Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

tIGa

"Jadi gimana sekolahnya? Pasti lebih keren dari yang di sini."

Alura hanya membalas dengan gumam malas pada seseorang di sebrang telepon.

Langkahnya terayun gontai menuju ruang guru seperti arahan Bu Susi yang ingin menyerahkan seragam ganti. Rupanya Aluna menitipkan pada Bu Susi tadi pagi, sebab tak sempat memberikannya.

Mau malas menemui Bu Susi, tapi Alura risih memakai rok yang terkena permen karet. Itu menjijikkan.

"Di sini berasa sepi."

"Karena gak ada gue?" sambung Alura percaya diri.

Terdengar suara kekehan dari sambungan. "Bukanlah! Ini sepi karena memang pada disuruh diem. Kan anak kelas dua belas lagi simulasi ujian akhir."

Dalam hati, Alura sudah ingin berkata kasar kalau saja matanya tak sengaja menangkap sosok yang sudah membuat sial tadi pagi.

—Setan berjaket kulit, begitulah Alura menandainya.

"Lucas, ntar gue telepon lagi ya."

"Hah? Bus—"

Tak sempat menunggu protesan Lucas, gadis itu telah lebih dulu mematikan panggilan.

Langkah Alura dengan cepat menyusul lelaki menyebalkan yang kini telah berbelok memasuki kantin.

Namun, langkah Alura kontan terhenti kala tak sengaja melihat seseorang lain di ujung sana. Seseorang yang tersenyum sembari adu tos khas remaja cowok ketika bertemu. Entah apa yang dibicarakan, mereka semua saling tertawa.

"Haish! Dia gerombolannya Raksa?" desah Alura cemas. "Awas aja kalau itu anak bocor kayak pembalut murah."

Ia bahkan sampai lupa niat awal yang hendak melabrak 'si jaket kulit' yang sekarang entah sudah lenyap ke mana.

Semakin dilihat, semakin meresahkan, Alura memilih pergi. Baru beberapa langkah menjauh, sebuah tangan mencekal Alura.

"Lo dari mana aja?!" kesal Aluna.

Ia barusan dari ruang guru guna mencari kembarannya. Tapi bukan mendapati gadis itu, Aluna justru dihadiahkan curhatan Bu Susi tentang adik badungnya yang ketiduran di bawah pohon mangga, serta kericuhan dengan Raksa yang tadi ditempleng buku paket oleh Alura di tengah jam pelajaran.

Tangan Alura terangkat mengusap dada, ia kaget. "Lun, tolong kurang-kurangin deh bakat nongol tiba-tiba lo itu. Niat cosplay jadi kuntilanak apa gimana, sih?!"

Pukulan ringan seenaknya hinggap di bahu Alura.

"Jangan kebanyakan protes. Buruan ganti, habis ini gue temani keliling biar gak nyasar lagi."

"Kalau gue gak mau gimana?"

"Ya gak gimana-gimana."

"Loh?"

"Paling gue geret paksa aja ke toilet. Biar satu sekolah lihat sekalian," lanjut Luna diakhiri senyum kemenangan.

Gadis itu tau kalau Alura benar-benar tak ingin hubungan darah mereka diketahui. Satu sisi yang sebenarnya cukup membuat Aluna sedih karena merasa tak dianggap.

Sebuah paper bag berisi seragam baru itu berpindah ke tangan Alura. Tubuhnya telah memasuki bilik kamar mandi. Di dalam sana ia mendengus malas memeriksa isi tas. Terdapat sebuah kemeja putih lengan panjang, vest dan blazer dongker dengan garis sewarna ivory di sepanjang perpotongan leher, serta rok abu-abu polos. Ah... tak lupa dasi berbentuk pita yang Alura rasa akan sangat tidak cocok ia kenakan, terlalu girly.

Jika kalian pecinta drakor, pastilah paham dengan gambaran seragam tersebut.

"Ck! Berasa tango beneran kalau dipakai semua," gumam Alura sebal.

Terlihat mewah memang, tapi bisa jadi ia akan mandi keringat kalau saja tak berada di ruangan ber-AC saat menggunakan stelan lengkap.

Baru hendak protes, pergerakan tangan Alura terhenti saat mendengar suara di luar sana.

"Gimana? Pasti nyesalkan udah merengek biar saudara kembar lo itu bisa masuk sini. Si anak nyusahin."

"Jaga mulut, Tania. Dia juga saudara lo."

Tania berdecih. "Lo aja, sih. Gue ogah di samain sama sampah. Papa aja udah males anggap dia anak kan?!"

"Mulut lo—"

"Daripada marah-marah, mending lo fokus belajar untuk persiapan seleksi olimpiade minggu depan. Jangan sampai ujung-ujungnya Papa kecewa lagi dan beneran buang lo kayak nyokap kalian."

"Tania!"

Yang dibentak hanya tertawa senang. "Kan gue benar. Kalau bukan karena gue ikutan bantu bilang ke Papa, itu kembaran lo gak akan sudi ditampung!"

Tangan Aluna terkepal menahan kesal. Karena sibuk mengurusi segala kepindahan Alura, ia sampai lupa tentang seleksi tersebut. Bahkan ulangan dadakan tadi saja ia sama sekali tak belajar, untunglah hasilnya masih tertolong. Jika tidak, bisa habis ia di tangan Adnan. Sebab satu-satunya alasan Adnan masih mau menampung dirinya dan Alura adalah karena kepintarannya yang kerap mempuaskan ego lelaki itu.

Alura memasang wajah santai sewaktu keluar dari bilik toilet. Seolah tak pernah mendengar hinaan Tania tadi. Ia terlalu malas membahas Mak Lampir jadi-jadian.

"Jangan diambil hati, tau sendiri mulut dia gimana," ucap Aluna.

Bahu Alura mengedik cuek. "Gue gak ngerti lo bicara apa." Tangannya terulur membenarkan letak kemeja.

"Kenapa vest, dasi dan—"

"Please, deh Aluna. Memang lagi musim hujan, dingin. Tapi gue risih kalau pake baju berlapis-lapis! Mirip lontong tau gak!"

Aluna hanya sanggup menghela napas saja mendengarnya. Aslinya pakaian lengkap pun hanya diperkenankan ketika hari senin saat upacara maupun hari besar saja.

"Setidaknya pakai dasi dan vest kamu."

"Ogah. Lagiankan udah dibilang, jangan berurusan sama gue. Fokus aja sama diri lo sendiri."

"Al...."

"Gue udah janji gak akan bikin ulah yang gimana-mana sampai kita tamat. Dan itu bakal gue tepati, asal lo juga nurut buat gak ikut campur, Lun."

Gadis berambut sepunggung itu masih ingat pengalaman dulu ketika tak sengaja menyeret Aluna dalam permasalahannya yang membuat saudarinya habis-habisan menerima kemurkaan ayah dan ibu mereka karena tak bisa menjaga Alura. Padahal saat itu Aluna telah memeperingatkan juga melarang, tapi justru gadis itu yang terkena imbas.

Sadar akan ada orang lain yang masuk, Alura lantas angkat kaki setelah pamit sekilas.

Pandangannya berpencar menatap sekitar, koridor sekolah tampak lumayan ramai di jam istirahat.

"Gue lapar, mau ke kantin. Tapi kalau masih ada dia di sana, gimana?" monolog Alura bimbang.

Samar, kilatan ingatan akan senyum lelaki itu kembali memenuhi kepala Alura. Bagaimana cara sosok itu melihatnya dan mereka hampir beradu pandang sebelum dirinya kabur.

Gadis menghela napas lesu. "Sialan banget, kenapa harus satu sekolah coba?"

"Kayaknya gue harus mandi kembang tujuh rupa, deh. Sialnya Raksa suka nular, sih."

Kepala Alura mengangguk-angguk sendiri menanggapi ucapannya. "Iya harus, buang bala! Atau buang si Raksa sekalian ya?"

Mendapati fakta sekelas dengan Raksa saja sudah membuat Alura pusing. Konon pula ia harus bertemu kembali dengan si pemilik masa lalu kelamnya.

Dibanding kembali ke kelas, Alura tertarik menuju taman belakang sekolah dekat gedung A lama. Di sana ia melihat Mia. Gadis berkacamata tebal itu seakan tak bosan melemparinya dengan senyum lebar.

"Lumayan jauh main kamu, Al. Gak ke kantin?"

"Kelihatannya?"

Mia menyengir lebar. Padahal dari awal masuk, Alura sudah bersikap kurang bersahabat. Tapi rasa-rasanya Mia mengabaikan semua kode tersebut.

"Iya, sih kantin utama pasti penuh. Tapi sekolah ini masih ada tiga kantin lagi kok."

Gadis itu memilih duduk tak jauh di sebelah Mia. "Di lantai sat—"

"Iya tau. Gue mager aja. Makanya ke sini, tapi malah nemu lo yang bawel."

Mia meringis bersalah. Niat hati ingin ramah malah berakhir membuat orang terganggu.

"Maaf," lirihnya yang tak ditanggapi Alura.

"Dih, emang lo buat salah apaan," ketus Alura sebal. Kenapa gadis di dekatnya itu sangat mudah mengucap maaf.

Di kelas saja entah sudah berapa banyak kata maaf yang Mia lontarkan yang aslinya gadis itu tak berbuat salah apa pun.

Raksa yang berulah, Juna yang tak sengaja menyenggol, atau gadis-gadis yang iseng menabrakkan diri tapi Mia yang minta maaf.

"Hehe iya ya. Maaf," ulang Mia tanpa sadar.

Mendengarnya, Alura hanya mendengus malas. Gadis itu mengabaikannya setelah menyumpal kuping dengan headset, memutar playlist rahasia. Cukup Tuhan dan Alura seorang saja yang tau mengenai lantunan lagu apa yang tengah berputar.

Dengan gerakan seminim mungkin Mia menggeser sekotak susu coklat dan sebungkus roti dengan sebuah sticky notes yang tertempel di atasnya. Diam-diam gadis itu angkat kaki, meninggalkan sang anak baru dalam ketenangan.

"Ck! Dasar cupu."

👈👉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro