Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 10- Ajakan

Chapter 10
Ajakan

Sambutan yang hangat, Ibu Sadr memeluk Luna dengan erat. Seakan-akan ia baru saja berjumpa dengannya.

"Kenapa baru berkunjung?" tanya wanita paruh baya itu.

Luna hanya bisa menampilkan senyum malu-malunya. Bibi Yati, begitulah sapaan akrab Luna. Ia masih saja sungkan jika harus datang berkunjung.

"Luna sedikit sibuk, Bi."

"Begitu ya? Sudah makan?" tanyanya sambil mengelus pipi Luna.

"Sudah. Oh, iya. Luna boleh ngobrol bareng sama Sadr?" Bibi Yati pun menoleh ke arah putranya. "Pergilah."

Luna pun segera permisi dan mengikuti Sadr yang membawanya ke kamar. Setelah memastikan sang Ibu tidak menguping pembicaraan mereka. Sadr pun bernapas lega.

"Kau pasti mau membicarakan hal serius," tebak Sadr tanpa basa-basi.

"Aku ingin melihat Acrux," balas Luna seraya melirik Acrux yang tengah duduk di kursi putar milik Sadr.

"Kau merindukanku?" Seringai Acrux. "Kita baru bertemu beberapa jam yang lalu di sekolah."

"Ini tentang Pamanku. Aku ingin kau tinggal lebih lama di sini hingga beliau kembali ke Amerika." Luna menarik napas. "Jangan banyak tanya dan lakukan apa yang aku katakan."

Acrux hanya berdecak kesal. Sebenarnya berada di rumah Sadr cukup nyaman. Tapi ia lebih merindukan rumah Luna.

"Itu saja yang ingin aku katakan." Ia menatap Sadr. "Aku balik dulu."

"Akan kuantarkan sampai depan rumah."

Luna mengganguk singkat. Sadr pun membawa Luna keluar kamar. Acrux yang tidak ingin ditinggal sendiri pun berlari menyusul.

Di pekarangan rumah. Luna nampak mendongak ke arah baskara yang tengah bersinar terik di atas sana.

"Mereka tidak akan datang," ujar Acrux. Dia tahu, apa yang sedang di pikiran Luna.

"Siapa?" sela Sadr kebingungan. Sepertinya Acrux belum terlalu banyak bercerita padanya. Luna melirik sahabatnya sekilas. Lalu beralih menatap Acrux.

"Semoga saja."

Ia pun berpamitan kemudian. Sesampainya di rumah. Luna tercengang melihat Max telah sibuk di meja makan.

"Paman?" sapanya. Untunglah kehadiran Bob sudah berada di ruang bawah tanah.

"Aku membawa makanan untukmu." Max menyodorkan beberapa piring ke arah Luna. Cemilan sate ayam paling digemari sang keponakan. Max tahu itu, dan ia membawa pulang beberapa porsi untuk di makan Luna.

"Terima kasih." Luna mendekat sembari menarik kursi untuk duduk dan mengambil satu tusuk untuk di makan.

"Kau dari rumah Sadr?" tebak Max. Pupil mata Luna sedikit melebar. Ia melirik sang Paman dengan pandangan tidak percaya.

"I- iya," sahut Luna kikuk.

Max menyadari keterjutan Luna. Benaknya mulai menimang-nimang sesuatu yang sejak tadi ia pikirkan. Ia menyadari inilah saat yang tepat untuk berbicara pada Luna.

"Paman ingin membicarakan sesuatu padamu, Luna."

Gadis remaja itu menoleh kembali pada sang paman.

"Tentang apa?"

"Aku pikir. Kau harus ikut denganku ke Amerika." Raut ketidaksukaan sekonyong-konyong nampak di mimik wajah Luna.

"Aku tahu, kau selalu tidak akan mau pergi ke sana," tambah Max, "aku hanya mencemaskanmu. Orang-orang yang membunuh orang tuamu bisa saja mencarimu di sini."

Nafsu makan Luna lenyap. Sate ayam di hadapannya nampak hambar begitu saja. Kepingan mimpi buruk di masa lalu membuat dadanya menjadi sesak.

"Jika kau belum siap. Aku tidak akan memaksa. Hanya saja." Max menggantungkan kata-katanya. "Keberadaan laboratorium Aditya masih menjadi misteri."

Luna tersenyum getir mendengar kalimat tersebut. Laboratorium yang selama ini di cari Max hanya berada beberapa jengkal di bawah kakinya. Tapi Luna tidak akan mengatakannya, tidak sekalipun bahkan jika ia harus mati.

"Orang-orang itu tidak akan mendekat padaku Paman." Luna berujar tanpa berpaling pada Max. "Ini bukan negara mereka. Orang-orang itu tidak akan bertindak sesuka hati."

Max tersenyum tipis pada Luna. Keponakannya masih terlalu polos untuk mengetahui kengerian di luar rumah mereka.

Max tidak banyak bicara setelahnya. Keduanya sama-sama merenungkan pikiran mereka masing-masing.

"Paman masih lama di sini?" tanya Luna. Mencoba kembali tersenyum seperti biasa. Sebisa mungkin suasana canggung di sekitar mereka lenyap.

"Yeah. Tapi nanti malam aku harus kembali ke Amerika."

"Kenapa?" Bagi Luna ini terlalu mendadak. "Katanya sebulan di sini?"

"Ada pekerjaan yang menunggu. Aku tidak bisa meninggalkan itu."

Maksudnya meteorit itu. Pamanmu harus mengantarnya sendiri.

Ingin sekali Luna menyuruh Lydia untuk diam. Tapi ia tahu, situasi saat ini tidak memungkinkannya melakukan hal tersebut.

"Jika kau merasa sepi. Kau bisa ikut," tawar Max dengan ramah.

"Tidak," tolak Luna halus. Ia tidak bisa meninggalkan rumah apalagi Acrux.

Max tersenyum mengerti. Ia pun bangkit dari atas kursi. Menghampiri Luna dan menepuk pucuk kepalanya dengan pelan. Luna menyukai sentuhan itu. Ayahnya terkadang melakukan hal tersebut saat ia masih kecil. Ia bersyukur, masih memiliki sang Paman di sisinya.

Malamnya, saat Max telah berpamitan pergi pada Luna. Gadis itu buru-buru memasuki kamarnya sendiri. Kemudian mengunci pintu rapat-rapat dari dalam. Sebelum akhirnya berdiri di depan sebuah lemari pintu dengan helaian napas panjang.

Saat pintu lemari dibuka. Isinya bukan menampilkan gantungan pakaian yang memang seharusnya berada. Melainkan, ia menampilkan undakan anak tangga yang menuruni lorong berwarna putih.

Luna masuk ke dalamnya. Menapaki tiap anak tangga yang bergerak melingkar. Setibanya di dasar ruangan.

Ia menatap ke arah layar berukuran raksasa yang menempel dan menggantung di dinding. Beberapa peralatan dengan cahaya berkelap-kelip tersusun rapi di sekeliling ruangan.

Luna terus melangkah. Menuju sebuah ruangan berkaca yang di penuhi oleh rak-rak penuh buku. Di salah satu papan tulis berwarna putih.

Langkah kaki Luna terhenti. Di pandangnya sebuah foto pasangan suami-istri dengan seorang gadis remaja di depan sebuah kebun binatang.

Mendadak pelupuk mata Luna nampak mendung. Itu adalah senyuman terakhir keluarga bahagia mereka. Sesaat sebelum kegelapan merenggut nyawa dua orang terkasihnya.

Kesedihan tidak akan mengembalikan semuanya.

Luna sedikit tidak menyukai cara bicara kecerdasan buatannya.

"Diamlah!" ketusnya. Luna pun kembali bergerak ke arah meja kerja yang di penuhi tumpukan lembaran kertas dan buku-buku.

Ia menarik kursi untuk duduk. Lalu membuka sebuah agenda bersampul cokelat dan membuka isinya. Yang menampilkan catatan seseorang.

Aku tidak mempercayai adikku. Tapi aku menyanyanginya. Jika suatu saat aku harus mati meninggalkan istri dan Putriku.

Ahli waris Moon Industri hanya akan jatuh pada Luna. Sebagaimana ayah mempercayai usahanya padaku. Aku pun akan mempercayai mimpiku pada putri kesayanganku.

Jika, di masa depan Luna menemukan buku ini. Aku hanya ingin dia tahu. Bahwa aku sangat menyanyanginya.

Setiap detik, aku memikirkan mereka yang akan terus mencariku demi mengungkapkan rahasia galaxy.

Aku merasa takut dan bangga sekaligus. Aku takut, tidak bisa hidup lebih lama dengan keluargaku. Dan aku bangga. Menjadi satu-satunya orang yang mengetahui kehidupan manusia di bima sakti yang lain.

Max mungkin ingin mempublikasikannya suatu hari nanti. Tapi tindakan bodoh. Makhluk galaxy itu tidak menyukai bumi.

Maksudku penghuninya. Jika mereka mengetahui kekayaaan bumi. Cepat atau lambat. Invasi itu akan datang.

Tapi aku benci NASA. Mereka merahasiakan semuanya dengan orang-orang penting dunia.

Mereka menginginkan alat-alat ayah dan otakku. Tapi aku tidak akan memberikannya. Bahkan adikku sendiri, Max.

Catatan ayahnya membuat Luna dapat menarik kesimpulan. Sejak awal, ayahnya tidak mempercayai sang Paman.

Kehadiran Acrux sebenarnya bukan hal yang terlalu mencengangkan. Hanya saja, Luna belum siap dengan apa yang di ceritakan sang ayah benar-benar ada dan nyata.

___/_/_/__//////___

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro