SIX
Ucapan Dimitri tadi terus terngiang di telinga Aira. Dia bahkan masih memikirkan soal itu di antara fokusnya mengamati artefak kembali, sampai tersadar di menit-menit terakhir jam kerja.
Gadis itu merapikan semua benda di meja sebelum bersiap-siap untuk pulang ke rumah. Dia baru saja keluar pintu, ketika melihat sebuah pemandangan yang seharusnya bisa meledakkan amarah. Namun, Aira justru memutuskan memamerkan senyuman ramah.
Airy terlihat bersama Sora, bergandengan tangan, berjalan pelan akan melewatinya. Kedua gadis kembar hanya saling melirik tanpa kata. Sang adik bahkan tak membalas senyuman Aira.
Airy, kita perlu bicara. Ini penting.
Berhentilah membahas soal aku dan Sora, Aira! Perjuangkan dia secara adil jika kau mau!
Bukan soal itu. Kau harus tahu. Dia duda, bahkan ada kemungkinan pelaku kekerasan dalam rumah tangga!
Apa? Kau sekarang punya hobi baru memfitnah orang hanya agar dapat membuatku mundur dan kau bisa memenangkannya?! Tapi, tunggu dulu. Sejak kapan kau meneliti manusia hidup?
Airy, aku serius! Dengarkan aku dulu! Kita bicara baik-baik! Ini demi kebaikanmu!
Berhentilah mencari alasan dan berpura-pura, Aira! Demi kebaikanku? Cih! Kau pikir aku bodoh?
Ya, kepala batumu sering membuatmu bodoh, Airy!
Setidaknya aku tidak berpura-pura sepertimu! Bilang tidak menginginkan, tetapi justru menolak melepaskan! Pecundang!
Sora menghentikan langkah begitu melihat senyuman di wajah Aira lenyap, berganti dengan bibir yang mengatup rapat, sedikit berkedut-kedut, seakan berusaha mengunci sesuatu agar tak keluar dari mulutnya.
"Aira, kebetulan sekali. Kukira kau masih akan memutuskan berkutat dengan artefak hingga dini hari. Apa yang membuat benda itu sangat menarik perhatianmu?"
Aira tidak sedang tertarik membahas soal ketertarikannya pada artefak kiriman baru. Keselamatan Airy lebih penting saat ini bagi gadis itu.
"Bisakah aku membawa adikku pulang malam ini? Ada hal penting yang perlu kami bicarakan."
Airy sontak memelototi Aira. Sora justru menoleh ke arahnya.
"Aku tak keberatan ... jika Airy setuju tentunya," ujar Sora terdengar ragu, begitu menyadari ekspresi wajah gadis itu.
Mata Airy menyipit, memandangi senyuman tegas Aira yang lebih menyerupai sebagai kode perintah baginya. "Apa pun itu, aku rasa kita bisa bicarakan saat aku pulang kencan nanti, Aira. Atau, kau berniat ingin ikut bergabung dengan kami?" Sudut kanan bibir gadis itu terangkat samar.
Aira menghela napas panjang perlahan. "Baiklah. Kau benar. Kita bicarakan saat kau pulang kencan saja. Aku akan menunggumu."
Airy tersenyum sambil mengedipkan mata ke arahnya. "Senang rasanya kita sepakat tanpa harus berdebat, Saudari." Ia menoleh ke Sora. "Kita berangkat sekarang?"
Sora mengamati wajah Aira sejenak yang memamerkan senyuman tipis sebagai persetujuan. Dia pun memberikan anggukan. "Ya, tentu."
Mereka pun berlalu. Aira memandangi punggung Airy dan Sora sampai keduanya berhenti di depan lift, dengan perasaan campur aduk tak karuan meski bibirnya berusaha mempertahankan sebuah senyuman palsu.
Setidaknya, itu sebelum dia melihat Airy memamerkan senyuman penuh arti ke arahnya begitu mereka memasuki lift. Seakan sengaja, sang adik bahkan melumat bibir Sora. Dada Aira pun bergemuruh seketika.
***
Sebuah bangunan bercat warna-warni, tak terlalu besar, terlihat ramai meski hanya diterangi oleh cahaya yang terkesan remang di kegelapan malam. Orang-orang, terutama anak-anak muda, seakan tak pernah berakhir, tampak keluar masuk bergantian. Mereka terlihat tertawa-tawa meski sebagian berjalan dengan sempoyongan.
Aira memarkirkan RC7-11 di depan bangunan tersebut sambil menatap ragu dari jendela. Dia tak mengerti kenapa mengarahkan mobil ke sana.
"Aku mendeteksi kita ada di depan bangunan yang bernama Morze. Aira, kau yakin ingin ke tempat itu? Database menunjukkan bahwa kau tak memiliki toleransi kuat terhadap minuman beralkohol seperti Airy."
"Hmm ... mungkin akan selalu ada saat pertama kali untuk setiap hal, RC." Aira mendengkus saat mengingat kembali kejadian yang dia lihat di lift sambil dengan cepat melepaskan sabuk pengaman.
"Sudah saatnya aku belajar untuk melakukan hal-hal yang tak pernah kulakukan, bukan? Setidaknya, itu hanya bar, bukan klub malam. Sekali dalam seumur hidup, aku butuh bersenang-senang. Siapa tahu, di sana aku akan menemukan seseorang yang bisa mengajarkanku tentang cara melupakan."
"Aku mendeteksi adanya suatu kesedihan. Aira, kau butuh bantuan atau hiburan?"
"Kau tunggu saja di sini."
Aira lantas keluar dari RC7-11, membiarkan pintu menutup otomatis kembali. Butuh beberapa saat menarik dan mengembuskan napas panjang sebelum berjalan ke arah bar dengan langkah penuh keberanian diri.
Begitu memasuki pintu bar, dia segera disambut oleh suasana cukup riuh penuh gelak tawa, obrolan, musik cadas yang cukup memekakkan telinga, dan dentingan-dentingan gelas yang saling beradu.
Aira segera menemui seorang pelayan bar yang tengah sibuk meracik minuman. Dia menduduki sebuah kursi kosong di depan meja panjang berbentuk L sambil berusaha menyembunyikan sikap canggungnya.
"Apa yang kau inginkan?" sapa si pelayan sambil sibuk memamerkan keterampilan tangan, memainkan wadah berisi racikan minuman sebelum menuangkannya ke gelas-gelas di atas meja, lalu memberikan itu ke beberapa pengunjung yang tengah menunggu.
Aira berpikir sejenak. Dia bahkan tak terlalu tahu nama-nama minuman di situ. "Buatkan aku sesuatu yang cukup untuk melupakan sesuatu."
Sang pelayan sontak mengerutkan kening. Namun, seakan tak peduli, dia pun kemudian mengangkat bahu dan mulai menuang cairan dari sebuah botol gendut dan langsing. Lelaki itu menyodorkan gelas berisi minuman ke depan Aira sambil mengedipkan mata. "Baiklah, yang kau perlukan adalah vozka campur. Semoga masalahmu terlupakan malam ini."
Aira menatap minuman di hadapan, diam-diam menelan ludah. Dia mengulurkan jemari perlahan sebelum mulai menyentuh bagian luar gelas yang basah berembun. Gadis itu pun memejamkan mata, lalu meraih dan mendekatkan segelas vozka ke mulut.
"Pertama kali minum?"
Sebuah suara serak dan terdengar cukup nyaring di antara riuh suasana menghentikan gerakan tangan Aira seketika. Dia menoleh cepat ke arah kanan bahunya.
Seorang lelaki bertopi biru dengan gambar roket putih terlihat memamerkan deretan gigi yang berbaris rapi ke arahnya. Dia menenggak minuman di tangan seolah itu bukanlah sebuah persoalan yang rumit seperti yang Aira pikirkan ketika hendak meminum vozka.
Aira berdeham, memutuskan menaruh kembali minumannya ke meja. "Untuk vozka, ya."
"Masalah yang rumit sepertinya?"
Gadis itu tersenyum samar, membalas senyuman menggoda dari lelaki yang dia perkirakan berumur beberapa tahun di atasnya. "Bisa dikatakan begitu."
"Biar kutebak. Soal cinta pasti. Patah hati? Bertepuk sebelah tangan? Dikhianati? Dibohongi?"
Aira tanpa sadar tergelak ringan. "Soal adik kembar yang ...," dia mendesah sejenak, "menyebalkan, lebih tepatnya."
"Oh. Kau yakin 'menyebalkan' adalah kata yang tepat?"
Mereka seketika saling beradu tatapan untuk beberapa lama. Aira memutuskan memfokuskan kembali pandangan ke gelas minuman di meja sementara Yury memainkan gelas di tangannya.
"Aku Yury, omong-omong."
Aira mau tak mau kembali menoleh, mengerjap menatap mata biru laut milik Yury. "Aira."
"Hmm ... Aira. Kusarankan kau tidak meminum itu, kecuali kau memiliki toleransi tinggi terhadap alkohol," ujar Yury sambil menunjuk ke arah gelas minuman Aira dengan dagu.
Aira melengos, memejamkan mata sejenak, lalu mendengkus. "Aku ingin sekali saja dalam hidup tak ingin mengkhawatirkan atau memikirkan apa pun saat mau melakukan sesuatu."
Dia kembali menoleh, beradu tatap beberapa saat dengan Yury yang justru malah memberi senyuman meledek seakan tengah menantangnya. Tanpa banyak kata lagi, Aira meraih gelas dari meja, lantas menenggak cairan vozka, hingga tak bersisa.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro