EIGHT
"Nona Ivanova, aku mengantarkan baju pesanan Anda." Suara seorang pelayan kamar hotel terdengar diikuti oleh ketukan pelan di pintu.
Aira yang masih mengenakan jubah mandi milik hotel bergegas membuka pintu. Di hadapannya telah berdiri seorang wanita berambut keriting cokelat terang yang digulung, memakai seragam pelayan hotel warna abu-abu. Dia mengulurkan dua kantong kertas berukuran cukup besar bermerek Millana, yang terkenal di Ruzia sebagai merek pakaian berkelas nomor satu.
Kepala Aira terangguk samar sambil meraih dua kantong kertas dari tangan si pelayan kamar hotel. "Terima kasih."
Aira pun menutup pintu kamar hotel kembali usai pelayan itu pergi setelah membalas ucapannya dengan sopan. Dia mengeluarkan isi kedua kantong dan mendapati gaun pendek ungu berlengan panjang dengan belahan di bagian dada, beserta mantel panjang senada dengan bagian kerah berbulu, ditambah pula dengan dalaman.
Dia tersenyum puas, seolah memuji siapa pun yang telah memilih semua itu meski agak sedikit meringis melihat bentuk belahan di bagian dada. Itu lebih menyerupai gaya baju Airy, bukan dirinya. Namun, Aira tak mau berpikir banyak. Gadis itu pun segera mengganti jubah mandi dengan pakaian baru.
Aira! Ayolah! Hentikan sikap konyolmu! Itu hanya sebuah ciuman! Kau benar-benar marah soal itu sampai harus mendiamkanku seperti ini?!
Aira mendesah. Dia seharusnya paham, betapa Airy sangat keras kepala. Gadis itu menimbang-nimbang apakah perlu menjawab telepati adiknya atau tidak.
Aira! Jawab aku! Paling tidak beri tanda bahwa kau masih hidup!
Aku masih bernapas, jika itu yang kau cemaskan, jangan khawatir.
AIRA! Akhirnya kau menjawabku! Kau di mana? Ayo kita bicara!
Suara Airy terdengar sangat antusias di kepala Aira. Dia bahkan bisa membayangkan alis yang turun naik serta senyuman puas di bibir gadis itu saat ini. Gaya khas setiap sang adik merasa menang atas sesuatu.
Aku masih ada urusan.
Urusan apa yang lebih penting daripada urusan kita berdua?
Aku tidak bisa mengatakannya padamu saat ini.
Kenapa?!
Aira tak mampu menahan senyuman penuh arti di bibir sambil memutar bola mata. Dia bisa melihat ekspresi penuh penasaran di wajah adiknya. Rahasia adalah kelemahan Airy. Mereka memang saling berjanji untuk tidak menyembunyikan apa pun dari satu sama lain, kecuali saat ini.
Rahasia.
Tapi kita sudah berjanji ....
Dan kau pun pernah berjanji akan lebih memprioritaskan dan mendengarkanku daripada orang lain. Bukan hanya kau yang bisa ingkar, Airy.
Kau masih marah soal ciuman.
Terserah apa pun yang kau pikirkan.
Aira mematut sekali lagi di depan kaca sebelum mengangguk puas seraya bertekad harus segera menemui Yury. Selain memang ingin bertemu lagi, dia pun hendak mencari tahu lebih jauh tentang benua lain selain Hiddenland yang diceritakan oleh lelaki itu semalam. Kakinya pun segera melangkah menuju pintu kamar hotel, lantas membukanya, dan melangkah keluar.
***
Aira memarkir RC7-11 kembali di depan Bar Morze. Suasana masih cukup sepi. Hanya terlihat beberapa pengunjung yang keluar masuk dari tempat itu di antara butiran salju kecil yang berguguran. Dia memutuskan melepas sabuk pengaman dan bersiap hendak keluar.
"Kau yakin akan ke tempat itu lagi, Aira? Situasi di luar saat ini adalah -9° C."
"Aku harus menemuinya lagi, RC."
"Siapa? Apakah itu seorang lelaki?"
Aira tersenyum. "Kau terdengar seperti seorang manusia yang tengah cemburu, RC. Tenanglah, kau tetap favoritku yang paling utama, mengerti?"
Lampu musik RC7-11 berkedip-kedip lagi. "Aku mendeteksi suasana hatimu yang sedang bahagia, Aira. Lagu cinta sepertinya cocok untuk saat ini."
"Oh, tidak. Aku harus segera ke bar. Sarapan sambil menunggu Yury di sana. Kau tunggu saja di sini."
Sehabis berkata itu, Aira pun keluar dari mobil dan membiarkan pintu otomatis tertutup kembali. Dia merapatkan mantel, lalu menepuk pelan dua kali pada sisi kaca jendela RC7-11 sebelum melangkah menuju bar di antara butiran putih dingin yang berguguran.
***
"Dia belum juga mengabarimu?"
Airy menoleh ke arah Sora. Untuk sejenak gadis itu berpikir apakah lelaki di depannya itu sungguh layak menjadi penyebab pertengkaran antara dia dan Aira.
"Dia menjawab teleponku, tetapi tak mengatakan lokasi keberadaannya," sahut Airy, separuh berbohong. Bagaimana mungkin dia memberitahu Sora tentang bakat telepati yang dimilikinya bersama Aira, bukan?
Sora mengerutkan kening. "Sebenarnya ada masalah apa di antara kalian berdua? Kelihatannya cukup besar jika sampai membuat dia semarah itu, bukan?"
Airy mendengkus. "Hanya masalah biasa buat saudari kembar seperti kami. Kami terbiasa bertengkar hampir setiap hari."
Tapi tak pernah sampai membuat Aira tak pulang ke rumah dan mengabaikan telepati. Airy menghela napas dalam-dalam, merespons ucapannya sendiri di dalam hati.
Paling tidak, dia akhirnya mau menjawab meski hanya sebatas kalimat singkat. Itu sudah cukup. Setidaknya Aira tak cukup bodoh untuk berbuat hal aneh atau berbahaya hanya karena sebuah kemarahan terhadapku.
Airy bukannya tak memahami perasaan Aira. Dia sendiri tidak mengerti kenapa harus bertindak sejauh ini.
Benarkah aku menyukai Sora? Apa niatku sebenarnya? Kenapa aku bisa begitu tega terhadap Aira.
Hah, kau baru menanyakan itu sekarang? Kau lupa apa yang kau lakukan semalam bersama Sora di ranjang?
Airy meringis mendengar cemoohan dari dalam dirinya sendiri. Gadis itu sungguh tak tahu apakah harus menyesali atau tidak soal kejadian malam tadi. Permainan ranjang Sora sungguh di luar nalarnya dan membuat dia sungguh tak bisa mengendalikan diri.
"Baiklah, jika menurutmu itu hal biasa, tapi kenapa kau terlihat gelisah dan tak tenang? Kau bahkan belum menyentuh sarapanmu."
Mau tak mau Airy meraih garpu dan pisau, mulai mengiris daging panggang yang dipesankan oleh Sora yang menginap di rumahnya. Mendadak sebuah pertanyaan terbersit dalam pikiran gadis itu.
Sejak kapan aku patuh dan menurut pada seorang lelaki?
Dia segera menaruh kembali garpu dan pisau di atas piring. Tangannya beralih meraih gelas berisi jus buah berwarna kuning. Rasa manis sedikit asam yang segar segera memenuhi tenggorokan Airy.
Sora menatap heran. Dia pun berhenti menyuap. "Kenapa? Kau tidak lapar atau tidak berselera?"
"Bisakah kau biarkan aku mencari Aira saja? Aku sedang tak berselera untuk makan."
Lelaki itu memandanginya dengan ekspresi bingung. "Kau ... tak merasa lapar setelah semalaman kita ...."
"Percayalah, aku masih punya cukup energi untuk hari ini. Aku hanya harus menemukan Aira dan membawanya kembali pulang," potong Airy cepat, tak ingin otaknya memutar kembali adegan semalam. Baginya itu sungguh agak memalukan mengingat betapa binalnya dia tadi malam.
Sora meletakkan garpu dan pisau di tangan ke atas piring, lantas ganti meraih serbet yang ada di pangkuannya. "Baiklah, jika itu yang kau inginkan, dengan satu syarat. Kau akan membiarkanku membantumu."
Airy membulatkan matanya. "Kau tak akan ke museum hari ini?"
Sora menggeleng. "Kurasa tak masalah. Aku akan memberitahu asistenku nanti. Kita pergi sekarang?"
"Kau yakin? Bukankah kau bilang papamu seorang yang ...."
"Itu urusanku. Aku akan mengatasi itu nanti. Sekarang, mencari keberadaan kakakmu jauh lebih penting, bukan? Jika ada masalah dengan papaku, itu adalah masalahku, tidak seharusnya menjadi masalahmu. Kau tak perlu cemas apalagi memikirkan itu. Mari fokus mencari kakakmu."
Airy menyipitkan mata. Dia butuh beberapa saat sebelum akhirnya mendesah dan menjawab, "Baiklah. Ayo, berangkat."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro