TEN
RC7-11 berhenti di depan sebuah kabin di tengah hutan. Aira menatap melalui kaca jendela ke arah bangunan bergaya modern yang disebut Yury sebagai hunian.
"Kau tinggal di situ?" tanya Aira sambil menoleh ke arah lelaki itu.
Yury tersenyum lebar. "Ya, tidak jelek untuk ukuran sebuah kabin, bukan?"
Aira tertawa kecil. "Kabinmu hampir seluas rumah pintarku. Itu jelas bukan hunian biasa."
Yury tergelak sambil melepaskan sabuk pengaman. "Ayolah, kita masuk."
Mereka berdua bersamaan turun dari mobil. RC7-11 segera menutup pintu kembali dan mematikan mesin. Aira melangkah lambat di samping Yury melalui tanah bersalju sembari matanya terus mengamati situasi kabin.
Bangunan itu terlihat unik dengan kayu-kayu yang berbentuk melengkung dan melingkar artistik. Ditambah lagi, dominasi dinding-dinding kaca di bagian horizontal sebelah kiri dan berlantai tiga pada sisi vertikal di kanan, membuatnya tampak semakin cantik.
Yang paling Aira suka adalah nuansa hitam putih di kabin mewah yang begitu kentara meski sebagian terlihat memutih oleh salju. Sebuah kolam renang kecil di depan bangunan horizontal tampak sedikit terlindung oleh gumpalan-gumpalan laksana kapas mengambang di atas air dan menyelimuti sekitar area itu.
Aira melempar pandang ke sekitar yang tampak temaram oleh lampu-lampu hias di sekeliling. Pohon-pohon besar tampak sedikit bergoyang membayangi dalam kegelapan, terutama di bagian belakang dan samping.
"Sejak kapan kau tinggal memencil di tengah hutan ini?" Aira merapatkan mantel seiring angin menerbangkan rambutnya.
"Hmm ... aku memilikinya sudah cukup lama, tetapi baru mulai memutuskan untuk menempatinya sejak berhenti menjadi astronaut sekitar dua tahun yang lalu. Aku berencana membangun kediaman ini sebagai tempat tinggalku kelak bersama pengantinku. Kukira itu adalah dia, ternyata bukan."
Aira menoleh seiring kakinya meninggalkan jejak di hamparan salju sebelum menginjak teras kabin. "Dia? Maksudmu, mantan yang kau ceritakan saat di bar waktu itu?"
"Ya." Yury tersenyum samar. Dia menekan beberapa kode angka pada sisi pintu, hingga terdengar bunyi klik dan terbuka.
"Selamat datang di dunia mantan astronaut, Nona Sejarawan." Yury tersenyum lebar sambil mempersilakan Aira masuk lebih dulu ke dalam bangunan yang seketika diterangi cahaya dan memberi suasana hangat.
Aira merasa seketika berada di luar angkasa begitu memasuki ruang utama. Lantai dan langit-langit kabin bernuansa gelap malam yang terkesan terang gemerlap oleh bintang-bintang serta benda-benda langit lainnya.
Pemandangan sekitar kabin pun terlihat jelas dari dinding-dinding kaca tebal jendela. Sementara tadi dari luar seakan tak terlihat bagian dalamnya.
Sofa, meja, serta lukisan pun bernuansa senada. Beberapa dekorasi pun terlihat turut menghiasi ruangan dengan bentuk benda-benda luar angkasa.
"Wow," gumam gadis itu takjub. "Aku suka langit, tetapi ini sungguh ... luar biasa menakjubkan. Ini ... seperti aku sedang berjalan di atas langit malam dan berada di bawah hamparan dunia nebula."
Yury hanya tertawa kecil sambil membantu melepaskan mantel Aira dan juga dirinya, menggantungkan kedua benda itu ke sebuah kayu gantungan khusus di pojok dekat sofa, lalu melangkah lebih dulu menuju ruangan bagian dalam. "Ini hanya saat malam hari. Pagi hari nanti, semua akan terlihat normal kembali. Namun, aku sungguh sangat senang melihat ekspresimu saat melihat semua ini."
"Sepertinya aku mulai merasa betah di sini," celetuk Aira setengah bergurau sambil mengikuti Yury yang ternyata melangkah menuju bagian dapur.
Yury yang tengah menuang minuman dari botol ke gelas dari balik meja bar kecil pun sontak menoleh dengan ekspresi antusias. "Tinggallah di sini bersamaku, jika kau mau. Aku tak keberatan sama sekali dan akan sangat senang hati menerimamu sebagai tamu."
"Hanya tamu?" Aira hampir menampar mulutnya sendiri dengan tangan. Dia seketika terdiam, berpikir, sejak kapan bisa berucap kata-kata menggoda seperti yang biasa dilakukan Airy.
Yury tersenyum penuh arti seraya menaruh botol kembali. Dia mempersilakan Aira duduk pada kursi di depan meja barnya dengan kode tangan sambil menyodorkan segelas minuman berwarna merah. "Ini koktail buah. Sifatnya hanya menghangatkan, tapi kujamin tidak akan membuatmu mabuk. Kau aman."
Dia pun berjalan sambil membawa gelasnya, melewati sisi meja, lalu turut duduk di kursi bagian samping kanan Aira. Lelaki itu mengedipkan mata sembari memegangi gelas minuman yang juga berisi cairan merah. "Tidak, mengingat begitu intensnya kau menciumku saat di Bar Voda, kurasa kau bukan hanya sekedar tamu biasa. Kau tamu istimewa, Aira."
Wajah Aira memanas seketika. Dia tersenyum gugup sambil meraih gelas minumannya. "Itu hanya ... reaksi spontan ... demi membantumu ... meyakinkan ... mereka." Gadis itu berdeham kecil sebelum menyesap cairan merah yang terasa hangat saat melewati tenggorokan.
Yury menaruh gelas di tangannya ke meja. Dia memajukan wajah kemudian, menyisakan jarak hanya beberapa senti dari sisi wajah Aira.
"Hanya demi membantu? Lalu kenapa aku merasakan bibirmu begitu panas dan penuh gairah saat melumat bibirku? Ah, Nona. Apa kau hanya memanfaatkanku saat itu?" Ekspresi lelaki itu kemudian terlihat seakan tengah terluka. "Aku merasa telah dinodai." Dia mengerucutkan bibir, tetapi memberi tatapan mata begitu intens menggoda.
Aira tersedak seketika. Tangannya bahkan gemetar saat menaruh gelas ke meja.
Dia tertawa kikuk kemudian sambil mencoba mengubah posisi tubuhnya sedikit menjauh. Gadis itu berusaha mengalihkan pandangan ke sekitar dapur seraya mengeluarkan suara seperti seseorang yang tengah mengeluh.
"Untuk ukuran seorang lelaki bujangan, dapur ini sungguh sangat rapi dan bersih. Kau bahkan tak terlihat memiliki robot asisten untuk membantumu."
Ekspresi Yury berubah saat dia tertawa. Suaranya terdengar renyah dan menggelitik di telinga Aira. "Aku menyukai kesempurnaan, termasuk dalam soal kebersihan dan kerapian. Aku terbiasa melakukan segala sesuatunya sendiri."
"Hmm ... omong-omong soal para lelaki berseragam yang mengejarmu di bar, kalau tidak salah kau menyebut orang-orang itu adalah suruhan orang tuamu. Bisa kau ceritakan apa yang terjadi sebenarnya? Maksudku, kenapa orang tuamu sampai harus mencarimu seperti itu? Kau kabur dari rumah? Kau menghindari mereka?"
Bibir Yury mengembang. "Wow, pertanyaanmu begitu banyak, mana yang harus aku jawab lebih dulu?" Ekspresinya berganti serius kemudian. Dia seakan tengah menerawang, menatap kosong.
"Saat mereka tahu hubunganku kandas dan aku bahkan berhenti menjadi astronaut, mereka terus berupaya menjodohkanku dengan gadis lain. Kau tahu, mereka bilang calon pilihan mereka itu seorang aktris film aksi terkenal. Cantik, mapan, populer, pintar, berbakat, sikapnya penuh sopan santun, dan latar belakangnya pun bagus.
"Yang terpenting adalah, orang tuaku dulu pernah mengenal orang tuanya. Meski tak bisa dikatakan dekat, tetapi mereka mengagumi orang tua gadis itu, terutama papanya yang merupakan desainer robot asisten yang genius. Sayangnya, dia dan istrinya tewas dalam sebuah kecelakaan. Orang tuaku ingin aku menyetujui pilihan mereka kali ini sejak hubunganku dengan gadis pilihanku sendiri ternyata gagal dan mengecewakan. Mereka berani menjamin bahwa calonku itu jauh lebih baik dan sempurna daripada mantanku."
Aira mengerutkan kening. Yang dia tahu, papanya dulu dikenal sebagai seorang desainer robot asisten genius dan seingatnya, tidak ada aktris film aksi yang lebih populer daripada Airy di Ruzia. Namun, ciri-ciri yang disebutkan orang tua Yury tentang Airy itu membuatnya bertanya-tanya dalam hati sejak kapan adiknya penuh sopan santun meskipun tidak aneh jika sang adik memang pintar dalam hal akting atau berpura-pura.
"Kau sudah bertemu gadis itu?"
Yury menggeleng. "Tentu saja belum. Aku bahkan tak ingin tahu tentangnya. Buat apa? Aku tak tertarik berhubungan dengan aktris film." Dia mendekatkan wajah kembali ke arah Aira. "Aku rasa aku lebih suka seorang sejarawan. Kau tahu, gadis yang cerdas serta berpengetahuan luas lebih menarik hatiku ketimbang kecantikan fisik atau hal-hal tak penting lainnya."
Aira berusaha menyembunyikan senyum malu-malunya dengan mengulum bibir dan menggigitnya. Ada hal penting yang harus dia konfirmasi segera. Gadis itu berdeham kecil sambil berusaha menciptakan jarak kembali di antara mereka berdua. "Kau tahu siapa namanya?"
Yury mengangguk acuh tak acuh. Seakan enggan membicarakan soal itu. "Tentu. Mereka memberitahuku. Namanya Airy. Airy Ivanova."
Aira sontak tertawa sumbang kini. Dia bahkan sempat mengumpat dalam hati.
"Ada yang lucu?" tanya Yury heran.
"Hidupku sangat amat lucu. Aku menertawakan itu."
Yury menyipitkan mata. "Baiklah. Sepertinya ada yang ingin kau katakan. Bilang saja terus terang."
Aira menggeleng-gelengkan kepala. "Aku bahkan masih tak percaya dengan apa yang kudengar saat ini."
"Soal apa?" kejar Yury.
"Calonmu yang baru itu."
Kening Yury kembali berkerut. "Kenapa memangnya? Ada apa dengan calonku itu? Katakan padaku."
Aira mendesah. "Kau benar-benar ingin tahu?"
Yury memaksakan sebuah tawa yang teramat singkat. "Ha! Tentu saja!"
"Kau bilang kau tak mau tahu soal gadis itu."
"Memang tidak, tetapi reaksimu membuatku penasaran. Kau pasti sangat mengenalnya!"
Aira mendengkus sebelum menatap Yury dalam-dalam. "Dia adikku. Adik kembarku."
Mulut dan mata Yury sontak membuka lebar kini. "Apa? Itu konyol! Bagaimana mungkin? Bagaimana bisa? Kau bercanda, bukan? Kembar? Itu artinya, kalian serupa?"
Aira menghela napas panjang, tanpa mengalihkan pandangan dari Yury. "Kenalkan. Aku Aira Ivanova."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro