Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

💖6. Janji Di Hadapan Tuhan💖

Satu guratan mulai terbentuk di kening Gea. Ia tidak menginginkan jawaban itu. Tidak adakah jawaban lain yang lebih romantis? Sungguh, Gea ingin bertanya pada Elio. Namun, tetap saja bibirnya terkunci, tak bisa menggetarkan kata-kata.

"Kenapa tanya itu?" tanya Elio.

"Enggak kenapa-kenapa sih. Masih belum percaya aja Mas Elio milih aku, padahal kan banyak yang cantik."

Elio terkekeh. "Iya ya, kenapa ya? Heran aku."

Gea hanya mencebik. Elio yang mengamati ekspresi Gea dari spion bertambah keras tawanya.

"Ge, aku nggak butuh wanita cantik. Aku butuh wanita setia dan pengertian. Wanita yang bisa bikin aku ketawa lepas. Kaya kamu, yang malu-malu tapi mau."

Bibir manyun Gea kini berganti menjadi senyuman. Gea merapatkan tubuhnya di badan Elio. "Ge, sabar Ge. Masih dua minggu lagi."

"Hehehe, iya." Tawa Gea yang khas seperti nenek lampir menguar. "Mas, makasih ya. Bingkai foto dariku udah dipajang di kamar Mas Elio."

Elio menekan rem depan tiba-tiba. Membuat decitan memekakkan telinga. Matanya disuguhi lampu merah. Secara bersamaan, gendang telinganya ditabuh dengan rentetan kata yang terlontar dari bibir Gea.

"Mas, hati-hati! Ngeremnya jangan mendadak."

"Iya," jawab Elio singkat.

Binar di wajah Elio menguap kala teringat apa yang disembunyikan di balik bingkai foto di kamarnya.

Begitu sampai rumah, Elio bergegas masuk ke kamarnya. Selama mengantar Gea, hatinya tidak tenang. Beruntung baru-baru ini, ia mengubah gambar Luna dengan gambar Gea setelah ia memutuskan menikahi Gea.

Walau kisah Elio dan Luna sudah berakhir, tetapi rasa sakit karena pengkhianatan Luna masih membekas. Percakapannya dengan Luna di mobil tadi hampir menggoyahkan perasaan Elio. Ingatan Elio kembali melintas pada peristiwa beberapa jam lalu.

***

Elio berdecak gusar, mendapati ban mobilnya bocor saat akan pulang dari praktik sore di sebuah rumah sakit swasta. Ia malas sekali kalau harus mengganti ban serep. Elio memutuskan meminta tolong satpam rumah sakit untuk mengganti ban dan ia pulang naik taksi online.

Kala Elio memasrahkan kunci mobil kepada satpam, Luna yang baru keluar sehabis menunggui papanya yang dirawat inap, menghampiri Elio. "Kok belum pulang?"

"Ban mobilku bocor. Papamu gimana kondisinya?" tanya Elio.

"Papa udah agak stabil. Terus kamu pulang naik apa? Bareng aku aja." Elio mengernyit, menimbang sejenak. Namun, akhirnya ia menyetujui tawaran Luna, mengingat rumah Luna yang sejalur dengan rumahnya.

Luna memberikan kunci mobil, membiarkan Elio yang menyetir. Selama beberapa saat, tak ada obrolan dari keduanya. Elio merasa canggung, karena sudah lama sejak ia putus dari Luna, mereka tidak pernah berada dalam satu mobil.

"El, kamu tahu, kenapa aku jalan sama Andra?" Elio menghela napas. Topik itu sudah sangat basi. Apa lagi ia sudah melamar Gea sekarang.

Mendengar tak ada jawaban dari Elio, Luna meneruskan ucapannya. "Aku kesel sama kamu. Kamu nembak aku karena kalah taruhan sama anak-anak, kan?"

"Tetap aja kamu selingkuh, Lun!"

"Dan kamu balas dendam dengan macari cewek itu? Orang-orang pada heran loh pas tahu cewek kamu, sorry, kaya gitu."

Elio mengeratkan pegangan ke kemudi. Ia memilih mengunci bibirnya. Baginya, sekarang tidak ada jalan mundur karena dua minggu lagi pernikahannya dengan Gea akan dilaksanakan.

Luna mengesah mendapati kebisuan Elio. Dia mengambrukkan punggung di sandaran jok seraya menghela napas kasar. Detik berikutnya, tidak ada lagi percakapan dari kedua insan yang pernah menjadi sepasang kekasih itu. Hingga akhirnya, Elio memutar kemudi ke kiri, dan menghentikan mobil ke depan gerbang sebuah rumah bercat hitam.

Saat Elio hendak membuka kunci sabuk pengaman, jari lentik Luna menahan tangannya. Elio termangu, memandang Luna yang mengikis jarak antara mereka.

"Kamu yakin akan menikahi Gea?"

Wajah Luna hanya berjarak dua jengkal dari ujung hidung Elio. Susah payah Elio menelan salivanya sendiri. Tak dimungkiri, bibir merah penuh itu dulu pernah menjadi candu baginya. Namun, saat Elio hendak membuka mulut, ketukan menguar di seluruh kabin. Elio memiringkan badan, dan dia tersentak saat melihat Gea di luar mobil.

***

Percakapannya dengan Elio di atas motor, berhasil membuat Gea merenungkan perjalanan hubungan mereka. Selama ini Gea sangat percaya bahwa Elio memilihnya. Walau Elio tidak berucap cinta, tetapi nyatanya hubungan mereka bertahan hingga hampir ke jenjang pernikahan. Namun, entah kenapa, hari-hari menjelang pernikahan justru Gea sering dirasuki bayangan Luna yang merengkuh Elio setiap malam.

Gea menggigit bibir. Majalah yang ada di pangkuannya sama sekali tidak berpindah halaman. Berulang kali ia mengembuskan napas, mengeluarkan sesak di dada. Ia ingin sekali bertanya apakah Elio benar-benar mencintainya. Agar ia yakin melangkahkan kaki dengan mantap di hari pernikahan.

Namun, ia tidak bisa menghubungi Elio. Bukan tidak mau, tetapi Gea tidak diperbolehkan menghubungi ataupun bertemu dengan calon pengantinnya. Saat Elio mengantar Gea ke rumah, Pertiwi menyarankan mereka agar tidak saling bertemu dulu. Walau tidak melaksanakan rangkaian upacara adat, Pertiwi tetap berharap tradisi Pingitan di dalam adat Jawa itu masih bisa dilaksanakan. Toh, tradisi itu tidak mengeluarkan biaya sama sekali. Gea dan Elio hanya bisa menyetujui titah Pertiwi. Sudah hampir sepuluh hari mereka tidak bertemu. Artinya tinggal empat hari lagi pernikahan akan dilaksanakan.

Lamunan Gea tersentak saat mendengar bundanya masuk ke kamar. Pertiwi duduk di sebelah Gea yang mengurai senyuman tipis di wajah.

"Mbak, kenapa kok Bunda lihat sejak Mbak pulang dari rumah Mas Elio, terlihat nggak bersemangat gitu? Mbak marah sama Bunda karena mengusulkan pingitan itu?"

Gea menggeleng-gelengkan kepala. Meletakkan majalah di samping ia duduk, Gea menegakkan punggungnya. "Bunda kok bisa bilang gitu?" tanya Gea heran.

"Itu wajahnya kusut begitu."

Pertiwi menunjuk dengan dagu. Gea menepuk pipi, memperbaiki ekspresi wajahnya.

"Ini?" Senyum lebar terbingkai di wajah Gea membuat mata gadis itu menyipit.

Pertiwi berdecak. "Mbak Gea, kamu nggak bisa bohongin Bunda." Pertiwi menarik ujung hidung anak sulungnya. Gea meringis sambil menggosok hidungnya yang memerah.

"Ih, Bunda." Gea mencebik hingga bibirnya maju ke depan beberapa senti.

"Mbak, terus terang Bunda ...." Pertiwi menggigit bibirnya, masih berpikir perlu atau tidak ia meneruskan kalimatnya.

"Kenapa, Bun?" Gea mengerutkan dahinya.

Pertiwi melipat bibirnya ke dalam dan membasahinya dengan ujung lidah. Ia menghirup napas dalam sebelum melanjutkan ucapannya. "Terus terang, Bunda terkejut saat lihat anggaran yang dikeluarkan untuk pernikahanmu yang ternyata biayanya melebihi apa yang kita perkirakan sebelumnya."

"Maaf, Bun."

"Nggak apa-apa. Toh, pernikahan cuma sekali seumur hidup. Hanya saja Bunda harap Dik Awan bisa diterima di universitas negeri supaya biayanya nggak terlampau mahal."

"Bun, nggak usah khawatir, Gea akan bantu membiayai kuliah Dik Awan." Gea berusaha menghapus kegelisahan Pertiwi.

"Bukannya kamu sudah nggak bekerja, Mbak?"

Gea melupakan hal itu. Sebentar lagi dia akan resign dari perusahaan yang sudah memberinya penghidupan selama tiga tahun ini. Ia menelan ludah kasar, tetapi tetap mempertahankan ekspresi agar tidak membuat bundanya semakin bertambah pikiran.

"Tenang, Bun. Semua akan aman terkendali." Hanya itu jawaban yang bisa diberikan Gea untuk solusi kegundahan Pertiwi.

Pertiwi mengembuskan napas lega. Ia menyibak rambut Gea yang kini sudah lenyap ikalnya ke belakang telinga. Walau sebenarnya ia juga tidak terlalu setuju dengan keputusan Gea menjadi ibu rumah tangga yang bergantung pada suaminya, tapi Pertiwi hanya mengikuti saja apa yang sudah mereka sepakati. Setelah mengenal Elio dan latar belakang keluarganya, setidaknya Pertiwi yakin bahwa pilihan Gea sudah tepat.

"Kamu beruntung sekali mendapat suami seperti Mas Elio. Kamu harus manut ya, Mbak. Kamu harus melayaninya dengan baik." Gea hanya mengangguk pelan sembari otot pipinya menarik bibir tipis. Meyakinkan bundanya bahwa menikah dengan Elio adalah pilihan yang terbaik untuknya.

***

Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Jantung Gea tidak henti-hentinya berdegup kencang. Ia memandang bayangan dirinya sendiri di permukaan cermin dengan mata yang membulat lebar. Decakan kagum terdengar dari bibir tipisnya. Balutan gaun pengantin, walau sederhana, mampu menonjolkan aura kecantikannya. Belum lagi polesan riasan dari make up artist yang membuat parasnya tampak segar.

Tidak sia-sia dia melakukan perawatan dengan paket paling mahal atas rekomendasi Anna. Selama tiga hari menjelang penikahan, Gea menjalani perawatan khusus calon pengantin. Mulai dari cuci kaki aromatherapy, pijat relaxing, lifting facial, serangkaian perawatan badan, perawatan rambut hingga perawatan khusus organ kewanitaannya. Melihat hasilnya yang memuaskan, Gea tidak menyesal harus merogoh kocek dalam-dalam untuk perawatan yang sangat menyita waktu itu.

"Ya Tuhan, anaknya Bunda cantik sekali!" Pertiwi membelalak kagum saat Gea keluar dari kamar.

Gea tersipu malu mendengar pujian bundanya.

"Pasti Mas Elio semakin cinta lihat pengantinnya tambah cantik kaya gini." Gea mengerucutkan bibir untuk menyembunyikan senyum.

"Ih, Bunda. Gea jadi malu."

"Mbak Gea, ingat pesan Bunda ya. Kamu harus menjadi istri yang baik untuk Mas Elio. Wanita cantik di luaran sana banyak. Tapi, kamu harus bisa membuat Mas Elio selalu merindukan rumah."

Gea tersenyum. "Iya, Bunda. Gea akan selalu ingat pesan Bunda."

"Ayo berangkat. Kamu pasti sudah rindu dengan Mas Elio."

Setelah keluarga inti Gea bersiap, mereka pun segera berangkat menuju ke sebuah Geraja yang tak jauh dari rumah. Sebuah mobil yang dihias bunga mawar putih membawa pengantin wanita diiringi oleh beberapa mobil lain yang merupakan keluarga besar Gea.

Gea menatap ke luar jendela saat mobil memasuki pelataran gereja. Beberapa keluarga besarnya dan keluarga besar Elio sudah berkumpul menanti sang pengantin wanita datang. Begitu mobil berhenti, seorang laki-laki dengan setelan warna hitam menunduk, memberikan senyuman, dengan mengulurkan tangan.

Gea mengerjapkan bulu mata lentiknya dari balik cadar pengantin yang ia kenakan. Elio terlihat menawan kala diterpa sinar mentari pagi. Senyum yang mengembang itu menghipnotis Gea. Gea tersipu. Rona wajahnya semakin terlihat jelas. Untungnya, tertutupi oleh kerudung sehingga Elio tidak bisa melihatnya.

Upacara sakramen pernikahan tak lama kemudian dimulai. Jantung Gea bergemuruh kencang. Ia dan Elio berjalan menyusuri lorong Gereja diiringi alunan musik Bridal Chorus yang megah. Setiap tahap upacara pemberkatan berjalan dengan khidmat walau disertai wajah tegang Gea.

"Untuk mengikrarkan perkawinan kudus ini, silakan kalian saling berjabat tangan kanan dan menyatakan kesepakatan kalian di hadapan Allah dan Gereja-Nya," ucap pastor.

Gea dan Elio berdiri saling berhadapan. Elio yang pertama mengucapkan janji nikahnya.

"Di hadapan Tuhan, Imam, para orang tua, para saksi, saya Benedict Elio Keandra dengan niat yang suci dan ikhlas hati memilihmu Elisabeth Gea Mahika menjadi istri saya. Saya berjanji untuk setia kepadamu dalam untung dan malang, suka dan duka, sehat dan sakit, dengan segala kekurangan dan kelebihanmu. Saya akan selalu mencintai dan menghormatimu sepanjang hidup saya."

Gea termangu mendengar setiap rentetan janji Elio di hadapan Tuhan. Janji itu diucapkan tanpa melihat buku panduan, dan dilafalkan dengan tegas dan jelas. Hati Gea mencelos, tidak percaya Tuhan mengabulkan doanya untuk menjadi pendamping bagi Elio.

"Gea," desis Elio. Gea terkesiap. Elio mendecak kesal karena Gea hanyut dalam imajinasinya sendiri. "Giliranmu!"

Gea tersentak. Pikirannya kocar-kacir. Ia menghirup udara dalam-dalam seraya mengingat kembali hafalannya.

"Di hadapan Tuhan, Imam, para orang tua, para saksi, saya Elisabeth Gea Mahika dengan niat yang suci dan ikhlas hati memilihmu Benedict Elio Keandra menjadi suami saya. Saya berjanji untuk setia kepadamu dalam untung dan malang, suka dan duka, sehat dan sakit, dengan segala kekurangan dan kelebihanmu. Saya akan selalu mencintai dan menghormatimu sepanjang hidup saya."

Selesai mengucapkan janji nikah, Elio menyematkan cincin ke jari manis Gea. Secara bergantian, Gea juga menyematkan cincin ke jari manis Elio.

"Silakan membuka kerudung mempelai wanita," ujar pastor, mempersilakan Elio.

Gea menunduk saat tangan Elio membuka cadar sebagai lambang kesucian yang dijaga Elio dan Gea selama berpacaran. Elio menyibak kerudung ke atas. Terkuaklah wajah Gea yang berpoles make up natural.

"Semoga kalian berdua selalu saling memandang dengan wajah penuh cinta. Semoga ikatan cinta kasih kalian berdua yang diresmikan dalam perayaan ini menjadi sumber kebahagiaan sejati."

Gea mendongak. Dia menatap Elio yang tertegun dan memaku pandangan kepadanya. Rentetan kata yang diucapkan oleh pastor itu membuat Gea bertanya dalam hati apa arti tatapan Elio sekarang.

Mas Elio, apakah kamu sedang memandangku dengan penuh cinta, seperti aku memandangmu saat ini?

💕Dee_ane💕💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro