Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

03. Cowok Misterius

____

Sebuah earphone terpasang di kedua telingaku sejak tadi. Pilihan lagu galau yang terputar dari spotify seolah mendukung suasana hatiku. Tak ada lagu tentang anak kepada kedua orangtuanya. Semua tentang lagu tentang cinta kepada lawan jenis. Bukan diriku yang aku bayangkan, tetapi Mama dan Papa sehingga aku bisa ikut merasakan.

Mungkin sudah hampir setengah jam aku duduk di trotoar sambil menangis. Ini sudah biasa. Sudah sering aku lakukan jika kabur dari rumah kemudian kembali beberapa jam kemudian. Tak peduli tengah malam. Yang aku lakukan di luar rumah adalah mencari tempat entah di depan umum atau di mana pun untuk meluapkan semua air mata dan emosiku yang tidak bisa aku tahan lagi.

"Kenapa sih hidup gue gini banget?" Aku nyaris berteriak jika saja aku tak sadar bahwa aku sedang duduk di trotoar depan minimarket yang buka 24 jam. Aku rasanya ingin terus menangis, tapi entah karena alasan apa. Sesenggukan yang terdengar dari mulutku membuatku segera membekap mulutku sendiri.

Aku menumpukan kedua lenganku di atas lutut yang terlipat. Pandanganku tertuju ke jalanan yang untungnya bukan jalan utama. Meski sweter sudah aku pakai, meski rambutku sudah kubiarkan terurai untuk menutupi bagian depan leherku yang tak tertutupi apa-apa, meski tudung sweter ini sudah membungkus kepalaku, tapi rasanya tetap dingin. Entah hawa apa yang ada di sini. Rasanya aku menggigil dan perasaanku tidak enak. Mataku juga terasa panas entah sejak kapan. Refleks kupegang dahiku, agak hangat.

Aku menghirup oksigen yang tercampur polusi dan mengembusnya lalu berdecak. Air mataku kuhapus dengan sweter yang kebesaran di tubuhku. Ini sweter Papa. Sweter kesukaanku sejak aku masih kecil yang selalu aku pakai ketika keluar dari rumah di malam hari tanpa sepengatahuan Papa.

Botol mineral yang tadi kubeli di minimarket tinggal setengah. Aku mengambilnya kembali di sampingku dan memeluknya. Pandanganku tak sengaja tertuju ke samping dan agak kaget melihat cowok yang berdiri tak jauh dariku.

Aku yakin tidak salah lihat, tadi ketika aku menatapnya, dia cepat-cepat menatap ke lain arah.

Apa tadi dia memerhatikanku sedang menangis di sini seperti orang gila?

Kuperhatikan sekali lagi cowok itu. Dia memakai hoodie hitam dan menggunakan tudungnya di kepala sehingga aku tidak bisa melihat bagian kepala belakangnya. Namun, dari samping hidungnya dan sebagian wajahnya masih kentara. Hanya sebagian. Tak sepenuhnya sehingga jika aku bertemu dengannya untuk yang kedua kalinya, rasanya akan sulit untuk mengenalinya lagi.

Kedua tangannya dia masukkan ke dalam saku hoodie. Dia juga memakai celana jeans hitam. Sepatu hitam. Jam tangan hitam.

Serba hitam.

Aku bergidik. Ya wajar bagi cowok-cowok yang kebanyakan menyukai warna netral itu, kan? Ah, lagipula untuk apa juga aku memikirkan orang asing itu.

Aku kembali menatap ke depanku sambil menyangga daguku pada lutut. Namun, setelah beberapa detik yang aku lakukan hanya diam. Rasanya tak leluasa melampiaskan tangisku lagi. Aku merasa seperti diperhatikan oleh cowok yang memakai hoodie itu.

Jangan-jangan dia penjahat?

Aku segera menggeleng. Geigi! Kenapa sih lo mikir yang nggak nggak?

Tapi rasanya risi juga lama-lama. Karena aku masih bisa merasakan kehadiran cowok itu di sana. Aku menggigit bibir. Sudah puluhan kali aku berada di luar rumah sendirian malam hari, tapi baru kali ini aku takut.

Lalu sekarang aku merasa seperti diperhatikan oleh cowok itu.

Aku menoleh cepat-cepat, sengaja ingin menangkap basah dirinya yang sedang menatapku diam-diam supaya dia langsung cepat mengalihkan perhatian dan merasa tidak enak, mungkin?

Namun, pikiranku salah. Cowok itu tak bergerak. Sambil menunduk di balik tudung hoodie yang menutupi kepalanya, dia menatapku dari sana. Meski aku tak bisa melihat keseluruhan wajahnya, tapi aku bisa melihat tatapan mata tajamnya itu tertuju padaku.

Tepat ke manik mataku.

Aku meneguk ludah. Cepat-cepat aku berdiri dan beranjak menuju depan minimarket dengan perasaan waswas. Beruntung ada sebuah meja dan dua kursi yang bisa aku duduki salah satunya. Jantungku bergemuruh. Baru kali ini aku takut ketika keluar dari rumah.

Siapa dia?

Bukan penjahat, kan?

"Astaghfirullah!" Aku nyaris tersentak setelah mendengar cekikikan kuntilanak yang menjadi nada dering ponselku jika earphone terpasang. Aku memang sengaja memasang nda dering itu karena Mama lebih sering meneleponku setiap menuju tengah malam karena Mama menyibukkan dirinya bekerja semenjak pisah dengan Papa. Aku tidak mungkin melewatkan waktu untuk mengobrol dengan Mama sehingga nada dering yang sebenarnya paling kuhindari di dunia ini justru aku pakai.

Nada deringnya sudah berhenti berbunyi. Panggilan itu juga hanya beberapa detik kemudian mati. Aku membuka earphone dan mengernyit melihat nomor baru. Aku lupa Mama tidak bisa menghubungiku karena sedang di daerah pedalaman.

Lalu siapa yang meneleponku malam-malam begini dengan menggunakan nomor baru?

Apa mungkin Rumi? Namun, dugaanku salah setelah mengecek sebuah pesan masuk yang membuatku benar-benar bingung.

Ini gue.

"What? Ini gue? Ya, maksudnya gue siapa?" Aku menggeleng. Kemudian satu pesan kembali muncul.

Yang tadi pagi lo nyuruh gue benerin layar laptop.

Dirgam.

"Hah?"

Kernyitan di dahiku makin kentara. Aku menggeleng bingung sekaligus tak percaya. "Dirgam? Ah, masa sih dia? Rasanya nggak mungkin." Aku masih tak percaya. "Masa sih cowok cuek itu?

Gue nelepon lo sekarang. Kalau lo nggak percaya.

Sumpah.

Padahal aku tidak membalas pesannya, tapi dia seolah-olah menjawab isi pikiranku.

Aku baru akan membalas pesannya untuk menolak, tapi nomor ponsel dari seseorang yang mengaku Dirgam itu kembali meneleponku. Aku langsung mengangkat panggilan darinya dan menyeruakkan sebuah pertanyaan.

"Dari mana lo dapat nomor gue?" tanyaku.

"Santai," balasnya singkat. "Rumi."

Oh, please Arumi! Kenapa sih anak itu? Apa jangan-jangan dia mau menjadi mak comblang?

"Ngapain ngehubungin gue malam-malam?" tanyaku tanpa berbasa-basi. Lagipula, aku harus mengatakan apa? Bertanya 'Eh, elo, Gam. Gue kirain siapa. Hehe.' sambil senyum-senyum malu karena baru saja ditelepon sama cowok ganteng?

"Salah?" Dirgam kembali berkata. Please. Kata-katanya tolong diperpanjang. Padahal saat dia mengirimkanku pesan, kata-katanya banyak.

"Salah," balasku. "Ini udah malam. Waktunya tidur."

"Lo di mana?"

"Memangnya kenapa?"

"Cuma nanya."

"Nggak penting lo tahu gue di mana," balasku cuek. Siapa suruh tadi pagi dia menyueki. Kubalaskan dia.

Tapi..., tunggu. Kenapa Dirgam bertanya aku ada di mana?

Aku teringat dengan cowok yang memakai hoodie hitam tadi. Kudongakkan kepala dan menatap lurus ke arah di mana cowok misterius itu berdiri. Namun, tak ada tanda-tanda keberadaannya. Apa dia sudah pergi?

Atau jangan-jangan cowok tadi adalah Dirgam?

Ah, tidak mungkin. Dari tatapan mereka saja sudah berbeda. Meskipun aku baru tadi pagi memerhatikan Dirgam dengan saksama, tapi aku yakin si cowok misterius dan Dirgam adalah dua orang yang berbeda.

Ini gara-gara Rumi yang menjejalkanku dengan cerita fiksi yang pernah aku baca sehingga aku sudah mengkhayal ke mana-mana.

"Geigi?"

Aku kembali ke kesadaranku. "Tahu dari mana nama gue?"

"Lo sendiri."

Aku menepuk jidat. Kenapa aku melupakan sesi perkenalanku dengan Dirgam yang tidak dibalas oleh cowok itu tadi pagi?

"Oh." Aku bingung ingin mengatakan apa lagi. Aku diam menunggu Dirgam kembali berkata-kata. Jemariku kumainkan di atas meja. Kenapa Dirgam belum juga berbicara? Aku melihat ponselku untuk memastikan Dirgam masih terhubung.

"Ada urusan apa lo ngehubungin gue?" Aku memilih berbicara kembali.

"Lo katanya anak Fisika?"

"Iya, memangnya kenapa?"

"Cuma nanya."

Aku menggaruk pelipisku. "Dirgam sayang, kalau udah nggak ada yang mau lo omongin, mending udahan."

Kudengar Dirgam terbahak di seberang sana. Aku jadi membayangkan tampangnya seperti apa. "Lo manggil gue apa barusan?"

Kenapa tiba-tiba aku gugup begini. Padahal ini kebiasaanku jika lelah berbincang dengan Rumi. Aku jadi malu sendiri, tapi tak mungkin aku tidak memberi alasan karena pasti Dirgam aka memikirkan hal yang tidak-tidak tentangku.

"Itu bukti kalau gue mulai lelah ngobrol sama lo." Aku mengetuk-ngetuk dahiku di atas meja. Menyesal telah mengucapkan satu kata yang seumur hidup tidak akan aku katakan ke cowok mana pun lagi. "Lagian, kenapa sih nelepon jam segini dan cuma ngomong nggak jelas ke arah mana?"

"Cuma tes aja apa ini nomor lo beneran apa bukan," kata Dirgam. Aku baru akan membalas, tapi dia berbicara lagi. "Siapa tahu Rumi ngerjain gue dengan ngasih nomor bencong misalnya."

Aku menahan tawa. Satu hal yang kusadari, Dirgam terdengar menyenangkan jika kata-katanya seperti ituitu.

"Hm.... Ngomong-ngomong, pasti ada alasan lain kan lo ngehubungin gue?" Entah. Pertanyaan yang barusan kutanyakan itu membuatku penasaran. Lagipula, sikap Dirgam sekarang dan tadi pagi berbeda.

Bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah mengatakan hal lain. "Simpan nomor gue di kontak lo, ya?"

Aku tidak salah dengar, kan?

"Selamat malam."

Dan setelah itu, panggilan terputus. Aku hanya bisa menatap layar ponselku dengan heran.

Aku tidak mengerti. Benar-benar tidak mengerti.

Anehnya, aku mengikuti perintahnya. Nama Dirgam Barie sebagai kontak yang kini tersimpan di kontak ponselku.

Dan anehnya lagi, aku malah tersenyum membayangkan kelakuan Dirgam dan ucapan-ucapan cowok itu barusan.

Aku lantas menggeleng-geleng mengingat perkataan Rumi dulu."Kalau lo nggak jatuh cinta pada obrolan pertama dengan cowok, bisa saja lo bakalan jatuh cinta pada obrolan kedua dan obrolan-obrolan selanjutnya. Ingat, cinta itu bisa tumbuh karena terbiasa bersama."

Aku menggeleng. Berusaha mengenyahkan kata-kata Rumi di pikranku. Sudah jam sebelas malam. Aku akan kembali ke rumah dan ingin tidur dan melupakan apa yang terjadi barusan.

Setelah aku berdiri, langkahku terhenti mengingat cowok misterius yang tadi ada di trotoar. Aku menarik napas dalam, berusaha setenang mungkin. Kenapa juga aku sekhawatir itu?

Berusaha berani dan mengenyahkan semua rasa takut yang mengherankan, aku melangkah dengan santai ke trotoar sambil kembali memasang earphone di kedua telingaku. Pandanganku kuarahkan ke kiri, di mana cowok misterius tadi berdiri.

Memang cowok itu sudah tidak ada di tempat sebelumnya. Namun, aku tak sengaja melihatnya dari belakang. Dia sudah sangat jauh dan berjalan menuju belokan yang ada pada lorong sebuah perumahan. Mungkin rumahnya ada di sana.

Aku mengangkat bahu. "Kenapa juga gue mikirin orang asing itu."

***

an: 

Kira-kira, si cowok yang pakai hoodie itu siapa?

Semoga suka ceritanya,

sirhayani

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro