Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

29. Bercerita

___

"Iya.... Atas nama Geisha Ghania Izora.... Iya, Bu."

Aku duduk kursi sambil memerhatikan Mama yang sedang menelepon wali kelasku. Baru satu gigitan pada roti yang dibuatkan Mama, tapi rasanya aku sangat malas mengunyah. Kuperhatikan lagi Mama yang masih menelepon. Aku tersenyum sambil menggigit sekali lagi roti untuk mengganjal perut.

Mama menaruh ponselnya di atas meja pantri kemudian menuju ke arahku setelah selesai menghubungi wali kelas.

"Kenapa nggak dihabisin?" tanya Mama sembari duduk di kursi yang ada di sampingku.

Aku menggeleng. "Nggak bisa masuk ke perut," kataku, menyengir. Aku mengulurkan roti ke mulut Mama. Mama ikut memakannya dari tanganku.

Lampu ponselku berkelap-kelip dan berbunyi sekali. Aku menaruh roti ke piring dan melihat ada sebuah pesan WhatsApp masuk. Ah, bukan cuma satu, tapi beberapa. Dan yang menjadi perhatianku adalah pesan dari Mars dan juga Dirgam.

Aku menoleh ke Mama yang ternyata memerhatikanku. Aku kembali membaca pesan dari mereka.

Dirgam

Lo nggak ke sekolah?

Lo di mana?

Pesan dari Dirgam masuk sebelum waktu bel pelajaran pertama berbunyi. Aku segera mengetikkan balasan untuk Dirgam.

Iya, Gam. Gue nggak ke sekolah hari ini.

Lagi di rumah Mamaa

Sementara Mars, pesannya masuk baru saja.

Mars

Gue nggak ngelihat lo di sekolah

Gue emang gak lagi di sekolah

Ini masih jam pelajaran, Mars. Ngapain main hp?

Lagi gak di kelas kok

Pesan lain muncul. Aku beralih ke roomchat Dirgam.

Dirgam

Lo sakit?

Enggak sih...

Terus kenapa nggak ke sekolah?

Hehe ya gitu deh

Aku nggak bisa cerita

Eh maksudnya gue

"Kenapa keceplosan pakai aku gini, sih," kataku sangat pelan. Dirgam belum membalas lagi. Dirgam juga belum membaca pesanku meski sudah terkirim. Aku kembali ke roomchat lain.

Mars

Sakit?

Apanya yang sakit?

Lo

Enggaak

Okee.. Sabtu sibuk nggak?

Eh?

Sabtu kan libur. Sibuk gak?

Sabtu ada acara keluarga di rumah eyang. Kalau lo mau ikut, sekalian gue bawa Mulia.

"Ehm...."

Deheman Mama membuatku terkejut. Aku menutup WhatsApp dan menaruh ponselku kembali ke meja pantri. Mama menatapku senyum-senyum.

"Asyik banget kamu. Mama sampai dicuekin," kata Mama yang membuat pipiku merona. Mama tidak membaca semua percakapanku dengan Mars dan Dirgam kan? Posisi Mama sekarang sangat dekat.

"Chat sama temen, Ma," balasku.

"Oh. Kamu punya temen cowok sekarang?" tanya Mama. Aku mengangguk. "Dirgam? Mars? Siapa mereka?"

"Iya, temen cowok...."

"Itu yang Mars beneran Mars namanya?"

Aku mengangguk. "Iya, namanya Mars. Mama tahu nggak, waktu pertama kali kenalan aku juga nggak percaya namanya Mars. Dan yang mengesankan lagi, nama lengkapnya Maula Adnan Riyad Setiawan."

"Maula Adnan Riyad Setiawan. Dipanggil Mars? Singkatan?"

Aku mengangguk. "Singkatan yang jadi nama panggilannya. Tebak kayak siapa?"

"Geigi. Geisha Ghania Izora." Alis Mama menukik dan dahinya berkerut samar-samar. "Hemm, menarik. Kalau Dirgam?"

"Nama lengkapnya, Ma?" tanyaku. Mama mengangguk. "Dirgam Barie."

"Kirain singkatan juga atau apa gitu," kata Mama. Aku hanya tertawa. "Kok sekarang bisa punya temen cowok? Kata kamu dulu nggak punya selain anak-anak di pramuka."

"Ya gitu, deh. Panjang ceritanya." Aku menerawang, mengingat-ingat kembali bagaimana awal pertemuanku dengan mereka. "Dirgam dikenalin sama Rumi. Kalau Mars ketemunya di kolam renang sekolah."

"Kolam renang?"

"Iya, waktu itu aku lagi nangis-nangis di kolam renang karena nyesel nggak konsen jawab soal olimpiade fisika. Tahu-tahunya dia datang nawarin handuk."

"Kamu deket sama mereka?"

Aku menggeleng pelan. "Nggak deket-deket banget sih...."

"Oh, ya? Ada nggak di antara mereka atau bahkan mereka berdua, yang punya tanda-tanda suka sama kamu?"

"Hah?" Aku gelagapan. Sebenarnya aku malu jika menceritakan apa yang terjadi, tapi sepertinya tidak salah jika aku menceritakan ini ke Mama. "Kalau Mars ... aku nggak tahu. Kalau Dirgam... dia ... eum...."

Mama tertawa dan menatapku dengan mata yang makin menyipit. "Eum? Dia suka sama kamu, gitu?"

Aku menunduk. "Dirgam bilang begitu, Ma. Terus...." Aku meremas rok sekolahku, gugup.

"Terus?"

"Dirgam bilang, apa aku mau jadi ceweknya dia?" ujarku malu-malu. Astaga....

"Kamu dan Dirgam udah pacaran?"

"Belum, Ma." Aku menggigit bibir. "Aku bilang nggak bisa karena aku nggak siap. Tapi Dirgam bilang mau nunggu."

"Kalau Dirgam nggak deket sama cewek lain, berarti Dirgam bener-bener suka sama kamu."

Begitu, ya? Tapi aku tahu dari mana? Aku tak mau bertanya langsung ke Mama karena malu. "Menurut Mama gimana?"

"Gimana apanya?"

"Kalau aku pacaran."

"Hem... gimana, ya." Mama terlihat serius. "Nggak apa-apa kamu deket sama cowok, yang penting kamu tahu batas mana yang boleh dan enggak boleh. Paham?"

"Geigi paham kok, Ma," jawabku setelah mengangguk-angguk. "Tapi Mama belum jawab pertanyaanku. Kalau aku pacaran gimana?"

"Terserah kamu karena Mama dulu pernah pacaran beberapa kali sampai Mama ketemu sama Papa kamu." Mama tersenyum. "Tapi, itu jawaban Mama kalau Mama masih seumuran kamu. Kamu mau tahu jawaban Mama yang sebenarnya apa?"

"Apa, Ma?"

"Jangan pacaran."

"Jangan pacaran? Tapi Mama bilang terserah Geigi?"

"Iya, itu pilihan kamu. Kamu mau pacaran atau enggak. Terserah kamu. Tapi jawaban Mama dari pertanyaanmu tadi, jangan pacaran."

Aku merenungkan semua ucapan Mama. Mama menjawab dari dua sisi. Menjawab pertanyaanku sebagai remaja seumuranku dengan segala pemikiran-pemikiran dan keinginan-keinginan gadis yang masih beberapa tahun lagi menginjak usia dewasa dan Mama juga menjawab pertanyaanku sebagai orangtua.

Mama mengusap kepalaku saat berdiri menjauh dari sini. Telepon terdengar berdering dari luar, sepertinya sumbernya dari kamar. Mama sudah menghilang dari balik dinding yang menghalau penglihatanku. Sementara aku kembali sibuk dengan pikiranku saat ini.

Di tengah-tengah kesibukan memikirkan semua yang mengganggu itu, ponselku kembali menyala memperlihatkan pesan dari grup pramuka. Aku mengambil ponselku kembali dan terdiam saat melihat kolom-kolom percakapan.

Aku teringat Rumi. Kenapa dia tidak menghubungiku? Biasanya dia menghubungiku lebih dulu kalau aku tidak ke sekolah. Entah itu mengirimkanku pesan-pesan yang semuanya huruf-huruf besar. Meneleponku berulang-ulang sampai aku menerima panggilan darinya. Akupun sebaliknya jika dia tidak ke sekolah dan lambat memberitahukanku tentang dirinya yang mengapa belum juga tiba di sekolah.

Namun, kini satu pesan dari Rumu tak ada satu pun. Kolom percakapannya denganku tak terdapat tanda-tanda pesan baru. Percakapanku dengannya terakhir beberapa hari yang lalu.

Aku mulai sadar ada satu hal yang tak biasa di antara aku dan Rumi. Tidak. Ini bukan aku yang berlebihan. Ini memang berbeda. Hampir dua tahun aku berteman dengannya, baru kali ini aku merasa ada yang berbeda.

Atau hanya perasaanku saja. Entahlah. Atau apa mungkin Rumi juga tidak ke sekolah hari ini?

Aku melihat jam. Masih beberapa menit lagi waktu istirahat. Aku segera mengirimkan Rumi pesan, berharap dia akan melihat pesanku jika dia sudah mengecek pemberitahuan di ponselnya.

Arumi Bunga Rahayu

Rumiiii

Lo di mana? Lagi di sekolah, kan? Pak Ridwan masuk nggak hari ini?

Hanya centang satu.

Aku kembali menaruh ponselku di meja saat Mama kembali. Mama tidak mau pergi dari sini sebelum aku menghabiskan makananku. Aku berhasil menghabiskannya dan minum segelas susu, lalu aku dan Mama bercerita apa pun itu. Dan diawali dengan cerita tentang Mars dan Dirgam. Bagaimana aku bertemu dengan mereka pertama kalinya. Aku rasanya menceritakan tentang pertemuanku dengan mereka sebanyak dua kali. Saat aku menceritakan hal itu kepada Kak Saga dan sekarang Mama.

Saat kurasa ada jeda dari pembicaraan dan aku teringat Rumi, aku segera mengambil ponselku dan menghubungi nomor Rumi. Ini sudah waktunya istirahat.

"Halo?" sapaku pada Rumi di seberang. "Lo nggak apa-apa?"

"Hem? Ih, nggak apa-apa, kali. Kenapa emangnya?"

Aku menghela napas. "Ah, syukurlah. Gue kirain lo juga nggak ke sekolah. Sakit misalnya atau apa."

"Oh iya, lo nggak ke sekolah kan. Cepet sembuh, Geigiii!"

Aku termenung sebentar dan tersenyum kecil. "Iya...."

"Udah dulu, ya?"

"Eh, Rum—"

Panggilan diakhiri. Mungkin Rumi sedang buru-buru. Mungkin dia sedang disuruh oleh seorang guru di Nuski atau apa. Atau kemungkinan-kemungkinan lain. Nanti juga Rumi menghubungiku.

"Kenapa?" tanya Mama.

"Enggak, Ma. Tadi teleponan sama Rumi," balasku. Rasanya lemas jika tak ada kepastian apakah Rumi benar baik-baik saja.

"Ini kamu beli di mana? Kamu pernah bilang nggak suka pakai kalung, kok sekarang mau aja pakai?"

Pertanyaan Mama membuatku sedikit terkejut. Kalung? Aku meraba sesuatu yang menempel di leherku. Kalung. Lalu berakhir di sesuatu yang lebih menonjol. Liontin itu. Aku menunduk mengangkat liontin pemberian Mars.

"Ini... dari temen, sih. Nggak enak kalau nggak dipakai." Aku tertawa kikuk. Sebenarnya karena aku juga suka liontinnya makanya aku pakai.

"Dari siapa?" tanya Mama.

"Mars."

Mama menatapku tersenyum. "Jadi, kamu mau ke acara keluarganya hari Sabtu?"

Eh? Mama benar-benar membaca pesanku dengan Dirgam dan Mars.

"Sepertinya gitu, sih, Ma...." Aku membuka liontin dan menatap galaksinya.

Mataku menyipit melihat sesuatu yang tertulis sangat kecil di dalam ukiran itu.

geigi. Tulisannya geigi.

Aku tersenyum. Ada geigi di dalam galaksi. Harusnya yang tertulis di sana adalah Mars. Karena yang terlihat di galaksi adalah Mars. Sementara Geigi hanya sesuatu yang bernyawa, kecil bak debu, tak terlihat di atas langit tertinggi, yang tinggal di dalam planet yang bernama Bumi.

***

An:

Sampai jumpa part depan!

Lama banget sih 14 Juni nya:( kan mau cepet-cepet ending dan bussh selesai sudah:(

Kalian penasaran endingnya atau jalan ceritanya?


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro