Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Page twenty three

#For better experience please play the song#

°°°

"Terima kasih sudah bertahan, terima kasih sudah melakukan apa saja untuk tetap hidup. Sekarang, cukup percayakan saja padaku. Lewis, aku akan membawamu ke tempat yang seharusnya."

"Aku tidak yakin. Pendidikan yang aku terima hanya sebatasnya, hanya mencuri dari jendela sekolah umum. Sikap apa lagi, aku tidak tahu harus bagaimana bersikap, yang aku tahu hanya bagaimana bisa mendapatkan makanan sisa dari rumah makan seberang tanpa ada saingan. Aire, bukankah jalanan adalah tempatku yang seharusnya?"

"Lewis, kenyataan adalah kenyataan. Dan aku akan membawamu pada kenyataan itu, sudah cukup penderitaanmu. Jika nanti pun kau tidak merasa mampu, maka aku pastikan kau akan dapat sedikit kenyamanan yang sudah direnggut darimu."

Mataku terbuka perlahan, kelopaknya terasa berat dan pandanganku samar. Aku ingat aku bertemu Aire di jalan dan dia membawaku dengan paksa. Iya, dia memukulku pelan sekali hingga aku tidak sadarkan diri. Aku bahkan bisa merasakan cintanya padaku.

Mataku berkunang karena aku paksa bekerja, kugelengkan kepala pelan agar benar-benar sadar. Kulihat lagi sekitar, dinding berwarna putih dengan banyak lukisan tergantung. Lukisannya tidak jelas, hanya warna-warna tercampur, abstrak? Aku tidak mengerti.

Sebuah meja persegi besar yang sudah usang, jendela besar tertutup tirai dan lemari berisi banyak alat makan. Baiklah, otakku belum bisa berputar, di mana aku?

"Maaf aku harus memukulmu, aku tidak mau menimbulkan keributan di depan umum, tapi mengikutiku adalah hal mencurigakan yang dilakukan. Bagaimana menurutmu?" tanya Aire dengan sebelah tangannya menarik kursi untuk ia duduk. Aku menatapnya lurus, bibir masih bungkam, belum berani aku menjawabnya. Tidak sadar aku dia ada di dekatku.

Aku mengatur napas, agar lebih rileks. Perlahan pikiranku mulai bekerja, mengingat apa yang aku lakukan sampai aku bisa berada di sini dan dengan siapa Aire ketika ia menemukanku.

"Apa yang dilakukan seorang pelanggan Qulivan sebenarnya?" tanyanya lagi meski aku belum menjawab pertanyaan sebelumnya. Jantungku berdegup kencang, bahkan aku ragu jika Aire tidak mendengarnya. Aku terlihat sangat mencurigakan.

Apa aku katakan saja yang sebenarnya? Mungkin hidup dengan Aire akan lebih baik dibanding hidup dengan Archello? Dan jika aku ingat-ingat lagi, Aire tetap hidup sampai lembaran terakhir novel.

"Merancang jawaban? Aku sudah curiga sejak kali pertama kita bertemu. Aku tahu kau bukan pelanggan Qulivan, aku hanya ... tidak tahu peranmu apa di sana," jelas Aire padaku setengah berbisik. Keningnya terlihat berkerut, tatapannya fokus padaku tanpa teralih. Ia seolah sedang mengoreksi informasi lebih jauh dari bola mataku.

"Kau benar, aku bukan pelanggan Qulivan. Namun, aku juga bukan bagian dari bayangan, jujur saja, kau juga tidak akan percaya jika aku bayangan bukan? Aku terlalu tolol untuk itu, tapi aku terlalu mencurigakan untuk tidak dianggap." Aku menelan ludah. Kalimat yang aku lontarkan memang tidak jelas, tapi setidaknya aku jujur.

"Bukan pelanggan Qulivan, bukan juga bagian dari bayangan, lalu kau ini siapa? Kemampuan apa yang kau punya?" tanya Aire dengan sebelah alisnya yang terangkat heran.

"Aku ... " ucapku terputus karena mendengar suara tawa dari arah belakang. Aku menoleh ke sumber suara, seorang pria dengan rambut dongker yang pernah aku temui sebelumnya, Cedric.

"Maaf, apa tawaku memotong kalimatmu? Aku hanya merasa lucu karena percakapan kalian. Aire, aku rasa kesempatan ini tidak bisa dilewatkan. Bagaimana jika bawa dia untuk bernegosiasi dengan Archello? Kalau Archello mendengarkan, tandanya wanita ini penting. Kalau tidak, apa boleh buat? Anggap saja kau sedang sial, haha." Cedric kembali tertawa, wajahnya tidak terlihat cemas atau ragu. Tidak tahu kenapa aku merasa aneh dengan pria ini, seperti ada yang salah dan tidak seharusnya.

Apa karena ia hanya karakter sampingan atau perasaanku saja? Tidak tahu aku. Sekarang pikirkan tentang Aire lebih dulu.
Aku menoleh ke arah Aire lagi, kami bertemu pandang. Jelas sekali terlihat jika Aire sedang benar-benar memikirkan saran Cedric, aku ingin ikut bicara tapi aku takut memperburuk suasana.

"Baiklah, ayo bawa dia. Selama hampir setengah tahun apa yang aku lakukan sia-sia, sepertinya hal ini tidak buruk untuk dicoba," ungkap Aire sembari beranjak dari duduknya. Keningku berkerut mendengarnya.

Setengah tahun sia-sia? Hal apa yang Aire lakukan selama setengah tahun dan berakhir sia-sia? Maksudku, aku tidak ingat pernah membuat Aire gagal. Hampir setengah tahun ... Aire menyelidiki tentang Lewis selama lima bulan lebih, dan ia menemukannya pada bulan ke enam. Sekarang pun Aire sedang bersama Lewis, lalu apa yang sia-sia?

"Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan sedalam itu, tapi kau terlihat buruk," sindir Cedric tepat di depan wajahku sambil tersenyum, "kau akan segera pulang, kenapa pasang wajah begitu? Anggaplah aku ini pangeran berkuda putih yang akan mengantarmu pulang dengan kereta."

Apa?

Belum sempat aku menanyakan maksud kalimat yang Cedric ucapkan, Aire sudah menepuk pundakku pelan.

"Aku sudah siapkan mobil, ayo turun dan temui Archello. Aku tidak akan macam-macam padamu, kalaupun Archello merasa kau tidak penting. Aku akan tetap membawamu pulang ke Allegra untuk diperiksa, setidaknya kau tidak akan mati," terang Aire dengan wajah serius. Aire benar, kalau nantinya Archello menganggapku tidak penting, setidaknya aku bisa hidup dalam kurungan. Dan mungkin saja akan ada kesempatan bagiku tinggal dengan Aire dan ... meninggalkan Archello.

Ada jeda saat aku berpikir akan meninggalkan Archello, tidak seperti dia akan sendirian. Hanya saja, aku ingin pastikan dia bisa hidup dengan bahagia meski sedikit. Katakanlah aku munafik atau sok baik, tapi Archello tetap anakku! Aku mencintainya.

Aku mengembuskan napas sebelum kakiku bergerak turun perlahan, melangkah mengikuti Aire untuk keluar dari ruangan. Tidak kulihat lagi di mana Cedric, aku jadi tidak bisa tanya maksud ucapannya.

Aire membuka pintu bagian depan mobil, masuk ke dalam dan segera menyalakannya. Mobil sedan berwarna abu-abu metalik dengan dua garis putih mengelilingi badan mobil berlogo empat cincin, mobil kesukaan Aire yang ia dapat dalam misi pertamanya.

Aku mengerjap cepat agar kembali fokus dan ikut masuk ke dalam menyusul Aire.

"Apa kau tahu Archello ada di mana?" tanyaku memastikan. Aire menoleh singkat dan kembali memusatkan konsentrasinya pada jalan raya. Ia mengangguk.

"Tahu," jawabnya singkat. Aku diam, membiarkan hening mengikat kami berdua selama perjalanan.

°°°

Tiga puluh menit mengendarai mobil dengan kecepatan penuh membuat kami segera sampai di penginapan tempat Archello berada. Tanpa sadar aku menarik napas menatap bangunan tersebut dari dalam kaca.

"Jangan takut, dia pernah menyelamatkanmu satu kali. Aku yakin, dia akan menyelamatkanmu untuk ke dua kalinya, aku juga sudah tidak tahan untuk terus diam seperti ini." Aire menatap wajahku beberapa saat, lalu turun tanpa ragu. Aku mengikuti dari belakang.

Di depan penginapan sudah terlihat Zeavan duduk sendirian ditemani secangkir kopi hangat dengan asap yang bahkan terlihat jelas dari sini. Pada kenyataannya, Zeavan lebih menyukai teh dibanding kopi. Namun, ia akan minum kopi saat sedang banyak pikiran.

Tidak berani aku menatap wajahnya, kualihkan mata ke arah aspal yang masih terik karena sinar matahari. Aku tidak sadarkan diri begitu lama, sepertinya sekarang baru pukul dua siang.

"Archello," gumam Aire pada Zeavan. Aku masih menunduk, hanya melihat kaki keduanya.

"Di belakang penginapan ini ada taman kecil yang tidak begitu ramai, dia ada di sana, sendirian. Aku juga tidak akan mengganggu pembicaraan kalian seperti yang dia minta, jadi pergilah," jawab Zeavan. Aku tidak tahu bagaimana air muka Zeavan saat menatapku, apa marah atau malah muak.

Aire kembali melangkah tanpa menjawab Zeavan, aku mengikutinya. Langkah Aire tidak cepat tapi tidak pelan juga, langkahnya teratur seperti dihitung. Tidak perlu lama, kami sudah sampai di halaman yang Zeavan katakan.

Aku memberanikan diri untuk mengangkat kepala, kulihat Chello sedang duduk di satu kursi atau lebih tepat satu-satunya kursi yang ada di tengah-tengah rumput. Archello menoleh ke arah kami, ia tersenyum seperti biasa.

"Kau pasti senang karena merasa menang, begitu Archello? Intinya saja, apa Lewis sudah kau bunuh?"

Apa?

Lewis dibunuh? Siapa? Archello? Bukannya, Lewis bersama Aire saat ia menangkapku di jalan tadi? Aku menatap wajah Aire yang terlihat tidak main-main. Sorot matanya serius, bibirnya terkatup menunggu jawaban. Archello belum menjawab, hanya tersenyum.

"Kau mau bilang, dia memilih kematiannya sendiri? Lalu bagaimana dengan Yeina? Karna kau, dia juga sudah tidak ada di dunia ini. Apa kau mau bilang, Yeina juga memilih kematiannya sendiri?"

Kali ini Archello yang memasang air muka tidak biasa, ia menatap Aire dengan sorot mata terkejut dan tidak percaya, persis seperti wajah yang kutunjukkan.

°°°

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro