28. Harmonis
___
Suara kendaraan mobil di luar membuatku menoleh sedikit ke jendela. Aku tahu itu Papa. Suara mesin mobilnya sangat kentara dan tak asing di telingaku. Aku masih bergeming di sofa. Semua aktivitas pagiku yang seperti biasanya sudah selesai kecuali satu hal, sarapan. Seandainya saja beberapa menit yang lalu aku memutuskan untuk segera ke sekolah, rumah ini sudah kosong dan aku tidak akan tahu bahwa Papa pulang dengan raut tak seperti biasa. Seperti yang kulihat lewat jendela saat ini.
Pintu terbuka. Papa masuk, berdiri dan tak berpaling dari dekat sofa sambil menatapku tajam. Papa tidak pernah manatapku seperti itu.
"Kenapa kamu langsung pulang semalam?" tanya Papa langsung. Tanpa ucapan salam. Tanpa selamat pagi.
"Aku kan udah chat Papa. Aku pulang duluan," jawabku memalingkan muka. "Harusnya aku yang tanya Papa ke mana semalaman? Ngebiarin aku sendirian di rumah? Papa nggak pernah biarin aku sendirian di rumah."
Tenggorokanku rasanya terhimpit sesuatu. "Aku udah nungguin Papa sampai subuh dan Papa nggak pulang pulang juga." Jangan menangis! Jangan menangis!
"Kamu sudah selesai bicara?"
Pertanyaan Papa membuatku tersentak. Papa? Yang barusan bicara Papa? Aku menatap Papa tak percaya. 16 tahun aku hidup, Papa belum pernah bertanya dengan nada sindiran seperti itu.
"Harusnya Papa yang tanya kamu, Geigi!" teriak Papa dan itu membuatku takut. "Papa nggak pernah ya ngajarin kamu nggak sopan sama orang yang lebih tua! Kenapa kamu semalam pergi gitu aja? Tante Jessy sampai stres mikirin kamu dan Sandra!"
Mataku memanas. "Sebelum ketemu sama tante Jessy, aku udah bilang aku nggak mau pergi. Aku udah bilang nggak mau dan Papa maksa. Sekarang Papa salahin aja aku. Salahin terus aja. Bela aja tante Jessy. Papa kan bentar lagi nikah! Nikah aja, Pa! Nikah aja sama tante Jessy! Biar Papa seneng." Aku berdiri menghapus air mataku yang mulai mengalir turun.
"Papa udah berubah. Beneran bukan Papa yang aku kenal. Papa nggak pernah ngebentak aku kayak tadi. Iya, Geigi salah. Geigi udah nggak sopan semalam. Tapi, kenapa sedikit pun Papa nggak ngertiin aku?" Berhenti bicara, Geigi! "Aku mau ke Mama."
Aku menarik tasku dari sofa dan keluar dari rumah tanpa peduli teriakan Papa yang terus memanggil namaku berulang-ulang.
Sambil terisak di jalan, aku menghubungi Mama. "Ha—halo, Ma.... Mama di mana? Jangan pergi kerja dulu.... Aku sendirian.... Aku mau tinggal sama Mama sekarang. Aku nggak mau tingal sama Papa lagi, Ma. Nggak mau!"
***
Tangisku tak bisa berhenti saat menaiki taksi hingga tiba di apartemen Mama. Ponselku terus berdering karena panggilan telepon dari Papa selama aku di perjalanan hingga akhirnya aku mengubah nadanya menjadi diam. Aku kecewa. Aku tak mau bertemu Papa entah sampai kapan.
Aku terisak dalam pelukan Mama di atas tempat tidur ini. Aku tak mau lepas. Tak ada siapa-siapa yang bisa menenangkanku sekarang selain Mama. Hanya ada isak tangis dan Mama terus menenangkanku, mengusap rambutku, dan sesekali menepuk punggungku.
"Papa kamu bukannya berubah, Gi," kata Mama. Setelah cerita panjangku berhenti. "Papa kamu kalau lagi marah emang gitu."
Harusnya aku tak lupa dengan hal itu. Papa akan terlihat menyeramkan jika marah. Raut wajah Papa tadi hampir sama saat pertengkaran Papa dan Mama yang pernah kulihat tanpa sengaja.
"Papa ngebela tante Jessy." Aku terisak. Kenapa aku cengeng sekali belakangan ini? "Aku mau tinggal di sini, Ma. Aku nggak mau balik ke rumah Papa."
"Sebentar. Ada tamu kayaknya. Kamu di sini dulu, ya."
Mama bangun. Aku tak mendengar apa-apa mungkin karena aku larut dengan isi kepalaku. Mama keluar dari kamar menuju pintu apartemen. Aku mengikut dan berhenti di balik dinding saat melihat Papa berdiri di luar sana.
"Geigi?" panggil Papa. Papa sempat melihatku dan aku tak mau muncul lagi.
Aku terduduk di lantai dan memeluk diriku di sana.
"Geigi lagi di kamar. Istirahat. Dia nggak bisa ke sekolah hari ini," kata Mama. Mungkin, Mama tidak tahu aku di sini mendengarkan. "Kenapa kamu ngebiarin Geigi di rumah sendirian?"
"Aku pikir dia ke sini. Makanya aku biarin."
"Harusnya kamu pastiin dulu, Yan..."
"Maaf, Lis."
"Harusnya kamu tahu apa yang harus kamu lakukan. Geigi masih masa pertumbuhannya. Geigi terbiasa dari kecil nggak pernah kamu marahin. Sekarang dia sampai nangis karena mikir kamu ngebentak dia karena Jessica."
Aku menarik diriku melihat mereka. Mama dan Papa masih dalam posisi tadi. Papa tengah mengusap wajahnya. Papa terlihat gelisah.
"Lebih baik kamu pulang dulu. Geigi belum bisa ketemu sama kamu. Nanti biar aku yang nenangin Geigi."
Aku kembali bersembunyi sebelum Papa melihatku.
"Oke.... Bilang ke Geigi, maaf karena sudah bentak dia tadi."
"Yan?"
"..."
"Kamu tahu apa yang ngebuat aku makin kecewa sama kamu? Ngelihat Geigi nangis-nangis sambil bilang nggak mau ketemu sama papanya lagi."
Aku makin memeluk lututku. Jangan menangis, Gi....
Aku tak tahan dan kembali masuk ke kamar. Aku merenung di balik bantal yang sengaja kututupi di wajahku. Kuhapus air mataku cepat saat Mama kembali ke kamar. Mama kembali berbaring di sampingku yang masih mengenakan pakaian kerja. Demi aku, Mama rela cuti meski tugasnya banyak di kantor yang belum selesai.
"Tadi Papa kamu," kata Mama.
"Aku tahu, Ma." Aku menggeleng. Aku sudah tahu permintaan maaf Papa tadi. "Aku boleh bahas yang lain dulu nggak?"
Mama diam sebentar, seperti menimbang. Akhirnya Mama mengangguk.
Aku kembali bercerita. "Sebelum Mama nikah sama almarhum Om Saka, aku masih sering tinggal bareng Mama dan tinggal sama Papa cuma beberapa kali seminggu. Tapi semenjak Mama menikah, aku nggak mau tinggal sama Mama lagi dan milih tinggal sama Papa terus. Mama juga sibuk kerja. Sekarang, giliran Papa yang mau nikah. Kalau Papa nikah sama tante Jessy, aku beneran nggak mau tinggal sama Papa lagi. Aku nggak mau." Aku menghirup oksigen dalam-dalam. "Mama jangan nikah lagi ya? Kalau Papa nikah sama tante Jessy, terus Mama ketemu jodoh Mama yang sebenarnya, aku sama siapa? Aku nggak mau sendirian...."
Aku menggeleng-geleng. Bibirku bergetar. Aku tak bisa membayangkan hal itu benar-benar akan terjadi. Aku tidak berharap. Tidak akan pernah.
Mama mengusap lembut pipiku. Membawaku menatapnya. Mama tersenyum kecil. "Mama nggak bakalan nikah lagi, kok."
"Janji?" tanyaku. Mama mengangguk. Aku memang egois. Tak seharusnya aku mengatakan ini. "Geigi janji nggak bakalan kuliah ke mana-mana. Geigi di sini aja, kuliah di Jakarta aja biar deket Mama terus. Geigi mau jagain Mama kalau Mama udah nggak bisa kerja. Biar Geigi aja nanti yang gantiin Mama. Waktunya Geigi yang bakalan jagain Mama, bukan lagi Mama yang jagain Geigi."
Mama tersenyum. Ada bulir mata di sudut mata dekat hidungnya. "Kamu tahu apa yang paling Mama rindukan?"
Aku bertanya bingung. "Apa itu, Ma? Geigi nggak tahu."
"Kamu." Mama menunjuk ujung hidungku dengan telunjuknya. Jawaban Mama membuatku tersenyum. Aku menghapus air mataku. "Waktu kita ketemu jarang banget. Mama sibuk kerja. Kamu sekolah dan tinggal sama Papa kamu."
Aku menghela napas panjang. "Mama pernah nggak punya impian punya keluarga harmonis?"
"Itu bukan impian, sih," balas Mama. "Waktu menikah, Mama nggak pernah kepikiran tentang bagaimana ujungnya rumah tangga Mama." Mama tersenyum. "Kamu udah pernah suka sama cowok?"
Aku menunduk malu. Ah, aku paling anti bicara soal percintaanku jika bersama Mama. "Belum pernah, Ma...."
"Mama pikir udah. Apalagi di Nuski kan banyak anak cowok yang ganteng-ganteng."
"Ih, Mama!" Aku merapat ke pelukan Mama. "Aku nggak mau bahas cowok."
Mama terkekeh dan mengelus rambutku. "Rumah tangga itu nggak ada yang tahu nantinya jadi seperti. Langgeng, kah. Sering bertengkar karena nggak cocok. Atau mungkin terkadang bertengkar, tapi ujung-ujungnya saling maaf dan mengaku kesalahan masing-masing. Terlebih lagi kalau keduanya masih saling mencintai. Yang terpenting kamu tahu, saling mencintai bukan menjadi landasan pernikahan bisa langgeng. Tapi ada banyak hal lainnya. Salah satunya adalah setia."
"Kenapa Mama bilang setia?"
"Karena percuma si laki-laki cinta sama si perempuan, tapi kalau si laki-laki masih nggak bisa berpaling dari perempuan lainnya? Begitupun sebaliknya."
"Kan cinta. Nggak mungkin nggak setia, Ma."
"Setia yang Mama maksud di sini sudah termasuk selalu ingat dengan janji pernikahan. Harus bisa membentengi hati."
Mungkin, Mama mengatakan semua itu sambil mengingat bagaimana Papa dulu?
"Kenapa kamu tiba-tiba bertanya soal keluarga harmonis?" tanya Mama.
Sebenarnya aku malu mengatakan ini. "Tahu nggak, Ma? Aku pernah berpikir nggak mau nikah seumur hidup."
"Mau jadi gadis tua? Yang nggak nikah-nikah?"
Aku terdiam.
"Kamu belum ngerasain ada fase dari manusia di mana perempuan atau laki-laki terus-terusan ditanya 'kapan nikah?' sama orang-orang terdekat." Mama terkekeh kemudian diam sebentar, lalu mulai bicara serius. "Mama tahu, kamu mulai takut walaupun kamu masih SMA. Maafin Mama yang waktu itu buat kamu sampai berpikir kayak gini. Tapi, coba kamu lihat dari segala sisi. Pernikahan itu nggak cuma soal hal yang menurutmu mengerikan seperti perceraian atau pertengkaran, tapi pernikahan itu sebagai bagian dari kehidupan untuk mencari pasangan hidup. Percuma kamu punya banyak sahabat, banyak teman. Tapi nanti mereka punya pasangan masing-masing.
"Saat-saat single dan berkeluarga itu berbeda drastis. Kamu mau semua temen kamu atau mungkin sahabat kamu udah nikah dan kamu hidup sendirian? Orang-orang yang sudah berkeluarga bakalan sibuk dengan keluarga barunya. Urus suami, urus rumah, urus anak. Waktu untuk ketemu dengan teman-teman sudah tidak seperti dulu."
"Sama aja kan? Kita belum tahu apa yang nanti didapatkan di pernikahan itu?" Aku meneguk ludah. "Maksudku, kita nggak tahu apa bakalan bahagia atau malah ... sebaliknya."
"Geigi, buang semua pikiran-pikiran negatif. Masukkan pikiran-pikiran positif di hati dan pikiranmu. Seperti yang Mama bilang tadi, coba kamu lihat dari segala sisi. Kamu mungkin cuma fokus ke pernikahan yang berakhir dengan pertengkaran kemudian perceraian, jangan larut dengan ketakutanmu di sana. Ada banyak pernikahan yang harmonis.
"Coba lihat kakek dan nenek kamu? Nenek dan kakek kamu dulunya waktu masih hidup, nggak pernah bertengkar. Damai. Saling sayang. Waktu Mama kecil, setiap nenek kamu ngelakuin kecerobohan apalagi yang fatal, kakek kamu pasti marah. Tapi, marahnya bukan marah banget. Kakek kamu marah karena nggak mau nenek kamu kenapa-napa. Kakek kamu juga gitu ke Mama."
Andaikan kakek dan nenek masih hidup, aku ingin mendengarkan cerita tentang keluarga mereka. Sayangnya mereka sudah pergi saat aku masih kecil.
"Jangan lihat pernikahan itu berakhir kayak gimana, tapi lihat bagaimana orang-orang melewati segala konflik di pernikahan itu."
"Ma...."
"Iya, Gi?"
"Yang salah di sini tante Jessy, kan? Aku yakin pasti bukan Papa yang ngegoda duluan. Papa nggak gitu."
"Hussh, nggak boleh nuduh. Kalaupun tante Jessy yang goda duluan, harusnya Papa kamu jaga hati. Harusnya Papa kamu ingat kalau dia punya istri punya anak." Mama tiba-tiba berdehem. "Maaf, Mama nggak bermaksud nuduh Papa kamu. Ini cuma perumpamaan, ya, Sayang."
Aku mengangguk. Salah tidaknya Papa, aku tidak peduli untuk saat ini.
***
An: main ke keluarganya Geigi sampai di sini dulu. Part depan mulai balik ke konflik remaja hehe (konflik remaja sip)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro