Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

30. Dalam Genggaman

___


Mars

Udah sampai mana?

Aku menunggu Mars di lobi. Sejak tadi aku tidak bisa tenang. Aku terlalu bawel lewat chat, terus bertanya Mars di mana, sudah sampai mana, dan blablabla lainnya. Itu semua karena aku terlalu gugup. Saat aku bertanya apakah rumah eyangnya ramai? Mars bilang rumah eyangnya sudah pasti ramai. Aku bukannya benci suasana ramai, hanya saja aku merasa tidak nyaman. Bertemu dengan orang-orang asing dengan sengaja adalah sesuatu hal yang selalu membuatku tidak nyaman. Berbeda jika aku bertemu dengan orang asing tanpa sengaja.

Semua hal yang menjurus ke rencana pertemuan akan selalu membuatku gugup.

Aku maju selangkah saat melihat mobil hitam dengan plat nomor yang sudah aku catat di ingatanku. Sambil menggigit bibir, kuremas pinggiran dress putih yang aku pakai. Mobil Mars berhenti tak jauh di depanku, lalu kaca mobilnya terbuka. Tersenyum ke arahku sambil mengarahkan matanya sekali ke pintu mobil.

Kulangkahkan kaki segera mendekat ke mobil itu. Kubuka pintu dan saat itu juga aku melihat balita perempuan yang duduk di jok dengan pengamannya, menatapku dengan mata bulatnya.

"Mulia gimana? Gue pangku?" tanyaku.

Mars melepas sabuk pengaman Mulia. Tas gendong bayinya juga dia lepaskan. "Lo bisa pangku?" tanya Mars.

"Pasti!" jawabku antusias. Aku masuk dan memangku Mulia. Mulia menatapku bagai orang asing. Ya, memang itu kenyataannya. Bahkan saat aku mencoba tersenyum lebar, bayi mungil ini hanya memandangku sambil berkedip sesekali. Tanpa ekspresi.

"Mulia nggak cepet seneng sama orang, ya?" tanyaku pada Mars sembari memaksakan senyum kepada Mulia yang masih menatapku dengan wajah datarnya. Ini lebih bisa dikatakan bengong.

Mobil Mars mulia melaju saat dia membalas pertanyaanku. "Dia lagi bingung, yang mangku dia siapa."

"Oh?" Aku menoleh ke Mars. "Gimana caranya mengakrabkan diri ke anak kecil?" tanyaku bingung.

"Anak kecil kayak Mulia masih nggak tahu apa-apa, tapi coba kenalan. Bilang apa aja gitu. Sering buat anak kecil ketawa. Pasti dia bakalan ingat lo terus."

Sayangnya, aku tidak bisa seperti itu. Apalagi posisiku sekarang berada di samping Mars. Sok asyik di depan bayi yang belum bisa jalan kemudian Mars akan memerhatikanku? Oh Tuhan, aku benar-benar tidak bisa melakukannya.

Tapi aku harus mencoba. "Halo. Kenalin aku Geigi. Kamu pasti Mulia, kan?" Aku tersenyum ke Mulia. Anak itu mulai melebarkan senyumnya hingga beberapa giginya yang baru tumbuh itu muncul. "Kamu adiknya Mars, ya? Kok kamu cantik, tapi kakak kamu enggak?"

Kudengar Mars tertawa. Aku menoleh ke cowok itu sebentar. Mars memang tidak cantik, kan? Aku ikut tertawa dan kembali menatap Mulia yang entah kenapa juga tertawa-tawa.

"Izin cubit pipinya boleh?"

Mars mengangguk. "Boleh...."

"Ih, gemes! Anak siapa, sih?" Aku mencubit—lebih ke meremas sih— kedua pipi Mulia dengan gemas. Pipinya sangat tembem. Aku sampai gregetan dengan Mulia. Perlahan tawa Mulia menghilang. Raut wajahnya berubah. Matanya menyipit dan bibirnya terbuka. Kemudian Mulia menangis sangat kencang.

"Eh, eh, eh nangis. Hue ini gimana, Mars?" Aku panik. Mulia makin menangis kencang. "Gimana ini? Ya ampun. Nenanginnya gimana?"

"Coba lo goyang."

"Eh?" Di tengah kepanikanku, aku jadi bingung. "Goyang? Joget?"

"Eh?" Mars ikut menatapku sebentar sebelum kembali menatap jalan. Kemudian Mars terbahak. Aku belum pernah melihatnya tertawa seperti itu.

"Goyang, Gi. Bukan joget," balas Mars yang membuat aku malu membayangkan apa jadinya aku joget di dekat Mars. Kenapa jadi tidak konsentrasi begini. "Gerak-gerak. Elus punggungnya. Mulia nyaman kalau digituin."

"Oh, ngerti-ngerti." Aku pernah melihat seorang ibu di taman mengusap punggung anaknya di pangkuan sambil bergerak ke kiri dan kanan. Aku mencoba mengikuti. Perlahan, Mulia berhenti menangis. Pipinya tersandar di dadaku. Aku menunduk dan melihat Mulia mulai memejamkan mata.

"Yah, nggak seru. Udah tidur. Gue kan masih mau main," kataku.

"Lo bikin dia nangis lagi malah panik sendiri."

"Hehe." Aku tertawa, malu. "Belum biasa megang anak sekecil Mulia."

"Bareng Mulia doang?" tanyaku. "Nyokap lo? Bokap lo?"

"Nyokap gue udah duluan tadi. Langsung ke rumah eyang. Gue ngambil Mulia ke baby sitter dulu."

Aku mengangguk-angguk sambil membulatkan bibir.

Kemudian hening. Sepertinya Mars tidak ingin memulai pembicaraan karena fokus mengemudi. Aku juga tidak berani bertanya. Di sepanjang berjalanan aku hanya menikmati pemandangan yang kami lewati.

Tiba di sebuah jalan, aku sedikit terheran. Rasanya tak asing saat mobil ini mendekati sebuah perumahan.

"Kok nggak asing, ya?" tanyaku tanpa sadar sambil mendekati jendela.

"Kenapa?" tanya Mars.

Aku terkejut dan menggeleng. "Enggak."

Aku pernah melewati jalan ini. Di sana ada supermarket yang pernah beberapa kali aku kunjungi setiap aku pergi dari rumah untuk mencari ketenangan. Di sana tempat aku melihat si cowok ber-hoodie yang berdiri di trotoar. Lalu cowok itu berjalan memasuki sebuah perumahan sampai akhirnya aku malas untuk memikirkannya.

Aku menoleh ke Mars. Malam itu, malam di mana Mars mengantarku pulang pertama kali, aku berpikir Mars mirip si cowok berhoodie.

"Ada masalah?"

Pertanyaan Mars membuatku segera kembali dari lamunan. Aku tersenyum singkat menatap Mars. "Nggak ada, kok."

Mobil memelan dan rasa gugupku kembali muncul saat Mars memasukkan mobil ini ke halaman sebuah rumah yang terdapat banyak kendaraan.

"Mars?" panggilku sambil menelan ludah, getir. "Di dalam ramai...."

"Santai aja, Gi," balas Mars singkat sembari keluar dari mobil kemudian memutarinya. Dia membuka pintu di sampingku, lalu merentangkan tangannya ke Mulia.

"Sebenarnya, tujuan lo ngajak gue ke sini... buat apa?" tanyaku setelah keluar dari mobil. Mars masih berdiri di hadapanku dengan Mulia di gendongannya. Aku meringis. Harusnya aku tidak perlu bertanya demikian. Toh, pertanyaanku dijawab oleh Mars dengan diamnya.

"Gue gugup. Berasa asing banget nanti di dalam sana." Aku mencoba mengalihkan pertanyaanku tadi, lalu tertawa canggug.

"Nggak apa-apa gue pegang?"

"Hem?" Aku menatap Mars bingung. "Pegang apa?"

"Tangan lo."

"Tangan gue... kenapa?"

"Biar lo nggak gugup."

Aku terdiam. Pandanganku tak lepas dari tatapan Mars saat aku merasakan tangan lain menggenggam tanganku. Dia tak lagi mengatakan apa-apa, lalu menarikku ke rumah itu.

Aku berjalan kaku di sampingnya. Menunduk, mengalihkan perhatian ke sisi lain selain Mars, atau menatap ke depan dengan raut gelisah. Semua itu kulakukan saat genggaman tangan Mars makin terasa.

Justru ini yang membuatku lebih gugup. Tanganku belum pernah dipegang oleh laki-laki, kecuali Papa.

Suara ramai makin dekat. Orang-orang mulai terlihat satu per satu. Mars melepaskan genggamannya saat seorang perempuan seumuran Mama mendekatinya. Mungkin mamanya.

"Mulia nangis nggak?" tanya mamanya Mars sembari mengambil Mulia dari gendongan Mars. Aku meringis mendengar pertanyaan itu.

Mars melirikku sambil menahan tawanya. "Tadi bentar. Habis itu tidur, berkat Geigi."

"Geigi?" Mamanya Mars menatapku. Raut bingungnya berubah menjadi senyuman manis. "Eh, ya ampun Tante nggak merhatiin. Kenalin, panggil aja Tante Maya. Mamanya Mars."

Tante Maya menarikku, memelukku, dan menempelkan pipinya di pipiku bergantian. Aku hanya bisa tersenyum canggung.

"Aku Geigi, Tante," balasku.

"Baik-baik ya di sini? Tante ada urusan dulu di sana. Sekalian mau antar Mulia ke kamar. Dah, sayang," kata Tante Maya kepadaku. Sepertinya Tante Maya sibuk. Mulia tidur nyenyak padahal aku benar-benar ingin main dnegannya.

"Mars, ajak Geigi ke Eyang," kata Tante Maya.

Mars mengangguk. Beberapa detik setelah kepergian Tante Maya, Mars menarikku mendekati tempat di mana seseorang yang kutebak adalah eyangnya Mars duduk di kursi roda. Beberapa anak yang umurnya di bawah Mars ada di sana. Bercerita dan sesekali tertawa.

"Sebenarnya, acara keluarga ini atas dasar apa?" tanyaku.

"Dua hari yang lalu Eyang baru keluar dari rumah sakit."

"Oh?" Aku mengangguk-angguk. "Rumi Mana?"

"Nggak datang. Ini keluarga Nyokap gue, sih. Rumi keluarga dari Bokap gue."

"Oh, gitu...."

Kami sama-sama mendekati Eyang yang sedang tertawa sambil memeluk seorang anak berumur kira-kira 5 tahun. Saat Mars memanggil Eyang, Eyang kemudian menatap Mars dan melepaskan anak itu dari pelukannya. Mars berjongkok di depan Eyang yang duduk di kursi rodanya. Dia mencium tangan Eyang.

"Eyang, ini Geigi." Mars menggerakkan kepalanya kepadaku, menyuruhku ikut melakukan apa yang baru saja dilakukannya. Aku mencium punggung tangan Eyang, lalu menatap Eyang sambil tersenyum.

"Geigi?" Eyang menatap Mars. "Temen kamu?"

Mars mengangguk. "Iya, Eyang."

Aku hanya bisa tersenyum. Bingung ingin mengatakan apa. Eyang menatapku dan bertanya. "Teman kelasnya Mars juga?"

Aku menggeleng meski bingung dengan kata juga. "Enggak, Eyang. Aku dan Mars beda kelas. Satu sekolah juga, kok."

Eyang mengangguk pelan. Matanya sayu. Entah Eyang sakit karena apa. Keluarga ini saling menyayangi. Bahkan mungkin semua cucu Eyang yang kecil-kecil ada di sini. Aku tak pernah—turut andil—melihat keluarga besarku berkumpul seperti ini.

"Eyang!"

Suara teriakan yang kukenali membuatku terdiam cukup lama. Aku berdiri dan menoleh ke seseorang yang menjadi pusat perhatian. Nama Sandra terus diucapkan oleh orang-orang yang ada di sini. Anak-anak dan beberapa orangtua menyebut namanya. Bahkan tak canggung Sandra membalas dengan sangat ramah seolah mereka sudah saling kenal lama.

Aku tidak salah. Saat aku mundur dan memberikannya jalan, Sandra mendekati Eyang. Mencium pipi Eyang, memeluk Eyang sampai Eyang tertawa-tawa menyuruh Sandra menjauh karena sedikit sesak lalu Sandra meminta maaf, tetapi diakhiri dengan tawa yang kencang. Lalu, mereka saling berucap rindu.

Sandra adalah sahabat Mars. Sejak kecil mereka sudah saling kenal. Aku tak perlu heran kenapa Sandra sangat dekat dengan keluarga Mars.

Aku masih terdiam kaku saat Sandra tak sengaja menatapku. Senyumnya pudar. "Eh, lo kok di sini? Ngapain?" tanyanya dan aku hanya diam. Semenjak kejadian malam itu, aku merasa belum siap bertemu Sandra lagi. Tapi Tuhan berkata lain.

"Geigi bareng gue," balas Mars.

"Oh, Mars ada yang mau gue tunjukin ke elo. Lo harus lihat!" Sandra menarik tangan Mars dan mulai menjauh.

"Kenapa kalian jauh-jauh?" tanya Eyang. "Di sini aja."

"Rahasia!" teriak Sandra dari jauh bersama Mars di sampingnya. "Eyang nggak boleh lihat!"

"Ngapain, sih?" Samar-samar aku mendengar suara Mars sebelum mereka menghilang di balik dinding.

Hanya aku saja yang memang asing di sini.

Hatiku sakit bukan karena aku sendirian, tetapi karena melihat Mars memilih mengikuti Sandra dan meninggalkanku. Lagi.

Jika dalam situasi biasa, aku akan biasa saja dengan keadaan ini. Namun, aku merasa ada yang berbeda di diriku saat melihat tangan Mars berada di tangan cewek lain.

***

Aku mau pulang. Sejak tadi satu kalimat itu yang terulang di pikiranku. Mars sudah kembali bersama Sandra. Aku tak pernah melihat Sandra tertawa lebar seperti itu. Saat Mars kembali tadi, aku melihat Mars tersenyum meski terlihat sangat tipis, dia seperti menahan senyumnya. Mungkin sesuatu yang Sandra tunjukan kepadanya adalah sesuatu yang membuatnya senang. Eyang yang tadi mengajakku berbicara. Bercerita tentang Mars. Tentang aku. Atau aku yang ingin tahu tentang Eyang.

Aku menjauh dari sana. Berdiri di dekat sebuah almari. Kata Mars ini rumah Eyang, bukan rumahnya. Tapi di almari kaca ini terdapat banyak piagam yang terbingkai. Nama Maula Adnan Riyad Setiawan tercatat di sana. Ada juga piala yang aku pikir milik Mars karena yang lain tertulis nama Mars. Beberapa foto Mars kira-kira saat masih SD dan SMP yang memakai baju karate berkalungkan penghargaan juara 1, 2, ada juga 3. Emas, perak, dan tembaga yang terkalungkan di sana. Aku menaikkan pandanganku. Di sebuah pigura yang terdapat di dinding terdapat foto keluarga. Sepasang suami istri dan seorang anak laki-laki yang masih berumur 6 atau mungkin 7 tahun berada di tengah-tengah mereka.

"Ngapain ke sini?"

Aku terkejut dan langsung berbalik. Mars menatapku heran. "Gue cuma lihat-lihat." Aku mengembuskan napas panjang. "Mars?"

Mars hanya menatapku.

"Kalau gue pulang sekarang, nggak apa-apa?" Aku benar-benar ingin segera pulang. Entah kenapa suasana hatiku menjadi buruk. Aku jadi tidak bersemangat saat Sandra dan Mars menjauh.

"Kenapa?" tanyanya. "Gue ngebuat lo nggak nyaman?"

Aku menghela napas. "Gue cuma butuh ketenangan."

"Mau ikut gue?"

Aku mengernyit. "Ikut ke mana?"

"Tempat yang tenang," balasnya. "Walaupun belum tentu ngebuat lo tenang. Tapi gue harap lo mau ngasih gue waktu buat tahu lebih banyak lagi tentang lo."

Aku tertegun.

Mars menyelipkan jemarinya di sela-sela jemariku dan perasaan yang lain itu muncul. Hatiku menghangat. Aku tak ingin dia melepaskan tangannya. Tapi ... kenapa? Dan ada apa dengan diriku?

***

an:

Jadi, apakah Geigi sudah jatuh cinta? Kepada siapa?

Semua bisa berbalik 180 derajat. Yang Mars jangan seneng dulu, yang Dirgam jangan teralu berharap juga, ya!

Nikmati aja jalan ceritanya. Apa pun ending-nya terima saja, ya! heuheu.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro