
09. Bintang Jatuh
___
Apa mungkin Mars tidak ikhlas mengantarkanku pulang makanya dia tidak seramah tadi pagi?
Kalau benar, apa yang aku harus lakukan? Harus meminta maaf setelah tiba di rumah nanti? Selama di perjalanan aku tak tahu harus mengatakan apa untuk sekadar berbasa-basi. Aku tidak pandai berbicara di depan jenis yang namanya laki-laki. Kecuali laki-laki tertentu yang tak membuatku begitu canggung atau laki-laki yang lebih mempunyai banyak bahan pembicaraan yang bisa kuimbangi. Tentang Fisika misalnya. Teman mengobrol yang paling enak kuajak berbicara adalah Kak Saga, seniorku dulu di SMP yang satu klub denganku di Fisika. Itu pun karena kami sama-sama di klub Fisika dan kami selalu nyambung dalam pembahasan tertentu. Namun, kami tak sering bertemu lagi meskipun kembali satu sekolah di SMA.
"Yang pagarnya cat oranye." Aku menunjuk ke pagar rumahku sambil memajukan tubuhku sedikit. Motor Mars makin memelan bersama suara motornya yang ikut memelan. Aku menghela napas karena akhirnya bisa merasakan suasana daerah rumah kembali dan karena akhirnya aku tak lagi terkepung dalam suasana hening seperti di sepanjang perjalanan tadi.
Ketika motor Mars berhenti di depan pagar rumah, aku cepat-cepat turun dari motornya dan entah bagaimana cara lain selain memegang bahu cowok itu sebagai pegangan. Kupikir, untuk sekarang hanya itu jalan satu-satunya.
"Maaf," kataku sangat pelan ketika aku berdiri di samping motornya, di depan gerbang rumah yang tak jauh dariku. Aku membuka helm dan memeluk benda itu di depan perut.
"Maaf untuk?" tanya Mars. Aku hanya menggeleng dan tersenyum canggung. Akan tetapi, Mars masih menatapku menunggu jawaban. Ditatap seperti itu membuatku merasa ciut. Aku terpaksa harus menjawab pertanyaannya.
"Karena ngerepotin lo. Kalau lo tadi sibuk dan nggak bisa, harusnya lo nggak usah nganterin gue pulang. Bang Jo emang gitu, orangnya pemaksa dan usil." Aku nyaris menepuk bibir. Bodoh! Apa yang baru saja aku katakan?
Mars tertawa. Aku nyaris membulatkan bibir karena tak percaya melihat apa yang baru saja dilakukannya. Apa mungkin penyebab Mars tidak tertawa atau tidak tersenyum beberapa saat lalu di rumah Endra karena Mars ada masalah dari tempat yang sebelumnya dia datangi? Atau mungkin ada hal lain? Ah, entahlah. Sulit menebak cowok itu karena aku baru saja bertemu dengannya tadi pagi.
"Lo tadi dengerin pembicaraan gue dengan Endra dan Orion?"
Aku menganguk dan menggigit bibir, gelisah. Sementara Mars menatapku dari sana. Cowok itu bersandar pada motornya yang sudah dia standarkan.
"Ke rumah temen gue nggak penting-penting banget, kok." Mars menatapku sambil menyunggingkan senyum tipis yang terlihat sekilas. "Lagian lo cewek. Jo bilang lo nggak ada tebengan. Kebetulan gue juga sendirian. Jadi, barengan gue juga nggak ada masalah, kok."
Aku tak tahu harus mengatakan apa lagi menarik kedua ujung sudut bibirku sambil menunduk.
"Gue juga seneng bisa ketemu lo lagi, Geigi."
Seketika, wajahku terdongak. Mataku bertubrukan dengan matanya yang tak kentara karena malam. Aku mengeratkan pelukanku pada helm dan benar-benar tak bisa tersenyum selain memilih untuk menatap ke lain arah.
Ah, bukan benar-benar tak bisa tersenyum. Yang benarnya, aku sedang menahan otot-otot pipiku agar tidak tersenyum di depannya setelah dia mengatakan kalimat itu.
Tak sengaja, saat mataku teralihkan pada sesuatu yang bergerak di langit malam, mataku langsung membulat. Aku nyaris melompat karena terlalu senang melihat meteor berwarna putih kekuningan melintasi langit Bumi.
"Ya ampun! Bintang jatuh, Mars!" Aku menatap Mars sambil melangkah ke arahnya. Kemudian berhenti tepat di samping motornya. "Ya Allah, cantik banget!"
Meskipun aku tak memerhatikan cowok itu, tapi aku bisa merasakan kehadirannya di sampingku. "Lo suka?" tanyanya.
Aku mengangguk dengan sangat antusias. Pandanganku tak akan pernah lepas dari meteor itu sampai tak terlihat lagi. Aku tahu itu meteor, tapi aku lebih suka menganggap seperti istilah kebanyakan orang. Bintang jatuh.
"Lo nggak berdoa?"
"Ngapain berdoa saat bintang jatuh? Gue bisa berdoa kapan aja yang gue mau." Aku menoleh ke samping, mendongak untuk menatapnya sebentar. Hanya sebentar lalu aku kembali menatap ke langit di mana meteor itu sudah tak terlihat lagi di pandanganku. "Em, gue pernah sih berdoa waktu SMP. Pas banget lagi ada masalah yang bikin gue drop, gue ke jendela dan ngelihat meteor jatuh. Indah banget. Saat itu, gue langsung mejamin mata dan berdoa."
Tepatnya kelas delapan SMP. Masa yang tak akan pernah aku lupakan. Saat itu aku tak tahu apa, tiba-tiba Mama dan Papa bertengkar di ruang tengah sementara aku ada di dapur. Yang aku lakukan waktu itu adalah berlari secepat mungkin ke tempat mereka berada. Aku pikir hanya sesuatu hal yang sepele. Namun, tidak sama sekali. Mama menampar Papa yang berakhir dengan keheningan yang menyelimuti. Aku berlari ke kamar dan berusaha tak terlihat. Menangis sendirian di balik pintu kamarku yang terkunci. Aku pikir, tak ada apa-apa lagi yang akan terjadi setelah itu. Aku salah. Suara ribut itu kembali terdengar. Pertengkaran itu kembali terjadi. Aku berlari ke jendela berniat pergi dari rumah untuk sesaat, tapi bintang jatuh yang kulihat di langit mengurungkan niatku saat itu. Aku memilih duduk di jendela. Yang aku lakukan setelahnya adalah mengangkat tangan dan memejamkan mata sambil mengucapkan satu harapan di dalam hatiku yang sayangnya tak tergapai karena beberapa bulan kemudian, aku tidak melihat mereka selalu bersama lagi.
Mataku rasanya memanas. Aku harap Mars tak sadar dengan keterdiamanku dan aku harap Mars tak sadar dengan mataku yang berkaca-kaca ini. Aku hanya tertawa kecil berharap dengan begitu aku gagal menangis. Aku memang cengeng jika hal-hal itu berhubungan dengan orangtua.
Setelah puas bernostalgia, aku menghirup udara dan mengembuskannya pelan. Kutatap Mars kembali sambil tersenyum tipis. Ternyata Mars sedang menunduk sambil menatapku. Aku tak tahu sejak kapan dia melakukan hal itu.
"Gue suka," kata Mars.
"Hah?" Aku menatapnya bingung. Mars berpaling menatap langit malam.
"Tadi." Suara Mars memelan. "Meteornya indah."
Perkataannya itu membuatku mengangguk setuju. Aku pikir dia akan mengatakan hal lain. "Tadi waktu itu rumah Endra lo kayak beda aja gitu dari tadi pagi." Aku menggigit bibir pelan. "Eng, maksud gue ... lo kayak marah gitu atau nggak ikhlas atau entahlah."
"Perasaan biasa aja."
Aku meringis pelan. Bagi Mars apa yang dilakukannya tadi biasa saja. Tapi bagiku? Ah, lagipula aku memang baru mengenalnya tadi pagi, kan?
"Emm... ya udah. Gue masuk, ya?" Aku berbalik kemudian melangkah menuju pagar. Aku berbalik menatapnya lagi sebelum aku lupa mengucapkan apa yang saat ini ada di pikiranku. "Makasih udah mau nganterin."
Mars hanya mengangguk.
Aku kembali berbalik dan membuka pagar yang untungnya belum tergembok. Aku mendorongnya hingga membuka sedikit.
"Geigi?"
Panggilan dari Mars menghentikan pergerakanku yang baru saja ingin melangkah melewati pagar. Aku menunduk dan berbalik ke arahnya. Tak kusangka Mars sudah berada sekitar setengah meter dari tempatku berada dan hal itu membuatku sedikit kaget.
Dia terlalu dekat sampai membuatku tak tahu harus melakukan apa.
"Iya, Mars. Kenapa?" Aku menatap wajahnya sedikit terang diterangi temaram lampu yang terpasang di dekat pagar. Aku tanpa sadar memerhatikan wajahnya. Dia punya alis tebal, hidung mancung, dan jangan lupakan senyumnya yang terus berkeliaran di pikiranku.
"Lo ada WhatsApp?"
"A—ada." Aku menggoyangkan kakiku tanpa sadar saking gelisahnya.
"Pakai nomor lo, kan?"
Aku mengangguk dan menunduk atau menatap ke lain arah karena tak berani menatapnya. Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jaket. Sebuah ponsel berwarna hitam dia arahkan ke depanku.
"Boleh gue minta?" tanyanya lagi.
"Bo—boleh." Dengan sangat gugup, aku mengambil ponselnya. Sepertinya dia menyuruhku menulis nomorku langsung di sana dan menyimpannya sendiri. Aku mulai mengetikkan nomorku dan setelah selesai, aku merasa ragu.
245 atau 345? Kenapa aku tiba-tiba lupa dengan digit keempat nomorku itu? Tapi yang ada di pikiranku adalah 245. Aku berharap angka 245 yang aku tulis itu adalah benar sesuai isi pikiranku sekarang. Tak salah. Dan aku bisa berinteraksi dengan Mars nanti lewat whatsapp bertanya dia kelas berapa atau mengobrolkan hal-hal tentang Fisika dan Astronomi. Itu pasti sangat menyenangkan.
Kenapa aku tak sabar Mars akan menghubungiku nanti malam?
Aku menyerahkan ponsel Mars kembali dan kali ini aku memberanikan diri untuk menatapnya.
Dia tersenyum miring sambil mengambil kembali ponselnya dari tanganku. "Thanks," katanya tulus.
Kenapa dia punya senyum yang menawan?
Aku tanpa sadar menepuk kepalaku dan rasanya ingin berteriak gila. Merasa apa yang baru saja kupikirkan itu adalah hal yang aneh.
"Lo baik-baik aja?"
Pertanyaan Mars membuatku segera mengangguk. "Iya, baik banget," jawabku lantang, tanpa sadar. Dia menatapku dengan tampang bingung, mungkin karena tingkahku yang memukul kepala di depannya. Itu memang terlihat aneh.
Mars terlihat menahan tawa. "Oh iya, sebenarnya pipi lo masih ada sedikit hitamnya. Tapi nggak apa-apa. Bentar lagi kan lo masuk rumah. Bisa langsung lo cuci."
Aku mengangguk. Lagipula, apa yang aku harapkan? Menunggu Mars menghapus warna hitam di pipiku? Aku pikir itu hanya ada di dalam naskah drama, novel, film, atau lainnya.
"Gue ... gue masuk dulu, yah?"
Mars mengangguk. "Hati-hati."
Aku kembali berbalik dan cepat-cepat melangkah melewati pagar yang segera aku tutup. Pagar oranye ini memisahkan kami sekarang. Aku tersenyum hingga gigi-gigiku terlihat dan aku yakin senyumku bukannya terlihat alami, tapi terlihat aneh.
"Lo nggak langsung pulang?" Lebih baik dia pulang duluan. Aku ingin melihatnya pergi meninggalkan tempat ini.
"Nanti. Setelah lo masuk rumah," katanya.
"O—oh." Aku menggaruk leherku yang tak gatal. "Ya, ya udah, deh." Sebelum aku melangkah, aku melambaikan tangan ke arahnya yang dia balas dengan senyum singkat. Aku tak pernah berbalik melihatnya setibanya di rumah yang untungnya pintu tak terkunci sehingga aku tak harus menunggu Papa membukakanku pintu dan Mars tak akan memerhatikanku.
Setelah menutup pintu, aku membuka gorden jendela sedikit. Aku ingin melihat Mars pulang. Namun, pohon yang ada di depan rumah itu mengganggu pandanganku dari Mars. Aku berdecak dan berpindah ke jendela sisi kiri. Lagi-lagi, pandanganku terhalangi oleh pot-pot bunga yang tergantung di teras.
Aku nyaris kesal saat merasa kehabisan akal. Namun, ketika melihat sofa tunggal, senyumku terbit dengan sempurna. Aku mendorong sofa itu hingga bertubrukan dengan jendela. Yang kulakukan setelahnya adalah naik ke atas sandaran sofa dan membuka gorden jendela di bagian atas.
Akhirnya aku bisa melihat Mars tanpa terhalangi apa pun. Cowok itu masih duduk di atas jok. Dia sedang memakai helm hitamnya. Aku yakin warna hitam pasti adalah warna favoritnya. Tadi pagi, tasnya warna hitam. Jaket yang dipakainya sekarang adalah warna hitam. Helm dan motornya warna hitam. Sapu tangannya juga warna hitam.
Aku membelakak. Hitam? Kenapa dia mengingatkanku dengan si cowok misterius itu?
Atau jangan-jangan dia? Apa mungkin? Kenapa aku tidak memerhatikan jalannya tadi pagi saat dia pergi meninggalkanku di kolam renang?
Hoodie hitam, sweter hitam, dan jaket hitam?
Aku kembali memerhatikan Mars dari sini. Motornya sudah menyala, tapi dia belum menjalankan motornya. Wajahnya yang tertutupi helm dan tak bisa kulihat itu kini tertoleh ke arah rumah. Aku menutup sebagian gorden, takut aku ketahuan menatapnya. Setelah beberapa detik, cowok itu kembali menatap ke depan dan menarik gas meinggalkan asap yang keluar dari knalpot motornya di udara.
"Geigi?"
Suara Papa mengagetkanku dan sontak membuatku turun dari sofa. Aku spontan duduk di sana. Sepatuku masih kupakai dan itu membuatku terkejut. Melihat Papa menatapku dengan tatapan bingung, membuatku hanya bisa tersenyum yang justru terlihat takut-takut.
"Ngapain kamu berdiri di sana tadi?" tanya Papa. Aku tak tahu harus menjawab apa. Aku langsung berdiri dan menautkan jemariku gugup.
"Pa, aku...." Aku tak melanjutkan ucapanku saat melihat seorang perempuan cantik yang lebih muda dari Papa baru saja datang dari ruang tengah. Perempuan itu kini berdiri di belakang Papa dan itu membuatku tak bisa mengatakan apa-apa selain mengucapkan satu kata karena kaget dengan keberadaannya yang hanya berdua dengan Papa di rumah ini.
"Mama?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro