Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

24. Harapan yang Pupus

___

"Halo, Pa?"

Aku menatap Rumi sembari melambaikan tangan padanya yang masih duduk di halte menunggu jemputan. Jemputanku telah tiba dan aku segera masuk ke sana dengan ponsel yang masih kudekatkan ke telinga. Aku dan Papa berteleponan sebelum mobil yang Papa pesankan untukku akhirnya tiba di depan sekolah.

Mobil ini melewati halte. Aku menurunkan kaca jendela dan menatap Rumi yang menunduk. "Rumi!"

Dia hanya melambaikan tangan, lalu kembali menatap ke lain arah. Sejak beberapa hari yang lalu, Rumi terlihat tak bersemangat seperti biasanya. Maksudku, dia sedikit berbeda dari Rumi yang biasanya kukenal. Berkali-kali aku bertanya kepadanya apakah dia tidak enak badan atau ada sesuatu hal berat yang sedang dia pikirkan, dia selalu menjawab bahwa dia baik-baik saja.

"Jemputan udah sampai?" tanya Papa setelah diam cukup lama.

"Udah," balasku.

"Udah di mobil?"

"Iya, Pa."

"Oke, nanti hubungi Papa kalau kamu udah sampai, ya."

Biasanya, jika Papa sudah seperti ini berarti ada sesuatu hal yang penting.

"Papa mau ngomong sesuatu?" tanyaku.

"Kamu tahu aja," kata Papa. Aku tersenyum singkat dan berharap apa yang akan Papa sampaikan adalah sesuatu hal yang menyenangkan. Papa terdengar menghela napas. "Iya, Papa mau ngomongin hal penting sama kamu."

"Papa bilang aja sekarang."

"Nanti ya kalau kamu udah sampai rumah."

"Kenapa kalau sekarang?" tanyaku. Aku tersenyum lebar. "Ada hubungannya sama Mama?" tanyaku, antusias.

Tak ada suara. Papa diam di seberang. Aku masih berharap ini benar-benar ada hubungannya dengan Mama.

"Bukan tentang mamamu. Nanti Papa cerita."

Aku menghela napas panjang. "Papa bilang aja sekarang."

"Sebentar. Papa masih kerja. Sudah dulu, ya?"

Papa mengakhiri panggilan dengan sepihak. Kutatap ponselku nelangsa. Papa tidak akan mengatakan hal-hal yang kurang atau sama sekali tidak menyenangkan, kan?

***

Perasaan tidak enak menyerbuku ketika membuka pintu rumah. Perkataan Papa terus terngiang sejak Papa mengatakan bahwa akan mengatakan sesuatu hal yang penting.

Aku tidak tahu apakah Papa akan mengatakannya langsung atau hanya mengatakan informasi itu lewat telepon. Aku belum memberitahukan kepada Papa bahwa aku sudah tiba di rumah. Kukumpulkan ketenanganku dulu. Aku harus menyiapkan diri untuk segala kemungkinan yang ingin Papa katakan nanti.

Jika Papa sudah membahas sesuatu hal yang menurutnya penting, maka saat itu juga aku takut dengan segala kemungkinan yang akan terjadi.

Papa pernah mengatakan hal yang sama, sepulang aku sekolah, di dalam mobil lain yang menjemputku pulang. Setelah Papa mengatakan hal penting itu, berhari-hari aku menangis di kamar. Tidak menerima keputusan Mama dan Papa yang ingin berpisah.

Aku masih berbaring di sofa. Tenggorokanku rasanya sakit. Aku menarik ponselku dari dalam tas dan menghubungi Papa segera.

Papa langsung menerima panggilan. "Halo, Gi? Udah sampai?"

"Iya, Pa," balasku. "Papa mau ngomong sekarang?"

"Iya."

"Kenapa nggak nanti aja kalau Papa udah pulang?"

"Pertemuannya nanti malam, Gi. Makanya Papa hubungi kamu aja."

Degupan jantungku makin kencang setelah mendengar kata pertemuan. "Pertemuan apa, Pa?"

"Kamu siap-siap, ya? Nanti malam jam 8 kita makan malam bareng Tante Jessy."

Aku terdiam dengan mata yang berkaca-kaca. Tante Jessy? Perempuan yang pernah menjadi selingkuhan Papa itu? Ada apa? Kenapa Papa tiba-tiba mengajakku makan malam bersama perempuan itu?

"Untuk?" tanyaku dengan suara serak.

"Kenalan. Kamu juga kenalan sama anaknya."

Aku mengerjap agar air mataku berhenti keluar. Aku tidak tahu selingkuhan Papa punya anak. Aku juga belum pernah bertemu dengan perempuan itu, tapi aku tahu namanya dari Papa. Papa yang menyebut nama itu dulu.

"Papa ternyata masih berhubungan sama perempuan itu," kataku.

"Panggil Tante Jessy, Gi. Yang sopan." Suara Papa penuh penegasan.

"Papa pernah bilang udah nggak berhubungan sama perempuan itu lagi."

"Geigi...."

"Kenapa sekarang tiba-tiba gini? Pake ketemuan? Buat apa kenalan sama anaknya juga? Papa mau nikah sama perempuan itu?"

"Geigi yang sopan. Panggil Tante Jessy!" bentak Papa. Aku mengerjap sambil menggigit bibirku kuat-kuat. "Kamu siap-siap. Kita berangkat jam 7 nanti malam."

Aku menggeleng. "Geigi nggak mau ikut!"

"Kamu harus ikut."

"Geigi nggak mau ikut, Pa!"

"Kamu harus ikut, oke? Nanti hubungi Mama kamu, ya? Pakaian yang Mama kamu beliin buat dan nggak pernah kamu pakai banyak di lemari. Papa...."

Aku menjauhkan ponselku dan menaruhnya di atas meja. Papa masih bicara dan aku menutup telingaku dengan bantal sofa. Beberapa saat kemudian Papa mengakhiri panggilan dan belasan menit setelahnya pesan-pesan dari Papa masuk. Aku membiarkan pesan itu. Tak mau membacanya. Isinya pasti tak jauh-jauh dari perintah aku harus ikut.

Aku meringkuk dan menangis di atas sofa sambil memeluk diriku sendiri. Entah sudah berapa menit aku berada di posisi seperti ini. Kulirik ponselku. Ada banyak pesan baru yang belum kubaca. Aku tak tahu kenapa dengan bodohnya aku mengambil ponsel itu dan membaca pesan Papa yang membuatku makin menangis.

Papa

Sebenarnya acara makan malam ini, Papa dan Tante Jessy sudah sepakat dari minggu lalu. Tapi Papa belum mau kasih tahu kamu. Papa kepikiran kamu nggak bakalan mau. Padahal papa berharap kamu mau ikut kenalan langsung sama tante Jessy dan anaknya.

Iya, Gi. Bener katamu. Selama ini papa masih sering komunikasi dengan tante Jessy. Maafin papa sayang. Papa bakalan nikah sama tante Jessy. Papa harap kamu ngerti.

Ingat kata Papa dulu? Kita nggak tahu apa yang terjadi di masa mendatang meskipun berbagai rencana sudah kita buat, berbagai harapan sudah kita pikirkan. Seperti harapan Papa bisa langgeng sama Mama kamu. Tapi harapan hanyalah harapan. Harapan itu papa hancurkan karena keegoisan papa dulu. Semua janji-janji papa ke mama kamu juga papa hancurkan. Papa nggak bisa mempertahankan rumah tangga papa sama mama kamu.

Sama halnya dengan rencana pernikahan Papa dan tante Jessy. Papa nggak pernah mau punya perasaan ke perempuan lain di saat papa sudah punya pendamping hidup. semua terjadi begitu saja. Papa terlalu egois waktu itu, tapi nggak bisa juga bohong kalau waktu itu hati papa bukan cuma ada mama kamu.

Sejak dua tahun yang lalu papa mau nikahin tante Jessy, tapi papa mikirin kamu yang belum siap. Tante Jessy juga punya anak seumuran kamu yang sama nggak siapnya kayak kamu. Sekarang kamu 16 tahun. Papa mikir, ini saatnya ngasih tahu kamu tentang rencana papa.

Papa udah banyak ngecewain kamu.

Maafin papa karena belum bisa jadi papa yang baik buat kamu.

Papa sayang kamu, Geigi....

***

an:

Yash, ada yang mikir anak tante Jessy itu siapa? 

Ada yang mikir itu Mars atau Dirgam? Kenapa kalian berpikiran seperti itu?

Lagipula, keluarga Mars masih tanda tanya. Keluarga Dirgam kan lengkap, masih ada Mama Papa-nya.

Meskipun keluarga Mars belum kalian tahu kayak gimana, masih ada kemungkinan tokoh lain kan? Part depan kekepoan kalian akan terjawab. Silakan tebak-tebak sendiri!

Yaudah, selamat berpuasa! <3 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro