Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

💖4. Persiapan Pernikahan💖

"Geaaa!"

Elio meletakkan piring begitu saja ke atas kursi dan langsung menolong Gea yang kesusahan bernapas. Gea membeliak, napasnya keluar satu-satu, sementara itu tangannya mencengkeram kain kebaya di dada.

"Ge?" Elio berjongkok dengan satu lutut menumpu lantai, hendak mengangkat Gea.

"Mbak Gea alergi udang, Mas. Aku baru mau mengingatkan Mbak Gea," kata Pelangi yang ikut berlutut di sebelah Gea.

Mendengar informasi Pelangi, tanpa pikir panjang, Elio membopong tubuh mungil yang tidak berdaya itu. Wajah Gea menunjukkan ruam kemerahan. Dadanya masih kembang kempis.

"Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu alergi udang, Ge?" Desisan Elio itu masih disambut dengan jawaban Gea.

"Maaf."

Elio mendengkus keras. Tak menghiraukan kata maaf yang terlontar dari bibir yang bengkak itu.

Sontak, acara lamaran itu riuh dengan kekalutan semua orang. Pertiwi hanya bisa mengekor di belakang Elio yang sedang membawa Gea ke mobilnya.

"Ilin, buka pintunya!" Yang dipanggil bergegas membuka pintu belakang mobil, dan membantu Elio untuk membaringkan raga Gea.

"Mas, Bunda ikut. Bunda ambil dompet dulu."

"Bun, biar urusan administrasi saya yang tanggung. Bunda tinggal naik saja." Elio pun akhirnya segera memosisikan diri ke belakang kemudi. Pertiwi menurut dan duduk di kabin belakang bersama Gea yang berbaring berbantalkan pahanya.

Elio tak mengacuhkan keluarganya yang lain. Yang ada di otaknya adalah ia harus sampai di IGD rumah sakit terdekat dengan selamat. Beberapa kali ia tak fokus menyetir karena melihat kondisi Gea yang terserang sesak napas. Dalam hati, lelaki itu ingin merutuki Gea, kenapa dia tetap makan keripik udang kalau tahu alergi?

Tunggu, bukannya Gea sering makan udang bersamaku? Dia terlihat baik-baik saja? Atau jangan-jangan selama ini?

"Mas, hati-hati nyetirnya. Fokus aja ke depan, biar Bunda jaga Gea."

"Iya, Bun." Elio menepis pikirannya sendiri, dan berkonsentrasi melajukan kendaraannya menyibak keramaian jalan raya.

Tidak sampai sepuluh menit, Gea sudah berada di salah satu bilik IGD. Dokter jaga IGD segera memeriksa sambil meminta keterangan dari Pertiwi. Setelah mendapatkan bantuan oksigen dan suntikan antihistamina, Gea bernapas cukup lancar.

Elio yang datang kemudian setelah memarkir kendaraan, mendatangi Gea yang terkulai lemas.

"Ge, mana Bunda?" tanya Elio.

"Sedang ke kamar kecil, Mas."

Mengetahui mereka hanya berdua, Elio mendekati Gea dengan tatapan yang menusuk. "Ge, kamu selama ini alergi udang?" Nada bicara Elio meninggi tapi cukup tertahan.

Gea yang kepalanya dibebat selang untuk menyalurkan oksigen ke lubang hidung, hanya mengangguk lemah. Elio menggeram. "Bisa-bisanya kamu nggak memberitahu aku? Bukannya kamu selama ini sering makan udang bersamaku?"

Lagi, Gea mengangguk memberi persetujuan. Elio memerah dibuatnya. Gea tahu isyarat wajah itu. Sebuah tanda bahwa akan ada badai matahari yang akan menyemburkan ujaran yang membuat panas batinnya.

"Maaf. Aku dulu nggak apa-apa makan udang."

Pertiwi yang sudah kembali dari kamar kecil, mengikuti pembicaraan mereka. Ia tidak membenarkan tindakan Gea yang tidak memberitahu kondisi riwayat alerginya pada Elio.

"Nggak apa-apa gimana, Mbak? Bukannya Bunda udah bilang, jangan makan udang kalau pas lagi dinner sama Mas Elio. Tetap saja nekat. Awalnya gatal-gatal, terus kulitnya kemerahan. Yang terakhir, bibirnya malah bengkak!" Pertiwi menyerocos tiada henti seolah mengukuhkan kemarahan Elio beralasan.

"Bunda, iiih. Gea nggak apa kok."

"Tuh, Mas. Kasih tahu Gea. Masa iya, calon istri dokter nggak bisa jaga diri. Kamu ini harus bisa memperhatikan dirimu sendiri." Pertiwi tak henti-henti memberondong Gea dengan nasihat yang membuat Gea sungkan kepada Elio.

"Udah, Bun." Pandangan Gea mengiba.

"Mas Elio, titip Gea ya. Dia ini susah dikasih tahu Bunda. Terlalu irit, nggak mau ngerepoti, dan satu jeleknya, nggak bisa bilang 'tidak'. Apa pun yang ia lakukan, nggak pernah mempertimbangkan kondisi badan dan perasaannya." Pertiwi mengesah, mengelus dahi Gea yang berpeluh. Mata Pertiwi memerah. Wanita paruh baya itu menggigit bibirnya keras.

"Bun, jangan nangis. Nanti maskaranya luntur semua loh kaya zombi."

"Nah, ini! Walau sakit, masih bisa menghibur orang lain. Masih bisa bercanda, walau kadang jadi nggak lucu."

Bulir kehitaman akhirnya meluncur dari kelopak mata Pertiwi. Ia mengambil tisu dari saku rok, kemudian menarik satu lembar untuk menyeka perlahan pelupuk matanya. Ia yakin apa yang dikatakan Gea barusan akan terjadi bila ia tidak menahan tangis.

Elio hanya bisa menatap ibu dan anak di depannya. Ia tidak menanggapi omelan Pertiwi yang ditujukan pada Gea. Satu hal yang ia tangkap bahwa apa yang diucapkan Pertiwi, Elio pun menyadarinya. Sifat itu yang membuat Elio mau mengambil Gea sebagai istrinya. Istri penurut, yang hanya mengabdikan diri padanya.

***

Walaupun lamaran berakhir ricuh, persiapan pernikahan tetap dilaksanakan sesuai kesepakatan. Selain kursus pernikahan, ada juga serangkaian pengurusan berkas administrasi Gereja dan negara. Rupanya persiapan pernikahan tidak sesederhana yang Gea bayangkan.

Siang ini, Anna menghubungi Gea. Dia hendak ikut Elio dan Gea untuk menyaksikan fitting gaun pernikahannya. Gea tidak dapat menolak karena Anna terdengar sangat antusias

"Mbak, nanti kamu mau jalan sama calon mertuamu? Bilang sama maminya Mas Elio untuk mempertimbangkan saran Bunda agar pernikahan kalian memakai acara adat," ucap Pertiwi saat Gea sedang duduk merias dirinya di depan cermin.

"Bun, Mas Elio nggak mau. Dia mau yang simpel," kata Gea.

"Sayang. Padahal Bunda pikir memakai rangkaian acara adat lebih sakral."

Gea hanya memberikan cengiran canggung. Tak menanggapi gurat kekecewaan di wajah Pertiwi. Ia menyetujui saran Elio karena berpikir bahwa konsep pernikahan yang diinginkan Elio lebih murah daripada konsep pernikahan dengan rangkaian upacara adat mulai dari siraman, sakramen pernikahan hingga resepsi. Namun, melihat wajah Pertiwi yang kecewa kali ini Gea tak bisa berbuat apa-apa.

"Bun, pernikahan yang diinginkan oleh Mas Elio itu simpel, nggak banyak makan biaya. Yang penting kan Gea sama Mas Elio bersatu dalam ikatan pernikahan yang sah secara negara dan Gereja. Bagi Gea itu udah cukup. Uangnya bisa untuk biaya Dik Awan masuk kuliah kalau misal peruntungan masuk perguruan tinggi negerinya kurang bagus." Gea berusaha meyakinkan bundanya.

Pertiwi hanya mengesah. Bahkan di saat seharusnya Gea bahagia, putrinya harus menahan diri. Tak seperti gadis-gadis lain yang minta ini dan itu saat acara pernikahan mereka akan berlangsung.

"Eh, itu suara mobil Mas Elio! Gea berangkat dulu ya, Bun. Nggak enak kalau Mami nunggu." Gea bangkit, mendorong kursi hingga decitan yang membuat ngilu telinga, terdengar memenuhi ruangan. Mencium sekilas bundanya, Gea segera mengenakan sepatu, lantas berlari tergopoh mendapati mobil Elio yang akan menepi di bahu jalan untuk parkir.

Gea membuka pintu di kabin depan, memberikan tarikan bibir lebar pada Elio dan menyapa Anna.

"Kamu nunggu di depan, Mbak?" tanya Anna yang sekarang membiasakan diri memanggil Gea dengan sebutan "Mbak".

"Nggak, Mi. Gea nunggu di kamar."

Dahi Anna mengerut. "Tahu aja kami udah datang."

"Hehehe, radar Gea kaya anjing, Mi. Bisa membaui Mas Elio, mendengar langkah kakinya dan mendengar suara mobilnya."

Anna terkekeh melihat antusiasme Gea terhadap Elio. Sementara itu, Elio terlihat biasa dengan sikap Gea.

Melihat Gea sudah memosisikan diri di jok sebelah pengemudi dan memasang sabuk pengaman, Elio pun kembali melajukan mobil menembus jalanan yang padat.

"Mas, kita ke toko kain langganan Mami ya? Di sana, cari kain buat gaun dan seragam."

Gea menukikkan alis. Ia merasa ada sesuatu yang tidak sesuai rencana. "Mi, kita bukannya mau fitting baju?" tanya Gea hati-hati.

"Mami tadi malah minta beli kain buat bikin gaun nikah dan setelan." Mendengar jawaban Elio, Gea menelan ludahnya kasar.

"Bikin?" cicit Gea.

"Iya, Mbak. Mami nggak mau kalau pernikahan kalian terlampau sederhana," ujar Anna.

Gea melirik Elio. Dia membasahi bibirnya dengan pucuk lidah. "Nanti untuk seragam pamong tamu dan baju pengantin, aku yang biayain, Ge. Kamu nggak usah gelisah gitu." Wajah Gea memerah. Sekali lagi, Gea merasa merepotkan Elio.

Gea ingin menolak. Ia merasa tidak butuh gaun pengantin yang mewah. Otaknya masih menghitung berapa banyak pengeluaran yang harus ia keluarkan untuk sebuah acara pernikahan. Membuat gaun pengantin pasti mahal, karena bukan gaun biasa. Terlebih Anna sudah mempunyai rekomendasi penjahit kebaya terkenal yang jelas pasti mahal ongkosnya. Memang keluarga Elio membantu, tetapi Gea tidak ingin royal hanya untuk acara pernikahan.

Ternyata benar dugaan Gea. Mami Elio berselera tinggi. Kain seragam, dan kain untuk gaun pengantin dipilihkan oleh Anna dengan kualitas yang terbaik, sehingga harganya pun membuat Gea menganga.

"Mbak Ge, kateringnya sudah kamu booking?" tanya Anna saat menunggu Elio membayar kain yang dibeli. "Kamu harus request katering yang bagus," saran Anna. Gea mengangguk saja. Setahu Gea, Wedding Organizer yang dipakai juga atas rekomendasi Anna, yang menurut Gea mahal.

"Habis ini, kita ke tempat katering Omah Dhahar untuk pesan sekalian. Setahu Mami, W.O kalian memakai katering Anggur. Nanti kita bilang ganti katering gitu."

"Gea udah ganti ke katering Srikandi." Mata Anna membelalak mendengar keterangan Gea.

"Kok kamu ganti tanpa nanya Mami? Gimana sih?" Nada Anna meninggi.

"Ya, biar murah saja. Lagian kemarin, Mas Elio udah pasrah sama Gea, jadi Gea pilih paket paling murah."

"Mbak Geaaaa! Kamu ini! Ini pernikahan sekali seumur hidup, masa iya kamu mikir yang murah. Mau ditaruh mana muka Mas Elio? Dia itu dokter Internis. Papi mertuamu juga seorang internis. Tamunya dari berbagai kalangan karena nanti nggak ada ngunduh mantu!"

Suara Anna yang melengking, membuat semua orang yang ada di sekitarnya melihat ke arah mereka. Gea hanya bisa menunduk. Ia ingin berucap, bahwa ia tidak serta merta memilih. Katering itu sering dipakai oleh keluarga besarnya. Rasanya tidak kalah enak dengan katering mahal lainnya. Ia mendapat harga murah karena keluarga Gea mendapat harga langganan tetap.

Melihat Anna yang mulai menunjuk ini-itu, Elio bergegas menghampiri dua perempuan itu, tak menghiraukan barang yang masih dibungkus. Sambil memasukkan kartu debet ke dalam dompetnya, ia melangkah lebar mendekati Gea.

"Ada apa, Mi?" tanya Elio dengan alis mengerut.

"Itu. Masa iya, Mbak Gea ambil paket pernikahan paling murah. Terus, Mbak Gea ganti katering tanpa bilang Mami," decak Anna dengan wajah yang kusut.

"Aku udah pasrah semua ke Gea, Mi," ucap Elio datar.

"Iya. Tapi, pernikahan itu prestise keluarga. Orang bakal bilang apa nanti?"

"Mi, Mami ini banyak maunya! Aku udah nurutin Mami buat nikah, sekarang Mami mau atur-atur pesta pernikahan kami. Bisa-bisa nanti Mami bakal campurin urusan rumah tangga kami lagi?"

"Mas Elio!" Mata Anna membelalak.

"Ayo, Ge!" Elio meraih pergelangan tangan Gea, dan mengambil barang belanjaan mereka. Gea hanya pasrah diseret begitu saja oleh Elio. Ia menengok ke belakang, memandang wajah Anna yang memerah.

***

Ternyata, menikahi Elio berarti menikahi keluarganya. Saat sedang menghitung ulang anggaran yang harus dikeluarkan, mata Gea membulat ketika mendapati suvenir berupa dompet rajutan kecil itu dihargai dengan sangat mahal oleh W.O mereka.

"Tidak! Aku harus bilang sama W.O-nya agar men–delete bagian suvenir pilihan Mami. Kalau hanya dompet rajutan, aku bisa bikin." Gea menimbang-nimbang. Acara pernikahan masih empat bulan lagi, dan Gea rasa, mengerahkan tiga orang wanita di rumah itu, bisa merampungkan lima ratus dompet rajutan.

Mata Gea berbinar. Setidaknya dia bisa menghemat sedikit. Uang yang sisa, bisa ditabung untuk keperluan yang lain. Ia bergegas mendatangi Pelangi.

"Dik, aku pengin minta tolong," kata Gea begitu ia masuk ke kamar sang adik.

"Apa, Mbak?" Pelangi menutup buku diktat dan melepas kacamatanya.

"Mbak minta tolong kamu bikin dompet rajutan sebanyak ... ehm seratus?" pinta Gea.

"Seratus? Buat apa?" Pelangi membeliak.

"Buat suvenir."

Pelangi mengernyit. "Suvenir kan sudah termasuk yang disediakan W.O?"

"Iya, aku pengin kasih yang spesial aja. Ntar kasih merek GELS biar kelihatan mahal."

Pelangi mencibir. Ia memicing, menelisik kedalaman hati Gea yang tak terucap. "Masa hanya itu alasannya?"

"Iya. Emang ada alasan apa lagi?" tanya Gea menyembunyikan alasan utamanya.

Pelangi mengendikkan bahu. "Anggi takut Mbak Gea berusaha terlalu keras buat Mas Elio."

"Maksudnya?" tanya Gea dengan guratan tiga garis di pangkal hidung.

"Aku barusan masuk stase interna di rumah sakit Mas Elio bekerja minggu ini. Aku dengar rumor nggak sedap tentang Mas Elio." Gea memajukan wajahnya, mencermati apa yang dikatakan Gea.

"Rumor apa?" Jantung Gea berdetak kencang saat bibirnya melontarkan pertanyaan itu.

"Rumor kedekatan Mas Elio dengan dokter Luna. Mereka sering jalan berdua gitu. Aku ngerasa nggak sreg aja sama 'persahabatan' mereka." Pelangi menggerakkan telunjuk seolah memberi tanda petik pada kata persahabatan.

💕Dee_ane💕💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro