Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

19

Sesendok jus cabe rawit dari wadah hampir berpindah ke dalam mangkok bakso Alura. Harusnya, kalau saja Raksa dan Nathan tak menahan pergelangan tangan gadis itu secara tiba-tiba.

Keheningan merajai. Kepala ketiganya saling menoleh, menatap satu sama lain. Begitu pula Aji dan Chena yang berada di sebelah mereka.

"Apa?" plongo Alura kebingungan.

Pergerakan Alura terhenti di kala dua pemuda berwajah tak kalah linglung itu masih setia memeganginya. Menahan agar sesendok cabe tetap diam di tempat.

Nathan berdeham. Dia yang pertama kali melepas diri, sebelum menarik tangan Raksa kemudian. "Jangan pakai cabe. Lo 'kan gak tahan pedas."

"Tau! Nanti malah nyusahin," sambung Raksa dengan nada menghina.

Kemudian memindahkan wadah jus cabe ke meja kantin yang lain agar Alura tak ngeyel untuk mencoba. Pasalnya gadis berambut sebahu itu keras kepala jika sedang menginginkan sesuatu.

Tipikal orang yang harus memenuhi kemuannya, baru bisa puas.

Gadis yang dilarang menghela napas pasrah. Dua manusia di samping dan depannya itu memang paling tau betapa rendah toleransinya terhadap makanan pedas. Yah, walau begitu sesekali Alura ingin juga menyantap yang pedas-pedas meski akan berujung menangis kehebohan karena kepedasan. Semasa berteman, Raksa sudah berpengalaman jelas. Makanya dia menyebut Alura menyusahkan kalau sudah kepedasan.

"Ck! Rese! Cuma dikit doang pun."

"Gak boleh!"

"Gak boleh!"

Nathan dan Raksa spontan menoleh  setelah memberi respon bersamaan. Wajah terkejut mereka menggundang tawa dua adik kelas di sana. Sementara Juna dan Renza yang baru berhadir tapi diam-diam memerhatikan dari antriam konter makanan langsung geleng-geleng maklum.

Ibaratnya, Raksa dan Nathan itu adalah Tom and Jerry versi manusia jadi-jadian. Kadang akur, tapi keseringan bertengkar kalau sudah bersama. Ada saja hal sepele yang bisa menjadi pematik masalah bagi keduanya.

Mata besar Raksa mendelik. "Gak kreatif amat anjir. Main copy paste mulu lo!"

"Perasaan lo yang ngikutin gue!"

"Lo kali!"

"Ya, lo lah!"

"Heh! Gak level amat gue yang ganteng gini jiplak manusia burik kayak lo!" sembur Raksa melempar tisu.

"Tangan lo dijaga, ya. Setan! Muka lo sebelas dua belas sama panci gosong aja bangga!" Gantian dibalas Nathan.

"Wah, mulut lo! Gue beli juga, nih. Tukang jiplak, dasar!"

"Gue beli duluan mulut lo! Najis amat ngikutin lo!"

Gebrakan meja dari arah sudut, membuat perhatian Raksa dan Nathan teralih. Keduanya melirik tajam pada Renza yang lempeng melanjutkan acara makannya.

Telunjuk lelaki itu tertuju pada Alura yang diam-diam sudah pindah meja. Tersenyum lebar mencampurkan sesuatu ke dalam kuah baksonya. Sejak tadi dia sudah ngiler parah membayangkan sensasi pedas bergerumul di dalam rongga mulutnya. Udara dingin selepas hujan, membuatnya kian tak sabaran.

Bibir Renza bersuara, "lihat itu cewek kesayangan kalian. Dua sendok cabe udah masuk ke dalam mangkok baksonya!"

"Siap-siap aja, kalian direcokin. Gue gak ikutan, deh." Juna memilih membawa kabur sepiring nasi gorengnya entah ke mana, diikuti Chena juga Aji yang telah selesai makan. Sekalian, meninggalkan tagihan makanan.

Siapa tau dari abang kelas mereka yang tersisa ada yang baik hati membayar, begitu pikirnya.

Lain hal dengan Renza yang santai di tempat. Tak perlu repot melarikan diri, ia akan tetap aman.

Memang siapa yang berani menganggu ketenangan ketua kelas galak itu, kecuali ingin tau rasanya ditempeleng pakai buku ensiklopedia seperti Nathan dan Raksa.

👈👉

"Masih pedas, Al?"

Mia kembali menyodorkan tisu kering pada Alura yang sibuk mengompres bagian luar bibirnya menggunakan es batu. Air dari es batu comotan bekas jus itu menetes membasahi meja belajar gadis bermulut kemerahan tersebut.

Di bangku sebelah ada Raksa yang menghela napas kasar.

Kali ini Alura memang tak sampai meraung-raung karena kepedasan atau menahan sakit perut, tapi hanya diam sembari mendinginkan rasa panas di bibir. Respon yang membuat lelaki berkulit tan itu terpaksa berpikir keras.

Ujung sepatu mahal Raksa menendang kecil pinggiran kursi Alura sampai gadis itu menoleh.

"Lo kenapa?"

Alura menunjuk diri sendiri sebelum menggeleng.

"Jangan bohong. Gak bakat."

"Apaan. Orang memang gak kenapa-napa juga," lirih Alura lalu membuang pandang.

Setengah bohong setengah berkata jujur.

Entahlah, ia sendiri juga sedang bingung tengah mengalami badai moody-an seperti apa hari ini. Ada rasa sedih bercampur kecewa jika pikirannya kembali melayang pada percakapan Adnan dan Aluna pagi tadi yang tak sengaja didengarnya, tentu saja rentetan kalimat menyakitkan dari mulut Adnan seperti biasa.

"Bukannya gue udah biasa? Tapi kenapa masih bikin kepikiran, sialan!" batin Alura tak terima.

Ia marah, tapi tak tau harus menyalurkan ke mana dan pada siapa.

Dipikirnya jika mengalihkan perhatian dengan rasa pedas cabe, isi kepalanya akan benar-benar lupa kalimat sadis yang keluar dari mulut ayah kandungnya itu.

Namun, tampaknya Alura salah.

Sudahlah pedas mulut, hatinya juga tak kunjung dingin. Gejolak amarah tertahan masih betah bergerumul di sana. Belum bisa ia lampiaskan.

Tiba-tiba saja gadis itu bangkit. Sontak, derit kursi yang beradu kasar dengan lantai membuat sebagian fokus murid-murid langsung tertuju pada si anak baru.

Melihat Alura akan keluar dari kelas, Renza menoleh pada Raksa. Bertanya lewat tatapan mata yang hanya dibalas kedikkan bahu cuek, sebelum lelaki itu gegas menyusul kepergian Alura.

Tepukan di bahu Renza bersarang. "Mereka mau ke mana, woi?" tanya Juna penasaran.

"Mana gue tau. Nanti juga balik sendiri," malas Renza menanggapi.

Sebenarnya ia ingin mencegah sepasang biang kerok kelas itu. Namun, berhubung lagi panen tiga sariawan di bibir atas-bawah dan mereka pun hanya diberi tugas leha-leha selagi gurunya rapat, jadilah Renza tak terlalu mempermasalahkan. Tak pengaruh apa-apa juga pikirnya.

Bahu Renza kembali dipukul, lalu Juna mencondongkan tubuh.

"Lo ngerasa gak, kalau Raksa sebegitu peduli sama Al?"

"Daripada gosip. Bagus kerjain tugas lo."

Bukan gaya Renza jika harus bergosip ria. Apalagi membicarakan teman setongkrongan sendiri.

Namun, ia lupa jika lawan bicaranya kali ini adalah Arjuna Abadi Sitohang, yang tak akan bisa diam walau sudah diancam akan kena gebuk buku paket. Lelaki suka gosip itu tak akan gentar.

Maju terus pantang mundur! Itulah motto hidup dunia perghibahan seorang Arjuna.

"Halah, Ren. Gue yakin lo penasaran juga 'kan?! Kelihatan dari lubang hidung lo," bisik Juna kembali memajukan meja agar lebih merapat pada Renza yang duduk di depannya.

Lirikan sinis sang ketua kelas berhasil didapat Juna. "Diam. Sebelum ini kamus nyasar ke muka lo!"

"Jangan bilang... Raksa naksir Al?" ceplos Juna. "Pantas gak ngejar Arche lagi. Waw."

"...."

"Ya 'kan, Ren? Tapi mereka cocok juga, sih."

"...."

"Eh. Tapi, Alura 'kan mantan Nathan, ya? Emang gak apa-apa tuh kalau—"

Celotehan bernada rendah tapi sangat mengganggu itu kontan terhenti begitu tubuh Renza berbalik dengan kamus bahasa Jerman super tebal yang sudah teracung di sebelah tangannya. Siap menghantam wajah menyebalkan Juna kapan saja, jika lelaki itu tak kunjung membungkam mulut bocornya.

"Ren, canda doang gue tuh," melas Juna cengengesan.

Meja dan kursinya mundur teratur ke tempat semula.

"Coba bersuara lagi?"

Kepala Juna geleng-geleng manis. "Ampun, Pak Ketua. Ailopyu."

Baru sebentar kelas kembali tenang. Seorang siswa heboh memasuki kelas XI MIPA 9 itu tanpa aba-aba. Wajah berkeringat disertai napas ngos-ngosannya tak menghentikan niat untuk menyampaikan berita genting.

Sepasang matanya mencari cepat keberadaan Renza, orang yang ia ketahui sebagai ketua kelas dari kelas tersebut.

"Woi, Renza! Itu anak kelas lo si Al-Al itu! Guling-guling sama Alexa di lorong sebelah lapangan!"

Renza hanya bisa memijat pelipisnya saja mendengar nama Alura dan Alexa menyatu dalam satu kalimat.

Sementara Juna bersuara. "Lapangan mana, anjir. Lapangan kita banyak!"

"Haduh!"

"Haduh ape? Kontan lo kalau laporan, jangan kredit!"

"Lapangan outdoor! Di bawah!"

Mulut Juna spontan membulat, "oh... yaudah, sih. Santai aja."

"SANTAI APANYA GILA?!"

"LAH LO KENAPA NGEGAS!"

"MASALAHNYA ITU KEPALA RAKSA BOCOR KENA SAMBIT POT BUNGA!"


👈👉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro