17
Satu hari terdiri dari 24 jam. Normalnya hanya delapan jam Jeno berada di sekolah. Paling mentok pulang malam pun karena ada latihan basket atau urusan osis dan itu tak pernah jadi masalah bagi murid panutan SMA NEO tersebut. Tapi rasanya untuk hari ini, Jeno merasa waktu berlalu beribu lebih panjang dari biasa.
Lelaki yang baru saja keluar dari ruangan BK itu menghela napas kasar. Alisnya menungkik tajam, memperjelas wajah kesalnya.
"Cewek aneh sialan. Hobi lo kenapa nyusahin orang mulu, sih!"
Ingatkan Jeno untuk menjitak batok kepala Alura sekuat-kuatnya nanti.
Gadis itu tengah dijatuhi hukuman menyikat toilet cewek yang ada di seluruh lantai setelah ketangkap hampir melompati dinding pembatas sekolah bersama Raksa dkk yang berhasil kabur duluan.
Awalnya Jeno hendak langsung pulang setelah membantu Mark mengantar tumpukan buku latihan ke ruang guru. Namun, panggilan guru BK yang menjadikan Jeno sebagai murid kesayangan itu mengagalkan segala rencana. Jadilah ia diberi amanat untuk memeriksa hasil kerja Alura dan wajib membawa gadis itu.
Sentuhan pada bahu Jeno mengalihkan emosinya sejenak. Dilihatnya Aluna telah berdiri tegak di belakang.
"Mau balik sekarang?"
Aluna mengulum senyum tipis. "Boleh kalau lo udah gak sibuk."
"Hari ini gak ada leskan?" tanya Jeno yang dibalas gelengan Aluna. "Tunggu bentar, ya? Gue mau ngecek Alura dulu."
"Hah? Alura? Dia kenapa lagi, No?"
Dalam satu hari, entah berapa kali nama saudari kembarnya itu terdengar. Ada saja yang menyebut nama gadis itu. Mulai dari guru-guru, murid yang tak sengaja berseliweran di depannya, bahkan Jeno juga.
Ekspresi Jeno yang tadinya agak cerah karena melihat Aluna, kini berubah masam lagi. "Tau, deh. Buat masalah aja bisanya."
"Terus, urusannya sama kamu apa?"
"Guru BK suruh aku buat awasi itu anak. Mau nolak juga gimana?"
"Maksud aku, kenapa harus kamu?"
Kedua bahu Jeno terangkat cuek. "Mau gak mau."
Tangan Jeno mengusap tengkuk yang tidak gatal. Bingung sendiri hendak menjawab bagaimana.
Habisnya guru BK mereka itu tak lain adalah tante Jeno sendiri, yaitu adik kandung Tiffany.
Di sekolah, fakta tersebut hanya diketahui keduanya saja. Sebab ada peraturan jika staff pengajar atau administrasi sekolah tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan murid. Kalau sampai ketauan, bisa kena sanksi bahkan pemecatan.
"Terus kenapa lo mau? Biasa juga gak pedulian."
"Kalau gue bilang karena naksir. Respon lo bakal gimana? Cemburu gak?" Sepasang alis Jeno naik turun menggoda. Matanya mengerling nakal sebelum mengusak gemas pucuk kepala Aluna yang terlihat tengah menahan sebal. "Canda, Luna cantik. Manusia model begitu bukan tipe gue."
"Awas ke makan omongan, Jeano Batara. Alura 'kan cantik, walau kelakuannya aneh."
"Kalau pun harus naksir gadis aneh. Maunya ya tetap lo, Aluna." Sudut bibir Jeno membentuk senyum lebar hingga matanya tinggal segaris.
"Ck! Jadi maksudnya gue aneh gitu?!"
Nada pura-pura marah dari Aluna malah membuat Jeno gemas mengunyel kedua pipi gadis itu.
"Iya lo aneh dan gue suka."
"Dih, Jeno gembel! Pergi sana!"
"Nanti gue pergi beneran, lo kangen, Lun."
"Jeno!"
"Iya ampun iya." Jeno gesit menghindar dari pukulan bertubi Aluna.
Langkahnya mulai menjauh setelah berpesan menyuruh Aluna untuk menunggu di pos satpam agar tak kepanasan.
Seperti biasa, nantinya Jeno akan mengantar Aluna pulang dengan selamat kembali ke rumah.
Belum ada lima belas menit dari bel pulang, sepanjang melintasi lorong lantai satu sudah tak banyak lagi murid kelas sepuluh yang tersisa. Mereka sudah menghambur, entah itu memenuhi lobby sekolah bersama jejeran kendaraan jemputan atau ke area parkir—tempat harusnya Jeno berpijak. Bukan malah mengentuki satu persatu pintu toilet perempuan untuk memastikan keadaannya kosong sebelum melongok ke dalam mencari Alura.
Ini sudah toilet kedua. Meski keadaannya dalam keadaan seperti yang diharapkan. Namun, batang hidung minimalis milik gadis pembuat masalah itu belum kunjung Jeno temukan.
Menggaruk belakang kepala, lelaki itu mengeram kesal. "Terakhir kalau gak ada juga, gue malas periksa sisanya!"
Total setidaknya masih ada enam toilet lagi di lantai dua, tiga dan empat.
Niat hati Jeno akan melapor via telepon saja kalau habis ini tak juga menemukan Alura.
Perutnya sudah lapar meronta minta diisi. Bayangan menu makan siang buatan Tiffany mulai memenuhi isi kepala Jeno.
"Eh... bentar," cegat Jeno pada salah satu adik kelas yang barusan keluar toilet.
Seketika junioran tingkat itu gelagapan menanggapi Jeno. Sembari membatin perihal mimpi apa yang sudah dialaminya tadi malam, sampai bisa diajak bicara oleh pangeran sekolah saat siang bolong begini.
"Y—ya, Kak Jeno?"
"Di dalam ada Alura?" tanya Jeno to the point. "Anak kelas sebelas. Tingginya se-lo, rambut pendek, seragam kusut, mukanya nyebelin."
"Oh... Kakak itu."
"Dia di dalam?"
Kepala adik kelas itu menggeleng. "Enggak. Tapi aku lihat Kakak itu jalan ke sana."
Telunjuk gadis belia itu terarah menuju gedung A lama, membuat Jeno menolehkan pandangannya.
Mau apa Alura ke sana?
Seingat Jeno hanya kolam renang di lantai satu beserta lapangan indoor di lantai dua. Di luar gedung, terdapat taman yang sekarang sudah sangat jarang didatangi karena terkenal angker, sebab pernah ada yang lompat bunuh diri di sana.
"Kalau Kak Jeno mau cari, coba aja ke sana. Tadi aku sempat lihat kayaknya Kakak itu lagi nangis," celoteh si adik kelas yang membuyarkan lamunan singkat Jeno.
Kening lelaki itu mengkerut kebingungan.
Alura menangis? Memangnya bisa?
Antara enggan campur penasaran, Jeno memilih memastikan.
Ia sendiri juga kurang paham kenapa malah ingin mencari tau ketimbang segera pulang.
Barang kali mendengar kata menangis membuat Jeno cukup tertarik.
Seperti apa tampang si pembuat onar ketika menangis?
Dan apa alasan manusia bebal itu sampai mengeluarkan air mata?
Padahal sejauh Jeno atau siapa pun yang melihat Alura adalah sosok yang seolah tak punya beban apa pun dihidupnya.
Sehari-hari yang gadis itu lakukan adalah datang terlambat, tidur di kelas, merusuh bersama komplotan tak jelasnya, mengusili murid atau guru, dan hal tak berguna lain. Sering mendapat nilai ulangan paling jelek seangkatan pun, Alura akan tetap tertawa ringan sembari mengejek Juna atau Raksa dan mengumpati kebodohan sendiri.
Bahkan pernah Jeno tak sengaja mendengar Alura dikatai buruk oleh salah satu guru mereka, tapi gadis itu tetap menyungingkan senyum santai. Seolah deretan kalimat pedas itu hanyalah angin lalu.
Sebelum memeriksa bagian dalam gedung A lama, Jeno berbelok ke taman yang ada di belakang.
Sunyi. Hanya terdengar gesekan dedaunan pohon rindang di dekat sana yang menemani langkah Jeno. Hingga akhirnya lelaki itu melihat kepulan asap tak jauh di depan sana.
Sesaat Jeno pikir tengah ada kebakaran, kalau saja tak melihat sesosok gadis yang tengah membelakanginya sedang duduk santai di bangku taman.
"Lo nge-vape?!" hardik Jeno.
Tubuh mungil itu tak lantas berbalik. Buru-buru ia mengusap sesuatu menggunakan punggung tangan, lalu berdeham kecil.
Sekali lagi Alura menghisap lebih dalam rokok elektriknya. Senyum tipis gadis berwajah oval itu tertampil begitu berhadapan dengan ekspresi masam Jeno.
"Kelihatannya? Lo punya mata 'kan?"
"Sinting," gumam Jeno malas.
Alura mendengus geli.
Barusan ditelepon ia mendengar umpatan yang sama. Namun, dengan rasa yang berbeda ketika mendengarnya.
"Apa? Lo mau laporin gue ke BK? Silakan, palingan itu guru lama-lama muak dengar nama gue terus."
Bibir lancang Alura menyemburkan perlahan asap vape tepat ke depan wajah dingin Jeno.
Sepasang sorot elang lelaki itu tak lepas menatap Alura. Kedua sudut mulut gadis itu memang tengah merekahkan sebuah senyum lebar. Namun, hanya melihat sekilas pun ia tau kalau gadis di depannya itu sedang kacau. Ada jejak air mata yang masih tertinggal di pelupuk yang membasahi bulu mata lentiknya. Terlebih, sorot cerah yang kerap Jeno temukan kini berubah sendu karena sebuah alasan.
"Berhenti buang asap ke muka gue!"
"Lo lucu," kekeh Alura mengulangi perbuatannya. "Kalau gak mau kena, ya pergi sana. Toilet juga udah bersihkan?"
Di sini Alura paham kuasa uang.
Akibat tertangkap dan kena hukum sendirian, Nathan membayar tukang bersih-bersih sekolah untuk menggantikan hukuman Alura. Sementara gadis itu molor di markas bunglon setelah kenyang menyemil gorengan yang dibawa dari tongkrongan belakang sekolah.
"Mending lo pulang, sebelum diusir sama penghuni di sini."
Mata Alura bergerak menatap sekitarnya yang sepi.
Tutur dingin dengan wajah tanpa ekspresi Jeno cukup membuat gadis itu kelimpungan ketika mendengar kata 'penghuni'.
Sebenarnya tadi ia sempat mengalami hal aneh, tapi karena pikirannya terlalu kalut maka itu Alura tak terlalu peduli.
"Pe—penghuni apaan?!"
"Menurut lo?" Sebelah alis tebal Jeno terangkat naik. "Perlu gue perjelas?"
Mia pernah bilang, bila taman gedung A lama itu angker. Begitu juga celetukan Raksa, Juna, Aji dan Chena yang katanya pernah ditampaki sesuatu.
Namun, walau begitu pun tetap saja manusia-manusia bermental baja itu sesekali mendatangi taman ini.
Sesungguhnya Alura bukan tipe yang pemberani pada hal mistis. Hanya saja sepetak tanah asri itu satu-satunya pilihan tepat sebagai tempat melepas stres sesaat.
Kalau sampai nekat nge-vape di markas bunglon, yang ada Alura kena kothbah akbar berjama'ah. Terutama mulut bawel Nathan dan Raksa, kenyinyiran Juna, omelan galak Renza sampai ejekan kurang ajar Chena dan Aji.
Bisa-bisa Alura jadi stres berkepanjangan.
Menutupi ketakutannya, Alura terkekeh ringan. "Makasih atas perhatiannya saudara Jeano Batara, tapi lebih mending lo aja yang pulang."
"Lo gak percaya di sini ada penunggunya?"
"Percaya. Gue percaya makhluk gituan ada, karena udah lihat juga."
Gantian kali ini Jeno yang bergidik mgeri. Niat menakut-nakuti Alura, justru ia jadi ketar-ketar sendiri dalam hati.
"Nih, satu di depan gue." Tepukan ringan Alura mendarat pada bahu Jeno.
"Lo 'kan bukan manusia, tapi setan penganggu."
👈👉
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro