Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

💖9. Nekat💖

Hari-hari Gea sebagai istri Elio, diisi dengan kegiatan yang sama. Seperti memasak, bersih-bersih rumah, belanja di pasar untuk mendapatkan harga yang lebih murah, mencuci dan menyetrika. Semua ia lakukan pada pagi hingga siang hari. Gea akan menyibukkan diri sepanjang hari agar tak jenuh menunggu bertemu mentarinya. Sore dan malam hari adalah saat yang dinanti Gea, karena ia akan bertemu dengan Elio. Rasa lelah dan bosan seharian di rumah terhapus begitu saja dengan kepulangan sang suami.

Biasanya Elio akan pulang pukul 17.00. Dia beristirahat sejenak untuk meminum kopi atau teh dengan camilan yang disediakan Gea. Selanjutnya Elio akan mandi, sementara Gea menyiapkan kemeja yang disetrika ulang agar rapi, hangat dan wangi ketika dipakai untuk praktik di rumah sakit swasta. Dari pukul 18.00 hingga pukul 21.00, Gea akan menghabiskan waktu di rumah sendiri hingga Elio pulang. Setelahnya, Gea bersiap melanjutkan tugas lanjutannya sebagai istri bila Elio menghendaki.

Namun, sejak kejadian Elio yang menghardik Gea tadi pagi, Gea seolah susah menjangkau suaminya. Pesan pendek yang ia kirim, tak dibalas Elio. Seolah-olah Elio memang berusaha menjauh dari Gea.

Sampai pukul 22.00, tak ada kabar dari Elio. Gea berjalan hilir mudik dari ruang tamu ke ruang tengah. Setelah duduk sejenak di sofa dengan suara televisi yang menemani sepi, Gea bangkit lagi menunggu di teras.

Beberapa kali Gea mengedarkan pandangan ke luar pagar, tetapi yang didapatnya hanyalah halaman sunyi, sesunyi kesendiriannya. Ingin Gea menghubungi Elio, tetapi ia takut dianggap menginterograsi apa yang dikerjakan Elio. Gea hanya mendesah. Setelah memastikan sekali lagi tak ada suara deru mesin mobil Elio, ia pun memutuskan masuk dan menunggu di ruang tengah.

***

Kelopak mata Gea terbuka perlahan. Ia teringat bahwa ia menunggu Elio. Namun, saat nyawanya kembali terkumpul, ia mendapati langit-langit kamar saat retinanya menangkap rangsangan cahaya. Gea menoleh dengan kernyitan heran karena di sampingnya, Elio berbaring terlentang dengan kedua mata terpejam.

Perasaan semalam aku nunggu Mas Elio di ruang tengah. Kenapa bisa aku ada di sini?

Mengetahui Elio meringkuk di sisi Gea, tak kuasa Gea menarik bibirnya lebar. Walau bibir Elio selalu melontarkan kata-kata pedas yang meremas batin Gea, tapi untuk kesekian kali juga, Gea melupakan ucapan kasar sang suami. Karena ia yakin Elio yang memindahkan Gea ke kamar.

"Kamu kenapa senyum-senyum sendiri?" Suara Elio membuat Gea tersentak.

"Mas Elio pulang jam berapa semalam?"

"Jam dua belas. Kamu nggak usah nungguin." Elio menggeliat, meregangkan otot tubuhnya.

"Mas Elio ngangkat aku ke kamar?" tanya Gea bersemangat.

Elio berdeham. Ia memiringkan tubuhnya, menyentil dahi Gea membuat Gea mengaduh.

"Kamu pikir kamu Tuan Putri. Aneh-aneh!"

Gea menelengkan kepala. Masa iya aku bangun terus jalan sendiri pindah kamar? Ya Tuhan, ge-er banget sih aku! Gea mengerucutkan bibir, menyembunyikan malu.

"Ge, nanti uang yang ada di debit card, transfer ke Mami sepuluh juta ya. Masih ada sisa lima juta kan? Sementara kita irit dulu. Uang jasa medisku belum turun nih," kata Elio. Tangannya menjumput beberapa helai rambut Gea yang terlihat ikal di ujung.

Gea menelan ludah. Sedianya ia ingin memberitahu Elio tentang pesan bundanya untuk meminta bantuan uang awal kuliah Awan, tetapi mengetahui Elio yang ternyata juga harus membantu adiknya, ia tidak ingin menambah beban pikiran Elio.

Gea, jangan ngrepotin Mas Elio. Kamu usaha sendiri. Ok?

***

Tak ada pembicaraan tentang uang sumbangan pengembangan pendidikan Awan. Gea sudah memikirkan cara untuk mulai menyicil mengumpulkan uang itu. Salah satunya yang terpikir di otaknya adalah menjual hasil rajutannya yang selama ini dia lakukan hanya untuk mengisi waktu luang.

Gea menggeleng saat mengumpulkan beberapa syal hasil rajutannya selama ia menikah dengan Elio. "Kalau hanya syal ini, nggak akan bisa nutup uang dua puluh lima juta itu. Dari mana aku bisa dapat uang sebanyak itu, sementara aku nggak bekerja lagi?"

Gea mengembuskan napas kasar. Ia menghentikan gerakan tangan memegang hakpen. Wanita itu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan untuk memindai barang-barang. Terlintas di kepala, satu benda yang bernilai tinggi di laci meja riasnya. Mata Gea membulat. Ia meletakkan begitu saja syal yang baru setengah jadi di atas sofa kemudian berlari menuju kamar.

Dengan tangan gemetar, Gea membuka laci dan mengambil sebuah kotak. Pelan-pelan dibukanya kotak beludru merah itu. Kemilau emas dan berlian yang disorot cahaya matahari yang menyusup di kamar membuat mata Gea silau. Perhiasan itu diberikan keluarga Elio sebagai hadiah pernikahan putra sulung mereka.

"Maaf, Mas. Perhiasan ini aku gadai dulu. Secepatnya aku akan tebus," gumam Gea.

Tanpa pikir panjang lagi, Gea berangkat ke sebuah kantor yang berjargon "Menyelesaikan masalah tanpa masalah". Dengan jantung berdegup kencang, Gea memasuki kantor itu dengan mendekap tote bag-nya. Suasana tak terlalu ramai. Hanya ada beberapa orang di antrean. Tak menunggu lama, Gea sudah berhadapan dengan seorang pegawai perempuan, menyerahkan barang yang ia bawa untuk ditaksir harganya.

Kira-kira lima menit Gea menunggu. Jarinya bergerak gelisah, mengetuk permukaan meja. Sampai akhirnya pegawai itu berdiri lagi di hadapannya menyampaikan taksiran harga.

"Setelah kami hitung, perhiasan ini kami hargai sepuluh juta rupiah." kata seorang pegawai Pegadaian.

"Nggaak bisa nambah ya, Mbak?" tanya Gea.

"Tidak bisa, Bu."

Gea menggigit bibirnya. Otaknya mulai menghitung. Dana gadaian dijumlahkan dengan uang tabungannya, tidak mencukupi untuk membayar SPP Awan. Gea menatap cincin bermata berlian kecil yang melingkar di jari manis kanannya.

"Kalau cincin ini?" Gea mengurai cincin yang tersemat di jarinya. Pegawai itu menerima cincin berlian dan berdecak kagum melihat batu berlian yang melekat di cincin sederhana tetapi tampak mahal itu.

"Saya hitung sebentar ya, Bu."

Gea hanya mengangguk dengan gundah. Pandangannya tak tentu arah seperti pencuri yang takut tertangkap tangan. Berulang kali, ia berjinjit melihat apa yang dilakukan oleh pegawai Pegadaian itu. Hingga selang beberapa menit, ia mendapat kepastian harga.

"Cincin ini sangat mahal, Ibu. Harga taksirannya lima belas juta rupiah."

Gea membelalak. Dia tak sanggup menelan ludahnya sendiri. Bagaimana bisa di jarinya terpasang cincin semahal itu? Otak Gea sedang berhitung. Kalau ia menggadaikan cincin nikahnya, ia hanya akan menggenapi sepuluh juta rupiah saja.

"Bagaimana Bu? Mau gadai kalung atau cincinnya? Atau dua-duanya?"

***

Gea keluar dari gedung Pegadaian dengan hati gamang. Sejumlah uang telah ia kantongi, tetapi Gea harus berjuang menebus secepat mungkin sebelum Elio mengetahui bahwa perhiasan yang diberikan padanya tidak ada di tempat.

Mau tidak mau, ia tetap harus menjual rajutannya. Gea akan membuat tas rajut dan memberi merek "GELS" yang sudah ia ciptakan saat membuat suvenir untuk pernikahan. Melihat mami Elio yang puas dengan suvenir itu, Gea yakin hasil rajutannya bisa dihargai dengan harga yang cukup tinggi.

Begitu sampai di rumah, Gea langsung mengeksekusi rencananya. Sebelumnya, ia mengunggah dahulu sampel dompet kecil, tas rajut yang selama ini ia pakai, dan beberapa syal yang telah ia buat.

Gea Keandra-GELS Crochet Galery

Ayo yang mau pesan Casual Classic Crochet Mini Bag. Harga Rp. 250.000,00. Dikerjakan sesuai pesanan. Siapa cepat dia dapat!

Belum ada lima menit, gawai Gea berulang kali berdenting menandakan notifikasi komentar masuk.

Tia Saras
Mauuu. Gea aku pesan!

Gea Keandra
Siap! Pengerjaan satu minggu ya. DM aja.

Kembali komentar baru masuk, dan mata Gea membelalak saat mendapati Jingga Permana mengomentari postingannya.

Jingga Permana
Ge, kakakku pengin suvenir kaya nikahanmu. Beli di mana?

Gea Keandra
Bikin sendiri tuh, Ga. Mau pesen? DM aja ya.

Jingga Permana
Siap.

Detik berikutnya, alih-alih mendapat pesan singkat, Gea justru mendapat panggilan telepon dari Jingga.

"Ya, Ga?"

"Wah, gimana kabarnya pengantin baru?" Suara ramah Jingga terdengar dari speaker gawai Gea.

"Baik." Gea berdeham mengatur suara. "Ada yang bisa saya bantu, Pak Jingga?"

Kekehan Jingga terdengar renyah. "Beneran suvenir kemarin yang bikin kamu?" tanya Jingga.

"Iya, Ga. Mau pesen?" tanya Gea penuh harap.

"Iya. Kakakku udah aku kontak. Katanya mau pesen. Harganya berapa?"

"Per pieces sepuluh ribu,"

"Wah, lebih murah dari yang di sebelah. Ok, deh. Mau, mau."

"Mau pesen berapa?"

"500 buah ya?"

Sontak manik mata Gea membulat. Ia ingin berteriak kegirangan. "Kapan nih nikahnya?"

"Masih enam bulan lagi."

"Kasih aku waktu tiga bulan ya. Nggak apa, kan?"

"Siap! Aku DP gimana?"

"Boleh. Separuh dulu aja. Nanti aku kirim nomor rekeningnya!"

"Ok!"

"Makasi ya, Ga. Kamu emang yang terbaik deh!"

Kembali tawa khas Jingga terdengar dari seberang. "Sayangnya, aku bukan lelaki terbaik yang kamu pilih Gea."

Gea tergelak keras mendengar ucapan Jingga. "Kebiasaan kamu, Ga. Udah ah, pamali tahu godain istri orang!"

"Iya, iya. Ya udah, jangan lupa pesenanku ya."

"Makasih ya, Jingga."

Begitu panggilan terputus, Gea bangkit dari sofa. Ia melompat-lompat menyorakkan kegembiraan. Kepalanya bergoyang membuat rambutnya yang mengembang berkibar ke kanan dan ke kiri. Ia tak menduga, sekali posting di media sosial, ia langsung mendapat pesanan 500 buah. Dengan begitu ia bisa menambah cicilan emas yang ia gadaikan.

"Gea, kamu seneng banget teleponan sama Jingga?"

Tarian sembarang luapan kegembiraan Gea, sontak terhenti saat mendengar suara Elio tiba-tiba menyusup di pendengarannya. Gea berbalik dengan wajah memerah. Memberikan cengiran.

"Mas Elio, kok siang-siang udah pulang? Biasanya lanjut ke rumah sakit?"

"Aku pengin pulang aja. Ternyata, istriku lagi asyik teleponan sama laki-laki lain. Sementara suaminya kerja banting tulang dari pagi sampai malam!" sergah Elio dengan nada meninggi.

"Mas, aku ...."

"Aku nggak nyangka, Ge. Kamu bisa manja gitu sama laki-laki lain."

"Mas, Mas Elio salah paham."

Elio melangkah maju. Ia mencengkeram rahang Gea. "Kamu tahu kenapa aku memilihmu? Karena fisikmu biasa! Nggak akan ada orang yang ngelirik kamu. Tapi aku salah! Ternyata, perempuan cantik maupun perempuan jelek sama aja. Ke-ga-te-lan!"

Bibir Elio terlihat tak bergerak. Tetapi desisan itu bisa didengar jelas oleh Gea. Mata Elio yang membeliak menatap tajam Gea. Remasan tangan kekar Elio di pipinya membuat Gea tak bisa berkata-kata. Wajah Elio memerah. Pelipisnya berkedut dan urat lehernya menonjol.

Elio menghentakkan dengan kasar wajah Gea. Tanpa berucap ia meninggalkan Gea yang masih terkejut.

Napas Gea tersengal. Ia berusaha meraup kesadarannya. Mendapati wajah murka Elio, Gea merasa seperti istri yang berselingkuh. Namun, Gea tak bisa membela diri. Segala tuduhan dan sumpah serapah yang dilontarkan Elio menorehkan luka di hatinya. Bagaimana bisa Elio mengecapnya perempuan yang "kegatelan"? Parahnya, Elio tidak memberi Gea kesempatan untuk menjelaskan.

Dalam sisa kesadarannya, Gea mengejar Elio. Akan tetapi, yang didapati Gea hanya udara kosong dan tapak ban mobil di bahu jalan depan rumah. Gea mendesah. Merutuki dirinya sendiri karena hanya bisa diam mendapati perlakuan kasar suami yang dikasihinya.

Mas Elio, apa aku begitu buruknya? Sehingga kamu enggan memandangku penuh cinta? Semua yang aku lakukan salah di matamu.

💕Dee_ane💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro