Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

FIVE

Usai mandi dan mengenakan jubah tidur, Aira melangkah keluar kamar, lalu mendapati Airy tengah memakan sesuatu sembari duduk santai di sofa ruang tamu. Begitu mendekat, dia melihat sang adik sedang memakan setangkup roti lapis.

"Kau membangunkan RH1 hanya untuk membuatkanmu camilan makan malam seperti itu?" tegur Aira sembari mendudukkan diri di sofa. Ia menelengkan kepala ke arah kanan, menatap Airy dengan sedikit pandangan gusar.

Airy mendengkus, terus mengunyah tanpa mengalihkan pandangannya dari layar kaca pintar, berbentuk melengkung, tembus pandang, yang kini tengah menayangkan sebuah video musik penuh energi. "Ini makan malamku, bukan camilan. Demi membantumu, aku bahkan melewatkan jam makan malam. Satu hal lagi, aku membuatnya sendiri, tanpa membangunkan RH1."

"Bukankah kau memang sering melewatkan makan malam karena alasan diet? Walau kenyataannya kau akan tetap makan camilan di jam-jam sebelum tidur malam," cibir Aira. Dia pun mulai ikut mengamati video musik pada layar pintar tembus pandang di hadapannya.

Baru saja mulut Aira hendak membuka lagi, Airy buru-buru membekapnya dengan satu tangan sebelum sang kakak sempat memberi perintah. "Jangan coba-coba mengganti saluran."

Aira melirik sejenak sebelum melengos sambil membebaskan mulutnya dari telapak tangan Airy. "Bagaimana kau bisa cepat mengantuk, jika kau menonton dan mendengarkan video musik yang memekakkan telinga dan memacu adrenalin?"

Airy memasukkan roti yang tersisa seperempat ke dalam mulut, mengunyah dengan cepat sebelum menelannya. "Lantas, apa kau akan mengajakku menonton video musik klasik yang akan membuatku mimpi buruk?"

Bibir Aira berkedut. "Kau berlebihan. Musik klasik justru akan memberi ketenangan. Atau ... jika kau masih susah tidur, kau bisa melihat video tentang alam, hutan, bahkan mendengarkan musik instrumental yang diiringi suara gemercik air."

Airy sontak menoleh, menyipitkan mata ke arahnya. "Aku curiga, kau berniat membuatku mati karena kebosanan."

Aira mendesah. "Ayolah, Airy. Apa mungkin bisa seburuk itu?"

"Jangan paksakan sesuatu yang baik untukmu, tetapi tidak untukku!" Suara Airy mulai terdengar meninggi.

"Bukankah kau juga sama? Jangan memaksakan sesuatu yang sulit kulakukan hanya karena itu terlihat mudah bagimu!" balas Aira tak kalah sengit.

Kedua gadis itu kini saling melotot satu sama lain untuk beberapa lama. Mereka kemudian seketika melengos, lalu sama-sama bangkit dari sofa dan pergi ke kamar masing-masing tanpa mengucapkan sepatah kata.

***

Kening Aira berkerut, meneliti artefak yang baru tiba tadi pagi. Benda asing dan kuno itu terkesan seperti lapisan kertas membatu membentuk kubus dengan warna yang sangat usang sekali. Indra pendengarannya mendengar suara ketukan di pintu saat sibuk mencatat dan mengamati.

"Masuk!"

Aira terus saja setengah membungkuk, fokus mengamati artefak di mejanya dengan saksama, tanpa menyempatkan diri untuk menoleh ke arah sosok yang masuk ke ruang kerjanya usai mengetuk pintu. "Jika sangat amat penting, tunda dulu sampai aku menyelesaikan catatanku. Jika tidak, tunggu sampai istirahat makan siang nanti."

"Hmm, apakah bagi setiap sejarawan, artefak bisa menjadi lebih menarik melebihi lelaki yang jelas masih hidup, muda, dan tampan?"

Aira sontak menoleh. Ia segera tersenyum kikuk bercampur gugup saat melihat si pemilik suara. "Oh, Tuan Volkov. Maaf, aku ...."

"Aku lebih suka jika kau membiasakan diri memanggilku Sora saja. Nama Volkov terasa membebaniku."

Aira menegakkan tubuh, memasang sebuah senyuman samar. "Ah, baiklah, Sora. Maafkan aku ...."

"Nona Ivanova, maksudku, Aira, kau sudah meminta maaf padaku dua kali siang ini. Aku bahkan tak tahu jika kau telah membuat kesalahan, kecuali bahwa kau terlalu fokus pada artefak itu sampai kau melupakan jam makan siang akan segera selesai dalam beberapa menit lagi."

Aira melongo sebelum kesadarannya muncul saat melirik jam di tangan. "Oh, ya ampun! Aku harus ke kantin! Terima kasih dan maaf sudah merepotkanmu untuk mengingatkanku makan siang! Aku pergi sekarang!"

Melihat Aira yang bergegas hendak pergi, Sora buru-buru menahan. "Tunggu! Kedatanganku ke sini sebenarnya bukan untuk itu saja!"

Aira menghentikan langkah. Ia menoleh, memasang wajah heran. "Lalu? Masalah penting apa yang membuatmu harus datang menemuiku langsung ke ruang kerjaku?"

Sora mengusap keningnya sejenak. Ia tersenyum samar. "Hmm, untuk satu hal sebenarnya. Bisakah kau memberitahuku, apa makanan kesukaan adikmu atau hal-hal lain yang dia sukai? Aku ada janji kencan dengannya malam ini. Jadi, aku ...." Ia menatap penuh harap pada Aira.

Aira menelan ludah yang terasa pahit. "Oh, itu. Tentu. Aku akan mengirimkannya dalam bentuk teks padamu nanti sembari aku mengingat-ingatnya saat makan siang."

Sora mengangguk dengan mata sedikit berbinar. "Itu terdengar bagus. Terima kasih. Aku akan menunggu."

Lelaki itu pun segera berbalik pergi lebih dulu, meninggalkan Aira yang kini justru terduduk lemas.

***

Aira mematikan ponsel usai mengirimkan semua hal yang Airy suka pada Sora. Ada rasa nyeri terasa dalam dada. Meski beberapa kali dia berusaha berkata pada diri sendiri bahwa itu bukan sebuah masalah, tetap saja, perasaan tak nyaman hadir dalam hatinya.

"Hai, Aira! Kurasa kau harus segera menghabiskan makan siangmu sebelum waktu istirahat berakhir sebentar lagi."

Aira mendongak, bertemu pandang dengan mata biru Dimitri yang tengah tersenyum ceria. Di belakangnya, salju tampak berjatuhan dari balik kaca jendela.

"Dimitri, kau selalu tampak bahagia. Apa kau tak pernah punya masalah?" tanya Aira sembari mendorong perlahan piring makan siangnya.

Dimitri melirik ke piring sebelum menatapnya lagi. "Kau tidak menghabiskannya?"

Aira menggelengkan kepala. "Aku sedang tak berselera." Dia mendesah. "Kau tak menjawab pertanyaanku."

Dimitri mengusap-usap kedua tangannya. "Siapa bilang aku tak punya masalah? Tentu saja setiap orang memilikinya, bukan? Aku hanya memilih untuk terus optimis dan positif menjalani hari-hariku."

Aira mengerutkan keningnya. "Maksudmu, keceriaanmu hanya pura-pura?"

Dimitri tertawa. "Tentu saja tidak. Ini hanya tentang pilihan bagaimana kita ingin menghabiskan waktu dalam hidup kita. Bermuram durja atau bahagia, tak ada bedanya. Keduanya memang belum tentu memberi jawaban solusi dari masalah kita.

"Namun, setidaknya, dengan berpikir positif dan optimis akan membuat kita mudah tersenyum dan ceria, sehingga mungkin akan bisa memperingan hari berat yang dirasakan orang lain. Ketika orang lain ikut tersenyum karena kita, bukankah itu alasan yang bagus untuk kita bahagia?"

Aira tertawa sumbang. "Andai pikiran semua orang sesederhana dirimu."

Dimitri mendekatkan wajah, mencoba menahan senyum di bibirnya. "Masalah apa yang membebani pikiranmu, Aira?"

Gadis itu mengerang lirih. "Andai aku bisa mengatakannya padamu, Dimitri, tetapi tidak. Kau tidak bisa membantu dalam hal ini."

Bukan tanpa alasan jika Aira berkata demikian. Dia tahu betul, Dimitri diam-diam tertarik pada Airy meski mereka hanya saling bertemu, saat adiknya itu datang berkunjung ke museum.

Dimitri justru memasang senyuman jenaka usai mendengar ucapan Aira. "Ini soal Airy, bukan? Dia mengincar bos kita yang baru, benar?"

Tanpa memedulikan respons Aira yang membelalakkan mata padanya, lelaki itu kembali bersiap membuka mulut. "Aku tahu kalian kerap bertukar peran selama ini. Jangan mengira aku tak bisa mengenali perbedaan kalian. Orang lain mungkin buta, tetapi aku tidak. Aku bahkan bisa membedakan kalian tanpa harus melihat dengan mataku."

"Bagaimana bisa?" buru Aira. "Jangan bilang kalau kau melihatnya dari penampilan."

Dimitri menggeleng. "Nada suara dan aroma kalian berdua berbeda."

Aira tertawa canggung sembari menggeleng-gelengkan kepala. "Aku tak percaya kau bisa mengenali kami hanya dari dua hal itu."

Lelaki itu mengangkat bahu sambil menusuk sisa daging panggang di piring Aira dengan garpu, lalu memasukkannya ke dalam mulut. "Berani bertaruh?"

Aira tertawa lirih sambil dengan pelan mengibaskan lengan kanan dan menggelengkan-gelengkan kepala. Dia bersiap untuk beranjak dari kursi. "Sebaiknya aku kembali ke ruang kerjaku."

"Oh, sekedar info." Dimitri melirik ke sekitar sebelum memberi kode dengan tangan agar Aira lebih mendekat padanya.

Begitu gadis itu mencondongkan kepala, Dimitri berdeham. "Aku mendengar sebuah gosip. Aku telah mengeceknya dan memastikan ini bukan sebuah kabar burung. Bos baru kita itu seorang duda."

Suaranya terdengar semakin lirih dan penuh hati-hati sambil melirik lagi ke kanan dan kiri. "Kabar yang aku dengar lagi, dia  memiliki masalah dengan mantan istrinya terkait soal perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah tangga, serta pernah ditangkap polisi karena terlibat perkelahian di bar."

Mata Aira pun sontak membulat lebar dengan mulut membuka. Dia seolah membeku tanpa kata.

*** 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro