Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

delAPAn

"Jauhi Aluna!" tekan Jeno dalam bisikannya. "Lo cuma bawa sial buat dia."

"Heh! Apaan mulut—"

Ponsel dengan layar banyak retakan itu tersodor kasar ke arah Alura. "Lihat! Demi jaga aib lo, Luna sampai harus berurusan sama Alexa!"

"Jadi ini ulah Alexa?"

"Ini ulah lo!" bentak Jeno tertahan, mengingat mereka masih di dalam UKS.

Jeno menarik napas dalam. "Jauhi Aluna! Cukup hidup lo aja yang rusak, jangan seret orang lain."

Sebelum pergi, bahu Jeno menyenggol kasar milik Alura yang tercenung.

Tangan gadis itu gemetar saat memeriksa ponsel yang menampilkan foto-foto kelam Alura, ketika dirinya nyaris menjadi korban pemerkosaan dulu. Entah dari mana Alexa bisa mendapatkannya.

Saat punggung sempit itu berbalik, Alura mendapati saudarinya telah sadar. Pandangan mereka bertemu sejenak hingga Alura memutus sepihak dan segera beranjak keluar, ia tak mau jika Aluna sampai melihat luka-luka di wajahnya.

Namun, Alura salah. Saudarinya itu masih bisa melihat samar plester di bagian dahi dan lebam biru di sudut bibir serta tulang pipinya.

Belum sempat Aluna bersuara, adiknya itu telah menghilang di balik pintu UKS.

Di luar, Alura berpas-pasan dengan Mia. Gadis berkacamata itu lumayan kaget mendapati keadaan kacau Alura.

"Alura?! Kamu gak apa—"

"Kelas Alexa di mana?" potong Alura tepat sasaran.

Tergagu Mia menjawab. "MIP—MIPA 1. Kenapa? Kamu mau kemana, Al?!"

Tak memedulikan panggilan Mia, langkah Alura terus bergerak.

Hanya saja, saat hendak menaiki tangga menuju lantai 2, ekor mata gadis itu menangkap sesuatu. Ada Nadia—ibunya yang tengah berjalan dari arah lobby.

Tubuh Alura menegang, antara kaget sekaligus tak percaya jika Nadia datang.

"Mam—"

Plak!

Kepala Alura tertoleh ke samping setelah menerima tamparan tanpa diduga dari Nadia. Menyalurkan rasa nyeri pada sudut bibirnya yang lebam.

"Anak kurang ajar! Mau sampai kapan kamu terus-terusan buat ulah, hah?! Bikin malu!" bentak Nadia tak bisa menahan luapan emosi. "Sama saja seperti Papamu, suka bermasalah!"

Nadia terus melanjutkan ocehannya, mengabaikan seorang guru yang mencoba menyabarkan wanita berpenampilan formal khas kantoran itu.

"Tenang, Bu. Kita bisa bicarakan
baik-baik di ruang BK."

"Gak perlu! Saya ke sini bukan mau urus dia," tunjuk Nadia sadis. "Tapi mau bertemu Aluna, anak saya."

Ada rasa nyeri lain yang merayapi Alura. Hanya saja bukan pada luka-lukanya, melainkan di hati. Menimbulkan sesak tak mengenakkan di dada Alura yang mendadak bergemuruh.

Tadi Nadia menelepon Aluna untuk janjian mengajak anaknya makan siang bersama, yang tak diduga diangkat orang lain dan mengatakan kalau Aluna pingsan dan sedang di bawa ke UKS. Dari kantor, langsung saja Nadia tancap gas menuju SMA Neo yang jaraknya tak terlalu jauh. Baru sampai pagar depan sekolah, Adnan menelepon. Melapor kalau lagi-lagi Alura membuat ulah.

Dan sekarang, sangat beruntung Nadia bisa bertemu Alura tanpa repot mencari anak bungsunya.

Sang guru BK yang tak tau menahu pun tampak bingung dengan pernyataan Nadia dan segera mengarahkan ke ruang UKS.

Kedua orang dewasa itu segera angkat kaki.

"Alura kamu ke ruang BK duluan," pesan sang guru.

Bibir gadis itu tetap bungkam. Mata lelahnya menghantar kepergian Nadia yang lewat begitu saja lalu menghilang di belokan lorong.

Alura mendengus remeh. "Muka udah bonyok gini aja masih gak dipeduliin. Mungkin kalau lo mati juga gak bakal ada yang peduli, Al," kekehnya menertawakan diri sendiri.

Merasa miris menerima kenyataan jika Nadia datang bukan untuk mengurus masalah yang barusan ia perbuat. Bisa saja nanti Adnan—ah tidak mungkin. Papanya pun sudah malas meladeni kelakuan Alura. Jika berbaik hati, mungkin saja Sandra yang datang. Jika tidak, palingan ujungnya seperti yang sudah-sudah. Tak akan ada yang datang memenuhi panggilan pihak sekolah untuk membahas kenakalan Alura.

Menghempas perintah untuk pergi ke ruang BK lebih dulu, Alura berjalan tak tentu arah menuju gedung A lama. Seingatnya di sana ada kolam renang indoor.

Ia sudah berencana, jika nanti dalam keadaan kosong, Alura berniat menceburkan diri. Menenangkan pikiran kacaunya sejenak dengan berdiam di dalam air. Kebiasaan yang selalu dilakukannya agar kelak merasa lebih baik.

Tanpa sadar, seseorang di belakangnya terus menguntit Alura. Menonton pergerakan gadis itu dari jauh dengan tatapan sendu.

"Maafin gue, Al."

👈👉

Bunyi heboh dari pintu kamar yang terbuka kasar, spontan menarik ke sadaran Alura yang hampir tertidur. Kepalanya pusing karena kelelahan berkelahi di bawah guyuran hujan yang cukup lama, sampai lupa waktu ketika berendam di kolam renang. Alura merasa dirinya telah masuk angin. Di tambah, malam itu Alura belum juga mengisi perutnya. Dan dari serangkaian kegiatan menguras tenaganya hari ini, ia hanya memakan sebungkus roti beserta susu kotak pemberian Mia tadi pagi.

"Turun. Bokap lo panggil tuh," ucap Tania malas.

Alura kembali menarik bed cover sebatas dagu, dingin. Padahal tak menyalakan AC sama sekali.

"Bilang aja gue udah mati," serak Alura melanjutkan tidur.

Sungguh tak ada tenaga kalau harus mendengar ocehan Adnan lagi. Ia hanya ingin istirahat.

Decakan tak suka terdengar dari arah Tania yang terpaksa masuk. Dalam satu sentakan gadis berbando ungu itu menyingkap bed cover Alura. "Bangun! Jangan bikin gue susah kenapa, sih?!"

Alura tetap diam. Ia memutar tubuh memeluk guling.

"Bangun, Alura! Bangun!"

"ALURA!"

Gadis itu menghela napas panjang mendengar bentakan menggelegar Adnan yang tengah berdiri di ambang pintu. Habislah dia.

Lirikan malas Alura kian membuat Adnan geram. Kaki panjang lelaki itu dengan cepat menghampiri gadis pucat tersebut, menyeretnya tanpa ampun menuju kamar mandi.

Hanya tersisa sedikit tenaga, Alura tak bisa melawan. Ia pasrah saja begitu Adnan menghempasnya sampai terduduk di samping closet. Sedikit membenturkan kepala Alura mengenai pinggiran keramik tersebut.

"Anak sialan! Buat ulah apalagi kamu?!"

Adnan bergerak ke bilik di sampingnya. Seember air di dari ruang shower mengguyur sempurna membasahi tubuh Alura. Diakhiri dengan ember kosong yang dilempar hingga mengenai kepala Alura.

Dari pintu toilet, Tania terkaget.

Ia sempat memegang kaki saudari tirinya yang terasa hangat, kemungkinan besar Alura demam. Mengingat wajah gadis itu juga lebih pucat dari biasa.

"Buat susah Mama kamu saja! Belum ada seminggu sekolah malah ikut tawuran! Kelahi tak jelas!"

Alura mendongak. Sudut bibir lebamnya membentuk senyum tipis.

Tawuran dari mana, adanya dia ikutan dikeroyok tanpa alasan yang jelas karena menolong Raksa dan kawan-kawan.

Namun, percuma. Dijelaskan pun, Alura yakin Adnan tak akan mau mendengar. Benar pun pengakuannya, di mata orang tuanya tetap ia yang salah.

Alura salah dan selalu dipandang seperti itu.

"Sialan. Masih bisa kamu tersenyum?!"

Plak! Plak!

Tamparan beruntun mendarat di kedua pipi Alura tanpa kasihan. Memerah, itulah yang bisa Tania lihat.

Menyaksikannya, Tania hendak maju menghentikan Adnan. Tapi entah sejak kapan Sandra di belakangnya bergerak cepat menahan.

"Biarkan," ucap Sandra. "Kamu jangan bikin Papa makin kesal."

"Ma, dia demam," cicit Tania kebingungan. "Mama bicara apa sampai Papa bisa semarah itu?!"

Jujur Tania tak ingin peduli. Namun, ia masih punya rasa kemanusiaan. Dan kelakuan Adnan sudah di luar batas. Bisa-bisanya orang sakit masih disiksa.

Tania bergidik ngeri membayangkan jika sampai membuat sebuah kesalahan. Entah apa yang akan Adnan lakukan padanya kelak.

Sandra berdecak tak suka. "Peduli apa kamu. Bagus belajar, bentar lagi persiapan olimpiade 'kan? Jangan sampai kalah sama Aluna."

Hitung-hitung sedikit fitnahannya terhadap Alura adalah bayaran akibat ulah gadis itu sudah membuatnya batal mengikuti arisan tadi siang. Adnan mendapat telepon dari sekolah untuk diminta datang dan Sandra lah yang disuruh mewakilkan.

"Ma!"

"Tania."

Gadis berambut hitam itu tak bisa menolak kala sang ibu menarik paksa untuk keluar dari kamar Alura. Tak bisa lagi mengawasi kemarahan Adnan.

Terakhir yang Tania lihat, papa tirinya itu begitu tega melempari Alura yang tertunduk tanpa perlawanan dengan barang apa pun yang bisa dijangkau dari rak di atas wastafel.

Jambakan itu berhasil mendongakkan wajah pucat Alura. Mata gadis itu setengah terpejam.

"Jawab saya Alura! Mau jadi apa kamu kalau begini terus?! Jawab!"

Tak ada jawaban dari rentetan pertanyaan yang sejak tadi Adnan lontarkan. Hanya kekehan sayup-sayup yang berhasil Alura keluarkan, sekuat tenaga ia menahan pusing yang semakin terasa parah. Tubuh kurusnya pun mulai menggigil ke dinginan.

Adnan menghempas kepala lemah itu begitu saja. Membentur pinggir closet untuk kesekian kali.

"Saya bosan mengurus kamu!"

"Kalau ujungnya bosan, harusnya jangan dibuat," tawa Alura muak.

Ia cuma ingin tidur. Kenapa terlalu sulit untuk dimengerti semua orang?

Tanpa gentar Alura menatap nyalang Adnan. "Asal Papa tau, Al juga ca—"

Plak!

"Capek," ucap Alura tanpa suara.

Matanya mulai memanas setelah tangan besar Adnan berhasil menghempas tubuh ringkihnya hingga tersungkur di atas lantai kamar mandi.

"Anak sialan! Tak tau diuntung, sial betul aku menikahi ibumu!"

👈👉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro