
38. Geigi-ku (end)
____
Sudah satu bulan semenjak kejadian aku membaca jurnal Rumi. Di minggu kedua setelah kejadian itu, Rumi bilang tak akan ada hubungan di antara dia dan Dirgam. Aku bilang, jangan sampai dia menyiksa diri sendiri. Namun, dia tetap ingin melupakan Dirgam dan hanya menjadikan Dirgam sebagai orang yang pernah dia sukai. Dia bilang lebih baik seperti itu, toh Dirgam juga tak punya perasaan apa-apa kepadanya.
Satu bulan juga semenjak dari pasar malam bersama Mars, aku hanya beberapa kali bertemu dengan Mars. Mungkin kurang dari lima kali? Entahlah. Namun, lebih banyak komunikasi lewat whatsapp.
Seperti baru-baru ini, aku dan Mars janjian di lapangan bola sekolah yang letaknya di bagian selatan SMA Nusa Cendekia. Kami janji bertemu di sana. Entah apa yang dia lakukan sampai malam di sini.
Hari sudah malam. Sejak pulang sekolah aku hanya ada di sekret pramuka bersama anggota lainnya. Sebentar lagi Ujian Kenaikan Kelas. Para senior sudah lulus dan sekolah tak seramai dulu, hanya diisi oleh siswa-siswi seangkatanku dan adik-adik kelas. Kantin Lantai 2—kantin yang dikuasai senior—yang biasanya lebih berisik dari Lantai 1 kini tak lagi seberisik dulu. Sepi.
Sekitar dua minggu lalu ada acara prom night Nusa Cendekia. Aku sama sekali tak pernah berniat untuk pergi ke acara OSIS seperti itu. Yang aku lihat selama ini, semua datang mengenakan pakaian bagus dan menarik. Aku tak bisa membayangkan berada di antara keramaian seperti itu. Tahun depan aku sudah kelas XII dan apakah aku akan ke prom night? Tak ada keinginan untuk pergi.
Aku berlari kecil melewati koridor menuju running track. Lapangan bola kosong—ah, tidak. Aku pikir tak ada siapa-siapa dan aku pikir mungkin Mars belum datang ke lapangan bola. Namun, yang kulihat di tengah-tengah lapangan adalah seorang cowok berseragam SMA Nusa Cendekia yang biasanya dipakai dari Selasa sampai Jum'at; kemeja putih berlengan pendek dengan aksen krem-hitam di lengan bawah dan celana hitam panjang.
Dia berbaring di tengah-tengah lapangan, sendirian. Aku masih berdiri di running track, tak begitu melihat jelas siapa yang ada di sana karena pandanganku tak sejernih dulu. Kupandangi ke sekeliling, benar-benar tak ada siapa-siapa. Aku terkejut karena deringan ponselku di tangan. Sebuah pesan masuk.
Mars
Ngapain di situ? Gue di sini
Aku mendongak ke cowok di lapangan. Dan saat itu juga tangan dari cowok tadi terangkat hanya sekali. Aku segera ke sana dan memang dia Mars. Dia sedang berbaring berbantalkan lengannya sendiri sembari menatap langin malam, seperti posisinya malam itu di loteng rumah eyangnya.
"Ngapain lo malah tiduran di sini?" tanyaku heran. Aku duduk bersila tepat di sampingnya.
"Pengin aja," balasnya. "Anak lain masih di sekret?"
"Masih. Ada Orion lagi tiduran. Beberapa juga masih di sana." Aku memainkan rumput teki dan menoleh ke arahnya. "Waktu kelulusan anak kelas dua belas, lo di mana? Kok gue nggak ngelihat lo ya."
"Ada, kok. Di sekolah."
"Tempat lo nongkrong di mana sih biasanya?"
"Di mana aja di sekolah."
"Di mana aja? Tapi kok lo justru jarang kelihatan di sekolah, sih?"
"Lo yang jarang kelihatan di luar kelas." Dia memberikanku pernyataan yang sama. Aku akui itu. "Gue biasanya di tempat-tempat yang nggak ramai, kalau nggak ada acara sekolah yang harus gue ikuti kayak diharusin sama temen kelas untuk ikut lomba futsal atau lomba bola antar kelas. Lo gimana?"
Aku mengernyit karena berpikir. "Gue lebih seneng di kelas, sih. Keluar dari kelas itu lo bisa dapat kemungkinan 10% masalah dengan orang-orang luar. Gue nggak suka punya masalah sama orang lain. Untung selama gue sekolah di Nuski, gue sekalipun nggak pernah berurusan dengan Kak Tasya dan komplotannya. Ngeri. Gue juga nggak pernah berpikir untuk populer kayak Kak Icha atau murid populer lainnya. Baru kepikiran aja udah risi duluan. Gue benci dengan masalah karena terkadang gue nggak tahu gimana caranya keluar dari masalah itu. Lempeng orangnya." Aku mendecak. "Gue benci dengan masalah, tapi gue juga manusia yang udah pasti nggak lepas dari masalah."
"Selama kita masih sekolah dan kalau lo tiba-tiba ada masalah dengan anak lain, cerita aja ke gue. Siapa tahu gue bisa bantu," kata Mars sedetik setelah aku berbicara panjang lebar. Aku tersenyum tanpa sadar dan mengangguk-angguk sambil menatapnya yang sedang menatap langit.
"Lo kok masih di sekolah juga?" tanyaku. "Gue kan tadi rapat pramuka. Lo?"
"Nungguin lo."
Seketika terasa ada panas yang menyebar di pipiku. Aku tak tahu harus mengatakan apa sampai pertanyaan bodoh, "Ngelihatin apaan sih di atas?" itu keluar dari mulutku begitu saja.
"Ngelihatin bintang sambil mikir," jawabnya. Dia menoleh kepadaku. "Nggak mau ikutan ngelihatin bintang sambil baring kayak gue?"
Aku menggeleng. "Makasih, tapi gue pake rok. Nggak nyaman. Hehe...."
Sweter hitam di atas kepalanya dia berikan kepadaku. "Pakai ini."
Aku mengambil sweternya dengan gerakan lamban karena malu. Tak lama aku menaruh sweter itu menutupi kakiku meski juga sudah tertutupi kaos kaki kemudian berbaring di sampingnya. Seketika, jarak antara langit dan mataku terasa hanya beberapa meter saja dari pandangan.
"Kira-kira, ada nggak ya Mars di antara bintang-bintang itu?" tanyaku.
"Ngapain jauh-jauh cari Mars? Mars lagi ngelihatin lo sekarang."
Aku menoleh kepadanya dan ternyata dia menatapku. "Bukan Mars manusia, ih, tapi planet!"
Mars hanya tertawa—sangat kecil.
"Gue masih bingung sama orang-orang yang war cuma karena perbedaan pendapat antara bumi datar dan bumi bulat." Tiba-tiba saja terpikirkan tentang bumi saat aku melihat langit. Kutolehkan kepala ke Mars. "Lo ada di tim mana?"
"Nggak ada di tim mana pun," balasnya. "Ngapain diurusin sampai didebatin? Nggak bakalan ada ujungnya. Itu cuma pendapat pribadi mereka. Yang ngelihat semua tentang penjelasan flat earth dan mereka mulai percaya, mereka bakalan mempertahankan pendapat mereka. Yang masih keukeuh dengan bumi bulat, mereka juga bakalan mempertahankan pendapat mereka. Serahin aja ke ahlinya."
"Ahlinya kan ilmuwan. NASA aja banyak yang nggak percaya karena katanya udah bohong. Tapi semua yang kita pelajari selama ini ngebuat gue mikir semuanya udah bener kok kalau dihubungkan dengan gravitasi bumi. Kalau bumi itu bulat, teori gravitasi emang jalan. Nggak mungkin kan kalau bumi berputar terus ada saat di mana langit yang di bawah dan tanah yang di atas tanpa adanya gravitasi. Berhamburan, deh." Aku terkekeh karena pikiran absurdku. "Kalau bumi bulat dan berotasi, teorinya udah cocok kan mengenai adanya pergantian siang dan malam. Kalau gambar bumi yang selama ini kita lihat juga udah bener kan? Didominasi warna biru karena banyaknya lautan dibanding daratan. Satelit di luar angkasa udah kita gunakan dari lama untuk komunikasi. Atau bentuk semua pulau di dunia kayak gimana semua tergambar di globe."
Aku terlalu semangat bercerita dan tak mendengar Mars memotong perkataanku. "Mars? Menurut lo gimana?"
"Ada beberapa orang percaya tetang konspirasi. Dunia itu luas. Banget. Ada banyak yang terjadi yang kita tahu dan ada lebih banyak lagi—sangat banyak—yang terjadi, tapi kita nggak tahu. Pernah denger tentang atlantis yang hilang?" Aku mengangguk antusias. "Lo pernah mikir nggak kalau kehidupan dinosaurus udah ada jauh sebelum manusia pertama turun ke bumi, sebelum lo tahu dari orang lain?"
Aku mengangguk lagi.
"Kalau tentang bangsa sodom dan gomoroh, tahu?"
"Tahuuu."
"Tentang pesawat-pesawat yang hilang? Segitiga bermuda? Apa yang ada di balik antartika? Mau denger?"
Aku menatap Mars antusias. "Mau, ih! Cerita, cerita!"
Dia hanya melemparkan senyum, memandangku yang tiba-tiba jadi salah tingkah dipandangi seperti itu. Bisa santai nggak sih dia natapnya?
"Gimana kalau pembahasan-pembahasan itu kita tunda dulu dan bahas hal lain yang jadi tujuan kita ketemuan di sini?"
Aku termangu menatap Mars. "Tujuan ... kita?"
"Iya, kita," balasnya.
Aku kembali tak bisa berkata-kata. Kutatap langit malam dengan jantung yang berdegup kencang seperti baru saja lari maraton.
"Tujuan kita memangnya ... apa?" tanyaku, sedikit bingung. Pasalnya, tujuan kami untuk bertemu dengan... engh, tidak ada tujuan lain selain ingin ketemuan. Janjian di lapangan bola karena tadi aku bilang aku sedang di sekolah dan dia juga mengatakan masih ada di sekolah.
Aku terkejut saat Mars bangun dan duduk di sampingku, menghadapku dan menatapku. Aku cepat-cepat ikut bangun dan bersila menghadap ke arahnya. Sekarang kami saling berhadapan.
"Bukan tujuan lo, sih, tapi tujuan gue," kata Mars. Aku masih diam. "Selama ini, selama gue ngomong sama lo, lo nggak ada mikir kalau kata-kata gue selalu mengarah ke sana?" tanya Mars, menekan kata sana.
Aku ingin mengiakan, tapi yang terjadi aku malah menggeleng. "Maksud lo... kode?"
Mars tertawa. "Kode morse, kali."
Aku cemberut. "Gue lagi serius, Mars."
Dia megembalikan ekspresinya seperti semula dan aku kembali gugup. "Iya, semacam itu. Gue pengin terang-terangan, tapi gue ngira lo suka sama cowok lain. Dan gue pikir lo juga belum siap. Muka lo kayak takut gitu ditembak sama cowok."
Mukaku kayak takut ditembak cowok? "Kok lo mikir gitu, sih...." Aku melemparkan pandangan ke lain arah dan menggeser tubuh ke belakang. Jauh-jauh dari hadapan Mars. Malu rasanya. Ini sebenarnya kami sedang membahas ke arah apa? Yang mana? Aku meringis dan menggigit bibir, masih menoleh ke kiri tanpa mau menatap ke cowok di hadapanku. Mars.
Kudengar Mars tertawa. "Kok lo lucu, sih?" tanyanya.
Kolam renang bisa pindah ke sini nggak? Gue mau nyebur ke kolam rasanya.
"Gi?"
Aku—sedikit—melirik Mars dengan gugup. "I—iya?"
"Udah siap?"
"Siap ... apanya?"
"Ingat kata-kata gue waktu di bianglala?"
Aku memutar ingatan dan kejadian di bianglala langsung muncul di memoriku. "Yang lo mau ungkapin sesuatu?"
Mars mengangguk. "Dari dulu gue mau terus terang, tapi takutnya lo nggak siap. Gue belum yakin sepenuhnya sih lo siap atau enggak, tapi lo mau nggak jadi cewek yang paling deket sama gue?"
Aku masih gemetaran. "Cewek yang paling deket?"
"Lo mau jadi cewek gue?"
"Hah—apa?" Aku mengatupkan bibir dan Mars tertawa.
"Kan, lo lucu," katanya yang membuat pipiku merona.
"Nggak lucu!" teriakku.
Kami saling tatap dan dia bertanya, "Jadi, mau terima gue atau enggak?"
Ini jawabnya gimana?
Aku gelagapan. "Biasanya, kalau cewek nerima cowok itu karena apa?"
Mars tampak mengerutkan kening, mungkin memikirkan pertanyaanku yang sebenarnya gampang, tapi sulit. "Karena ceweknya suka sama cowok itu? Karena cewek itu ada rasa sama si cowok?"
Aku masih sulit hanya untuk berkata iya. Lidahku kelu.
"Jangan terima gue kalau lo nggak punya perasaan apa-apa," katanya.
"Gue suka ... suka sama lo, sih...." Aduh.... Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Barusan aku bilang apa? Suka sama Mars? Di depan Mars? "Tapi, tapi gue nggak bisa pacaran. Pengin tapi nggak mau. Ih, ini gimana, sih?"
"Maksud lo, hubungan tanpa status?" tanyanya.
Aku langsung menatapnya bingung. "Hubungan tanpa status? Apa itu?"
Mars sontak tertawa dan geleng-geleng kepala. "Hubungan tanpa status itu ya semisal antara lo dan gue kayak punya hubungan, tapi nggak ada status yang jelas. Deket, tapi nggak pacaran. Kayak pacaran, tapi nggak pacaran juga. Semisal si cowok deket sama cewek lain, si cewek nggak boleh ngehalang dong kan bukan siapa-siapa. Begitu pun sebaliknya."
"Nggak, nggak." Aku menggeleng cepat. Ngeri. "Emang ada orang yang mau ada di hubungan kayak gitu?"
"Nggak ada. Nggak ada yang mau HTS-an. Yang ada cuma terjebak."
Aku menempelkan kedua tanganku pada masing-masing pipi. Mataku tertuju ke rumput di lapangan ini. Mars tidak bicara lagi. Aku memberanikan diri untuk mendongak dan menatap Mars. Aku harus berani.
"Gue ... mau kok jadi ... pacar ... eng..." Aku menutup wajah. "Gue mau kok jadi pacar lo!" kataku cepat. Sangat cepat.
Kemudian hening.
***
Gerah banget, serius!
Aku bahkan sampai mengibas-ngibas tangan di depan koridor dekat sekret pramuka sambil menunggu cowok itu—menyebut namanya saja membuat pipiku terasa panas.
Jadi? Kami pacaran? Ini serius, kan?
Aku merasa bertingkah bodoh tadi di depan Mars. Tinggal bilang iya kenapa rasanya sangat susah? Aku mencoba untuk tenang. Berlaku biasa saja. Seperti ... seorang cewek lainnya yang punya pacar.
Saat menoleh ke kanan, kulihat dia datang. Aku langsung gugup setengah mati. Katanya tadi dia ke sekret sispala dulu untuk mengambil tasnya sekalian mengambil helm untukku, yang memang ada tersedia di sana. Hari makin malam. Tak terasa sudah sekitar satu jam semenjak aku bertemu dengan Mars di lapangan bola.
"Ayo," ajaknya. Kepalanya terangguk sekali. Aku mengikutinya, berjalan di sampingnya. Kami melewati koridor kemudian melewati koperasi hingga berbelok ke kanan menuju parkiran siswa. Dalam perjalanan menuju parkiran, kami tidak saling diam. Aku yang memulai percakapan itu.
"Dunia itu sempit, ya?" tanyaku tiba-tiba.
"Sesempit gue menemukan cewek yang gue cari selama ini."
"Apaan, sih, Mars! Dangdut banget," ujarku, pelan.
Dia malah ketawa. "Kata lo sempit kenapa?"
"Kita ketemu di lapangan. Beberapa jam kemudian kenalan di kolam renang. Beberapa hari kemudian, gue tahu ternyata lo sepupunya Rumi, sahabat gue. Ternyata lo temennya Sandra, orang yang dulunya paling gue benci di dunia ini, tapi sekarang udah enggak. Gue dan dia udah baikan. Udah saling ngerti. Ya gitu, deh."
"Masih berpikir kita ketemu pertama kali di lapangan?"
Aku menoleh dan mendongak ke samping. "Hmm...?"
"Lo nggak inget gue ternyata." Dia menggeleng.
"Ya udah, kasih tahu, gih. Gue mana inget kalau nggak dikasih tahu."
"Kapan-kapan aja. Nggak sekarang. Udah malam banget."
"Yah, nggak seru, dong. Gue kok penasaran, ya?" tanyaku pada diri sendiri. "Perasaan baru kemarin deh gue ketemu sama cowok yang ngaku bernama Mars."
"Perasaan baru kemarin gue ketemu sama cewek yang nyemplung di kolam renang sekolah dan masih pakai seragam."
"Haha, apaan, sih?" Aku menunduk dan senyum-senyum mengingatnya. "Gue pengin tahu banyak tentang lo," kataku. Tiba-tiba saja aku teringat malam itu di loteng rumah eyangnya Mars.
Kami tiba di parkiran. Hanya ada kurang dari lima motor dan satu mobil di sana. Mars membawaku ke motor sport hitamnya dan berhenti di sana. Dia mengangkat helm yang sedari tadi dia pegang dan menyodorkannya kepadaku. Aku membuka pengaitnya, tapi susah. Mars kemudian membantuku melepas kaitan helm dan setelah itu aku segera memakai helm tersebut.
"Kenapa lo pengin tahu banyak tentang gue?" tanya Mars, setelah dia kembali memperbaiki posisi helm di kepalaku. Aku jadi tambah gugup.
"Karena sebelumnya lo mau tahu banyak tentang gue," jawabku jujur.
"Nanti juga lo tahu seiring berjalannya waktu."
"Kok gitu?" tanyaku heran.
"Gitu kenapa?" tanyanya sambil naik ke motor. Dia memegang tanganku dan tak berpikir panjang aku segera naik ke atas motornya.
"Nggak adil, tahu!" balasku saat aku sudah di atas motor Mars. "Masa gue cerita banyak tentang gue ke elo, tapi lo jawabnya nanti juga lo tahu seiring berjalannya waktu. Gue kan juga mau tahu banyak tentang lo." Ini ... sebenarnya aku tidak tahu kenapa aku mengatakan ini.
Mars menggapai kepalaku di belakangnya. "Adil, kok. Cowok kan harusnya melindungi. Jadi, kalau ada sesuatu nanti gue cepet tahu kalau lo ada apa-apa. Gue udah belajar dari sifat-sifat lo dan segalanya selama mengenal lo."
"Tapi kan gue juga mau tahu tentang lo lebih banyak lagi, Mars."
"Nggak ada yang spesial di hidup gue. Nanti juga lo tahu."
"Bukannya, kalau udah punya hubungan itu harus saling terbuka?" tanyaku, heran. "Eh gimana, sih? Gue nggak ngerti yang gitu-gitu."
Mars tertawa. "Jalanin aja, Gi," kata Mars. Dia mulai menyalakan motornya dan beberapa saat kemudian dia melajukan motornya meninggalkan pelataran sekolah.
Aku memegang tas hitam Mars. Sesekali pandanganku mengarah ke jalanan malam Jakarta Selatan. Aku dan Mars sama-sama diam di jalan. Aku tidak ingin mengganggunya dengan bicara lagi, sementara dia fokus mengemudi.
Kami benar-benar tak mengatakan apa pun hingga tiba di depan rumahku. Aku turun, melepas helm, kemudian memberikan helm itu kepada Mars.
"Makasih, ya!" kataku riang. "Ingat janji buat bahas tentang segitiga bermuda, atlantis, dan terlebih dinosaurus!"
Mars mengangguk. Aku masih berdiri di dekat pagar dan mengembangkan senyum malu. Yang terjadi tadi ... itu benar, kan? Aku mundur dan melambaikan tanganku kepada Mars.
"Bye. Kenapa nggak pulang juga?" tanyaku heran.
"Nungguin lo masuk dulu, Gi."
"Lo-nya aja yang duluan," kataku.
"Geigi dulu."
"Mars aja dulu!"
Mars membuka kaca helmnya. "Kalau lo nggak masuk duluan, gue nggak bakalan cerita tentang dinosaurus," ancamnya.
"Iya, iya...." Aku melengos. Mengalah. Aku segera membuka pagar dan mundur. Kulambaikan tangan ke arah Mars sekali lagi. Aku menutup pagar setelah melewati batas perantara pagar.
"Sampai ketemu di sekolah," katanya sembari melemparkan senyuman. Seperti ada kupu-kupu yang menggerayangi perutku setelah itu.
Aku mengangguk dan berbalik pergi. Saat menuju rumah, sesekali kutolehkan kepalaku ke belakang. Mars masih menatapku di sana. Aku tersenyum sembari menoleh kembali ke depan dan terus berjalan hingga masuk ke dalam rumah.
Aku menutup pintu dan bersandar di sana. Suara motor di luar terdengar menjauh dan semakin menjauh hingga tak ada suara motornya lagi. Aku memegang dadaku yang berdegup tak keruan. Lalu tanganku naik ke kedua pipi, memegangnya sambil tersenyum.
Kuambil ponsel dan mengirimkan pesan kepada seseorang.
Kak Saga
Kak Saga!
Hehe
Bener kata Kak Saga waktu itu
Memang Mars
Dan semoga akan selalu dia
end
_________
an:
Gimana perasaan kalian setelah baca Geigi sampai tamat?
Suka mana? Alasannya apa?
Geigi.
Mars.
Dirgam.
Sudah baca HSS lain? Semuanyaaa?
aku nggak tahu lagi mau bilang apa selain terima kasih. Kalian hebat!
Ekstra part di wattpad? Ada satu, tapi aku belum tahu kapan mau postnya. Lagi mau lebaran, sibuk. Mungkin setelah lebaran nanti aku post, yaaa.
Maafkan lahir dan batin, ya, semuanya!
Ekstra part lain! POV Dirgam dan POV Mars nanti ada di novel. Geigi wattpad dan novel juga ada yang mau aku ubah. Di wattpad terlalu panjang. Mau aku padatin dan buang beberapa konflik yang nggak begitu penting di ceritakan di Geigi. juga mungkin ada adegan tambahan atau ada yang aku ubah. Tunggu saja infonya di ig penerbit beliabentang , bentangpustaka dan instagram geigizora, thrdplnt, dirgambarie. Aktivitas para tokoh juga masih ada di instagram.
Sekuel? Sempat kepikiran dengan judul Mars. Tapi enggak jadi. Siapa tahu nanti aku berubah pikiran. Follow aja rp Geigi di ig atau apa deh terserah. Selain itu, fokusku juga banyak untuk cerita yang belum lanjut-lanjut karena aku fokus ke Geigi dan akhirnya Geigi selesai!
Aku nggak tahu mau bilang apa selain terima kasih sebanyak-banyaknya (guru bahasa Indonesia-ku pernah bilang, terima kasih banyak itu nggak baku wkwk). Intinya, terima kasih <3
aku memang bikin kecewa ya? iya nggak sih?
Mungkin ada atau mungkin nggak ada yang follow aku di instagram dari dulu pas Geigi belum terbit di wattpad, aku pernah post foto sticky note di insta story beberapa hari sebelum Geigi mulai aku publikasikan di wattpad, tulisannya
Geisha Gania Izora (kurang h waktu itu)
Maula Adnan Riyad Setiawan
Memang Dirgam yang duluan muncul di cerita, tapi nggak selamanya orang pertama yang muncul itu yang bakalan berakhir sama dengan tokoh cewek. Tapi aku bisa ngerasain kok bagi Tim Dirgam yang ingat pertemuan pertama mereka pecintaorangpertamayangmuncul. Seandainya Mars duluan yang muncul, apakah kalian masih tetap di Tim Dirgam? Atau seandainya mereka masih punya nama yang sama, tapi sikap, sifat, dan awal mula mereka kenal Geigi ditukar posisinya, apakah kalian masih ada di Tim yang sama? Ini aku serius lho nanyanya, mau tauuuu
Sekali lagi, maafkan lahir dan batin ya.
Karena di part ini udah nggak ada Dirgam, bonus foto Dirgam nih. Digelitik atau diapain tuh. Dirgam duluah sih yang nakal
Terima kasih dan sampai jumpa di lain waktu ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro