15. Tamu
____
Satu kertas HVS kutarik dari bungkusannya yang sengaja aku simpan di dekatku. Sambil memandang pintu kamar yang tertutup, aku mencoret kertas itu asal-asalan di atas meja lipat yang biasanya aku pakai di tempat tidur.
Aku menyandarkan punggungku pada bantal dan mengembuskan napas. Aku teringat kembali lomba waktu itu dan membuatku rasanya ingin mengulang waktu. Andaikan, andaikan, dan andaikan. Rasanya tidak ada kata selain andaikan yang bisa mewakili isi pikiranku tentang lomba.
Namun, di sisi lain aku rasanya ingin tertawa lebar di hadapan Sandra meski jika benar aku akan berhadapan dengan Sandra untuk membahas kesombongannya, pasti yang aku lakukan hanya tersenyum singkat sambil menaik-turunkan alis sambil mengatakan, "Selamat ya, Mandra. Eh, maksud gue Sandra."
Ya, pada akhirnya dia tidak lolos. Apalagi aku. Namun, rasanya lebih puas membayangkan ekspresi malunya seperti apa dibanding harus merenungi kembali kegagalanku di olimpiade yang tak akan pernah aku coba lagi.
"Kenapa ya waktu itu gue nggak ikut Dirgam aja." Aku berbisik, membayangkan aku berlari mengejar Dirgam ke gedung sekolah agar kami bisa secepatnya berangkat. Aku berdecak saat sadar rasanya sia-sia mengingat segala hal yang sudah terjadi.
Aku mengetuk-ngetuk pulpen di atas meja sambil merenung dalam diam. Suara dering khas WhatsApp mengalihkan pandanganku dari pigura foto semasa kecilku dulu. Aku mengambil ponselku yang ternyata sudah bergeser jauh hingga ke kaki kemudian aku mengernyit melihat satu pesan dari orang asing.
Foto profilnya adalah foto bayi mungil perempuan yang sedang tertawa. Mata bayi perempuan itu tak tertutup. Bayi itu hanya punya dua gigi. Rambutnya subur dan agak ikal. Ada poninya. Putih. Montok. Aku tanpa sadar gregetan ingin mencubit pipinya yang chubby.
Keasyikan salah fokus pada foto bayi, aku beralih membaca isi pesan dari nomor asing ini.
+62896xx376317
Free?
Aku refleks mengernyit.
+62896xx376317
Siapa, ya?
Gue di sini.
Di sini di mana?
Aku meletakkan kembali ponselku di atas tempat tidur. Tidak ingin menggubris karena aku merasa ragu untuk menghiraukan.
Malam ini aku ingin cepat-cepat tidur. Kantukku makin terasa berat saat aku tak rela meninggalkan kasur. Aku berjalan menuju kamar mandi untuk menyikat gigi. Satu menit yang kulakukan di depan cermin kamar mandi hanya memandangi kantung mataku yang agak menghitam karena tidurku sudah tidak teratur semenjak belajar habis-habisan untuk bisa lolos olimpiade provinsi.
Lagi-lagi olimpiade. Aku menggeleng. Kuenyahkan pikiran itu dan memilih untuk segera mengambil pasta dan sikat gigi. Setelah sikat gigi, aku mencuci muka dengan mata yang terkantuk-kantuk.
"Geigi!"
Suara Papa membuat mataku yang tadinya terbuka malas akhirnya membeliak.
"Iya, Pa?" Aku ikut berteriak. Pasti Papa berusaha membuka pintu kamarku, tapi aku menguncinya. "Aku di kamar mandi."
"Ada tamu. Cepetan, ya...!" seru Papa di luar sana.
"Iya, Pa. Aku cuci muka dulu."
Setelah selesai mencuci muka, aku cepat-cepat keluar dari kamar mandi. Jika Papa bilang ada tamu, pasti tugasku selanjutnya adalah membuat minuman karena Bibi tidak ada di rumah jika malam hari.
Seperti biasanya, aku harus bertanya dulu ke tamu itu mengenai apa yang biasanya dia minum karena tadi Papa tidak mengatakan apa-apa. Biasanya rekan kerja Papa yang datang. Ada yang minum kopi, ada yang tidak.
Tak jauh dari pembatas ruang keluarga dan ruang tamu, aku melangkah lebar dari sana. Tiba di ruang tamu, aku memerhatikan satu-satunya tamu yang ada di ruangan ini.
"Minum—"
Ucapanku terhenti saat mataku dan mata seorang cowok yang duduk di sofa bertemu pandang.
Aku refleks berbalik dengan mata membola, terkejut melihat siapa satu-satunya tamu yang duduk di sofa tepat berhadapan dengan Papa. Aku tak muncul lagi di ruang tamu karena sekarang aku bersandar di dinding ruang keluarga dengan jantung yang rasanya mencelos turun ke perutku.
"Geigi? Bikinin tamu kopi," kata Papa dengan suara yang sedikit berteriak.
Aku masih bersandar di dinding sambil memegang jantungku yang memompa cepat.
Kenapa Mars yang duduk di sofa itu ya Tuhan? Kenapa bukan rekan kerja Papa saja?
Aku rasanya ingin lari kembali ke kamar dan menenggelamkan wajahku di sana. Tak siap mengetahui apa yang selanjutnya terjadi. Namun, Mars sudah terlanjur melihatku.
"Nggak usah, Om. Saya ke sini cuma sebentar."
Aku menggeser tubuhku sedikit ke arah batas ruang setelah mendengar suara Mars. Kalau aku mengintip saja, pasti ketahuan oleh Mars karena cowok itu duduk menghadap langsung ke sini.
"Saya mau ajakin Geigi keluar, Om."
Aku membekap mulut. Papa itu tegas dan protektif. Jangan sampai Mars mengatakan hal-hal yang aneh.
"Keluar? Jalan?" tanya Papa. Aku makin merapatkan diri ke dinding dengan gelisah.
"Semacam itu, Om." Jawaban Mars membuatku mengernyit.
"Kamu siapanya anak saya?"
"Temennya, Om."
"Jawab yang jujur."
"Beneran temennya, Om."
"Terus, kenapa kamu ajak Geigi keluar malam Minggu begini? Dan ... cuma berdua?"
"Tadi saya mau ajakin Geigi ke pameran."
"Kamu teman sekolahnya Geigi?"
"Iya."
"Sudah kenal Geigi sejak kapan?"
"Sekitar sebulan yang lalu, Om."
"Saya nggak izinkan kamu ajak Geigi pergi."
Kan! Mars, sih, nggak bilang-bilang dulu kalau mau ke sini, batinku.
"Tapi kalau mau ngobrol di sini sama Geigi, silakan. Saya nggak larang."
Lanjutan ucapan Papa membuatku menghela napas berat. Ya Tuhan. Aku yang rasanya mati kutu mendengar percakapan mereka tadi.
"Geigi? Ini ada tamu kamu!" teriak Papa. "Sini, Sayang."
Aku rasanya tak bisa untuk melangkah melewati batas ruangan ini dan ruang tamu. Namun, pada akhirnya yang aku lakukan memang harus seperti itu. Aku melangkah sangat pelan dan berhenti tak jauh dari sofa yang Papa duduki.
"Ya udah, Pa. Papa masih mau di sini?" tanyaku agak takut. Papa belum juga beranjak. Apa Papa masih terus mau di sini bersamaku dan juga Mars? Rasanya aneh. Kecanggungan itu bertambah dua kali lipat jika Papa ada.
Papa berdiri. Aku barusan melihatnya menggeleng. Papa berhenti di dekatku sebentar dan mengacak rambutku pelan membuatku hanya bisa tersenyum kaku.
Setelah Papa meninggalkan ruangan ini, hanya ada aku dan Mars yang saling pandang dalam diam. Aku berdiri. Sementara dia duduk di sofa.
Aku merapikan rambutku yang terasa acak karena ulah Papa tadi. Senyum kakuku terukir pada Mars yang menatapku dalam diam.
"Hai...."
"Hai."
***
an: tadi mau bilang apa, ya...
Kenapa kamu baca Geigi?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro