Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

One

2 Januari 2222, Mosca, Ruzia. Sebulan sebelum bencana asteroid melanda.

Salju baru saja berhenti usai meninggalkan tumpukan putih di setiap sudut Pusat Kota Mosca. Kesibukan pagi mulai terlihat dari para warga yang bersiap berangkat kerja meski matahari seperti biasa enggan memancarkan cahaya. Beberapa pria dan wanita muda berpakaian tebal dan rapi, membawa tas kerja, terlihat berjalan di trotoar dengan tergesa-gesa. Mobil-mobil canggih dan mewah meluncur bebas tanpa hambatan di atas rel jalan raya. Kereta pun tak kalah, melaju mulus pada jalur tersendiri di bagian atasnya.

Keheningan pagi itu mendadak dipecahkan oleh sebuah pekikan dari salah satu bangunan bernuansa hitam putih, tepatnya di ujung perumahan. Rumah itu tampak berbeda di antara jejeran rumah-rumah pintar di Risovoye Pole Zhil'ye lainnya yang kebanyakan bernuansa kemerahan dan kecokelatan.

Aira Ivanova, gadis berumur dua puluh tahun berambut cokelat keriting sepinggang, membulatkan mata abu-abunya saat melihat kekacauan di ruang tamu. Ia bangun setelah mematikan alarm robot pengingat jadwal untuk yang kelima kali sebelum memutuskan bangkit dan mandi dengan terburu-buru.

Namun, langkahnya yang bergegas, sambil tangannya sibuk menggantungkan tas selempang di bahu, menuju keluar pintu kemudian pun, tertahan oleh pemandangan di ruangan tamu saat ini. Kertas-kertas berisi catatan dan dialog menggeletak bercampur dengan sampah kapas bernoda bekas riasan wajah di sana sini. Meja kaca tak terlalu besar, berukuran bulat, dipenuhi sisa-sisa makanan pesan antar cepat saji.

Sementara itu, di sofa panjang hitam putih berlapis beludru, terlihat sesosok gadis sebaya dan serupa dengan Aira. Ia tetap mendengkur halus seakan tak terganggu sama sekali oleh suara bernada tinggi di dekatnya.

"Airy! Astaga! Kau jorok sekali!" Aira bergegas melangkah ke arah dapur. Ia mendapati sesuatu yang dicari tengah dalam posisi tidur.

"RH1! Bangun!" perintahnya pada sesosok robot putih yang segera menegakkan kepala usai mendengar suara itu.

"Selamat pagi, Aira. Waktunya membersihkan ruangan. Oh, oh aku terlambat. Sarapanmu belum siap."

Aira menghela napas panjang. "Sepertinya ada masalah dengan dirimu. Aku harus segera membawamu ke Toko Robotov untuk pengecekan sekaligus perawatan rutin nanti malam." Ia bergumam pelan sambil meraih sebuah apel dari mangkuk di atas meja.

"Airy masih tidur. Kau jaga dan urus rumah, aku berangkat," ujarnya kemudian pada RH1.

RH1 menggerak-gerakkan kedua tangan dan tubuhnya. "Semoga harimu menyenangkan, Aira."

Aira kembali melangkah ke ruang tamu sambil mengunyah apel di tangan. Ia menggeleng-gelengkan kepala begitu melihat sosok yang masih lelap tertidur di sofa kini telentang dalam posisi kedua kaki berlawanan. Satu menjuntai ke bawah, satunya lagi berada di atas sandaran.

"Waktunya pintu masuk museum dibuka. Waktunya pintu masuk museum dibuka. Jika terlambat kau akan kena bencana. Jika terlambat kau akan kena bencana."

Aira memutar mata mendengar ocehan gaya Airy di suara robot itu, lalu buru-buru meraih sepatu bot putih dari dalam rak lemari dekat pintu utama. Itu terlihat serasi dengan setelan baju dan rok di atas lutut beserta mantel formal yang membalut tubuhnya.

Gadis yang memiliki tinggi sekitar seratus enam puluh lima sentimeter dengan berat lima puluh lima kilogram itu pun melangkah ke depan pintu. "Buka!" Terdengar bunyi klik kemudian.

Ia menoleh ke arah robot hitam pengingat jadwal beberapa saat sambil memegangi gagang pintu yang telah terbuka agar membuka lebih lebar. "Jangan lupa bangunkan Airy, RH2-22!"

Aira segera keluar sebelum pintu utama secara otomatis menutup dan mengunci sendiri. Ia berjalan beberapa saat, hingga tiba di halaman, langkahnya pun terhenti.

Ia menekan tombol kecil pada sisi jam tangan putih di pergelangan tangan kirinya sambil mendekatkan ke mulut. "RC7-11, bangun!"

Terdengar suara derum halus sebuah mesin mobil dari arah garasi sebelum keluar dari pintunya yang menggeser ke atas. Benda putih elegan dan menawan itu berhenti tepat di hadapan Aira, dengan pintu otomatis membuka.

"RC7-11 siap mengantarkanmu ke mana saja, Aira."

Begitu suara bariton yang terdengar dari pengeras suara kendaraan pintar beroda empat itu saat Aira memasukinya dan duduk di atas jok yang empuk dan nyaman. Gadis itu menaruh tas selempangnya ke samping, juga menaruh sisa apel ke kotak sampah khusus sebelum memasang sabuk pengaman.

"Pergi ke Museum State Hermitage dalam waktu kurang dari lima menit." Pintu mobil menutup otomatis kembali.

"Siap dilaksanakan. Membuka gerbang." Gerbang bercat hitam putih pun terbuka dan segera menutup kembali usai mobil meluncur keluar.

***

Aira bergegas turun dari mobil begitu tiba di depan gedung museum. Ia membiarkan RC7-11 melaju sendiri menuju tempat parkir di bagian bawah bangunan.

"Selamat pagi, Aira!" sapa seorang staf keamanan. Dia seorang lelaki berumur tiga puluhan, berambut pirang kotor, bermata biru, berhidung mancung sedikit lebar dengan wajah dan senyum ceria. Ia terlihat mengusap-usap sambil sesekali saling menggenggamkan kedua tangannya.

"Pagi, Dimitri!" balas Aira ramah tanpa menghentikan langkah. Ia hampir berlari saat melihat pintu lift hampir tertutup. "Tunggu! Tahan pintunya!" teriaknya histeris.

Aira hampir menubruk seorang lelaki yang berdiri sendirian di dalam lift. Ia spontan memasang senyum kikuk sebagai permintaan maaf yang dibalas dengan senyuman tipis samar.

"Terima kasih," ujarnya, tanpa ada balasan. Aira pun berdiri di sebelah si lelaki asing sebelum pintu lift menutup.

Aira curi-curi pandang ke arah lelaki itu, bahkan berkali-kali melirik. Kulit putih, hidung tegak mancung meski sedikit lebar, mata biru berbulu lentik. Rambutnya ikal pirang kotor agak sedikit gondrong, dengan tinggi tubuh sekitar seratus tujuh puluh lima sentimeter, mengenakan setelan jas abu-abu metalik.

"Halo, sepertinya ... ini pertama kali aku melihatmu ... di sini. Kau ... staf baru?" tanya Aira dengan suara bergetar.

Lelaki itu menoleh sekilas, memamerkan senyumnya yang menawan. "Bisa dibilang begitu."

"Oh, di bagian ... ehem ... apa? Omong-omong, aku ... sejarawan." Kalimat-kalimat itu meluncur dari mulut Aira meski sedikit tersendat. Ia diam-diam meremas-remas jemari tangannya..

"Masih menunggu pengumuman."

Lelaki itu menjawab begitu singkat, tetapi cukup membuat jantung Aira berdebar kencang. Ia pun berdeham kecil. "Oh, kau ... belum tahu posisimu rupanya."

Lelaki itu lagi-lagi tersenyum, lalu mengulurkan tangan. "Sora."

"Oh, aku ... Aira." Jemari hangat Sora membuat jari-jari gadis itu seakan betah berlama-lama dalam genggamannya.

"Hmm ... Jadi, kau bangun terlambat pagi ini?" Suara rendah Sora menyadarkan Aira untuk segera menarik tangannya.

"Robot pengingat jadwal sudah membangunkanku beberapa kali. Aku baru berhasil bangun di alarmnya yang kelima."

"Oh, begitu rupanya. Kerja keras semalaman?"

Wajah Aira spontan merona. "Ah, tidak seperti itu. Aku ... hanya tinggal bersama adik kembarku, Airy. Aku belum punya pacar."

"Aku tak bermaksud ke arah itu, jika itu yang kau tangkap." Sora terlihat bingung seraya memberi tatapan serius.

Aira seakan ingin membenamkan diri ke dalam lift. "Anggap saja ... aku ... sekedar memberitahu." Gadis itu memaki dirinya dalam hati di antara dentuman jantung yang bak meriam.

"Maafkan candaku," ujar Sora tersenyum sopan kemudian.

Aira membalasnya dengan senyuman gugup. "Itu bukan masalah besar. Jangan kuatir." Ucapan itu mendapat senyuman menawan lagi dari Sora.

Hati Aira terasa hangat seketika akan kehadiran lelaki itu di antara dinginnya suasana museum terbesar kebanggaan Mosca.

*** 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro