NINE
Aira menghela napas dan mengembuskannya dengan penuh kekecewaan, usai menemui Alex di bar, setelah beberapa hari mendatangi bar-bar di pusat kota tanpa hasil, demi mencari Yury. Sang mantan astronaut itu seakan telah raib entah di mana kini.
Dia tampak berpikir keras, memikirkan apa yang dikatakan Alex di bar sebelum memasuki RC7-11. Gadis itu bahkan masih mengerutkan kening sambil memasang sabuk pengaman. Di luar jendela, hujan rintik terlihat mulai turun membasahi jalanan.
"Aku mendeteksi sebuah kesedihan dan kebingungan pada suasana hatimu, Aira. Kau butuh bantuan atau hiburan?"
Aira menggeleng. "Tidak, RC. Aku baik-baik saja."
"Aku mendeteksi kebohongan, Aira."
Gadis itu tertawa kecil mau tak mau. "Andai para lelaki bisa sepeka dirimu saat setiap wanita berkata aku baik-baik saja."
"Aku merekomendasikan sebuah film komedi untuk menghiburmu."
"Tidak perlu, RC. Aku masih harus mencari Yury. Alex bilang, jika Yury tak ada di bar-bar pusat kota, maka kemungkinan besar dia ada di Bar Voda."
"Menurut data yang kudapatkan, Bar Voda tidak cukup baik untuk dikunjungi wanita. Letaknya ada di pinggir kota. Kau yakin mau ke sana?"
Aira mengangguk. "Kita ke sana."
Ini sudah lebih dari tiga hari kau menghindariku. Kau bahkan tak pergi ke museum. Kau sungguh ingin melepaskan semuanya? Cinta dan juga karier? Bagaimana bisa kau bertindak sekonyol ini?!
RC7-11 baru saja mengaktifkan mesin, ketika Aira mendengar pesan telepati dari Airy untuk yang ke sekian kali. Gadis itu mendesah seraya mulai mengambil alih kemudi.
Aira mengira Airy akan benar-benar menyerah untuk terus mengontaknya melalui telepati. Dia bahkan sudah mengabaikan tautan pikiran mereka berkali-kali. Namun, sang adik memang masih tetap si Kepala Batu seperti yang biasanya.
Aku sudah mengajukan cuti. Aira sedikit terkejut saat menyadari nada suara yang terdengar begitu datar. Dia berharap Airy tak akan membaca sikap enggan pada balasannya itu.
Kenapa Sora bahkan tak tahu soal itu?
Asistennya tahu.
Kau benar-benar marah padaku? Tak lagi mau melihatku, bahkan malas bicara denganku?!
Aira menggigit bibir beberapa saat lamanya. Dia diam-diam memaki Airy yang terlalu peka.
Peka? Jangan lupa Airy bahkan merebut incaranmu dan bersikap seenaknya tanpa memikirkan perasaanmu, Aira!
Tapi masalahnya Sora itu berbahaya! Aku mencemaskan Airy!
Ya teruslah berbaik hati dan kau akan terus menjadi yang tersakiti!
Kepala Aira menggeleng-geleng, mencoba mengusir suara dari dalam diri. Meski pandangan tetap fokus ke jalanan, tetap saja isi kepala gadis itu sibuk berkecamuk antara dialog dengan Airy dan dirinya sendiri, berganti tanpa henti.
Aku sedang mencari seseorang. Aira mencoba fokus ke Airy.
Seseorang? Siapa? Wanita? Oh, pasti lelaki. Benar, bukan?
Aira memutar bola mata mendengar cecaran sang adik yang nyaris terdengar seakan tanpa jeda. Meskipun, itu tak mengherankan sebenarnya.
Mereka memang memiliki skala kecerewetan yang hampir sama. Aira hanya lebih tahu terkadang bagaimana mengendalikan bicaranya.
Hmm ... aku belum bisa memberitahumu sekarang.
Oh. Jangan bilang kau takut aku akan merebutnya lagi darimu? Kau menganggap aku sejahat itu?!
Bukan! Bisakah kita tak berdebat saat ini? Dia hilang. Aku sedang mencarinya.
Hilang? Bagaimana bisa? Kau yakin lelaki itu hilang? Atau kau tak mau mengakui kalau kau sudah melakukan sesuatu yang kemudian membuat lelaki itu sengaja kabur dan menghilang?
Kau tahu, Airy? Sekarang sepertinya memang bukan waktu yang tepat untuk kita berbicara tenang dengan akal sehat. Aku sedang tak punya energi untuk berdebat denganmu. Serius. Sumpah!
Apa maksudmu? Ini bukan pertama kalinya kita berdebat atau bertengkar, bukan? Kau masih kesal soal kejadian di lift? Kau benar-benar menyukai Sora? Lalu jelaskan bagaimana dengan lelaki yang baru kau temui? Jangan bilang kau sudah melupakan Sora dan beralih menyukai lelaki asing itu begitu saja semudah kau mengganti merek dalaman!
Aira mengertakkan gigi dan merapatkan bibir tanpa ingin membiarkan kata-kata apa pun meluncur keluar dari mulutnya saat ini. Dia melirik lampu pemutar musik yang berkedip-kedip, memperlihatkan sebuah lagu rekomendasi.
RC7-11 telah mendeteksi perubahan suasana hati Aira lagi dan tanpa bersuara apa pun memilihkan sebuah lagu di layar pemutar musik. Ia hanya butuh persetujuan gadis itu sebelum memainkannya.
"Baiklah, RC. Mainkan untukku." Suara Aira terdengar mendesis seakan kalimatnya diucapkan dengan penuh tekanan untuk mengendalikan emosi.
"Memainkan musik instrumental piano, Mishka."
Denting-denting piano segera mengalun diiringi oleh violin dan alat-alat musik lainnya. Mishka adalah musik instrumental yang biasa dimainkan saat dia dan Airy kecil dulu oleh sang komposer sekaligus seorang guru sejarah, yaitu mendiang mama mereka. Aira pun merasa jauh lebih tenang seketika. Emosi yang sempat hampir melonjak teredam, bahkan hampir tak lagi terasa.
Telepati Airy tak lagi terdengar setelah Aira berkali-kali mengabaikannya kembali. Kini di mobil hanya tersisa suara musik instrumental yang mengalun memecah sunyi.
***
Voda terlihat sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan bar-bar lain di pusat kota. Bangunan tampak lebih kusam, dengan cat gelap, sesuram suasana pepohonan yang mengitarinya. Lampu-lampu jalan bahkan tak cukup memberi penerangan cahaya.
Sisa hujan tadi sore menyisakan embun di kaca jendela. Para pengunjung yang berdatangan seperti didominasi oleh kaum lelaki bertubuh tinggi besar, berpenampilan liar, dengan rata-rata memiliki tato, dan wajah sangar menakutkan, tampak masuk bergerombol ke sana.
Mereka terlihat mengendarai motozca, semacam kendaraan terbuka berukuran lebih kecil dari mobil dan beroda dua. Itu biasa dimiliki oleh geng-geng pengendara jalanan yang menjunjung kebebasan gaya hidup di Mosca.
"Aku menyarankan padamu untuk membawa sesuatu sebagai senjata pelindung, Aira."
Aira mulai melepaskan sabuk pengaman sambil matanya terus mengawasi luar jendela. "Aku punya pengejut listrik di tas. Jangan cemas." Gadis itu segera mengambil benda tersebut dan memasukkannya ke saku mantel.
Dia pun segera membuka pintu dan turun dari mobil. RC7-11 segera menutup kembali dan mematikan mesin. Aira memegangi pengejut listrik di saku mantel sambil melangkah lambat menuju Bar Voda.
Beberapa siulan segera menyambut begitu Aira memasuki ruangan bar. Berpasang-pasang mata tampak kompak menatap liar. Dia memasukkan kedua tangan ke sakunya sambil berusaha melangkah tenang dan terus menggenggam pengejut listrik yang tersembunyi di salah satu saku. Gadis itu siap jika harus menggunakannya sewaktu-waktu.
"Wow, sungguh sebuah keberuntungan bagi kita. Seorang gadis pusat kota yang menawan datang ke Voda," celetuk seorang lelaki beranting dan berjaket kulit hitam.
Seorang berkepala botak tiba-tiba menghalangi langkahnya. "Nona cantik, kau mencari siapa? Kau terlihat kedinginan. Kau butuh pasangan untuk bercinta? Demi menghangatkanmu, aku bersedia."
"Hei, aku juga!" sahut yang lain, disusul kemudian suara-suara penuh godaan lainnya yang mulai membuat suasana menjadi gaduh dan riuh seketika.
"Jangan mengganggunya! Dia milikku!"
Suasana riuh mendadak senyap seketika. Semua mata kini tertuju ke asal suara. Termasuk pula Aira.
Matanya berbinar dan membulat saat melihat siapa pemilik suara itu. Sang mantan astronaut yang sudah dia cari sejak beberapa hari yang lalu.
Yury beringsut dari kursi di depan meja bar bagian ujung, melangkah pelan hendak menghampiri. Namun, tak disangka-sangka, si Botak bukannya menyingkir, malah makin terkesan sengaja menghalangi.
"Oh, tidak bisa secepat itu. Apa buktinya jika gadis ini milikmu?" Si Botak menyeringai, memperlihatkan giginya yang berukuran besar dan tak tersusun rapi.
Yury balas menyeringai sambil menunjuk ke arah Aira dengan dagu. "Dia kekasihku. Dia mencariku ke sini karena tahu aku akan berada di tempat ini."
"Kenapa kalian tidak datang bersama?" Si Botak terlihat masih tak mau menyerah begitu saja.
"Kami hanya bertengkar. Aku tak memberinya kabar. Dia mencariku ke sini." Yury tampak bersikap tenang meski kini beberapa lelaki bertato dan bertubuh tinggi besar mulai mengelilingi.
Aira menyeruak di antara tubuh-tubuh para lelaki yang berdiri mengepung Yury. " Itu benar." Dia berdiri di samping sang mantan astronaut seraya mendekatkan mulut ke telinganya. "Aku mencarimu di semua bar di pusat kota. Kukira kau akan kembali menemuiku waktu itu. Aku bahkan menunggumu semalaman di luar Bar Morze."
Yury tak berhasil menyembunyikan keterkejutan di matanya. "Kau menungguku waktu itu?" Dia membalas dengan merendahkan volume suara di dekat telinga Aira juga. "Kenapa?"
Aira mengerutkan kening. "Kenapa? Kau yang bilang akan segera menemuiku lagi."
"Hah? Kau mendengar ucapanku waktu itu? Aku hanya ...."
"Hei, hei, hei! Urusan kita belum selesai!" sergah si Botak yang kesal merasa diabaikan.
"Bukankah sudah cukup jelas?" sahut Yury berusaha tetap kalem.
"Apa buktinya jika kalian adalah sepasang kekasih?" celetuk salah satu dari lelaki bertato.
"Nah, dia betul. Apa buktinya jika kalian benar-benar sepasang kekasih?" tantang si Botak pula.
Yury dan Aira saling berpandangan beberapa saat. Si mantan astronaut kemudian tertawa canggung seraya menoleh kembali ke lelaki botak.
"Kenapa aku harus membuktikannya?"
Si Botak menyeringai. "Jika kau tidak bisa membuktikannya, gadis itu harus ikut kami."
Rahang Yury terlihat mulai mengeras. Kedua tangannya pun mengepal kuat.
Aira yang melihat semua itu mulai menggenggam makin erat senjata pengejut listrik di saku mantel. Namun, kemudian terlintas di pikirannya untuk meminta bantuan Airy.
Airy. Darurat. Aku butuh bantuan.
Aira! Akhirnya kau sadar bahwa kau tak bisa hidup tanpaku, bukan?
Aku tak punya waktu untuk berdebat sekarang. Katakan padaku. Apa yang akan kau lakukan jika ada orang lain memintamu untuk membuktikan bahwa kau punya hubungan istimewa dengan seseorang yang saat ini bersamamu?
Huh. Pertanyaan macam apa itu. Konyol dan bodoh sekali. Tentu saja sebuah ciuman hebat penuh gairah dan dalam. Itu akan sudah sangat amat cukup untuk menjelaskannya. Jika itu masih tak cukup jelas ....
Aira mengabaikan kelanjutan kalimat Airy karena saat itu juga, dia berpaling ke arah Yury. Tanpa berpikir panjang, dia mengeluarkan kedua tangan dari saku, ganti menarik baju bagian depan sang mantan astronaut, mendekatkan wajah mereka. Dalam hitungan detik, bibir mereka pun menyatu, dan gadis itu melumat seliar dan sedalam mungkin seakan sisa hidupnya bergantung pada ciuman itu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro