ucapkan sebelum akhirnya kehilangan kesadarannya.
“HAIKAL?!”
─§─
Beruntung saat itu Haikal lupa memberikan kunci motornya pada Jihan. Sehingga Kanaya bisa meminta tolong pada Jihan untuk menyelamatkan abangnya.
Ini sudah delapan hari sejak Haikal tidak sadarkan diri. Jihan tidak pernah absen untuk menjenguknya,
“Haikal, kapan mau bangun? Kanaya nyariin abangnya, kamu nggak mau aku traktir pentol lagi? Ayo Kal, bangun ya?” suara Jihan gemetar, Ia menggenggam erat tangan Haikal.
Tuhan, Jihan mohon, walau hanya sebentar, Jihan masih ingin mendengar tawa Haikal lagi.
“Jihan?”
Tidak, Jihan tidak percaya ini, doanya terkabul dengan cepat, Ia tidak sedang berhalusinasi bukan?
“Haikal!” Seru Jihan dengan air matanya yang sudah mengalir deras, bahagia saat mengetahui Ia masih bisa mendengar suara Haikal.
“Jihan, kenapa semuanya gelap?”
─§─
Haikal mengalami kebutaan, akibat cedera dari pukulan mamanya.
“Mama, mama dimana? Kenapa dunia Haikal menjadi gelap? Mama nggak pergi ninggalin
Haikal sama Kanaya kan?” rintih Haikal
Ia bahkan masih bisa memanggilnya seorang mama setelah dipukul hingga tak dapat lagi menatap dunia.
Bagaimanapun juga, Haikal tetap menyayangi seseorang yang sudah bertaruh nyawa saat melahirkannya, walaupun kini kehadirannya sungguh tidak diinginkan lagi.
“Jihan, mana wajah cantikmu? Aku ingin melihatnya” Haikal kembali memanggil Jihan.
“Haikal, maaf─” Jihan menangis tersengguk-sengguk.
Ia menjelaskan semuanya, mulai dari masalah pada netra Haikal hingga mama Haikal yang harus ditahan di rumah sakit jiwa karena tindakan kekerasan dan mentalnya yang terganggu. “Aku ingin mama dibebaskan, aku ingin bertemu dengannya”
Jihan menghela napasnya, “Aku nggak tau tante bisa dibebasin atau tidak, tapi aku pasti akan mengantarkanmu menemuinya” Haikal menangguk cemas
“Lalu bagaimana dengan Kanaya? Dimana Kanaya? Kumohon katakan bahwa dia baik-baik
saja” tanya Haikal gelisah
Jihan menenangkan Haikal dengan meletakkan kedua tangannya di wajah Haikal, “Sstt,
Haikal tenanglah, Kanaya selama ini menginap di rumahku, bersama bunda”
Mendengarnya Haikal mendesah lega.
“Haikal, aku marah padamu” ucap Jihan
“Kenapa? Apapun yang sudah ku lakukan, aku minta maaf atau pukul saja aku, tapi tolong jangan tinggalkan aku, aku hanya punya kamu.” ujar Haikal panik
Jihan segera menggenggam kedua tangan Haikal, “Haikal tenanglah! Aku marah karena kamu tidak pernah cerita tentang semua ini kepadaku”
Jihan menghela napas sedih, “Bagaimana kamu bisa terlihat begitu tegar namun ternyata telah menyembunyikan begitu banyak luka?”
“Jihan, aku baik-baik saja” jawabnya
“Baik-baik saja apanya, Haikal Bagaskara?!” Jihan gemas mendengar jawaban Haikal yang tidak masuk akal
“Ya, karena Tuhan sudah memberiku hadiah yang setimpal, sehingga aku baik-baik saja.” ucapnya santai
“Hah? Hadiah apa?” tanya Jihan
“Kehadiranmu, Jihan Amaya.”
Jihan dibuat salting mendengarnya, “Haikal, serius ih!” Haikal tertawa mendengar reaksinya, tersirat rasa sedih di hatinya saat tersadar Ia tidak bisa melihat ekspresi lucu Jihan lagi.
“Dunia ini tidak akan terasa berat jika kita tidak merasa sendiri, itulah mengapa kehadiranmu kusebut hadiah yang berharga, mengerti?”
Jihan dibuat tak bisa berkutik, Haikal sungguh membuatnya candu. Namun Jihan tau, dibalik tawanya, Haikal merasa kalut, dimana Ia tak lagi bisa menikmati jingganya senja.
“Haikal, masih ingat Melukis Senja kan? Sekarang giliranku menyanyikannya untukmu” tutur Jihan, Haikal hanya mengangguk.
“Aku mengerti, perjalanan hidup yang kini kau lalui
Ku berharap meski berat kau tak merasa sendiri
Kau telah berjuang menaklukkan hari-harimu yang tak mudah
Biar ku menemanimu, membasuh lelahmu”
Haikal, tolong bahagia ya?
─§─
“Kenapa kamu kesini? Kenapa kamu masih hidup?”
Kata-kata yang terucap dari bibir mamanya saat Haikal berkunjung. Haikal berbisik pada Jihan untuk menunggunya diluar saja.
“Sudah tidak apa-apa, dia ini mamaku, aku akan baik-baik saja. Nanti aku akan minta bantuan suster untuk keluar, tolong ya?”
Akhirnya Jihan mengalah dan menurut untuk meninggalkan Haikal berbicara berdua dengan mamanya.
“Cih, kenapa kamu tidak mati saja waktu itu? Menyusahkan” ujarnya
Haikal tak menghiraukan mamanya, Ia justru menyodorkan sebuah kertas, “Ma, abang bawa surat untuk mama. Itu abang tulis sendiri, abang senang kalau mama mau membacanya”
Baru saja Haikal menyelesaikan kalimatnya, terdengar sebuah bunyi robekan. Haikal mengerti, mamanya pasti telah merobek suratnya.
“Saya tidak butuh sampah ini”
Haikal tersenyum tipis, “Kalau begitu abang minta peluk mama saja boleh?”
Mamanya menampar pipi Haikal, “Jangan belagu kamu! Dasar anak cacat!”
“Kamu dan adik kamu itu pembawa sial buat saya!”
“PUAS KAMU MELIHAT SAYA DISINI, IYA? DASAR IBLIS!”
Tangan Haikal gemetar, Ia tidak bisa melihat apapun, sehingga pendengarannya lebih peka terhadap apapun, dan cercaan mamanya begitu terdengar jelas ditelinganya.
Haikal berlutut, bersujud pada kaki mamanya, “Ma, maafin abang karena harus terlahir ke dunia, maafin abang karena abang masih hidup sampai sekarang, abang sayang mama”
Mamanya berteriak tak karuan, Ia menendang tubuh Haikal menjauh dari kakinya. Sustersuster disana mulai menenangkan mamanya dan membawa mamanya kembali ke kamarnya.
Haikal menangis, merasa bersalah pada mamanya. Ia tidak akan pernah membenci mamanya.
Sedangkan Jihan berlari ke arah Haikal dan dengan sigap memeluknya, “Haikal maaf, kali ini harus aku yang memelukmu, tapi aku yakin suatu saat mamamu pasti akan memelukmu juga, Haikal percaya padaku kan?”
Haikal mengangguk, masih dengan air matanya. Ia percaya, suatu saat nanti mamanya akan menoleh ke arahnya dan memeluknya erat.
Haikal menunggu saat-saat terindah itu.
─§─
“Itu bukan sih, si badut buta?”
Bisik-bisik murid lain saat Haikal berjalan menuju kelasnya, di hari pertama Ia kembali bersekolah.
“Aduh bacot banget sih lu!” seru Jihan kepada orang-orang tadi.
“Jihan, udah biarin aja, jangan diladenin, lagipula yang mereka omongin memang benar” ucap Haikal lembut
“Kal, bukan gitu─” belum sempat Jihan menyelesaikan kalimatnya, seseorang dengan sengaja menyenggol tubuh Haikal dan menumpahkan minumannya pada seragam Haikal. “Duh, tuhkan minuman gua jadi jatuh!” pekiknya dengan menyalahkan Haikal
“Ah, maaf-maaf!” ucap Haikal panik
“Makannya kalau jalan itu lihat-lihat, dipakai matanya, ah lupa, lo kan si buta” tutur murid tersebut diikuti tawa murid-murid sekitar yang menyaksikan drama pagi itu
“Haikal, dia sengaja! Dia yang seharusnya minta maaf!” seru Jihan gemas
“Cih, minta maaf katanya, nggak sudi!” mendengarnya Jihan tanpa basa-basi menjambak rambutnya.
Haikal panik, namun Ia tidak bisa menemukan dimana keberadaan Jihan, “Jihan cukup, aku nggak apa-apa”
Haikal khawatir, Jihan terluka hanya demi membela dirinya. Haikal tidak mau menjadi penyebab luka seseorang. Cukup Haikal saja yang menderita, jangan Jihan.
─§─
“Jihan, mulai besok lupain Haikal aja ya?”
Jihan yang sedang mengobati bekas luka setelah bertengkar tadi seketika terdiam mendengar kalimat yang keluar dari bibir Haikal.
“Haikal, kamu bercanda ya?”
Haikal menggeleng, “Jika terus bersamaku, nanti kamu bisa terluka lagi, aku tidak suka”
“Apasih? Kan kamu yang minta aku untuk menetap, ingat?” jawab Jihan
“Iya, tapi tidak lagi untuk sekarang. Aku berangkat bareng Mark besok”
Jihan kesal mendengar jawaban dari Haikal, “Terserah, kalau itu mau mu, dengan senang hati ku lakukan.”
Kemudian Jihan meninggalkan Haikal sendirian, “Jihan, maafkan Haikal, aku hanya tidak ingin kamu terluka lagi.”
─§─
Kemarin Jihan sebenarnya hanya kesal saja, Ia tidak serius tentang hal itu.
Haikal adalah alasannya menetap di dunia, bagaimana bisa Ia melupakannya?
Jihan terus kepikiran apakah Haikal baik-baik saja? Ia merasa tak tenang, hingga akhirnya menemukan Haikal sedang duduk bersama Mark dan gitar klasiknya di tangga belakang sekolah.
“ku, tak ingin ku lepaskan, hanya kau
yang ku inginkan haruskah ku ada,
haruskah ku pergi mungkinkah ku
relakan semua? mungkin ku tak
benar, salahkan diriku ku tak ingin
melihatmu pergi”
Mendengar bait lagu yang dinyanyikan oleh Haikal, membuat Jihan mengerti. Haikal sebenarnya juga tidak ingin jika Jihan melupakannya seperti ini.
Hal itu membuat Jihan tersenyum, Ia berniat untuk meminta maaf pada Haikal sepulang sekolah nanti. Kemudian Ia menuju kantin, membeli susu coklat sebagai permintaan maafnya nanti.
“Haikal, gua kencing bentar ya” ujar Mark pamit, Haikal meng-iya-kan
Sesaat kemudian ada seseorang yang menepuk pundaknya, “Eh Mark udah selesai? Cepet banget”
Buagh!
Seseorang melayangkan pukulannya pada Haikal hingga Ia tersungkur menabrak dinding dibelakangnya. Jelas, itu bukan Mark.
“Hahaha Mark katanya, seru juga ngebully si buta” ujar seseorang yang memukulnya tadi.
“Kalian siapa?” tanya Haikal seraya mendesis perih.
Seseorang itu kembali melayangkan bogemannya pada Haikal.
“Halah bacot, lu buta, kalau tau gua siapa juga kagak ada gunanya. Ingat, lu buta” tuturnya diikuti dengan tawanya yang nyaring.
“Udahlah nggak usah basa-basi, langsung sikat aja si buta, habis itu kita sikat si Jihan yang ngejambak pacar lu” sahut temannya
Mendengar nama Jihan disebut, Haikal segera bertindak, “Jangan Jihan, jangan sakitin dia, dia perempuan, tubuhnya lemah, cukup aku saja”
Seseorang menarik kerah Haikal, “Beraninya lu nyuruh gua? Makan nih bogem” kemudian Haikal dipukul dan ditendang tanpa ampun oleh mereka.
Haikal hanya bisa merintih, “Jihan, sakit…”
Tubuh Haikal penuh luka lebam, gitarnya klasiknya juga rusak digunakan mereka untuk memukulnya.
Kepalanya berulang kali dibenturkan ke dinding, perutnya ditendang hinggak napas Haikal tercekat. Ia merintih memanggil mama dan Jihannya.
Hingga salah satu dari mereka tidak sengaja menendang Haikal hingga Ia terjatuh dan terguling dari atas tangga. Haikal tidak bergerak, sepertinya kepalanya juga bocor.
“Mati bangsat, lu terlalu semangat!” seru salah seorang diantaranya
“Ya maaf, habis gua kesel banget. Gimana nih?” jawabnya
“Udah deh cabut aja yuk, bahaya” ajak salah satu dari mereka yang kemudian meninggalkan Haikal yang dengan keadaan mengenaskan.
Sedangkan tak lama setelahnya, Mark kembali dari kamar mandi,
“Sorry lama Kal, kencing gua agak keras tadi─ANJIR KAL, LU KENAPA?!”
─§─
Jihan lemas, saat mendengar kabar bahwa keadaan Haikal sedang kritis.
“Lu tau kan Mark? Haikal itu tuna netra, jangan ceroboh tinggalin dia sendiri!”
“Jihan maaf, tadi itu bener-bener hukum alam, gua serius kebelet”
Bunda, Kanaya, dan Jihan. Semuanya berkumpul di depan ruangan dimana Haikal ditempatkan, dan Jihan masih tidak bisa menerima kenyataan bahwa Haikal bisa kritis hanya karena ditinggal sendirian saat Mark kencing.
Namun, Jihan lebih tidak bisa memaafkan dirinya, yang dengan tega meng-iya-kan permintaan Haikal untuk melupakannya, disaat Haikal sedang membutuhkannya.
“Jihan, semua akan baik-baik saja, doakan saja yang terbaik untuk Haikal ya?” ucap bundanya menenangkan Jihan yang terus gelisah, Jihan memeluk bundanya erat,
“Iya teh, abang itu orangnya kuat, suatu saat nanti Kanaya mau jadi hebat seperti abang” tutur Kanaya
Jihan mengangguk sembari tersenyum pedih, “Iya, Haikal itu orang yang kuat”
─§─
“Haikal, ini kedua kalinya kamu terbaring disini. Aku tidak mau melihatmu seperti ini untuk yang ketiga kalinya. Maafkan aku, semuanya terjadi karena salahku, hanya salahku.”
Haikal dengan lemas berusaha mengusap air mata Jihan, “Kamu tidak salah. Jangan menangis”
“Haikal, pipiku disini” Jihan menuntun tangan Haikal yang sedari tadi melayang, kesulitan menemukan pipi Jihan.
Haikal terkekeh, “Maaf, menjadi buta itu memang merepotkan kau tau? Kalau sudah begini bagaimana caranya untukku agar bisa melukis senja untukmu?”
Jihan semakin dibuat menangis olehnya, “Haikal jangan seperti ini lagi, aku takut”
Haikal mengangguk, “Aku janji tapi tolonglah berhenti menangis untukku, aku kan masih hidup”
Jihan mencebik, “Bodoh, harusnya kamu itu terharu dan jangan bicara yang aneh-aneh”
Haikal lagi-lagi terkekeh, “Iya, tuan putrinya bunda”
“Tuan putrinya bunda doang?” goda Jihan. Haikal tersenyum seraya menggenggam kedua tangan Jihan lembut,
“Iya, kalau untukku, kamu malaikatku”
─§─
Jihan menatap nanar sebuah flashdisk ditangannya.
Flashdisk tersebut diberi oleh Kanaya, “Itu dari abang buat teteh”
Dengan bergetar, Ia menghubungkan flashdisk tersebut dengan laptopnya, muncul sebuah folder bernamakan “Untuk Jihan”
Di dalam folder tersebut terdapat sebuah file video berjudul, “Hai Malaikatku”
Jihan mengambil napas sejenak, sebelum akhirnya menekan tombol putar pada video itu.
“Hai Jihan Amaya!”
Ini bahkan baru bagian awal, namun air mata Jihan sudah tidak dapat dibendungnya. Haikal disitu terlihat sangat ceria, seperti biasanya.
“Jika kamu memutar video ini, itu berarti terjadi sesuatu yang buruk padaku kan? Aku tau kau saat ini sedang menangis, tolong jangan menangis terus ya? Kamu sudah terlalu banyak menangis untukku”
Ya, ini sudah hari ke empat, Jihan kehilangan mataharinya.
Kata dokter, Haikal divonis gegar otak akibat kepalanya terlalu banyak terbentur benda keras.
Yang Jihan ingat, sebelumnya Haikal sering mual dan beberapa kali kehilangan kesadaran.
Jihan juga masih ingat kata-kata Haikal sebelum hilang kesadaran untuk yang terakhir kali,
“Jihan, kalau terjadi sesuatu padaku, aku titip Kanaya ya?”
“Haikal, jangan bicara yang aneh-aneh.”
Haikal terkekeh, “Iya maaf, kalau aku mengajakmu menikah, apakah itu juga terdengar aneh?”
“Iya! Kamu ini lagi sakit, masih aja sempat menggodaku” balasnya
“Tapi yang kukatakan itu sungguhan”
Jihan dibuatnya tersipu, “Kata bunda kalau mau menikahiku harus sembuh dulu, makannya cepatlah sembuh ya?”
“Iya, jangan khawatir, sebentar lagi aku pasti sembuh”
Jihan masih saja menangis jika mengingatnya, kenangan itu sangat melekat di memorinya. Ia kembali memutar videonya.
“Jihan, dunia ini begitu luas dan gelap, hingga aku merasa takut untuk berdiri sendirian. Tapi Tuhan itu baik, dia menghadirkan malaikat berwujud Jihan Amaya untukku, sehingga aku tak lagi merasa kesepian”
“Jika aku bisa bertemu ayahmu, akan aku mengatakan jika anak perempuannya sudah tumbuh menjadi gadis cantik yang baik”
“Oh iya, kalau terjadi sesuatu padaku, aku sudah berpesan akan menitipkan paru-paruku untukmu, agar Jihan tidak sedih lagi. Tolong diterima dan dijaga dengan baik ya?”
“Jadi jangan mencoba untuk lompat seperti dulu lagi, karena kini aku juga bernapas bersamamu. Lagipula aku dan bunda juga tidak akan suka dengan itu, dan juga aku tidak mau ada lelaki lain yang mendekapmu seperti aku dulu.”
“Aku mencintaimu, sungguh. Maaf sudah banyak merepotkanmu. Terimakasih ya?”
“Jihan, ayo melukis senja bersama.”
Videonya selesai, kepala Jihan pusing, Ia terlalu banyak menangis. Jihan rindu Haikalnya, sangat rindu hingga dadanya terasa sesak.
Haikal, kembalilah.
─§─
Jihan terkejut, mengetahui bahwa yang mengunjungi Haikal saat ini bukan hanya dirinya.
“Loh, tante? Mamanya Haikal kan?”
Seseorang tersebut menoleh ke arah Jihan, “Kamu Jihan ya?” ya, Jihan tak salah melihat, Ia mamanya Haikal.
“Iya tante. Maaf, tante mau ngapain di makamnya Haikal?”
Jihan khawatir, apa lagi yang ingin tante ini lakukan? apakah tante masih tidak cukup puas setelah mengubah dunia Haikal menjadi gelap?
“Dia anakku, aku harus mengunjunginya. Aku sudah membuat banyak dosa untuknya” ucapnya terisak, kemudian mengeluarkan sebuah kertas yang lecek dari kantongnya.
Tampak kertas tersebut sudah sempat robek. Jihan tau, ini surat yang Haikal tulis untuk mamanya,
“Haikal juga menceritakanmu disitu.”
Jihan membaca surat tersebut,
“Mama, apa kabar? Mama makan teratur kan? Abang disini kangen sama mama.”
“Ma, abang salah apa? Mengapa mama begitu membenci abang? Ah tidak, abang yakin mama sayang sama abang, hanya saja mama tidak tau bagaimana mengungkapkannya bukan?”
“Kalau mama memukul abang itu artinya mama sayang dengan abang, maka abang mau setiap saat dipukul mama. Asalkan mama jangan tinggalin abang ya?”
“Mama, Kanaya pintar menulis, dia yang membantu abang menulis surat ini. Karena kini dunia abang semuanya gelap. Mungkin, Tuhan mengambilnya dari abang karena abang harus terlahir dan membawa sial untuk mama, maafin abang ya?”
“Ma, abang bertemu Jihan, gadis cantik yang selalu bersedia untuk menemani abang, mama harus berkenalan dengan Jihan, sekalian abang mau miinta izin untuk menikah dengan Jihan ya? hehe”
“Kanaya bilang dia sudah capek, sampai sini dulu surat abang. Abang dan Kanaya sayang mama, kita nggak akan pernah membenci mama”
“Suatu saat nanti, abang mau dipeluk mama ya?”
Jihan gemetar membacanya, Haikal Bagaskara adalah satu-satunya lelaki yang tak pernah berhenti untuk membuatnya kagum.
Ia banyak belajar darinya, terutama kesabaran.
Mama Haikal menangis sembari memeluk batu nisan milik Haikal, “Abang, ayo pulang, katanya abang mau dipeluk? Abang marah ya sama mama? Mama tau mama jahat, maafin mama ya?”
Jihan ikut terisak mendengarnya, Ia berharap Haikal bisa mendengarnya,
Haikal ayo kembali, bukankah saat indah ini yang kau nanti-nanti?
Jihan mendekap mama Haikal erat, “Tante, jangan lupa, tante masih punya Kanaya, tolong jangan buat Kanaya merasakan hal yang sama seperti abangnya, ya? Haikal pasti akan senang jika melihat mama dan adiknya bahagia saat ini.”
“Jihan makasih banyak sudah menemani anak tante selama ini ya” mama Haikal memandang Jihan seraya tersenyum.
Jihan mengangguk, “Makasih juga untuk tante, karena telah melahirkan sosok laki-laki tangguh ini. Walaupun Jihan hanya bisa bersamanya dalam waktu yang sangat singkat.”
Ya, andai Jihan mengenalnya lebih awal, Ia bisa mendekap Haikal lebih lama.
Namun menyesal tak ada gunanya, tak akan merubah apapun. Haikalnya akan tetap terbaring disana, tetapi Ia akan tetap bernapas selama Jihan masih hidup.
Jihan mendekap dadanya, sembari menatap ke langit.
Haikal, selamat beristirahat. Di kehidupan lain, mari kita melukis senja bersama.
Tamat
•
Alhamdulillah akhirnya kisah ini selesai. Terima Kasih untuk diriku yang sudah berjuang mengetik kisah ini dengan terburu, haha. Sampai jumpa!
─7 Februari 2021─
Van, divisi romantory
Askara (Lee Haechan as Haikal Bagaskara) Genre romantic, humor (additional genre; drama and lil fanfiction)
•
Kisah ini belum selesai.
Terus melaju hingga petualangan terakhir yang sebenarnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro