sepuLUH
Suara ketukan dari luar pintu kamar mengalihkan perhatian Alura atas denyut yang baru saja didapatnya. Gadis berwajah bantal itu habis terguling dari atas tempat tidur dan mendaratkan pantat teposnya secara sempurna di atas permukaan lantai.
Dingin dan keras itulah yang dirasa Alura.
Merasa tak ada sahutan, bunyi tuk-tuk di ujung ruangan bernunasa monokrom itu kembali mengusik telinga. Seongok kepala menyembul hati-hati memeriksa keadaan di dalamnya.
"Lo ngapain lesehan di situ?" tanya Jeno kebingungan.
Alura pun sama herannya. Bahkan untuk beberapa detik ia tak tau harus menanggapi apa. Semua terlalu aneh.
Kamar tempatnya berada, kasur yang ia tiduri, dan keberadaan Jeno yang mematung di ambang pintu. Ditambah saat sadar dengan piyama bergambar animasi Spongebob kebesaran yang melekat pada tubuh Alura.
Ini terasa asing.
Mata besar Alura berkedip cepat. Kepalanya celingukan menandai sekeliling.
"Gue di mana? Kenapa bisa ada lo?!" todong Alura minta penjelasan.
Jeno memutar malas kedua bola matanya. "Kalau mau tau jawabannya, buruan mandi dan langsung ke bawah."
Lelaki dengan pakaian rumahan itu melempar baju ganti pemberian ibunya yang mendarat tepat sasaran pada wajah plongo Alura.
Dibanding meneriaki kelakuan kurang ajar Jeno, isi kepala Alura tak fokus mencoba mengingat apa yang telah ia lewatkan.
"Taxi... halte," gumam Alura. "Hujan dan... Jeno?"
Meski samar, ia yakin jika lelaki bawel yang menganggu tidurnya di halte itu adalah Jeno.
👈👉
Perhatian Jeno sepenuhnya tertarik pada suara tawa ibunya bersama Alura di dapur sana yang terdengar akrab. Entah apa yang Tiffany bicarakan, Alura selalu cengengas di awal sebelum menanggapi.
"Jadi kamu belum pernah masak-masak gitu?"
Kepala Alura menggeleng kikuk. "Terakhir kali masuk dapur, rambut Al ke bakar. Untung aja gak sampai botak. Makanya sejak itu dilarang."
Celotehan Alura mengalir, bercerita jika Nadia adalah sosok work holic yang tak suka memasak.
Ibu Jeno terkekeh maklum. Dulu ia juga sempat menjadi wanita gila kerja, lebih peduli membangun karier ketimbang memiliki rencana untuk berkeluarga. Namun, semua berubah total begitu hatinya terperangkap pada pesona papa Jeno dan menikah.
"Kalau Tan—"
"Bunda," ralat Tiffany lembut.
Wanita berparas anggun itu sengaja minta dipanggil Bunda dari pada tante, kesannya agar lebih dekat. Lagian teman akrab Jeno juga semuanya begitu.
"Tapi, emangnya gue teman akrab si Jenong? Kenal dia aja, sebenarnya gak sudi." Begitulah batin Alura sewaktu Tiffany membicarakan soal teman dekat sang putra.
Alura masih kesal tujuh turunan, delapan tikungan, sembilan tanjakan, sepuluh turunan karena perangai Jeno yang selalu kasar padanya.
"Iya Bunda," cengir gadis itu membenarkan panggilan. "Ini Bunda memang dari dulu hobi masak?"
"Baru semenjak nikah. Papa Jeno minta Bunda untuk fokus aja urus keluarga,"
"Wah, Bunda terdeteksi bucin. Mama Al juga gitu tapi endingnya—" Alura menggantung ucapan, sorot jenaka gadis itu mendadak berubah sendu. "Mereka pisah, Bund. Kata Papa, dia bosan sama Mama."
Di akhir, Alura menutupi kekacauan perasaannya dengan kekehan ringan.
Cucian wortel yang tengah dipegang gadis itu diambil alih oleh Tiffany yang melempar senyum hangat.
"Mungkin itu yang terbaik buat mereka, Al."
"Ya mungkin. Terbaik untuk para orang tua, tapi belum tentu untuk anaknya kan, Bund?"
Mendengar lontaran kalimat Alura, hati Tiffany terasa tertohok.
Wanita itu terdiam cukup lama dengan pandangan kosong. Sampai pertanyaan Alura yang kebingungan kala membentuk bulat adonan bakso menyadarkannya kembali.
"Bunda, ini udah bener gak? Kenapa punya Al malah peyang?"
Tiffany terkekeh lucu mendengar segala celotahan Alura yang terus mengomel karena bentuk baksonya aneh. Padahal sudah mengikuti tutorial Tiffany dengan benar, tapi tetap saja hasilnya luar biasa beda.
Dari meja pantry Jeno terus mendengarkan.
Sepertinya kedua perempuan di depan sana masih tak menyadari keberadaannya sama sekali sebelum terakhir Alura menoleh. Mereka bertemu tatap untuk beberapa waktu, yang kemudian diputus oleh lengosan malas Alura.
Senyum hangat Tiffany tertuju pada Jeno. "Sebenar ya, No. Baksonya lagi dibuat sama Alura."
Jeno mendengus. "Hati-hati sama dia dicampur sianida, Bund."
"Khusus buat lo udah gue lumurin lem setan, sih. Biar gak bisa buka mulut selamanya!"
"Kalau gitu bakal gue kasih balik buat lo."
"Yaudah gue balikin lagi ke lo!"
Delikkan mata sipit Jeno menggundang tawa Tiffany.
"Lihat, Bund! Apa kata Al, Jenong itu galak kayak kingkong!" adunya. "Bunda dulu ngidam apaan sampe anaknya modelan begini. Apa jangan-jangan suami Bunda galak, ya?"
Menurut Alura begitu, karena Tifanny sendiri memiliki kepribadian lemah lembut yang sangat keibuan.
Lagi-lagi Tiffany tertawa. "Jeno itu aslinya baik. Sama seperti papanya."
Decakan tak suka keluar jelas dari kedua bibir Jeno. Rahangnya mengeras menahan kesal. Bisa-bisanya Tiffany masih menganggap lelaki yang sudah mencampakan mereka itu baik.
Isi hati Tiffany memang terlalu pemaaf, bahkan wanita yang amat disayanginya itu begitu mudah menerima keberadaan Alura yang dulu menjadi faktor lain atas rusaknya keluarga kecil mereka.
Jeno yakin, Tiffany tak lupa siapa Alura. Orang yang telah membunuh adiknya, si bungsu yang bahkan belum sempat lahir ke dunia karena harus gugur di usia kehamilan tiga bulan.
Alasan terkuat mengapa Jeno selalu kasar pada Alura. Ia ingat semua, tepat di hari pertama bertemu gadis bar-bar itu.
Gadis bergaun bunga-bunga kecil selutut itu bergerak meninggalkan dapur saat Tiffany minta bantuan untuk diambilkan daun jeruk di halaman belakang.
Pemuda itu mendekat. Kepalanya bertengger manja di bahu sang ibu. "Bunda kayaknya akrab banget sama dia. Gak lupakan manusia aneh itu siapa?"
"Jeno...," panggil Tiffany lembut.
Decakan tak suka kembali keluar dari mulut Jeno. "Masa nama Jeno udah bagus malah diganti-ganti jadi Jenong, Bund. Belum lagi muka dia memang nyebelin. Makin bikin emosi aja."
"Walau kata kamu nyebelin, tapi kenapa tetap ditolong, ya?" goda Tiffany.
Jantungnya hampir copot sewaktu anak laki-lakinya begitu pulang malam malah bawa perempuan, dalam keadaan basah kuyup dan tak sadarkan diri pula.
Lirikan mata Tiffany tertuju pada Jeno. "Terus siapa tuh tadi malam yang heboh sambil panik gak jelas?"
Pipi pemuda tegap itu memanas.
Ia baru sadar sudah bertingkah konyol karena panik kalau Alura mati. Terakhir diukur, demam gadis itu nyaris mencapai 40°c tapi untung saja pagi ini sudah membaik total.
Alura memang ajaib.
"Terpaksa, Bund."
Malam itu Jeno kepalang bingung. Alura tampak tak sehat di tengah malam saat hujan pula.
Mau meninggalkan pun, Jeno tak sampai hati tapi juga tak ingin menolong.
Ia sempat berusaha menghubungi Aluna untuk mencari tau alamat Alura, setidaknya hanya untuk mengantar pulang. Tapi Aluna sama sekali tak mengangkat telepon, sama halnya dengan Raksa dan Juna. Teman lain Jeno yang sekelas Alura juga tak tahu menahu perihal identitas gadis penyendiri itu, memupuskan harapan Jeno yang berujung memutuskan membawa Alura ke rumahnya.
Usapan lembut pada puncak kepala Jeno terasa.
"Abang," panggil Tiffany lagi. "Bunda 'kan selalu bilang, gak baik menyimpan dendam. Itu penyakit hati."
"Bunda udah maafin? Dia yang udah tabrak Bunda sampai kita kehilangan—"
"Marah pun gak akan merubah apa pun. Bisa jadi memang udah takdirnya begitu. Justru kita yang akan semakin rusak karena menyimpan pendendam."
Empat tahun lalu, Tiffany masih ingat betul wajah ketakutan Alura yang berlindung di balik punggung orang tuanya ketika keduabelah pihak bertemu untuk menyelesaikan masalah secara kekeluargaan. Alura sama sekali tak berani menatapnya dan terus merapalkan kata maaf.
"Jeno tau 'kan kalau sebenarnya itu bukan kesalahan Alura?"
Bukan gadis itu yang mengendarai motor yang menyerempet Tiffany.
"Tapi 'kan—"
"Percaya sama Bunda. Alura itu anak baik. Buktinya dia mau tanggung jawab dan mengakui kesalahannya."
Tidak seperti si pengendara alias teman Alura yang kabur sewaktu kejadian terjadi. Bahkan saat diseret untuk dimintai keterangan, pihak keluarganya malah mengamuk dan menyalahkan Alura yang sebenarnya hanya penumpang.
"Jeno gak ngerti, Bund."
Wanita itu membalik tubuh, menatap putra sematawayangnya yang kembali diselimuti emosi masa lalu.
"Memang merelakan sesuatu yang kita cintai itu tak semudah mengucapkannya. Tapi Bunda yakin kamu bisa."
Helaan napas panjang lelaki itu terdengar mengalah.
"Waktu itu kita jugakan udah damai. Dan keguguran Bunda bukan akibat insiden tabrakan, itu murni karena—"
"Bunda!" Alura muncul dari ambang pintu dapur yang menghubungkan ke halaman belakang. "Ini bukan?"
Gadis itu melangkah semangat menyerahkan hasil petikannya.
"Itu yang namanya daun jeruk 'kan, Bund?"
"Kamu ambil dari pohon yang mana, Al?"
"Dari pohon jeruk yang dipojokan sana, Bund. Yang ada jeruknya segini, tapi masih warna hijau."
Alura memeragakan besar buah jeruk dengan tangannya.
Jeno mendengus kasihan menyaksikan kebodohan gadis itu. "Lo paham gak sih daun jeruk mana yang disuruh ambil?"
"Ya... daun dari pohon jeruk," ragu Alura menjawab.
Mendengar jawaban itu, ekspresi Jeno seakan tak sabar ingin menelan Alura hidup-hidup.
"Dasar bego."
Hanya itu gumaman singkat yang Jeno lontarkan sebelum menghilang menuju halaman belakang.
Alura sudah ingin membalas. Tapi kekehan Tiffany mengusik. "Bunda kenapa malah ketawa? Al memang sebego itu, ya?"
"Iya emang bego, pake banget!"
Tau-tau Jeno sudah kembali dan menyerahkan daun jeruk yang dimaksud pada Tiffany. Lelaki itu menyisakan satu untuk dibawa kehadapan Alura yang setia dengan kebingungannya.
"Lo lihat, bedanya! Ini daun dari jeruk buah, gak bisa dipakai buat masak karena gak wangi. Dan ini daun dari jeruk purut yang biasa dipakai masak karena punya wangi yang khas!"
"Oooo... gitu."
"Udah paham?!"
"Gak terlalu paham, sih. Kan intinya tetap sama-sama jeruk, terus kenapa harus dibeda-bedain? Lo diskriminasi banget, deh!"
Sabarkan Jeno yang rasanya ingin menyemplungkan kepala kosong Alura ke dalam dandang bakso. Padahal tadi ia sudah berbaik hati menjelaskan.
"Terserah, deh. Lo cocoknya memang tinggal di Mars. Aneh."
👈👉
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro