Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

dua PULUH tiga

"Kata gue, lo tipes sih," ceplos Juna sarkas. "Ketawaan mulu."

Sejak sejam lalu ia dan Alura membolos ke markas bunglon demi menghindari pelajaran yang amat mereka cintai, yaitu matimatika.

Mumpung tidak ada Renza dan Raksa juga di kelas. Bahkan keberadaan Nathan yang setiap pagi rajin menyinggahi kelas Alura pun tak tampak dipandang mata hari itu.

"Al, udahan ngapa ketawanya! Takut juga gue lama-lama," lirih Juna lalu duduk agak menjauh.

Gadis yang ditegur menoleh perlahan. Tangannya yang sedari tadi memegangi ponsel untuk menonton drakor itu tersodor. "Ini lucu, ayo tonton bareng!"

"Agak heran lihat lo demen korea-an. Enakkan main ps, sini!"

"Ya emang ngapa, sih. Dasar manusia sirik tukang komen!"

"Lo kali berisik. Main ps sini."

"Gue bilang sirik, Juna. Bukan berisik!" semprot Alura dengan suara toa. "Lagian mana bisa gue main ps."

"Yaudah mending lo diem kalau gitu, daripada ketawaan gak jelas. Serem dengernya, berasa lagi kerasukan."

Timpukan penuh kasih sayang berhasil mendarat tepat di belakang kepala Juna.

"Mata lo, kerasukan!"

Mood bahagia Alura kembali berganti rasa bosan. Kini gadis lusuh itu celingukan menatap sekitarnya yang terasa sepi. Biasa mereka ramai mengumpul di sini, tidak seperti sekarang. Bahkan chat yang ia lontarkan di grup beberapa jam lalu juga berakhir tanpa balasan.

Ah—ada balasan, tapi dari Juna yang sok-sok an menasehati Alura agar jangan bolos ke markas bunglon. Padahal aslinya bocah tengil satu itu ikut ngemper sambil main ps.

"Lo mending jujur deh, Jun."

"Apaan?"

"Ini kalau gue lempar lo dari lantai dua, minimal patah tulang, sih."

"Perasaan gue diem? Salah mulu, heran."

"Makanya jujur!" Punggung Juna terombang-ambing ke depan dan belakang sewaktu Alura menggoncangnya. "Raksa sama yang lain kemana?! Kenapa tinggal sisa lo doang sama gue?!"

"Tau! Jodoh kali kita berdua. Eh amit-amit, deng. Gak selera sama macan kayak lo."

"Anjing, please?"

"Anjing anjing," balas Juna mengangguk lalu menyengir lebar sembari mengangkat dua jari tanda peace alias damai.

Lelaki beralis tebal itu tak mau ambil resiko kena tampol part sekian karena memancing emosi Alura.

"Jawab, Jun. Selagi gue masih baik ini."

"Apaan, Al? Laper, gak? Pesan makanan sana, nanti gue yang bayar," alih Juna melempar dompetnya.

Gaya-gayaan aja mau traktirin, padahal nanti ngadu ke Nathan juga biar uangnya digantiin karena habis jajanin Alura.

Namun, gadis yang berusaha dikibulin jelas lebih pintar. Dompet kulit lusuh itu kembali berbalik mengenai wajah tak bersalah seorang Arjuna.

"Kena tampol lagi dah gue," pasrah lelaki itu yang terpaksa meng-pause permainan. "Mau pesan apa? Sini deh gue yang pilihin."

"Gak mau! Jawab aja itu Raksa sama yang lain kemanaaaaaa?!" sebal Alura.

Baru ini chatnya dianggurin begitu saja. Juga merasa janggal karena Chena dan Aji pun seperti ikut menghilang dalam terang tanpa penjelasan. Kedua bocah itu juga tak membalas personal chat dari Alura.

Juna menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Mending tidur aja deh, tidur. Biasakan lo tukang molor, tuh. Atau perlu gue tidurin?"

"Minta gue lempar beneran, Jun?"

"Yaelah canda, bestie. Gila kali gue sampe berani nyentuh lo," kekeh lelaki itu.

Bisa digebukin, dimutilasi, terus digoreng hidup-hidup dia sama Nathan dan Raksa kalau sampai Alura kenapa-kenapa.

Arjuna menghela napas panjang. Akalnya buntu untuk mengalihkan perhatian Alura atas hilangnya sohib-sohib mereka.

Sangat tak mungkin Juna jujur kalau dirinya kebagian menjaga Alura selagi yang lain tawuran dengan sekolah sebelah karena telah mengeroyok Aji dan Chena tanpa sebab. Berakhir membuat adik kelas malang mereka harus masuk rumah sakit bersamaan.

Sampai Alura tau hal tersebut, adanya gadis itu yang akan paling mengamuk karena dua bocah gemoy kesayangannya diganggu.

Kepala Juna ditoyor dari arah samping. "Buset, Al. Lama-lama kepala gue lepas ini ditoyorin mulu."

"Salah sendiri. Gue ngoceh sampe ini mulut berbusa, lo malah diem."

"Gue ngantuk, mau bobok ciang. Lo gak ada niatan ikut?"

"Ini masih jam sembilan pagi lewat lima menit, Jun. Bobok ciang biji mata lo dua?!" gemas Alura ingin sekali menjambak rambut legam teman sekelasnya itu kalau saja Juna tak cepat memasang wajah memelas.

Kan Alura jadi agak iba.

Suara ocehan Alura sudah hampir keluar bila saja kepalanya tiba-tiba tak terserang rasa pusing.

Gadis yang semula bertumpu diri menggunakan kedua dengkul itu nyaris oleng kalau saja tangan Juna tak sigap menangkap tubuh Alura.

"Nah lho, kebanyakkan ngomel jadi mabok kan lo."

"Pusing, Jun," lirih Alura sembari mengerjap.

Pandangannya ikut memburam beberapa saat sebelum kembali jernih.

Dari malam Alura belum makan apa pun karena kurang berselera.

Hanya bermodalkan sepotong roti, segelas air putih dan omelan Adnan, gadis itu cabut ke sekolah.

Aslinya sepulang jogging itu Alura sudah merasakan tubuhnya kurang sehat. Ditambah lagi tengah datang tamu bulanan semakin membuatnya menderita.

Namun, ada saja tingkah Juna sempat mengalihkan pikiran Alura. Sebelum lagi-lagi ia merindukan teman-teman berisiknya. Tapi sayang hanya Juna yang available untuk dianiaya saat ini.

Tubuh ringan Alura didudukan di atas sofa. Mata Juna bergerak cemas begitu mendapati wajah gadis di depannya menjadi lebih pucat.

"Mau ke uks?"

"Hah? Eh, gak perlu."

"Fyi, you look so pale now."

"Gue baik-baik aja, Juna. Masih kuat nampol lo yang gegayaan pakai ngomong inggris. Biasa juga ngoceh  bahasa batak."

Arjuna tak jadi menyahut lewat mulut, melainkan ngedumel dalam hati alias ngebatin sambil curshing.

"Tapi lo pucat banget, seriusan. Gue gak mau tanggung jawab ya seandainya tiba-tiba mati di sini."

"Minta banget gue anjingin apa gimana deh, Jun? Di doain yang enggak-enggak terus guenya."

Objek yang kena maki hanya cengengesan, sebelum berlalu mengambilkan Alura minuman dan cemilan ringan.

"Dah, ya. Duduk manis bentar di sini. Kelamaan lihat muka lo, gue malah kebelet BAB. Jangan kemana-mana, Al!" pekik Juna yang terburu memasuki toilet rooftop.

Gadis yang ditinggal hanya bisa sabar.

Kelakuan Juna memang suka rada-rada, lebih baik yang (agak) waras mengalah.

Getar ponsel yang tersimpan di saku rok mengalihkan lamunan gadis itu.

Kening Alura berkerut bingung, tak biasa Aluna meneleponnya di jam pelajaran begini.

"Hal—"

"Al, tolong gue, Al. Hiks..."

Punggung layu Alura spontan menegak. "Luna? Lo di mana sekarang?"

Tak ada jawaban langsung selain isak tangis lirih dari mulut saudara kembarnya. Sepasang kaki Alura tergopoh menuju pintu keluar, gak lagi menghiraukan rasa pusing akibat tiba-tiba berdiri.

"Aluna? Halo, dengar gue? Jawab lo di mana, Lun?!"

"Gu—gue gak tau, Al. Di sini banyak kursi kosong, berdebu dan gelap, hiks. Al, tolongin gue... hiks... G—gue takut, Al."

"Oke tenang. Tungg—halo Luna? Aluna?!" heboh Alura, sebelum akhirnya mengerang frustrasi ketika mendapati sambungan telepon terputus.

Jarinya tergesa mencoba menelpon Aluna kembali. Hanya saja nihil.

Demi apa pun jika pelakunya kali ini adalah Alexa lagi, Alura bersumpah akan benar-benar membuat gadis sialan itu masuk rumah sakit dengan kasus patah tulang.

Aluna phobia gelap dan ruang sempit. Ia tak bisa membayangkan betapa paniknya Aluna sekarang.

Gadis pucat itu sedikit kaget ketika sebuah tangan mencekalnya erat dari arah belakang.

Napas Juna tersengal-sengal dengan tatapan nyalang menatap wajah panik Alura.

"Jun—"

"Belum ada sepuluh menit gue tinggal, Al!"

"Aluna!"

Dahi lelaki berdarah batak itu mengkerut bingung. "Aluna? Aluna Putri Adnan anak XI MIPA 1?"

Kepala Alura mengangguk cepat. "Kayaknya dia dikunci di gudang... atau kelas kosong? Gue juga gak tau, Jun!"

"Hei... hei... tenang, Al," ucap Juna. "Kalau lo aja gak tau, apalagi gue, Al. Lagian gudang yang mana? Perasaan gudang sama kelas kosong di sekolah kita ada banyak."

Itu juga yang Alura pikirkan sampai kepalanya makin pusing.

"Gak tau," lirih Alura.

"Terus mau lo datengin satu-satu gitu?"

"Ya habis gimana lagi?!"

"Eeehh— bentar, kutu! Buset ini bocah main kabur aja," kalut Juna yang terburu mengejar langkah sempoyongan Alura.

Gadis ceroboh itu bahkan hampir nyungsep mencium lantai lorong karena tersandung kakinya sendiri. Beruntung Juna gesit menangkapnya.

"Lo lagi sakit, Al. Biar gue aja ya yang susulin Aluna."

"Kelamaan, Jun. Aluna pasti ketakutan banget sekarang!"

"Al, lo lagi sakit. Please jangan kayak gini."

"Otak lo kali yang sakit. Mending minggir, orang gue baik-baik aja," celoteh Alura. Mengabaikan pandangannya yang kembali memburam.

Hantam rasa pusing itu semakin menjadi, meloloskan lenguhan lirih dari bibir pucat Alura.

"Al... udah, ya. Kita balik. Lagian lo—"

Juna menjambak rambutnya, bingung ingin bagaimana menjelaskan pada Alura kalau gadis itu tengah bocor di belakang sana.

"Udah ayo balik, biar gue yang samperin Aluna," bujuk Juna lagi.

Alura yang sibuk mengerjapkan mata, cuma bisa diam.

"Al, please. Makin lo batu buat balik ke markas, makin lama gue cari Aluna."

"Fine. Gue bisa balik sendiri dan jangan ngebantah Arjuna," final Alura tegas.

"Fine. Gue cabut."

"Please buruan cari, Jun. Aluna takut gelap. Gue bakal coba telepon dia lagi dan—"

"Calm down, Al. Balik sana."

Mau tak mau gadis keras kepala itu menurut.

Persisnya baru tiga langkah Alura bergerak, tapi pandangan gadis itu balik memburam dengan kepala yang terasa berputar hebat.

Suara jatuh itu spontan menolehkan pandangan Juna yang sudah berada di ujung lorong. Pupilnya membesar kaget mendapati tubuh kurus Alura tergeletak tak sadarkan diri.

Belum sempat menghampiri, pergerakan Juna terdahului seseorang yang lekas menggendong Alura.

"E—eh? Udah mirip super hero flash itu si Jeno larinya."

👈👉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro