13
Pukul 23.45 WIB
Wanita paruh baya yang berstatus sebagai ART di kediaman Adnan itu membukakan pintu.
"Maaf ya, Bi. Al, kemalaman pulang." Wajah setengah mengantuk Alura tersenyum tipis karena sudah merepotkan.
Mau bagaimana lagi, Adnan melarang Alura diberikan kunci cadangan agar tak seenaknya pulang larut. Tapi sejauh ini sama saja, lagian Alura punya nomor telepon Bibi dan bisa bebas menelepon beliau kalau ingin dibukakan pintu.
"Iya, Non gak apa-apa. Tapi kalau bisa dikurangin. Bibi khawatir Non Alura kena marah Tuan Adnan lagi."
Hati Alura sedikit menghangat merasakan kepedulian tulus Bibi yang sudah bekerja dengan Adnan dari ia kecil.
Masih selangkah Alura bergerak, suara Bibi kembali terdengar. "Oiya, Non. Tadi Non Aluna sempat cariin."
"Terus sekarang dia di mana? Udah tidur?"
"Kurang tau, Non. Terakhir Bibi lihat masuk ke ruang kerja Tuan Adnan."
Kepala itu mengangguk kecil. Perasaan Alura mendadak ketar-ketir karena Aluna mencarinya. Pasti saudari reognya ini hendak membahas perihal siang tadi.
Ini semua karena si jidat Jenong!
Lelaki bertenaga besar itu berhasil menyeretnya masuk sampai ke dalam kelas. Membuat Alura mau tak mau terpaksa mengikuti pelajaran sejenak, walau ujung-ujungnya mengikuti jejak Raksa dan beberapa teman sekelas, yaitu—tidur berjama'ah.
"Astaga, ke ingat si Jenong gue malah jadi haus. Panas gitu bawaannya, mau marah!" monolog Alura sebal.
Belakangan tiada hari tanpa campur tangan Jeno. Seakan utusan BK itu senang mengusili ketentraman Alura.
Melangkah ke dapur, jemari lentik Alura membuka kaleng minuman bersoda dari kulkas.
Satu dua tegukan berhasil ditelannya dalam damai, meloloskan cairan dingin rasa manis tersebut.
Namun, tidak untuk yang ketiga kalinya.
"ALURA!" pekik Tania emosi.
Gadis itu baru saja menjadi korban semburan mendadak Alura akibat kaget mendengar suara Tania yang tiba-tiba.
"Lo memang sialan banget, ya!"
Alura terbatuk kecil sembari mengusap bibirnya yang jelepotan soda. "Salah lo lah! Siapa suruh datang gak ngucap salam!"
Baru juga menutup pintu kulkas, mendadak saja mulut jahanam Tania mengeluarkan bunyi dan yang Alura ingat berupa sindiran seperti biasa.
Di depannya, Tania hanya bisa pasrah menuju wastafel untuk membersihkan wajah. Dengan Alura yang santai duduk di bangku pantry, menimbang lebih baik tidur di rumah atau merusuh ke apartemen Lucas.
"Apa lo lihat-lihat?!"
"Tania jangan marah-marah... nanti jadi janda tua," senandung Alura asal seraya menikmati minuman soda. "Mendingan minum sini sama Tante."
"Dasar sinting! Anak gak berguna banget sih hidup lo!"
Yang dihina hanya menanggapi menggunakan kekehan puas.
Sekarang ia tau cara membuat Tania marah, yaitu jangan sampai terlihat kesal karena akan membuat saudari tirinya itu merasa menang. Tapi sebaliknya, bersikap santailah seolah menganggap semua hinaan itu hanya guyonan biasa, maka akan memberi dampak kemurkaan pada Tania.
"Harusnya sesama anak gak berguna jangan saling menghina, Tania."
"Apa?! Lo anggap gue gak berguna gitu maksudnya?"
Bahu Alura mengedik cuek. "Menurut lo, emangnya ada orang yang ngerasa dirinya berguna tapi masih sempat urusin urusan orang lain? Apalagi sampai berkata buruk. Setau gue, manusia sejenis itu gak lebih dari sekedar sampah masyarakat, sistah."
"Sesampahnya gue, paling tidak derajatnya beda sama lo yang anak buangan!"
Sudut bibir Alura terangkat naik menampilkan senyum remeh. "Yah. Tahta lo naik juga berkat nyokap lo yang jago menjilatkan? Menjilat... suami orang."
Kaki Alura berangsur menjauhi dapur, meninggalkan Tania yang terdiam di tempat.
Skakmat terbesar untuk gadis berbando itu adalah fakta jika ibunya yang merupakan perebut laki orang alias pelakor.
Perhatian Alura teralih pada ruang kerja Adnan yang sedikit terbuka. Telinganya mendengar bentakan dari dalam sana. Seketika ia teringat Aluna.
Mata besar Alura memicing untuk mengintip, sebelum kaget sendiri sewaktu melihat Aluna dilempar remasan kertas.
"Apa ini?! Sembilan puluh lima untuk ulangan fisika?! Kamu pikir Papa senang dapat laporan nilai kamu segitu?!"
Jantung Alura mencelos.
Baginya dapat nilai lima puluh saja sudah peruntungan besar, konon jawaban nyaris sempurna yang dimiliki Aluna. Mungkin Alura akan buat syukuran 7 hari 7 malam demi merayakan kepintarannya.
Tapi untungnya Alura tak secerdas itu, karena bisa-bisa syukuran tiap hari.
Melirik arloji, Alura merasa jam tidur bisa dijadikan alasan untuk membantu Aluna keluar dari neraka mini Adnan.
Tangan gadis itu sudah terulur hendak membuka pintu lebih lebar andai saja Papanya itu tak berbicara.
"Pada dasarnya kamu dan Alura memang tak pernah Papa inginkan! Satu-satunya cara agar keberadaanmu dianggap hanya berkat isi kepalamu itu, Aluna! Tapi lihat sekarang?"
Genggaman pada gagang pintu mengerat. Walau sudah tau lama jika mereka adalah anak hasil kesalahan, nyatanya kalimat Adnan tetap menggoreskan luka di hati Alura yang mendengar.
"Kenapa semenjak Alura datang, kamu jadi makin menurun?! Masa kalah sama Tania yang bisa dapat nilai seratus!"
Kepala Aluna masih tertunduk. "Maaf, Pa. Di ulangan berikutnya Aluna bakal usahain dapat seratus lagi."
"Gak usah banyak janji manis! Buktikan saja! Dan ingat—" telunjuk Adnan teracung sebelum melanjutkan, "kalau sampai ini terulang, Alura akan Papa kembalikan pada Mamamu!"
"Jangan, Pa! Kasihan Alura," mohon Aluna. "Dia bakal dipukuli Mama tiap hari kalau tinggal di sana lagi."
"Biar! Daripada ada dia di sini malah memengaruhi nilai kamu!"
Kepala Aluna menggeleng kencang, mata sendu gadis ringkih itu telah basah dengan lelehan air mata. Ia sedih setiap kali mendengar kabar dari Lucas jika Alura memiki luka baru akibat pukulan Nadia.
"Ini bukan salah Alura, Pa. Di sekolah dia baik-baik aja, udah jarang buat masalah."
"Halah!"
"Nilai Aluna turun karena semalam gak maksimal belajarnya. Maafin Aluna, Pa. Jangan salahin Alura."
Rahang Alura mengeras menahan emosi. Pandangannya terpaku pada wajah sedih Aluna yang terus membelanya.
Samar, bisik Tania hinggap. "See? Semenyusahkan itu diri lo."
Gadis yang sejak tadi ikut menguping itu tersenyum penuh kemenangan.
Alura melempar tawa lirih. "Iya lo benar," balasnya pelan.
"Ugh. Udah sadar kalau dirinya dilahirin cuma buat bawa sial?"
"Sepenuhnya sadar," kata Alura. Pandangannya yang semula menatap lantai kini naik memaku tajam pada kedua bola mata Tania yang sedikit bergetar melihat senyum tipis saudari tirinya. "Dan karena gue saudari yang adil, lo harus siap-siap juga gue cipratin kesialan."
Tepukan ringan di bahu Tania menjadi penutup kepergian Alura.
Gadis berambut sebahu itu tersenyum puas karena lagi-lagi berhasil membungkam mulut kurang ajar Tania.
"Lama-lama mulutnya gue beli juga pakai dollar Bapaknya Raksa."
👈👉
Keluar dari kamar mandi, tubuh basah Alura nyaris terjungkal ke belakang begitu mendapati sosok bergaun putih dengan berambut panjang duduk membelakanginya dipinggiran kasur.
"Gue pikir Miss. K!" handuk dalam genggaman gadis itu terlempar pada Aluna yang lantas membaringkan tubuh. "Ngapain di sini?! Bukannya istirahat di kamar lo."
"Lo sendiri?"
"Lah, ini 'kan kamar gue!" Mata Alura memandangi sekitar.
Takut-takut kalau ia pula yang salah masuk, sebab lokasi ruangan pribadi mereka bersebelahan.
Gadis bergaun tidur itu kembali duduk.
"Kenapa pulangnya malam banget? Itu Raksa endegeng minta gue sleding karena bawa lo main sampai lupa waktu?!"
"Buset, ngerapp lo?"
Aluna mencebik. "Gue serius, Al. Apaan anak sekolah pulangnyammphh—"
"Sssttt! Calm down, baby. Dengarin penjelasan Aa' bentar."
Telapak tangan berwangi segar sabun itu tersingkir begitu Aluna melepaskannya. "Apa?"
"Iya, sih. Gue lupa waktu karena main PS baru di rumah Raksa, hehe... sor——akh! Sakit!"
Tangan Alura cepat-cepat mengusap pinggangnya yang baru saja dicubit. Padahal bathdrobe-nya cukup tebal, tapi capit jari Aluna tetap terasa mematikan menyentuh permukaan kulitnya.
Bayangkan jika tadi ia telah berpakaian memakai kaos, pastilah rasa cubitan akan lebih meresap sampai sumsum tulang!
"Lo buat masalah apalagi di sekolah?" todong Aluna.
Tadi ia sempat bertanya pada Jeno, tapi lelaki itu hanya membalas menggunakan senyum manis seperti biasa. Kan Aluna jadi lupa hendak mencecarnya.
"Masalah apaan? Perasaan gue udah jadi anak baik."
"Mana ada anak baik yang ikut tawuran bahkan belum seminggu masuk sekolah!"
"Itu bukan tawuran." Alura berbalik memandang Aluna. "Tanya aja sama Raksa."
"Memang omongan Raksa bisa dipercaya?"
Setau Aluna, manusia bernama Raksa Atmadja itu adalah biang onar bersama Arjuna, Nathan dan beberapa adik kelas yang menjadi komplotan.
Alura memakai kaos lalu membaringkan tubuh di kasur. "Gak, sih. Jangan percaya Raksa, nanti bisa jadi pindah agama. Percaya sama Tuhan aj—aaarrrghhh!"
BUGH
"AW!"
Dari atas kasur, Aluna memandang malas saudarinya yang barusan terguling jatuh setelah menerima cubitan untuk ke sekian kali.
"Lo kdrt mulu, njing. Badan gue bisa biru-biru kalau gini ceritanya!"
"Berisik. Itu bayaran karena lo gak bilang kalau kemarin sakit! Mana pakai acara kabur pula."
"Ya mana tau kalau gue sakit!"
"Kata Tania, lo demam. Dan—" Aluna menggantung ucapan.
Merasa bersalah akibat tak memerhatikan Alura dengan baik selama di sini.
"Dan apa?" desak Alura.
Aluna membuang pandang. Takut jika Alura bisa mengetahui kesedihannya.
Pasti Alura sangat kesakitan karena dihajar habis-habisan oleh Adnan.
"Dan apa, Lun? Lo kalau bicara jangan dikredit, dong. Harus cash!"
"Dan kata Lucas lo ke apartemen dia itu besoknya. Jadi semalaman lo nginap di mana?"
"Mampus gue, ya kali jujur nginap di rumah si Jenong," batin Alura panik.
👈👉
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro