Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

16

"Gue kudu sembunyi di mana, anjir!" monolog Alura sambil celingukan.

Setelah nekat menedang tulang kering Jeno sebagai upaya melarikan diri, sekarang mereka mode kejar-kejaran tak jelas sampai Alura bingung sendiri mau ke mana. Kalau pergi ke markas bunglon itu namanya bunuh diri. Bisa jadi Alura ditelan Raksa and the gang hidup-hidup!

Rambut tergerai gadis itu bergerak seirama ketika menoleh.

"Anjir, Jeno! Kaget!"

Tangan Alura naik turun mengusap dadanya. Ya dadanya sendiri, masa dada Jeno.

Lelaki berwajah kusut yang terlihat makin galak itu dengan cepat mencekal lengan ramping Alura.

"Jen, udahan kenapa?! Gak bosan lo ngurusin gue terus, hah?"

Rahang Jeno terkatup rapat. Lelaki tegap itu tetap diam.

Langkahnya mulai kembali menyeret Alura menuju tempat awal, yaitu ruang BK.

Pikir Jeno, enak saja sudah menendang kakinya. Sekarang Alura memelas minta dilepaskan. Adanya, Jeno akan makin mengompori guru BK mereka untuk memberi hukuman pada biang kerok satu ini agar tau rasa.

Sentuhan pada punggung tangan Jeno terasa. "Ampun, Jen! Astaga gue cuma pesan makan, itupun bayarnya gak pakai uang lo. Tapi kenapa ribet banget, sih?!"

"Lo tau aturannya 'kan?"

"Tau!" jawab Alura. "Sebagai teman yang baik, alangkah bagusnya lo bebasin gue dan biarin makan sekarang. Ini udah bel lho, Jeno yang baik hati dan tidak sombong walau galak mirip gorila."

Jeno mendelik sebal. Lagi-lagi Alura mengatainya mirip gorila.

"Berisik."

"Jeno, ck!"

Padahal Alura sedang dalam mood bagus. Namun, kenapa harus tertangkap Jeno lagi dan lagi. Lalu sialnya lelaki itu seakan tak pernah bosan menjebloskannya ke BK.

Sepanjang jalan, di lorong sepi itu hanya terdengar rengekan Alura yang minta dilepaskan.

"Woi lepasin aja kenapa, sih?!"

"Kata gue sih kalau gak dilepasin juga, ini lo naksir sama gue."

Punggung lebar Jeno kontan berbalik. "Kata gue mending lo bangun, mimpi lo ketinggian."

"Ya makanya lepas! Modus amat biar pegang-pegang tangan gue!"

"Pilih gue tarik tangan apa baju lo biar robek sekalian?!"

"Dih, mau berbuat pelecehan lo!"

Dengusan menghina dari Jeno terdengar mengusik Alura. Wajah penuh ekspresi mengejek itu menoleh ke belakang. "Tipe gue bukan papan triplek."

"Jeno, gue tendang lagi lo, ya?!"

Satu sentakan tiba-tiba membuat Alura yang tak siap terikut maju. Kening lebar gadis itu begitu mulus mendarat di dada lebar Jeno yang menurutnya sekeras batu batako.

"Benjol deh jidat gue," pasrah Alura mengusap dahi sebelum mendongak nyalang pada Jeno.

Suara berisi kalimat makian dari mulut Alura nyaris keluar, andai saja matanya tak menangkap sosok Aluna yang barusan keluar dari ruang BK.

Tatapan mereka bertemu.

Jeno yang penasaran dengan diamnya Alura itu pun segera berbalik.

Senyum manis Aluna menyambut ekspresi kaget Jeno. "Kalian ngapain, No, Al?"

"Hah? I—itu—"

"Pakai acara gandengan segala."

Seketika Jeno latah menghempas kasar tangan Alura begitu saja.

Tadinya kesempatan itu ingin Alura gunakan untuk kabur. Namun, menangkap sinyal-sinyal cinta monyet dibumbui kecemburuan dari pertanyaan Aluna barusan membuat Alura berpikir usil.

Dipeluknya lengan kokoh Jeno sembari tersenyum lebar. "Ini Jeno minta temenin ke BK buat ambil sesuatu. Ya 'kan ganteng?"

"Ganteng?" lirih Aluna.

"Lo—"

"Ya gak usah malu, Beb. Berhubung ini udah di BK. Kalau gitu...," kalimat itu tergantung. "kalau gitu gue kabur dulu. Bye!"

Secepat kilat sepasang kaki Alura menjauhi Jeno dan Aluna yang terdiam, mencoba mencerna situasi.

Di tempatnya Jeno meringis kesakitan. Sebab sebelum melarikan diri, Alura sempat-sempatnya mencubit. Jeno hendak bergerak mengejar kalau saja Aluna tak mencekalnya. Ekspresi gadis pucat itu jelas mencerminkan banyak pertanyaan yang harus jawab.

"Gak perlu dijelasin. Aku mau balik ke kelas."

👈👉

Rutinitas pelajaran PenJasKes hari ini masih sama seperti minggu kemarin, yaitu praktikum men-dribble bola. Bedanya untuk pertemuan kali ini, di satu jam terakhir nanti akan diadakan pengambilan nilai. Selebihnya, sisa jam pelajar boleh digunakan untuk apa pun.

Terserah. Mau itu latihan men-dribble, makan ke kantin, atau sekedar bercengkrama di bawah pohon pinggir lapangan basket outdoor, bahkan molor sekali pun tak akan ada yang melarang.

Namun, bukan itu yang membuat Alura malas sampai ke ubun-ubun. Tapi kericuhan di bawah sana.

Dari tribun, gadis berseragam olahraga itu mengubah posisi kembali duduk. Semula membungkuk jadi bersandar ke punggung bangku, lalu balik bungkuk lagi. Kadang menyamping, kemudian bersandar lagi. Terus saja berubah tiap beberapa menit sekali demi membunuh  kejenuhannya.

"Hhhhh... bosan!" keluh Alura kesekian kali.

Alura ingin ke markas bunglon. Tapi omelan Renza, bacotan Juna, plototan Nathan, jitakan Raksa, serta mata awas Jeno yang sejak tadi terus curi pandang cukup mengurungkan niatnya untuk kabur.

Hari itu giliran kelas mereka memakai lapangan outdoor. Cukup terik dan membuat malas—seharusnya.

Tapi seolah tak berlaku bagi kaum hawa yang semangat mengerubungi Jeno minta diajari main basket sekalian modus. Padahal sejak awal, lelaki galak itu memasang wajah sangar super kemusuhan. Namun, rupanya tak menggentarkan nyali ciwi-ciwi haus belaian. Hal yang sama juga terjadi pada kubu yang berkerumul membentuk lingkaran menutupi Nathan. Masih dengan tujuan dan modus yang sama, mencari kesempatan merebut perhatian dua pangeran sekolah tersebut.

Alura berdecak. "Punya gedung indoor, biar adem. Malah pilih panas-panasan!"

Sebuah sentuhan memberi kejutan kecil pada omelan sang gadis berwajah masam.

"Kayaknya Pak Bondan sengaja, biar kita kena sinar matahari," ucap Mia tiba-tiba sudah mengambil tempat di sebelah.

"Hadeh... positif banget memang pikiran lo. Tapi ya gak siang bolong juga!"

Mia terkekeh. "Semangat dong, Al. Kayak mereka tuh."

Dagu gadis maniak warna ungu tersebut terarah pada kehebohan teman-teman mereka di bawah sana.

Entah disebut sial atau beruntung, hari itu kelas mereka memiliki jadwal yang sama dengan MIPA 1 dan 3 yang katanya tempat para pangeran berkumpul. Contohnya keberadaan Mark atau Jeno, si pentolan MIPA 1 dan Nathan, jagoan MIPA 3.

Harusnya lapangan outdoor hanya untuk MIPA 9, tapi tak tau bagaimana ceritanya tanah terbuka super luas itu menjadi lokasi untuk ketiga kelas sekaligus.

"Norak. Berisik," lirih Alura. "Laki-laki model begitu dikerubungin."

"Memang kamu gak tertarik sama Nathan atau Jeno, Al?"

Tertarik apanya?!

Kalau tak sedang dalam mode malas, mungkin Alura sudah sewot mengatakan dirinya mual karena keseringan berurusan dengan Nathan maupun Jeno.

"Gak."

"Tapi kalian sering terlihat dekat? Apalgi kamu sama Jeno juga selalu tarik-tarikkan."

Alura mendelik. "Dengar, Miaw cupu! Bisa bareng sama mereka itu jelas bukan kemauan gue!"

Pertama— Alura terpaksa berada di dekat Jeno, semua akibat lelaki itu duluan yang mengusik ketenangannya.

Kedua— jika Alura bersama Nathan, itu karena ia malas menolak karena ujung-ujungnya akan kalah juga.

Jadi lebih baik pura-pura menurut dan pergi secepat mungkin, selesai.

"Mau ke mana, Al?" tanya Mia ketika Alura tiba-tiba berdiri.

"Ke mana gue, bukan urusan lo! Kepo."

Setelah menjawab ketus, gadis penyendiri itu menyelonong begitu saja.

Namun, zaman sekarang karma itu dibayar kontan gak pakai kredit. Terbukti, sikap songong Alura mendapatkan hasil dengan sebuah bola yang nyasar mengenai punggungnya.

"Si anj—"

"Sorry, gak sengaja."

Rahang Alura terkatup geram.

Kenapa makhluk menyebalkan bernama Jeano Batara itu selalu cari gara-gara padanya.

"Lo—woi! Gak sopan banget, sialan!" maki Alura kesal bukan main melihat Jeno begitu santai kembali ke tengah lapangan.

Sudah cukup tadi Jeno hampir memasukkannya ke BK, berakhir membuat Alura gagal nebeng menyantap Makdi pesanan Aji. Dan sekarang ia jadi kelaparan, lalu bad mood.

Gadis itu berkuncir kuda itu melepas sepatunya. Tanpa ragu melempar tepat mengenai belakang kepala Jeno yang sedang bermain basket.

"Ups! Sowry, gue juga gak sengaja."

Di banding tubuh tinggi tegap milik Jeno, jelas badan kecil Alura jauh kalah imbang ketika mereka saling berhadapan.

"Maksud lo apa?"

"Maksud gue?" Kepala Alura teleng ke samping, menatap Jeno dengan pandangan sok imut. "Gak ada maksud. Kan tadi udah dibilang gak sengaja."

Decihan lirih Jeno keluarkan. "Lo pikir itu sepatu bisa terbang sendiri!"

"Oh... gak tau sepatu gue mahal? Ada sayapnya jadi bisa terbang terus mendarat kena kepala kosong lo."

Sudut bibir Alura terangkat menampilkan senyum remeh di akhir. Cukup puas membalaskan rasa kesalnya seharian ini pada Jeno.

Sementara raut wajah lelaki di hadapannya terlihat semakin menakutkan. Sepasang alis tebal rapi Jeno menungkik tajam, memperkuat tatapan sengit yang ia lemparkan pada Alura.

Targedi salah lempar bola tadi benar-benar di luar kendali Jeno. Namun, sepertinya Alura salah mengartikan. Gadis itu malah beranggapan Jeno ingin cari masalah.

Dari kejauhan, Aluna memerhatikan. Ia ingin mendekat agar dua manusia tak pernah akur di depan sana berhenti berselisih.

Namun, keberadaan Alexa dan komplotannya membuat nyali Aluna menciut. Malas jika nanti gadis yang mengecap Jeno adalah milik Alexa seorang itu kembali merundungnya.

"Kenapa? Jenong marah?" Seulas senyum culas Alura terukir.

Pandangan Alura jatuh pada sebelah sepatu lusuhnya yang tergeletak tak jauh di samping Jeno. Hanya saja, kaki panjang lelaki itu lebih dulu menendang jauh sepatu tersebut sampai nyungsep masuk ke semak-semak pinggiran lapangan.

"Sorry lagi. Kalau yang itu gue sengaja," kata Jeno.

Gantian lelaki berahang tegas itu teesnyum penuh kemenangan sebelum lanjut men-dribble si bundar orange.

"Jen—astaga bisa hipertensi gue. JE—"

"Eeehh.... sabar-sabar, Neng. Tahan, jangan bikin ribut," cegah Juna yang cepat mendekat. "Nanti gue sebagai wakil ketua kelas kena smack down Renza waktu dia balik."

Alasan. Sebenarnya itu suruhan Nathan yang sejak tadi menonton kegaduhan Jeno dan Alura.

Karena kalau Juna pribadi, nyatanya suka keributan.

Tangan tak bersalah Juna dihempas kasar. "Tapi dia nyebelin banget! Hiih!"

"Makanya lain kali gak usah dilawanin."

Suara berat Nathan terdengar dari arah belakang, menenteng sebelah sepatu Alura yang berlumpur.

"Kelelep di kubangan di balik semak," jelas Nathan. "Sementara lo pakai sepatu gue aja dulu."

Belum lagi disetujui. Lelaki yang memiliki senyum menawan itu berlutut melepas sisa sepatu Alura yang masih terpakai dan memasangkan kedua miliknya yang jelas kebesaran. Mengundang pekikan baper dari ciwi-ciwi yang melihat sikap manis Nathan.

Tapi, namanya Alura. Mana bisa menerima sikap romantis yang kerap membuatnya mual tanpa alasan.

Gadis kurang ajar itu justru melepaskan sepatu Nathan, menendangnya tanpa dosa. Lalu kemudian Alura melucuti kaos kakinya.

"Gak mau! Mending gue kaki ayam aja. Terima kasih, arigatou, annyeongaseyo. Bye."

Bantuan Nathan tertolak mentah-mentah begitu saja.

Bukannya  marah, lelak itu justru menarik senyum lebar. Mengantar kepergian punggung sempit Alura.

Dan lagi-lagi membuat para siswi kembali memekik tertahan seperti bengek karena mendadak sesak napas melihat senyum manis seorang Nathan.

👈👉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro