Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

23. Kantin

an: typo kasih tahu aja ya. Ini sudah aku baca ulang, siapa tahu ada typo yang lolos.

Selamat membaca <3


___

Di balkon lantai dua ada banyak senior yang lalu lalang. Kali ini, mereka semua tidak berjalan menuju kantin, tetapi sebagian ke kelas-kelas junior. Aku dan Rumi harus berjalan di pinggir karena segan. Para senior yang dulunya berwajah garang hari ini tiba-tiba penuh senyuman. Meskipun ada satu atau dua orang yang kesan galak di wajahnya tidak hilang-hilang.

"Biasalah, pada minta maaf ke junior karena nggak lama lagi mereka Ujian," kata Rumi saat kami melewati tangga menuju kantin di lantai 1.

Aku hampir tersentak saat berpapasan dengan Orion di tangga. Dia baru saja lari dari arah yang berlawanan dan berhenti mendadak sambil menatapku.

"Halo, Geigi?" sapanya.

Aku mengerjap. "Ah, hai, Yon?"

"ORION! SINIIN PUNYA GUE!"

Teriakan dari lantai satu membuatku segera menatap ke bawah. Orion langsung berlari menuju lantai dua. Seorang siswi berhenti di anak tangga tak jauh dariku sambil merapikan rambutnya. Aku menatap nametag di kemeja sekolahnya. Shea Kanaka Archandra.

"Capek juga ya lari-lari," katanya lalu kembali berlari mengejar Orion menuju lantai 2.

Aku menggeleng kemudian melanjutkan langkah. "Gue baru tahu Orion punya saudara."

"Ke mana aja lo selama ini, Gi?"

Aku terkekeh. Rumi menarikku cepat-cepat ke kantin. Tiba di tempat itu, Rumi melepaskan genggamannya untuk memesan makanan. Dia tahu aku hanya ingin minum karena tak lapar. Tak sengaja, aku melihat Ranya duduk di kursi yang ada di dekatku. Masih berdiri di sana, aku melemparkan senyum ke arah Ranya karena Ranya juga menatapku balik.

"Sendirian, Gi?" tanya Ranya. Dia terlihat sibuk dengan makanannya, tapi tetap bertanya.

"Tadi bareng Rumi, kok," balasku.

"Sini duduk. Lo berdiri mulu capek," kata Ranya.

"Nggak apa, kok," balasku, tersenyum singkat.

Ranya tidak sendirian. Dia selalu punya teman. Sejak SMP dia sangat akrab dengan siapa saja apalagi cowok. Ranya itu berbeda 180 derajat dengan kepribadianku. Ranya ekstrover, periang, mudah bergaul. Berbanding terbalik denganku yang introver, pendiam, tak bisa berteman dan akrab dengan banyak cowok.

Di kursi yang berhadapan dengan Ranya, ada teman cowoknya yang aku tahu bernama Barga. Cowok itu sejak tadi tak bicara dan hanya makan. Barga dan Ranya berdua sekelas di XI IPA 1. Kelas itu mengingatkanku tentang Dirgam.

Dan mengingat nama Dirgam kembali mengingatkanku dengan hal lain, tentang ucapan Kak Saga sore itu.

Aku menghela napas panjang. Dirgam Barie. Namanya lengkapnya Dirgam Barie. Bagaimana aku pertama kali bertemu dengannya adalah sesuatu hal yang sudah jelas tak akan terlupakan.

Aku memejamkan mata. Bagaimana ini? Kenapa hatiku rasanya tiba-tiba sesak? Atau perasaan apa ini?

"Laporan praktikum kimia udah gue bawa ke meja Bu Emil tadi."

Aku langsung melihat ke sumber suara. Suara yang tak asing dan siapa lagi jika bukan Dirgam? Kantin ini memang berisik. Barga bahkan mengatakan sesuatu. Ranya mencelutuk. Mereka semua ada di dekatku. Namun, suara-suara itu tak jelas karena fokusku teralihkan pada satu sosok yang saat ini berhadapan denganku dengan sebuah meja kantin memisahkan.

Terakhir kali aku dan Dirgam bicara adalah hari di mana dia menyatakan rasa sukanya kepadaku. Namun, setelah itu bukan berarti kami putus kontak. Kami masih berkomunikasi lewat pesan.

"Hai, Gi?" sapanya, lalu tersenyum menatapku. Aku membalas dengan sebuah senyuman, mengabaikan segala hal canggung yang terjadi pada hari itu.

"Hai, Gam," balasku.

"Ehem. Maaf-maaf nih ya gue udah hancurin momen romantis kalian." Rumi tiba-tiba datang dan membuatku segera berpaling dari Dirgam. "Geigi mau gue bawa dulu. Kalian ketemunya bentaran aja, ya! Bye semua!" Rumi berhenti dan menatapku. "Gi! Lo belum pesen, kan? Kita ke Mami kantin aja yuk di atas? Gue mau makan siomay," katanya merajuk. Dia menarik lenganku menjauh. "Bye, Ranya! Barga! Dan calon pacarnya Geigi!"

"Rumi!"

Aku menyeret kedua kakiku sambil melambaikan tangan kepada Ranya tanpa mengatakan apa-apa.

"Rumi! Gue dari dulu bilang nggak suka makan di kantin yang banyak seniornya!"

"Ayolah!"

Lagi-lagi aku pasrah.

Belum sampai di kantin, lagi-lagi aku harus berjalan canggung karena banyak senior yang lewat.

"Ya ampun. Lihat, Gi! Kak Angkasa ganteng banget!" celetuk Rumi dengan tatapan yang tertuju ke balkon. "Ih, siapa sih itu yang deket-deket! Suruh geser, dong. Jauh-jauh dari Kak Angkasa!"

"Suruh sendiri." Aku memerhatikan siswi itu. Dia Kak Raya. Siswi kelas XII dan merupakan anggota jurnalistik.

"Angkasa! Kamu tuh kenapa sih suka narik-narik tangan aku!" kata Kak Raya yang masih bisa aku dengar dari sini.

"Kak Lavina!" teriakan Rumi membuatku kembali pasrah.

Alamat aku tidak akan sampai ke kantin dengan cepat.

"Halo, Rumi!" sapa Kak Lavina. Dia tidak sendirian. Seorang siswa kelas XII yang biasanya aku lihat mengambil potret di sekitaran sekolah.

Salah satu senior yang pernah membuat Rumi fangirling hebat, saat kami masih kelas X. Sekarang, Rumi tidak begitu girang lagi. Apa jangan-jangan cowok itu pacarnya Kak Lavina? Kak Lavina dan Rumi kan dekat. Kalau sampai Kak Lavina tahu Rumi pernah suka cowok itu, mungkin Kak Lavina akan marah? Buktinya, sekarang saja Kak Lavina memeluk lengan senior cowok—yang sejak tadi tak mengatakan sepatah kata—itu. Begitu posesif.

Ah, aku malas memikirkan itu.

"Halo, Geigi?" sapa Kak Lavina kepadaku. Dia masih menggandeng tangan Kak Arsenio, sementara Kak Arsenio hanya diam. Aku tahu namanya lewat name tag. Satu tangannya dia masukkan ke saku celana. Tipikal cowok novel yang digambarkan cool. Pantas saja Rumi pernah bercita-cita bisa pacaran sama Kak Arsenio.

"Hai, Kak," balasku sambil tersenyum pada Kak Lavina. Aku tak mendengar dengan jelas lagi pembicaraan di sekitarku. Percakapan Kak Lavina dan Rumi membuatku hanya bisa mengetuk-ngetuk sepatu ke atas lantai balkon.

Dari arah lain, Kak Raya berlari hingga berhenti di antara kami. Perasaanku, tadi dia ditarik Kak Angkasa.

"Arsen! Tadi aku cariin kamu di kelas, tapi kamu nggak ada," kata Kak Raya. "Dokumentasi yang—"

"Maaf, ya. Arsen-nya lagi sibuk sekarang. Nggak bisa diganggu." Kak Lavina tiba-tiba menarik Kak Arsenio dan membawanya melewati tangga menuju lantai 1, meninggalkan Raya yang terlihat kebingungan di tempatnya.

"Rumi, nanti lewat WA aja, ya, lanjut obrolannya!" teriak Kak Lavina dari bawah tangga. Rumi menjawab dengan teriakan juga.

"Siap, Kak Lavlav!"

Aku dan Kak Raya saling tatap. "Kasih tahu temen kamu, ya? Kalau jadi cewek tuh jangan cemburuan! Arsenio aja profesional! Ish, kesel aku." Kak Raya meneruskan langkah menuju tangga lantai 3 sambil menghentak-hentakkan kakinya.

Aku mengerjap bingung.

"Lah, dia salah orang ngomelnya," kata Rumi. Rumi lalu menarikku menuju kantin lantai dua.

Suara berisik menyambutku. Lebih berisik dari kantin lantai 1 yang dipenuhi siswa seangkatanku dengan adik kelas. Di sini lebih berisik. Mungkin karena mereka sudah merasa senior dan tak ada siapa-siapa yang membuat mereka segan. Mereka adalah angkatan paling tua yang sebentar lagi jadi alumni. Kali ini bahkan lebih berisik dari terakhir kali aku ke tempat ini waktu itu.

Ada yang bercerita. Ada yang tertawa. Ada yang bermain gitar. Ada yang bernyanyi. Di sebuah sisi kantin, terdapat sebuah perkumpulan senior cowok yang bernyanyi heboh. Satu senior berwajah bule memegang gitar dan berdiri di atas meja tanpa malu. Satu senior lainnya berdiri memegang sapu milik Mami kantin.

 Mereka menyanyikan lagu Pandangan Pertama... eum... pandangan pertama, kan? Sepertinya iya. Milik Slank kalau aku tidak salah.

"Lah iya, ya. Lanjut!" teriak si cowok yang memegang gitar. "Sungguh tak kusangka, tapi Shea tak percaya."

"Lah, kok Shea?"

Aku menatap keduanya heran. Tiba-tiba cewek yang tadi kutemui di tangga berjalan ke arah cowok bule itu. Cowok bule itu menyengir dan turun dari meja. Aku tak begitu memerhatikan mereka lagi karena cowok yang tadi memegang sapu tak lagi memegang sapu, melainkan sebuah toa yang entah dari mana dia dapatkan.

"Halo, tes, tes." Aku mulai tertarik dengan suasana kantin ini. "Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Terima kasih untuk Mami kantin dan Babe kantin yang nggak pernah negur kehebohan anak-anak kelas duabelas di sini. Nggak apa-apa, kan? Bentar lagi saya dan anak kelas dua belas lainnya nggak bisa heboh-heboh lagi. bentar lagi lulus."

"Kayak lo udah pasti lulus aja," celetuk cowok bule.

"Gampang itu, mah. Cuma isi jawaban. Udah. Eh, sebelumnya, buat semuanya yang belum mengenal gue, perkenalkan gue Rangga Dewantara, yang gantengnya nggak jauh beda dari Rangga-nya Cinta di Ada Apa dengan Cinta?" kata cowok bernama Rangga itu. "Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Salam!" Kemudian Kak Rangga menekan tiga jarinya ke bibir lalu mengacungkan tiga jari itu seperti yang ada di Hunger Games. Semua menyoraki Kak Rangga dengan heboh. Ada yang bilang, cuma itu saja yang dia katakan?

Di antara kehebohan itu,aku terpaku pada Iris. Aku menatapnya canggung. Meski aku tak akrab dengannya, aku tetap memberikan seulas senyum. Dia membalas senyumku sekilas.    

Iris teman SMP-ku juga. Teman sekelas, tapi hanya sekadar teman sekelas dan tidak begitu akrab. Beberapa orang yang ada di sekolah ini memang pernah satu sekolah denganku, seperti Kak Saga, Iris, Ranya. Siapa lagi, ya? Jika aku tak sengaja bertemu yang lain pasti aku ingat.

Aku melihat Iris masih menunduk dan duduk di sebuah kursi kosong tak jauh dariku. Sejak tadi dia diam, tetapi tatapannya sesekali tertuju ke Kak Rangga. Iris bukannya pernah atau mungkin masih pacaran dengan seorang senior?

Ada apa sih dengan hari ini?

Kenapa aku melihat banyak pasangan sejak tadi?

Ah, mungkin ini hanya pikiranku saja karena belakangan ini aku memikirkan tentang dua cowok yang terus-terusan mengganggu benakku.

Kehebohan itu tak cepat hilang karena saat ini kembali ada keributan. Cowok-cowok itu kembali bernyanyi. Aku menarik kursi dan duduk di sana tanpa memedulikan Rumi yang entah ke mana, sepertinya dia sedang mengantri membeli.

Mungkin, begini rasanya senang berada di suasana ramai yang biasanya justru membuatku lebih sering mual dan sakit kepala. Ramai kali ini berbeda. Ada hal lain yang tergambarkan. Seperti sebuah kebersamaan yang akan selalu terkenang di masa sekolah.

Di balik hal yang menyenangkan terjadi di sini, aku melihat seseorang yang berdiri di dekat pintu kantin dan berbicara dengan orang lain.

Dia tidak melihatku. Di detik kelima aku menatapnya, dia baru menoleh ke arahku. Aku yakin itu hanya kebetulan. Awalnya rautnya biasa saja, lalu dia melemparkan sebuah senyuman tipis.

Hanya sebentar aku melihatnya karena aku segera memalingkan wajah darinya. Tak menatapnya lagi. Tak juga membalas senyumnya.

Aku pernah mengatakan bahwa aku tidak akan bertemu dengannya lagi. Entah sampai kapan itu.

***

"Lo siapa?"

"Gue? Mars."

"Hah? Nama lo siapa?"

"Nama gue Mars."

"Mars? Beneran Mars?"

"Iya. Nama gue Mars."

***


an:

Spoiler part depan:

1/2 keluarga + 1/2 keluarga = ....?

Jadi nggak sabar reaksi kalian dan tebakan kalian kayak apa. wkwk

Selamat menunaikan ibadah puasa! Mohon maaf apabila selama ini aku ada salah kata ya lewat notes yang mungkin membuat kalian jengkel atau sakit hati atau apalah.

17/05/2018  


jangan lupa follow instagram  

geigizora

dirgambarie

thrdplnt

arumi_bunga

nuskihitz (segala hal tentang HSS, di sana tiap minggu ngadain Ktalk bareng tokoh cerita HSS. tokoh cerita Geigi yang sudah itu Mars. Dirgam dan Geigi yang belum Ktalk.

beliabentang dan bentangpustaka akun penerbit.

sirhay.ani punyakuu

Salam,

sirhayani

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro