SEVEN
Aira tergelak usai mendengar kisah Yury. Meski sedikit samar, dia masih bisa menangkap kalimat-kalimat terakhir yang disampaikan lelaki itu.
Yury telah cukup banyak bercerita, dari mulai tentang benda-benda langit di luar angkasa, pengalaman kerjanya sebagai astronot, tempat asing di benua lain selain Hiddenland, hingga kisah cintanya yang kandas. Aira sempat merasa heran karena tak pernah merasa senyaman saat ini, berbincang dengan lelaki tampan tanpa harus merasa gugup dan kikuk seperti biasanya.
"Jadi ... kau memutuskan berhenti menjadi astronot ... hanya karena mantanmu dulu tak suka kalian sering berjauhan ... dan dia bosan mendengar cerita-cerita tentang luar angkasa? Wah, dia sangat konyol dan bodoh, tetapi ... kau sungguh jauh lebih idiot!"
Yury yang ikut tertawa, seketika memasang ekspresi heran di wajahnya. "Aku?" Mata biru lelaki itu membulat. "Kenapa?"
"Karena, kau melepaskan impianmu demi seorang ... yang bahkan tanpa banyak pikir, meninggalkanmu ... demi impian orang lain yang ingin dia kejar," jawab Aira separuh sadar.
"Hmm, mungkin kau benar, tapi aku tak merasa telah mengambil keputusan yang salah. Jika aku masih menjadi seorang astronot, saat ini aku mungkin sedang bertugas di luar angkasa dan tidak akan bertemu denganmu di tempat ini." Yury kini mengulum sebuah senyuman.
Tawa Aira terhenti. Mata gadis itu menatap Yury samar. Dia menaruh kedua lengan ke atas meja, hampir kesulitan menstabilkan tubuhnya yang mulai bergerak limbung. "Kau ... sedang merayuku?"
Yury lagi-lagi hanya tersenyum. "Jika kau berpikir aku sedang melakukan itu, maka anggaplah begitu."
Aira! Kau di mana? Kenapa tidak ada di rumah?
Aira mendengkus sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Pergilah!"
Yury mengerutkan kening. "Aku? Pergi ke mana? Kau mengusirku?"
Aira! Jawab aku!
"Dasar bodoh! Menjauh dariku, Saudari Kembar!"
"Hei!" Yury mulai terlihat bingung melihat sikap Aira. "Kau benar-benar mabuk separah itu sampai berhalusinasi? Hanya dengan segelas vozka?"
Aira tertawa seiring tubuhnya yang limbung hendak jatuh, bila tidak buru-buru dipegangi oleh Yury. "Aku tidak sedang bicara denganmu ...."
"Lalu? Kau bicara dengan siapa?"
Tiba-tiba terdengar suara keributan dari arah kerumunan pengunjung. Yury sontak menoleh.
"Ah, sial! Mereka menemukanku."
"Hah?" sahut Aira yang kini terlihat semakin limbung tak karuan. Dia bahkan sampai harus mengalungkan kedua lengannya ke leher Yury. "Siapa? Mantanmu?"
"Orang-orang suruhan orang tuaku," gumam Yury. "Aku harus segera pergi." Dia menatap Aira penuh khawatir. "Kau baik-baik saja jika kutinggal sendiri?"
"Ke mana?"
Yury terlihat mulai panik saat melihat sekumpulan lelaki berseragam menyadari keberadaan dirinya. "Toilet! Aku harus ke toilet! Kau baik-baik saja di sini, bukan?" Dia berpaling ke arah bartender. "Alex! Tolong awasi gadis ini. Telepon seseorang untuk menjemputnya pulang jika perlu. Aku harus pergi!"
Alex, si bartender, mengangguk acuh tak acuh tanpa menghentikan kegiatannya. "Tentu."
Kepala Aira mulai terasa sangat pening. Dia memejamkan mata, mendengarkan pembicaraan antara Yury dan bartender secara samar-samar. "Kau hanya ke toilet ... kenapa ribut sekali? Pergilah. Aku akan tunggu di sini."
"Maafkan aku. Jaga diri. Aku akan segera menemuimu kembali."
Itu kalimat terakhir yang Aira dengar sebelum tubuhnya merosot, lalu terduduk di lantai, dan tertidur.
***
"Nona! Nona!"
Alex sekali lagi mencoba mengguncangkan tubuh, bahkan berkali-kali menepuk-nepuk pipi Aira, berusaha membangunkannya. Dia menarik napas lega saat melihat gadis itu mulai membuka mata.
"Huh? Yury? Kenapa wajahmu terlihat berbeda?" Aira merasa kebingungan menatap lelaki berambut keriting pendek dengan tato di punggung tangan, tengah membungkuk di hadapannya. Dia mengedarkan pandangan kemudian ke sekitar ruangan yang kini terlihat sedikit lengang meski masih terlihat beberapa pengunjung tengah menikmati makanan dan minuman.
"Yury sudah pergi. Dia biasanya kemari lagi dini hari. Namun, sampai sekarang dia belum juga kembali. Aku Alex, bartender. Ingat? Aku tidak bisa membuka ponselmu untuk menghubungi seseorang agar datang menjemputmu. Kau ingat alamatmu? Kau bawa mobil tidak? Atau kau ingin aku membantumu menelepon seseorang?" cecar Alex tak sabar.
"RC7-11," gumam Aira. Dia menggeleng-gelengkan kepala sambil mengerjap-ngerjapkan mata, mencoba mengembalikan kesadaran. "Mobilku di luar."
"RC? Oh, mobil pintar rupanya. Baguslah. Dia pasti bisa mengantarmu pulang, bukan? Kau yakin bisa berdiri dan berjalan sendiri?"
Aira perlahan beringsut, menegakkan tubuh dengan berpegangan pada kursi di dekatnya. "Ya, aku rasa, aku baik-baik saja."
"Baiklah. Kuharap kau tiba di rumah dengan selamat. Yury sudah membayar minumanmu sebelum dia pergi."
Mata Aira mengerjap-ngerjap sebelum melangkah sempoyongan meninggalkan si bartender tanpa berkata apa-apa, kecuali memberi tatapan terima kasih ke arah lelaki itu. Dia mendekatkan jam di pergelangan tangan ke mulutnya.
"RC7-11, aku akan keluar sebentar lagi."
Begitu Aira tiba di luar pintu bar, RC7-11 telah siaga di hadapannya dengan pintu terbuka. Dia terus merapatkan mantel sambil melangkah cepat menghampiri, masuk, dan duduk di dalam mobil, tetapi tak segera memasang sabuk pengaman.
"Apakah kita akan menuju rumah?" tanya RC7-11 seiring pintu mobil menutup kembali.
"Tidak." Aira mendesah menikmati kehangatan di dalam kabin mobil. "Di sini saja. Aku akan tidur di mobil. Aku menunggu Yury. Besok pagi, dia mungkin akan kembali dan kami akan bertemu lagi."
"Perlukah aku menghubungi Airy?"
"Tidak perlu. Dia baik-baik saja tanpa aku," gumam Aira yang mulai memejamkan mata kembali. Gadis itu menghela napas, mencoba untuk tidur lagi.
Lampu di bagian pemutar musik RC7-11 berkedip-kedip. "Tidurlah, Aira. Aku akan putarkan musik penghantar tidur untukmu."
Musik instrumental pun mengalun lembut. Aira mendesah, mengatur posisi jok, hingga tubuhnya kini menjadi setengah berbaring.
"Selamat malam, RC."
"Selamat malam, Aira."
***
Aira! Aira! Kau di mana?!
Tubuh Aira melonjak tiba-tiba. Matanya sontak membuka. Dia menggeleng-gelengkan kepala. Untuk beberapa saat, gadis itu menganalisis keadaan diri dan sekitarnya.
Aira melirik ke arah jam di tangan kiri. Pukul lima pagi. Di luar sana, dalam kegelapan salju mulai berguguran lagi. Dia tak melihat Yury. Di sekitar bar masih tampak sepi.
"RC7-11. Kita ke hotel terdekat. Aku butuh mandi," ujar Aira sambil memasang sabuk pengaman.
"Baik, Aira. Kita akan menuju Hotel Bronzka." RC7-11 pun segera melaju membawa Aira menuju hotel.
Kau mengabaikanku? Kau marah denganku? Kau ingin putus hubungan persaudaraan denganku?!
Aira berusaha keras mengabaikan kontak telepati yang dikirimkan Airy padanya. Dia sungguh tak ingin berbicara dengan sang adik untuk saat ini.
Aira! Bicara denganku! Aku benci kebiasaan burukmu yang selalu memilih menghindar dan mendiamkanku saat sedang marah!
Aira tetap mengosongkan pikiran, mencoba tidak mau peduli. Dia tak ingin Airy mendengar apa pun yang ada di pikirannya saat ini.
Aira! AIRA!
RC7-11 tiba di depan sebuah hotel bergaya istana. Sebuah penginapan yang cukup besar dengan bangunan berbatu didominasi warna pastel sedikit pudar. "Kita sudah sampai, Aira."
Aira melepaskan sabuk pengaman, lalu membuka pintu mobil dan keluar. "Kau parkirlah dan segera lakukan mode tidur."
"Baik, Aira."
RC7-11 segera berlalu usai pintunya menutup kembali. Aira pun segera berbalik dan melangkah pergi.
Aira! Jika kau tak segera menjawab, aku akan mencarimu. Aku bersumpah akan menemukanmu dan membawamu pulang, bagaimana pun caranya. Kau dengar itu?!
Aira membisu, terus melangkah memasuki pintu hotel tanpa memedulikan suara Airy yang terus terdengar di kepala. Dia sungguh tak ingin bicara dengan gadis itu setelah apa yang dilakukannya.
Sang adik layak mendapat perlakuan diamnya sebagai hukuman. Aira sangat paham, Airy pasti akan dilanda kemarahan dan kegelisahan. Dia tak peduli. Hanya mengosongkan isi kepala dan bersikap diam, pertahanan sekaligus perlawanan yang bisa dilakukannya saat ini.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro